Alfiyah Ibnu Malik Merupakan Sebuah Karya Yang Sangat Fenomenal

Bagi kaum santri yang berada di pesantren, tentu tidaklah asing lagi dengan kitab Alfiyah karangan Imam Ibnu Malik. Kitab yang sangat mashur ini, sering kali menjadi tolak ukur tertinggi bagi para santri agar bisa menguasai ilmu gramatika bahasa arab. Kajiannya tidak hanya di pesantren yang tersebar di pelosok negeri ini, melainkan di berbagai lembaga pendidikan Islam yang berada di penjuru dunia pun turut mengkajinya.

Kitab ini awalnya bernama Nadzam al-Kafiyah as-Syafiyah yang terdiri dari 2.757 bait. Di dalamnya menyajikan semua informasi mengenai ilmu Nahwu dan Shorof beserta dengan tanggapan (syarah-nya). Kemudian kitab ini ia ringkas menjadi seribu bait yang kita kenal dengan nama Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini juga bisa kita sebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari al-Kafiyah. Isinya terdiri dari delapan puluh bab, pada setiap babnya terisi oleh puluhan bait dengan narasi yang sangat indah. Bab yang terpendek berisi dua bait yaitu bab Al-Ikhtishash, dan bab yang terpanjang yaitu bab Jama’ Taktsir yang berisi empat puluh dua bait. Berawal dari kitab Alfiyah Ibnu Malik ini, pelajaran nahwu dan shorof semakin banyak peminatnya. Bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil pun, kitab ini tidaklah asing bagi mereka.

Nadhom Alfiyah Ibn Malik karya Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik ini, merupakan sebuah karya yang sangat fenomenal, yang tidak akan pernah terhapus dalam khazanah intelektualitas pesantren. Khususnya pesantren salaf. Beliau menamai nadzhom tersebut dengan nama Alfiyah, diambil dari jumlah bait dalam nadzom tersebut yakni seribu, (baca dalam bahasa arab; alfun). Namun pada kenyataannya, jumlah bait dari nadzhom alfiyah itu sendiri adalah 1002 bait, ada tambahan 2 bait di muqoddimah, dan juga ada cerita menarik di balik penambahan 2 bait tersebut. Tentang arti dari sebuah rasa bangga, tentang ta’dzim kepada sang guru, tentang tulusnya sebuah karya, juga tentang adab terhadap orang yang sudah meninggal.

Sekilas Tentang Imam Ibnu Malik

Sang pengarang kitab Alfiyah Ibnu Malik yaitu Syaikh Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik At-Thay. Seorang ahli bahasa yang lahir di salah satu kota kecil, yaitu kota Jayyan yang berada di Andalusia (Spanyol) bagian selatan. Ia lahir pada tahun 1203 M atau bulan Sya’ban tahun 600 H. Waktu itu, Andalusia menjadi tempat berkembang pesatnya keilmuan Islam, para penduduknya sangat mencintai ilmu pengetahuan. Tidak heran jika mereka disibukkan untuk saling berlomba dalam meciptakan sebuah karya ilmiah. Sejak kecil, Imam Ibnu Malik sudah menghafal Al-Qur’an dan ribuan Hadits. Semangatnya dalam menekuni sebuah keilmuan begitu besar. Ia pernah belajar kepada para ulama tersohor di daerahnya sendiri, seperti Syaikh Tsabit bin Khiyar, Syaikh Ahmad bin Nawwar dan Syaikh As-Syalaubini.

Kisah Imam Ibnu Malik Dalam Menyusun Kitab Alfiyah

Diceritakan, bahwa Syaikh Ibnu Malik dalam menyusun nazhom Alfiyah ini, terinspirasi dari almarhum sang guru yang sudah terlebih dahulu menyusun sebuah nadzhom yang berjumlah 500 bait. Beliau adalah Syaikh Ibnu Mu’thiy. Karyanya tersebut diberi nama Alkaafiyah, namun mashur juga disebut dengan Alfiyah Ibnu Mu’thiy. Ketika beliau sudah mantap menyimpan semua gambaran nadzhom alfiyah dalam memori otaknya, beliaupun memulai untuk menulis untaian nadzom-nadzom indah tersebut. Hingga pada saat beliau menulis bait ke lima, bagian satar ke sepuluh yang berbunyi;

وتَقتضِى رضًا بغير سخطٍ  #  فائقةً ألفيّةً ابن معطى

(Dan kitab alfiyah itu akan menarik keridhoan yang tanpa didasari kemarahan dan kitab alfiyah ini lebih unggul dari kitab alfiyahnya ibnu mu’thiy).

Seketika semua hafalan yang sudah tersimpan rapi dalam memori otak beliaupun lenyap. Beliau tidak ingat satu hurufpun. Syaikh Ibnu Malik pun merasa cemas, sedih, juga bingung, entah apa yang harus beliau lakukan. Hingga akhirnya beliaupun tertidur pulas. Dalam mimpinya, beliau dibangunkan oleh seorang kakek yang memakai pakaian serba putih, jubahnya hampir menutupi sebagian kepalanya sehingga wajahnya tidak nampak secara jelas. Kakek itu menepuk pundak Syaikh Ibnu Malik sambil berkata;

“Wahai anak muda, bangunlah! Bukankah kamu sedang menyusun sebuah kitab?”

“Iya Kek,” seketika Ibnu Malik terbangun.

