Alfiyah Ibnu Malik Merupakan Sebuah Karya Yang Sangat Fenomenal
Bagi kaum santri yang berada di pesantren, tentu tidaklah asing lagi dengan kitab Alfiyah karangan Imam Ibnu Malik. Kitab yang sangat mashur ini, sering kali menjadi tolak ukur tertinggi bagi para santri agar bisa menguasai ilmu gramatika bahasa arab. Kajiannya tidak hanya di pesantren yang tersebar di pelosok negeri ini, melainkan di berbagai lembaga pendidikan Islam yang berada di penjuru dunia pun turut mengkajinya.
Kitab ini awalnya bernama Nadzam al-Kafiyah as-Syafiyah yang terdiri dari 2.757 bait. Di dalamnya menyajikan semua informasi mengenai ilmu Nahwu dan Shorof beserta dengan tanggapan (syarah-nya). Kemudian kitab ini ia ringkas menjadi seribu bait yang kita kenal dengan nama Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini juga bisa kita sebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari al-Kafiyah. Isinya terdiri dari delapan puluh bab, pada setiap babnya terisi oleh puluhan bait dengan narasi yang sangat indah. Bab yang terpendek berisi dua bait yaitu bab Al-Ikhtishash, dan bab yang terpanjang yaitu bab Jama’ Taktsir yang berisi empat puluh dua bait. Berawal dari kitab Alfiyah Ibnu Malik ini, pelajaran nahwu dan shorof semakin banyak peminatnya. Bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil pun, kitab ini tidaklah asing bagi mereka.
Nadhom Alfiyah Ibn Malik karya Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik ini, merupakan sebuah karya yang sangat fenomenal, yang tidak akan pernah terhapus dalam khazanah intelektualitas pesantren. Khususnya pesantren salaf. Beliau menamai nadzhom tersebut dengan nama Alfiyah, diambil dari jumlah bait dalam nadzom tersebut yakni seribu, (baca dalam bahasa arab; alfun). Namun pada kenyataannya, jumlah bait dari nadzhom alfiyah itu sendiri adalah 1002 bait, ada tambahan 2 bait di muqoddimah, dan juga ada cerita menarik di balik penambahan 2 bait tersebut. Tentang arti dari sebuah rasa bangga, tentang ta’dzim kepada sang guru, tentang tulusnya sebuah karya, juga tentang adab terhadap orang yang sudah meninggal.
Sekilas Tentang Imam Ibnu Malik
Sang pengarang kitab Alfiyah Ibnu Malik yaitu Syaikh Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik At-Thay. Seorang ahli bahasa yang lahir di salah satu kota kecil, yaitu kota Jayyan yang berada di Andalusia (Spanyol) bagian selatan. Ia lahir pada tahun 1203 M atau bulan Sya’ban tahun 600 H. Waktu itu, Andalusia menjadi tempat berkembang pesatnya keilmuan Islam, para penduduknya sangat mencintai ilmu pengetahuan. Tidak heran jika mereka disibukkan untuk saling berlomba dalam meciptakan sebuah karya ilmiah. Sejak kecil, Imam Ibnu Malik sudah menghafal Al-Qur’an dan ribuan Hadits. Semangatnya dalam menekuni sebuah keilmuan begitu besar. Ia pernah belajar kepada para ulama tersohor di daerahnya sendiri, seperti Syaikh Tsabit bin Khiyar, Syaikh Ahmad bin Nawwar dan Syaikh As-Syalaubini.
Kisah Imam Ibnu Malik Dalam Menyusun Kitab Alfiyah
Diceritakan, bahwa Syaikh Ibnu Malik dalam menyusun nazhom Alfiyah ini, terinspirasi dari almarhum sang guru yang sudah terlebih dahulu menyusun sebuah nadzhom yang berjumlah 500 bait. Beliau adalah Syaikh Ibnu Mu’thiy. Karyanya tersebut diberi nama Alkaafiyah, namun mashur juga disebut dengan Alfiyah Ibnu Mu’thiy. Ketika beliau sudah mantap menyimpan semua gambaran nadzhom alfiyah dalam memori otaknya, beliaupun memulai untuk menulis untaian nadzom-nadzom indah tersebut. Hingga pada saat beliau menulis bait ke lima, bagian satar ke sepuluh yang berbunyi;
وتَقتضِى رضًا بغير سخطٍ # فائقةً ألفيّةً ابن معطى
(Dan kitab alfiyah itu akan menarik keridhoan yang tanpa didasari kemarahan dan kitab alfiyah ini lebih unggul dari kitab alfiyahnya ibnu mu’thiy).
