Saat Langit Cianjur Penuh Dzikir: Sebuah Catatan dari Hari Bersejarah

Cianjur, Masjid Agung Cianjur, 27 Juni 2025 M | 01 Muharram 1447 H
Pagi itu, langit tampak tenang. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Di tengah pusat kota Cianjur, tepatnya di Masjid Agung Cianjur, Alun-Alun, yang biasanya riuh oleh lalu lalang masyarakat, hari itu berubah menjadi sesuatu yang lain—lebih syahdu, lebih khidmat, lebih hidup.

Ribuan orang mulai berdatangan sejak pagi buta. Mereka datang dari berbagai penjuru Jawa Barat. Dari pesantren, dari kota, dari desa-desa pelosok. Tidak ada batas antara tua dan muda, antara santri dan petani, semua larut dalam satu semangat yang sama: berdzikir bersama dalam cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.


Detik-Detik Awal: Sholat Jum’at dan Ayat Langit

Acara dimulai setelah pelaksanaan sholat jum’at berjamaah. Ribuan jamaah menunaikan sembahyang dengan tertib, langit tetap cerah, angin berhembus lembut, dan bumi Cianjur menjadi sajadah raksasa yang menyatukan hati-hati yang ingin pulang kepada Allah.

Usai sholat, pembacaan Al-Barzanji dan Sholawat Nabi mengisi ruang udara yang panas pelan-pelan menjadi sejuk. Lantunan pujian kepada Rasul ﷺ menggetarkan hati. Lalu mikrofon berpindah ke seorang qari muda yang dengan tartil membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Orang-orang menunduk. Beberapa menangis. Entah karena rindu, entah karena merasa pulang ke hati yang lama mereka tinggalkan.


Satu Panggung, Banyak Amanah

Tak hanya itu, bahkan masyaikh Ponpes Miftahulhuda Al-Musri’ pusat, para muqimin sepuh, dan dewan ampuh berdatangan menghadiri acara Ijtima ini. Hadir pula muqoddam-muqoddam dari berbagai daerah yang membawa semangat dan barokah untuk kebersamaan dzikir ini, di antaranya yaitu: 1. K.H. Ikhyan Sibaweh Badruzzaman (Garut), 2. K.H. Abuy Jamhur Badruzzaman(Garut), 3. K.H. Maman Abdurrahman Bz (Padalarang), 4. K.H. Ade Hidayat (Garut), 5. K.H. Asep Saefudin (Garut), 6. K.H. Maman Bin Dadang Bz (Garut), 7. K.H. Salim Hidayat (Garut), 8. K.H. Khoer Hasanul Akhlaq (Garut), 9. Kyai. Asep Sofwan (Garut), 10. K.H. Mahmud Munawwar (Cianjur) Setelah pembukaan resmi, Ketua Panitia, P. Akang K.H. Burhan Rosyidi, S.E., naik ke panggung. Dengan suara yang tenang namun penuh tekad, beliau menyampaikan laporan pelaksanaan. Disusul sambutan dari shohibul bait, perwakilan pemerintah daerah, yang menyambut dengan hangat dan penuh hormat.

Kemudian naiklah para sesepuh Thariqah Tijaniyah. Suasana berubah hening. Setiap kalimat yang mereka ucapkan bukan hanya didengar, tapi dirasakan. Sambutan sesepuh Thariqah Tijaniyah disampaikan oleh Habib Umar Toyyib. “Kita berkumpul bukan untuk dunia, tapi untuk menghidupkan warisan ruhani,” ucap salah satu mursyid. Tepuk tangan tak terdengar. Tapi getaran kalbu itu nyata.

Sambutan terakhir datang dari Bupati Cianjur, Slamet Riyadi, S.STP, M.AP, yang mewakili aspirasi pemerintah dan masyarakat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan harapan agar Cianjur tak hanya maju dalam pembangunan fisik, tapi juga menjadi pusat kemajuan ruhani. yang mewakili aspirasi pemerintah dan masyarakat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan harapan agar Cianjur tak hanya maju dalam pembangunan fisik, tapi juga menjadi pusat kemajuan ruhani.


Ketika Jamaah Bersujud Bersama

Waktu dzuhur berlalu (Waktu Sholat Jum’at), lalu tibalah sholat Ashar berjamaah. Ribuan orang berbaris rapih. Langit tetap cerah. Angin masih lembut. Dan bumi Cianjur menjadi sajadah raksasa yang menyatukan hati-hati yang ingin pulang kepada Allah.