“Namun aku lupa semua hafalanku, sehingga aku tak mampu untuk melanjutkanya” lanjutnya.

Kakek itu pun bertanya, “Sudah sampai mana kamu menulisnya?”

“Baru sampai bait kelima,” beliau menjawab sambil membacakan bait yang terakhir.

“bolehkah aku melanjutkan hafalanmu,?” tanya kakek tersebut.

“Tentu saja.”

Kakek itupun membacakan sepasang bait;

فائقةً من نحو ألف بيتي  #  والحيّ قد يغلب ألف ميّتي

(Seperti halnya mengungguli dalam seribu bait. Orang yang masih hidup, terkadang mengalahkan 1000 orang yang sudah meninggal)

Seketika setelah mendengar satu bait yang diucapkan oleh kakek tersebut, Syaikh Ibnu Malik pun terbangun. Dan beliaupun menyadari satu hal, bahwa kakek dalam mimpinya itu tidak lain adalah sang guru, yakni Syaikh Ibnu Mu’thiy yang dengan jelas menegur Syaikh Ibnu Malik dengan sindiran di bait tersebut. Beliau juga sadar, bahwa ungkapan bangga yang beliau ungkapkan dalam bait kelima tersebut ternyata merupakan perasaan takabbur yang timbul dari nafsunya, perasaan yang secara tidak langsung telah menerobos sebuah adab, akhlaqul karimah seorang murid kepada gurunya. Sadar akan hal itu, Ibnu Malik pun bertaubat kepada Sang Pencipta atas rasa takabburnya. Beliau juga hendak meminta maaf kepada Ibnu Mu’thiy, beliau berziarah ke makam Syaikh Ibnu Mu’thiy. Selepas berziarah, beliaupun hendak melanjutkan karangan tersebut dengan menambahkan 2 bait di bagian Muqoddimah yang pada awalnya tidak masuk dalam rencana, dengan harapan bahwa hafalannya akan pulih kembali. 2 bait tersebut berbunyi seperti ini:

وهو بسبق حائز تفضيلا # مستوجب ثنائي الجميلا

(Dan dia (Ibnu Mu’thiy) memang lebih dahulu dan mendapatkan keunggulan. Dia juga pantas mendapatkan pujian (legitimasi) yang sangat baik dariku)

والله يقضي بهبات وافرة # لي وله في درجات الآخرة

(Semoga Alloh memberikan anugerah yang sempurna. Untukku dan juga beliau dalam derajat yang tinggi di akhirat kelak.)

Secara ajaib, semua memori hafalan nadzom yang ingin beliau tulis itupun kembali tergambar jelas di otak dan hatinya. Beliaupun sangat bersyukur dan kemudian melanjutkan karangannya. Hingga akhirnya terciptalah sebuah mahakarya yang terkenal di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Nadhoman yang sangat populer di kalangan santri, khususnya santri salaf. Dan sampai saat ini pun, masih banyak santri-santri yang menghafalnya. Wallahu a’lam.

Cerita ini mengandung pesan tentang adab kita kepada seorang guru yang harus tetap dilakukan, meskipun kemampuan kita telah melebihi sang guru tersebut. Atau meskipun guru kita telah meninggal dunia. Karena tidak ada yang namanya “mantan guru”.

 

Penulis: Eka Nurlela

 

 

 

 

 

 

 

Pesantren Cianjur Raih Juara Umum MQK 2023 Tingkat Jawa Barat

Santri Pondok Pesantren Mifatahulhuda Al-Musri’ meraih juara 3 dalam rangka Lomba Musabaqoh Qiroatul Kutub yang di buka langsung oleh wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum di Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2023 di Kompleks Sutan Raja Hotel dan Convention Centre Soreang, Kabupaten Bandung, Minggu (4/6/2023).

Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ mengutus 25 santri ketika seleksi di tingkat kabupaten Cianjur, dan hanya beberapa orang yang lolos mengikuti ke tingkat Provinsi.

Alhamdulilah dengan dukungan dan doa dari semuanya, Kabupaten Cianjur meraih prestasi dengan 25 juara, yaitu Juara ke-1 sebanyak 8 marhalah, juara ke-2 sebanyak 3 marhalah, juara ke-3 sebanyak 10 marhalah, juara harapan ke-1 yaitu 1 marhalah, dan juara harapan ke-2 ada 3 marhalah,” terangnya melalui pesan tertulis kepada NU Online Jabar.

Berikut daftar para peserta selengkapnya yang menjadi juara asal Cianjur dalam lomba Musabaqah Qiraatil Kutub Provinsi Jawa Barat:

  1. Marhalah Ula
  2. Cabang Fiqih

Putera: Juara harapan 3 atas nama Akbar Mubarok, dari Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Karangtengah, Cianjur.

Puteri: Juara 2 atas nama Siti Zahra Azka Meilani dari Pondok Pesantren Al-Muslimun, Sukaluyu, Cianjur.

  1. Cabang Nahwu

Putera: Juara 2 atas nama Zaeni Arifin dari Pondok Pesantren Al-Ikhwan, Pacet, Cianjur.

Puteri: Juara harapan 3 atas nama Adilatul Marwah dari Pondok Pesantren Izzul Islam, Karangtengah, Cianjur.

III. Cabang Akhlaq

Putera: Juara harapan 1 atas nama Akbar Zaelani dari Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Karangtengah, Cianjur.