Seketika semua hafalan yang sudah tersimpan rapi dalam memori otak beliaupun lenyap. Beliau tidak ingat satu hurufpun. Syaikh Ibnu Malik pun merasa cemas, sedih, juga bingung, entah apa yang harus beliau lakukan. Hingga akhirnya beliaupun tertidur pulas. Dalam mimpinya, beliau dibangunkan oleh seorang kakek yang memakai pakaian serba putih, jubahnya hampir menutupi sebagian kepalanya sehingga wajahnya tidak nampak secara jelas. Kakek itu menepuk pundak Syaikh Ibnu Malik sambil berkata;
“Wahai anak muda, bangunlah! Bukankah kamu sedang menyusun sebuah kitab?”
“Iya Kek,” seketika Ibnu Malik terbangun.
“Namun aku lupa semua hafalanku, sehingga aku tak mampu untuk melanjutkanya” lanjutnya.
Kakek itu pun bertanya, “Sudah sampai mana kamu menulisnya?”
“Baru sampai bait kelima,” beliau menjawab sambil membacakan bait yang terakhir.
“bolehkah aku melanjutkan hafalanmu,?” tanya kakek tersebut.
“Tentu saja.”
Kakek itupun membacakan sepasang bait;
فائقةً من نحو ألف بيتي # والحيّ قد يغلب ألف ميّتي
(Seperti halnya mengungguli dalam seribu bait. Orang yang masih hidup, terkadang mengalahkan 1000 orang yang sudah meninggal)
Seketika setelah mendengar satu bait yang diucapkan oleh kakek tersebut, Syaikh Ibnu Malik pun terbangun. Dan beliaupun menyadari satu hal, bahwa kakek dalam mimpinya itu tidak lain adalah sang guru, yakni Syaikh Ibnu Mu’thiy yang dengan jelas menegur Syaikh Ibnu Malik dengan sindiran di bait tersebut. Beliau juga sadar, bahwa ungkapan bangga yang beliau ungkapkan dalam bait kelima tersebut ternyata merupakan perasaan takabbur yang timbul dari nafsunya, perasaan yang secara tidak langsung telah menerobos sebuah adab, akhlaqul karimah seorang murid kepada gurunya. Sadar akan hal itu, Ibnu Malik pun bertaubat kepada Sang Pencipta atas rasa takabburnya. Beliau juga hendak meminta maaf kepada Ibnu Mu’thiy, beliau berziarah ke makam Syaikh Ibnu Mu’thiy. Selepas berziarah, beliaupun hendak melanjutkan karangan tersebut dengan menambahkan 2 bait di bagian Muqoddimah yang pada awalnya tidak masuk dalam rencana, dengan harapan bahwa hafalannya akan pulih kembali. 2 bait tersebut berbunyi seperti ini:
وهو بسبق حائز تفضيلا # مستوجب ثنائي الجميلا
(Dan dia (Ibnu Mu’thiy) memang lebih dahulu dan mendapatkan keunggulan. Dia juga pantas mendapatkan pujian (legitimasi) yang sangat baik dariku)
والله يقضي بهبات وافرة # لي وله في درجات الآخرة
(Semoga Alloh memberikan anugerah yang sempurna. Untukku dan juga beliau dalam derajat yang tinggi di akhirat kelak.)
Secara ajaib, semua memori hafalan nadzom yang ingin beliau tulis itupun kembali tergambar jelas di otak dan hatinya. Beliaupun sangat bersyukur dan kemudian melanjutkan karangannya. Hingga akhirnya terciptalah sebuah mahakarya yang terkenal di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Nadhoman yang sangat populer di kalangan santri, khususnya santri salaf. Dan sampai saat ini pun, masih banyak santri-santri yang menghafalnya. Wallahu a’lam.
Cerita ini mengandung pesan tentang adab kita kepada seorang guru yang harus tetap dilakukan, meskipun kemampuan kita telah melebihi sang guru tersebut. Atau meskipun guru kita telah meninggal dunia. Karena tidak ada yang namanya “mantan guru”.
Penulis: Eka Nurlela