Puteri: Juara harapan 1 atas nama Hisna Nurfakhiroh dari Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Karangtengah, Cianjur.

  1. Cabang Tauhid

Putera: Juara 3 atas nama Sulaeman dari Pondok Pesantren Roudlotul Muta`Allimin, Pacet, Cianjur.

Puteri: Juara 3 atas nama Amelia Solihat dari Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Karangtengah, Cianjur.

  1. Cabang Tarikh

Putera: Juara 1 atas nama Muh Nizar Abdurahman dari Pondok Pesantren At-Tafsiri Cipoek, Campaka Mulya, Cianjur.

  1. Marhalah Wustha
  2. Cabang Fiqih

Putera: Juara 3 atas nama Muhammad Rayhan dari Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Karangtengah, Cianjur.

Puteri: Juara 1 atas nama Siti Hari Matuzzulfa dari Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Karangtengah, Cianjur.

III. Cabang Akhlaq

Putera: Juara 3 atas nama Muhammad Fikri Abdulloh Faqih dari Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’, Ciranjang, Cianjur.

  1. Cabang Tauhid

Putera: Juara 2 atas nama Moch. Abdul Aziz dari Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al Khodijiyyah, Cilaku, Cianjur.

Puteri: Juara 1 atas nama Siti Zahra Aulia dari Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Karangtengah, Cianjur.

  1. Cabang Tarikh

Putera: Juara harapan 1 atas nama Muhamad Faiz Alfahar dari Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Karangtengah, Cianjur.

Puteri: Juara 3 atas nama Siti Nur’aidah dari Pondok Pesantren Al-Istiqomah, Karangtengah, Cianjur.

  1. Cabang Tafsir

Putera: Juara 2 atas nama Faatih Rohmatullah dari Pondok Pesantren Al-Ikhwan, Pacet, Cianjur.

Puteri: Juara 1 atas nama Yunita Ramadani dari Pondok Pesantren Roudlotul Muta`Allimin, Pacet, Cianjur.

VII. Cabang Hadits

Putera: Juara 1 atas nama Muhammad Daniyal Mugits dari Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al Khodijiyyah, Cilaku, Cianjur.

Puteri: Juara harapan 1 atas nama Nafisa Nurul Huda dari Pondok Pesantren Roudlotul Muta`Allimin, Pacet, Cianjur.

VIII. Cabang Ushul Fiqih

Putera: Juara 2 atas nama Moh. Rafli Firdaus dari Pondok Pesantren Miftahulhuda Al Musri, Ciranjang, Cianjur.

Puteri: Juara harapan 1 atas nama Azka Izzatul Inayah dari Pondok Pesantren Al Itishom Choblong, Warungkondang, Cianjur.

  1. Marhalah Ulya
  2. Cabang Fiqih

Putera: Juara harapan 2 atas nama Muhamad Yusuf Maulana Ramadhan dari Pondok Pesantren Nurulhidayah Al Khodijiyyah, Cilaku, Cianjur.

  1. Cabang Nahwu

Putera: Juara 1 atas nama Ahmad Faiz Aminudin dari Pondok Pesantren Nurulhidayah Al Khodijiyyah, Cilaku, Cianjur.

Wagub Uu Ruzhanul menuturkan, keberadaan pesantren merupakan benteng akidah dalam syiar agama Islam dan sebagai wadah estafet keilmuan agama.

Oleh karena itu Pemerintah Daerah Provinsi Jabar mempunyai tanggung jawab dalam keberlangsungan agama dan muamalah di Jabar.

Uu menambahkan, pelaksanaan Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) di Jabar sangat penting dalam meningkatkan pemahaman dan kecintaan akan ilmu agama Islam terutama pada generasi muda.

“Kegiatan kali ini adalah ajang yang luar biasa yang diikuti oleh peserta yang hebat karena tak semua orang bisa mengikuti kegiatan pada hari ini,” ujarnya.

Selain itu, Uu berharap MQK dapat menjadi ajang silaturahmi antar pesantren di Jabar, juga sebagai evaluasi dan dakwah untuk membumikan pesantren di Jabar.

Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Jawa Barat Barnas menuturkan, pelaksanaan MQK di Jabar hingga saat ini sudah memasuki tahun ke-3 dan tahun ini dimulai pada 4-7 Juni 2023 dengan tema “Rekontekstualisasi Turats untuk Peradaban dan Kerukunan Menuju Jabar Juara Lahir Batin”.

Pelaksanaan MQK ini merupakan kerja sama Pemda Provinsi Jabar dan Kantor Wilayah Kementerian Agama Jabar.

MQK diikuti sebanyak 650 kafilah dan sebanyak 50 dewan hakim direkrut dari seluruh Jabar dengan melombakan 15 kitab.

Pemenang akan dipertandingkan pada tingkat nasional di Lamongan, Jawa Timur pada Juli 2023.

MQK Tingkat Provinsi Jabar Tahun 2023 dihadiri juga oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jabar Ajam Mustajam, Bupati Bandung Dadang Supriatna, MUI Jabar, kabupaten/kota se-Jawa Barat serta Forkopimda Jabar.

 

Sumber: Humas Jabar & NU Jabar Online

Editor: Dimas Pamungkas

Metode Balaghan Menjadi Salah Satu Skill Membaca Kitab Kuning

Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tradisional yang mempunyai visi untuk meningkatkan sumber daya manusia dengan menggunakan kajian pendidikan berbasis keagamaan Islam. Pendidikan keagamaan adalah sebuah proses pembelajaran yang memiliki ciri khas Islam, yang mana di dalamnya memiliki keterkaitan antara lembaga, tenaga didik, dan anak didik. Sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai komitmen tafaqquh fiddiin selalu memberikan peran yang besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Dalam hal menuntut ilmu, sudah diakui dari dulu bahwa Pondok Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, setiap pondok pesantren memiliki metode pembelajaran yang beragam. Metode pembelajaran tersebut sudah termasuk dalam budaya yang ada di dalam pesantren tersebut.
Selain itu, ilmu merupakan sebuah perhiasan bagi orang yang memilikinya, sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Talimul Muta’alim:

تعلم فان العلم زين لأهله # وفضل وعنوان لكل المحامد
Artinya: “Belajarlah! Maka sesungguhnya ilmu itu adalah perhiasan bagi yang memilikinya dan menjadi keutamaan dan tanda untuk semua hal yang dipuji.”

Setiap lembaga pendidikan selalu memiliki sistem pembelajaran yang berbeda-beda agar menghasilkan lulusan-lulusan yang terbaik. Di dalam salafi Pondok Pesantren, ada istilah mengaji balaghan dan sorogan , yang mana merupakan salah satu metode pembelajaran yang dianggap efektif dalam menjalankan pembelajaran di Pesantren agar lebih mudah dalam memahami isi dari kitab kuning dan juga untuk melatih skill cara baca kitab kuning menurut ilmu nahwu dan shorof dengan baik dan benar. Seperti pepatah mengatakan bahwa ”practice makes you perfect” latihan akan membuat dirimu sempurna.

Metode balaghan yaitu metode pembelajaran yang dilakukan dalam pelaksanaannya para guru mentransfer ilmu kepada santri-santrinya dengan cara ketika guru sedang membacakan dan menjelaskan kitab kuning yang sedang dipelajari, para santri mencatat artinya ( melogat ) di dalam kitab kuning kata demi kata.

Salah satu pesantren yang menggunakan metode balaghan dan sorogan adalah Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ merupakan lembaga pendidikan Islam salafi yang didirikan oleh KH. Mama Ahmad Faqih di Ciranjang kabupaten Cianjur. KH. Mama Ahmad Faqih merupakan seorang Ulama besar yang memiliki jasa dalam Kemerdekaan Indonesia.

Sistem pembelajaran terhadap kitab kuning di Pondok Pesantren Al-Musri’ ini menggunakan metode balaghan dan sorogan yang dapat mempermudah santri dalam meningkatkan kemampuannya dalam mempelajari ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu shorof, dan juga dalam berdakwah. Metode balaghan merupakan metode yang baik dalam peningkatan skill melogat dan juga penambahan kosa kata dalam bahasa arab. Tidak hanya itu, metode balaghan ini juga dapat memberikan ilmu pengetahuan yang mendalam dari kitab-kitab karangan ulama-ulama terdahulu.

Sudah menjadi budaya bagi Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ dalam mempelajari kitab-kitab kuning. Di era digitalisasi yang serba memudahkan manusia dalam mencari informasi ini, pembelajaran terhadap kitab kuning di pesantren semakin ditinggalkan. Hal itu dikarenakan sudah canggihnya teknologi yang ada pada zaman modern ini, yang mempengaruhi semangat santri dalam mengaji sehingga mengakibatkan menurunnya kualitas santri dalam menguasai kitab kuning. Maka dari itu, sistem pengajian yang ada di sebuah Pondok Pesantren khususnya Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ lebih menitik beratkan kepada pembelajaran terhadap kitab kuning dengan menggunakan metode balaghan dan sorogan. Seseorang yang kaya akan ilmu dan mengamalkannya akan selalu menjadi perhiasan dunia. Sebaliknya, seseorang yang mempunyai ilmu namun tidak mengamalkan ilmunya maka ia merupakan sebuah kerusakan. Sebagaimana yang tertulis dalam syair kitab Ta’limul Muta’alim:

فساد كبير عالم متهتك # واكبر منه جاهل متنسك
Artinya: ”Merupakan kerusakan yang besar yaitu orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, dan yang lebih besar lagi adalah orang bodoh yang beribadah tanpa ilmu”.

Metode sorogan dalam pengajian kitab kuning sejauh ini masih menjadi pembelajaran alternatif yang sangat baik dalam meningkatkan kemampuan membaca kitab kuning, kemampuan menjelaskan, menghafal kosa kata bahasa arab, dan mempelajari nahwu dan shorofnya. Selama pembelajarannya, setiap santri mendapat giliran untuk membaca kitab kuning dengan cara baca yang benar menurut ilmu nahwu dan shorofnya. Sehingga santri Miftahul Huda Al-Musri’ sudah terlatih dalam membaca kitab kuning dan juga akan lebih memudahkan mereka dalam mempelajarinya.

Mungkin Tertarik:

Bagaimana Program Pendidikan Umum Di Pesantren Salafiyah?

Bahtsul Masail Merupakan Tradisi Intelektual Di Kalangan Forum NU

Salah Satu Program Unggulan Yang Membandingi 10x Pengajian Harian

Program Sorogan Menjadi Tahap Awal Santri Belajar Mengamalkan

Musabaqoh Qiro’atul Kutub & Tahfidzul Kutub

Di zaman yang serba kontroversial ini, semua orang muslim harus faham dalam ilmu agama, tentunya dalam ilmu hadist, fiqh, nahwu, shorof, tasawuf, balaghah, agar tidak salah dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan semua ilmu yang harus kita pelajari tersebut, tentunya tidak akan cukup waktu yang singkat dalam mempelajarinya, maka dari itu mempelajarinya harus dimulai dari sejak kecil, dan Pondok Pesantren adalah wadah yang tepat untuk mengayominya. Jika mereka sudah dalam tahap mengerti dalam memperlajari kitab kuning, mereka akan lebih giat lagi dalam mempelajarinya, sehingga mereka akan haus akan ilmu pengetahuan dan pada akhirnya mereka akan menjadi seorang santri dengan kualitas yang tinggi dan beradab. Orang seperti itulah yang dibutuhkan pada zaman sekarang, yang bisa bertanggung jawab terhadap ilmunya dan dapat membuktikan bahwa dia juga mumpuni dalam hal agamanya sendiri. Tidak hanya omong kosong belaka, namun dia juga bisa membuktikan bahwa dia adalah seseorang dengan kemampuan mengaji yang baik dan benar. Karena, di zaman ini tidak sedikit orang yang disebut ustadz, tetapi mereka seringkali salah menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena kurangnya pemahaman mereka dalam mempelajari ilmu nahwu dan ilmu shorof.

Maka dari itu, dalam menanamkan pembelajaran cepat terhadap ilmu nahwu dan shorof kepada para santri, Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ selalu menerapkan budaya mengaji sorogan dan balaghan untuk meningkatkan kemampuan santri dalam mengaji.

Penulis: Raisya Audyra

MUJAHADAH KEBERANGKATAN JAMA’AH HAJI 2023

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cianjur, H. Ramlan Rustandi, menghadiri kegiatan Mujahadah dan Do’a bersama untuk kelancaran dan keselamatan Jamaah Haji, yang diselengarakan oleh Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Cianjur di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’, Kampung Ciendog, RT 03 RW 07, Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Rabu (31/05/2023).

Hadir mendampingi Kepala Kemenag Kabupaten Cianjur yaitu unsur jajaran Kemenag kader dan pengurus PC dan PAC GP Ansor Kabupaten Cianjur baik secara langsung maupun online di 32 kecamatan masing-masing.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cianjur, H. Ramlan Rustandi, menyampaikan ucapan terima kasih kepada pimpinan pondok pesantren, GP Ansor, KUA beserta para penyuluh agama, dan tokoh agama di Kabupaten Cianjur.

“Kami mengapresiasi kegiatan GP Ansor Kabupaten Cianjur yang bernilai mulia ini.  dan do’a bersama bertujuan untuk mendoakan seluruh proses pelaksanaan ibadah haji tahun 1443 H atau 2022 M, khususnya bagi jama’ah haji Cianjur, Jawa Barat dan Indonesia, agar berjalan dengan lancar.

“Kita berharap juga agar Jamaah Haji Indonesia dapat melaksanakan ibadah di Mekkah dan Madinah dengan sehat walafiat dan kembali ke tanah air penuh berkah,” ujar H. Ramlan.

Menurutnya, kegiatan ini juga diharapkan mampu menjadi pendorong semangat bagi Menteri Agama, Gus Yaqut, yang juga selaku Ketua Umum Pengurus Pusat GP Ansor beserta seluruh jajaran yang terlibat, agar diberikan kesehatan dan dimudahkan seluruh urusannya.

“Mujahadah dan Do’a bersama ini dilakukan supaya semua prosesnya berjalan lancar, mulai dari pemberangkatan, sampai proses pemulangan jama’ah haji ke Indonesia,” ungkap H. Ramlan.

Hal senada disampaikan Ketua GP Ansor Cianjur yang juga Pimpinan Pondok Pesantren Almusri Banu Mansur Bojongpicung, Ang Ariful Kholiq Zaelani yang menyebut, bahwa pelaksanaan Mujahadah dan Do’a bersama ini atas instruksi dari Pimpinan Wilayah (PW) GP Ansor Jawa Barat dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jabar.

Baca juga: https://almusripusat.com/konferancab-pac-ipnu-ippnu-ciranjang/

“Ini instruksi langsung dari PW GP Ansor Jawa Barat dan Kanwil Kemenag Jabar. Maka atas dasar itu, pelaksanaannya dihelat secara serentak di setiap kota atau kabupaten di Provinsi Jawa Barat,” ujarnya menambahkan.

Sementara itu, Ketua GP Ansor Jawa Barat, Deni Ahmad Haedar mengungkapkan, kegiatan ini dikhususkan untuk mendoakan umat islam di Indonesia dan dunia yang sedang melaksanakan ibadah haji. Ia berharap, pelaksanaan ibadah haji tahun ini sukses, selamat, dan bisa pulang dengan meraih haji yang mabrur dan mabruroh.

“T​​​​​​entu saja ini merupakan salah satu ikhtiar kita membangun kebersamaan serta membangun tanggung jawab bersama,” tuturnya.

Deni menjelaskan, selain melaksanakan intruksi dari pimpinan pusat, kegiatan ini juga sudah menjadi sebuah kewajiban untuk saling menguatkan saling mendoakan hingga proses pelaksanaan ibadah haji tahun ini bisa terselenggara dengan baik.

“Termasuk juga Indonesia, kita doakan bersama dan kita perjuangkan bersama-bersama. Tempat kita berteduh, hidup dan tempat dimana kita tidak ingin mati selain ditempat ini, harus kita jaga, pelihara dan harus kita perjuangkan, dan hari ini sama-sama kita doakan mudah-mudahan negeri ini tetap aman tetap menjadi rumah yang paling nikmat untuk ditinggali oleh seluruh warga negaranya,” katanya.

Selain itu, pria yang akrab disapa Kang Deni tersebut juga berterima kasih kepada PWNU dan Kepala Kanwil Kemenag yang telah berkenan hadir dan mengajak para jamaahnya se-Jawa barat mengikuti kegiatan Mujahadah dan Do’a Bersama untuk keselamatan Jamaah Haji


Baca juga: https://almusripusat.com/salah-satu-extra-kulikuler-dalam-bidang-seni/

“Mudah-mudahan silaturahim ini tetap terjaga dalam rangka membangun Jawa Barat menjadi lebih baik,” tandasnya.

Sumber: https://www.journalnusantara.com/

Islam periode Rasulullah SAW dan para Sahabat RA

Periode Rasullah SAW yakni masa hidup beliau, pasti islam dilaksanakan secara baik dan benar, tepat sesuai al-Qur’an dan as-sunnah, dan tidak menyimpang sedikitpun, khususnya oleh bimbingan- ilahi. Juga para sahabat RA yang terbimbing dan terkontrol langsung olehnya.

Amaliah Rasulullah SAW, mustahil menyimpang dari petunjuk al-Qur’an, karena amaliahnya inilah yang diteladani oleh para sahabat RA dan umat berikutnya. Mustahil pula jika Rasul teledor dalam membimbing dan mengontrol amaliah para sahabatnya.

Amaliah lahir batin Rasulullah SAW yang diteladankan kepada para sahabat RA secara lansung serta kepada para pengikutnya sepanjang zaman secara tidak langsung, inilah yang disebut sebut sebagai as-Sunnah. Amaliahnya yang diteladani secara langsung oleh para sahabat RA, yang kemudian menjadai jalan hidup mereka itulah yang kemudian disebut sebagai thariqah sahabat RA.

As-sunnah yang diteladankan Rasulullah SAW pastilah benar dan tepat sesuai Al-Qur’an. Sedankan thariqah sahabat RA, khususnya yang secara langsung melazimi sunnah Rasulullah SAW sehari-harinya, terlebih lagi sahabat empat yang pada gilirannya disebut al-khulafaar-Rasyidun praktis sesuai benar dengan petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah. Inilah subtansi makna as-sunnah dalam term ahlussunnah wal jama’ah.

  1. ISLAM PERIODE SAHABAT RA

Perbedaan pendapat pertama yang kemudian menjadi problematika umat islam mulai muncul sejak Rasulullah saw wafat. lalu semenjak terbunuhnya khalifah ketiga, Ustman ibn Affan RA problematika politik semakin menjadi, berlanjut pada masa Ali ibn Abi Thalib RA sebagai khalifah keempat. Pada masa ini, perbedaan pendapat yang awalnya berorientasi pada politik, berujung pada persoalan akidah.

Nabi Muhammad SAW wafat pada 02 Rabi’ul Awwal 11 H/ 08 Juni 632 M. Pada hari wafatnya, seklompok kaum Anshar di bawah pimpinan Sa’ad bin Ubadah dari suku Khazraj berkumpul di saqifah Bani Sa’idah untuk memilih Khalifah, pemimpin pengganti Nabi Muhammad SAW. Mendengar hal ini kaum Muhajirin datang ke Saqifah di bawah pimpinan Abu bakar As-Shiddiq RA dan Umar bin Khatthab RA.

Setelah melewati perdebatan cukup senggit, dimana kaum Anshar mengajukan Sa’ad bin Ubadah RA sebagai dan kaum muhajirin mengajukan kepada Abu bakar As-Shiddiq RA atau Umar bin Khatthab RA, akhirnya semua sepakat mengangkat sahabat yang paling utama, yaitu Abu bakar As-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW.

Sampai masa kekhalifahan sahabat Umar bin Khattab RA, perpecahan belum begitu tampak. Tetapi sejak kekhalifahan Ustman bin Affan RA, fenomenanya mulai jelas. Lalu pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib RA perpecahan menjadi nyata. Dampaknya menjadi sumber perbedaan paham di tengah umat Islam dalam memedomani ajaran agamanya.

Sejak Abu Bakar RA dibai’at menjadi Khalifah, muncul gerakan pembangkang zakat yang menjadi sendi (rukun) Islam. Di ruang lain muncul pula gerakan ant-Islam di bawah komando nabi-nabi palsu seperti Musailamah Al-kadzdzab, Aswad al-Ansi, dan Thulaihah bin Khuwailid.

Meluasnya wilayah pemerintahan Islam di masa kepemimpinan Umar RA pun tak urung menimbulkan dendam terpendam dari para penguasa yang ditaklukan. Timbul gerakan bawah tanah untuk menyusupkan ajaran agama mereka kedalam ajaran islam dengan target menghancurkan islam dari dalam. Indikasinya sangat jelas, yakni terungkapnya kisah kisah israiliyyat di dalam beberapa disiplin keilmuan. Lebih nyata lagi pada kasus pembunuhan Umar Bin Khattab RA sendiri.sejarah mencatat, Pembunuhnya adalah Abu Lu’luah, Hurmuzan (keduanya asal persia / yahudi) dan Jufainah (Nasrani). Inilah indikasi nyata dendam kesumat dari negeri negeri taklukan sahabat Umar RA.

Di masa pemerintahan Ustman Bin Affan RA (23-35H) wilayah kekuasaan islam meluas,namun juga muncul banyak perpecahan. Abdullah Bin Saba’ mulai behasil mempengaruhi dan meracuni elit politik. Perasaan tidak puas pada kepemimpinan Ustman Bin Affan RA semakin menjadi. Kontra politik sengaja dibesar-besarkan, dan pemberontakan demi pemberontakan terjadi di Kufah, Basrah, Mesir, dan tempat lain yang bertujuan menjatuhkan kepemimpinannya. Pada masa kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib RA, umat islam mulai lebih jelas terpetakan dalam mazhab politik dan akidah.

  1. Mazhab Politik

Pasca Rasulullah SAW wafat, umat islam dalam ranah siyasah (politik) terbagi menjadi tiga golongan:

     Pertama: Jumhur Muslimin, yaitu mayoritas umat islam. Mereka menyepakati Abu Bakar As-Shiddiq RA menjadi Khalifah Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan tugas-tugas dakwah islam dan kenegaraan.

     Kedua: Syiah, yang muncul pada 30H dipelopori Abdullah Bin Saba’ pendera Yahudi Yaman  yang masuk islam dan berposisi terhadap Khalifah Ustman Bin Affan RA. Saat datang ke Madinah ia tidak terlalu mendapat penghargaan dari Khalifah dan umat islam lain, sehingga menyimpan kemarahan.

                     Syiah adalah sebagian kecil umat islam yang mendeklarasikan Ali Bin Abi Thalib RA menjadi Khalifah Nabi Muhammad SAW. Syi’ah mempunyai dokrin Nabi Muhammad SAW telah berwasiat secara terang-terangan bahwa Ali Bin Abi Thalib RA merupakan Khalifah penerus kepemimpinannya. Sehingga diserukan kepada khalayak bahwa Ali yang berhak menjabat sebagai Khalifah, sedangkan Abu Bakar As- Shiddiq, Umar Bin Khattab RA dan Ustman Bin Affan RA tidak sah dan telah merampas hak Ali Bin Abi Thalib, padahal sebenarnya beliau justru melarang siapa pun yang mengagung-agungkannya melebihi mereka.

Syiah secara umum (selain zaidiyah) dalam hal immah (kepemimpinan) meyakini:

  1. Imamah (kepemimpinan) hanya milik keturunan Rasulullah SAW sedangkan bagi selain keturunannya adalah kezaliman.
  2. Imamah bukan merupakan urusan terkait kemaslahatan yang didasarkan pada proses pemilihan dan pengangkatan umat islam secara umum, tapi merupakan dasar agama islam yang Rasulullah SAW dan Rasul lainnya tidak mungkin menyia-nyiakan dengan menyerahkan kepada umatnya.
  3. Para Imam bersifat ma’shum (terjaga dari dosa besar dan kecil) sebagai mana Rasulullah SAW dan para Rasul lainnya.

 

Penyimpangan yang dilakukan Syiah dengan berbagai golongan itu, antara lain (1) berani memasukan kepercayaan Yahudi dan Nasrani serta Hindu Samani dan Majusi tentang paham inkarnasi(al-hulul) dan paham reinkarnasi (al tanashukh) ke dalam ajaran islam, (2) mengkultuskan sahabat Ali Bin Abi Thalib RA, serta mengafirkan tiga khalifah sebelumnya, (3) menolak pendapat ijma’ dan Qiyas, serta membolehkan kawin kontrak (mut’ah).

 

     Ketiga: Khawarij. Pasca perang siffin, perang saudara sesama islam antara tentara khalifah Ali Bin Abi Thalib RA dan tentara Mu’awiyah Bin Abu Sufyan RA (Gubernur Syiria) pada 37 H muncul pula Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari sayidina Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah Bin Abu Sufyan.

         Khwarij merupakan kelompok minoritas yang:

  1. Keluar dari jama’ah (persatuan umat islam) di bawah pimpinan Ustman Bin Affan RA, dan menobatkan diri sebagai oposisi, bahkan membunuhnya karena menggangapnya telah kafir.
  2. Menolak kebijakan Ali Bin Abi Thalib RA yang menerima tahkim (perjanjian damai) dengan Mu’awiyah Bin Abu Sufyan. Mereka menyatakan keluar daeri jama’ah di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib RA, dan menjadi oposisi.

Tiga mazhab dalam bidang siyasah (politik) tidak secara langsung mempengaruhi terbentuknya mazhab-mazhab dalam bidang akidah.

  1. Mazhab Akidah

 

Pasca Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin masih dalam satu manhaj dalam bidang ushuluddin, namun kemudian muncul bid’ah akidah. Tiga mazhab siyasah di atas menjadi titik awal terbentuknya mazhab-mazhab dalam bidang akidah. Mazhab di bidang akidah berlanjut menjadi semakin banyak. Hal ini menjadi pada masa akhir sahabat.

 

  1. ISLAM PERIODE TABI’IN

Maksud periode Tabi’in ialah pasca kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Thalib RA yang ditandai dengan munculnya sekte-sekte islam yang banyak mendapatkan sorotan ulama dan ahli sejarah, seperti: Qadariyah, Murji’ah, dan Jabbariyah.

Qadariyah dengan pendirinya Ma’bad al-Juhani dan Ghilan ad-Dimasyiqi antara lain berpendapat, manusia memiliki qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan perbuatannya tanpa intervensi Tuhan sama sekali. Sedangkan pendapat yang paling menonjol dari sekte Murji’ah yang di pelopori oleh Hasan bin Bilal al-Muzni, Abu Salah as-Saman, Sauban dan Dirar bin Affan RA. Mereka enggan menyatakan bagaimana hukum kelompok Syi’ah, Khawarij, Mu’awiyah, ataupun kelompok Ali sendiri? Hukum masing-masing diserahkan kepada Tuhan kelak pada hari kiamat. Tapi kemudian pendapatnya meluas termasuk meniadakan hukum qishas, diyat, atau hukuman bagi pezina. Semua hukuman ditunda sampai hari kiamat.

Sementara itu sekte Jabariyah dengan pendirinya Jahm Bin Shafwan, yang sering disebut sekte Jahmiyah, menyatakan bahwa manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan manusia diciptakan secara mutlak oleh qadar Tuhan. Baik-buruknya perbuatan manusia, semata-mata merupakan perwujudan dari baik buruknya qadar Tuhan. Pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat sekte Qadariyah.

Tentang keempat sekte ini, sebagian ulama berpendapat sebenarnya kembali pada dua sekte. Qadariyah adalah nama lain dari Mu’tazilah, dan Murtaji’ah nama lain dari Jabariyah atau Jahmiyah. Namun yang pengaruhnya sangat kuat karena hingga kini terus mewarnai perdebatan kalam (teologis) umat islam ialah sekte Mu’tazilah.

Nama Mu’tazilah merupakan nisbat ucapan Syaikh Hasan Basri tatkala mengeluarkan muridnya yang radikal, Wasil Bin Atha Al-Ghazal(80-131H).I’tazil’anna! (keluarlah dari perguruanku!). Wasil inilah yang dikenal sebagai pendiri sekte Mu’tazilah.

Wasil sendiri menamakan sektenya dengan sebutan ahl al-adl wa at-Tauhid (golongan yang berpaham adil dan meng-Esakan Tuhan) yang sekaligus mengindikasikan pendapat utamanya. Adil menurutnya ialah Tuhan membalas amal perbuatan manusia yang diciptakan sendiri tanpa intervensi qadar-Nya. Sedangkan tauhid menurutnya ialah Tuhan Esa tanpa diembel-embeli berbagai sifat dan tidak memiliki sifat-sifat.

Keradikalan Mu’tazilah, meskipun akhirnya terpecah hingga 22 sekte; semuanya terlalu berlebihan dalam memuja kemampuan akal, dan nyaris mengabaikan petunjuk naqli Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk(ciptaan Tuhan) dan bersifat hadist (Baru). Pertanyaan terakhir inilah yang kemudian disebut oleh banyak kalangan sebagai al-Mihnah (ujian bagi ulama mayoritas yang tetap berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan, dan bersifat qadim).

Sampai periode tabi’in istiah Ahlussunnah Wal Jama’ah masih belum muncul sebagai gerakan bersama.

D.ISLAM PERIODE IMAM MAZHAB EMPAT

                Periode Imam Mazhab Empat pada dasarnya merupakan periode kemunculan mazhab fikih yang sangat banyak. Namun kemudian tinggal empat Mazhab saja yang hingga kini diterima dan diakui mayoritas umat Islam,yaitu:

  1. Pendirinya Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah (80-150H).
  2. Pendirinya Malik bin Anas (93-170H).
  3. Syafi’i. Pendirinya Muhammad bin Idris As-Syafi’i (150-204H).
  4. Pendirinya Ahmad bin Hanbal (164-241H).

 

Keempat Imam Mazhab tersebut adalah penegak subtansi paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang sangat handal. Selain di bidang Fikih, mereka pun banyak menyinggung lingkup kalam (akidah) dan akhlak dengan merujuk pada Sunnah Rasul dan Thariqah Sahabat Empat, dan senantiasa berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah.

  1. ISLAM PERIODE AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI

                Periode ini pada dasarnya adalah periode institusi Ahlussunnah Wal Jama’ah, khususnya dalam lingkup kalam (teologi). Karena sejak kemunculan dua tokoh besar Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, Ahlussunnah Wal Jama’ah semakin melembaga.

Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H) berada di Basrah dan Abu Mansur al-Maturidi (248-333 H) berada di Khurasan yang saling berjauhan dan praktis tidak pernah berkomunikasi, secara kebetulan sama-sama berjuang menegakkan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menolak paham Mu’tazilah yang terus berkembang dan mendapat dukungan politis dari Khalifah dan Daulah Abbasiyah terutama khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Wasiq.

Meski kemasan institusi al-Asy’ari dan al-Maturidi sebatas dalam linkup teologi, namun mengingat secara subtansial paham Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah melekat di hati mayoritas umat sejak zaman Rasul SAW, maka mereka segara mendapat sambutan hangat dari berbagai penjuru dan institusi Ahlussunnah Wal Jam’ah segera menjadi mazhab mayoritas umat Islam.

Penulis: Fachry Syahrul