Puncak Dzikir: Wadzifah dan Haelalah

Setelah istirahat singkat, acara dilanjutkan dengan tausiyah ruhani dari para mursyid Tijaniyah, yang kali ini dibawakan oleh Syekh Ikhyan (Syekh Zawih Samarang). Tak hanya berisi nasihat, tapi juga kisah, sanad, dan ajakan untuk terus berada di jalan dzikir, cinta, dan adab. dari para mursyid Tijaniyah. Tak hanya berisi nasihat, tapi juga kisah, sanad, dan ajakan untuk terus berada di jalan dzikir, cinta, dan adab. Menjelang maghrib, para jamaah duduk rapat. Suara dzikir mulai bergema. Wadzifah—dzikir khas Thariqah Tijaniyah—dilantunkan serentak dipimpin oleh K.H. Maman Abdurrahman. Hati-hati pun tunduk. Beberapa menangis, banyak yang terdiam. Inilah saat yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setelah itu, Haelalah dipimpin oleh K.H. Maman Abdurrahman (Padalarang KBB) mengguncang langit Cianjur. Kalimat “La ilaha illallah” membahana, menggema dari bibir ribuan manusia menuju langit yang luas. Tak ada suara lain. Tak ada dering ponsel. Hanya kalimat tauhid yang menjadi napas bersama. dipimpin oleh Drs.Syekh.Ikhyan Shibaweh mengguncang langit Cianjur. Kalimat “La ilaha illallah” membahana, menggema dari bibir ribuan manusia menuju langit yang luas.


Di Balik Layar: Mereka yang Diam Tapi Bergerak

Acara sebesar ini tak mungkin berjalan tanpa para pahlawan tanpa nama. Sebanyak 1000 panitia dikerahkan. Mereka bekerja dalam senyap tapi sungguh-sungguh.

  • Ada 100 orang penerima tamu yang berdiri sejak pagi.
  • 110 tim keamanan menjaga jalannya acara dengan tenang.
  • 170 petugas kebersihan memastikan setiap sudut bersih dan nyaman.
  • 25 personil logistik, 9 petugas transportasi, dan 15 tim kesehatan bekerja tanpa henti.
  • Tim publikasi & dokumentasi, konsumsi, acara, hingga humas semua bergerak dalam semangat khidmah.

Mereka berasal dari santri Al-Musri’ pusat, dibantu dari cabang, serta aparat dari Polres, Dishub, dan Satpol PP. Sebuah kolaborasi indah antara pesantren dan negara, antara spiritualitas dan ketertiban.


Saat Langit Mulai Gelap, Dzikir Masih Menyala

Acara pun ditutup menjelang malam. Tidak dengan pesta, tidak dengan sorak-sorai. Tapi dengan doa, dan dzikir pelan yang masih mengalun. Orang-orang mulai kembali ke asal mereka—tapi tidak dengan hati yang sama.

Hari ini, Cianjur menjadi rumah bagi ruh-ruh yang kembali menyala. Dan dari Ijtima ini, semoga lahir generasi yang tak hanya paham dunia, tapi juga paham jalan pulang.

“Bersatu dalam dzikir, bergerak dalam iman –
Wujudkan Cianjur Jaya di Tanah Jawa Barat Istimewa.”

Dokumentasi

Berikut beberapa dokumentasi dari acara ini: potret ribuan jamaah memadati Masjid Agung Cianjur, barisan sholat berjamaah yang rapih, para masyaikh duduk di panggung kehormatan, tangis haru saat dzikir, dan senyum bahagia para panitia yang bekerja sepenuh hati. Semoga setiap momen ini menjadi saksi berkah dan cahaya bagi perjalanan ruhani kita bersama.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami haturkan, dengan untaian kata yang tak akan pernah cukup menampung syukur dan bangga. Kepada semua yang hadir, semua yang setia mendukung, semua yang menata langkah dan menebar doa. Ijtima Wadzifah dan Haelalah ini tak akan menjadi cahaya di bumi Cianjur tanpa kalian. Semoga berkah melimpah, semoga dzikir terus bersemi, dan semoga cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi pelita sepanjang hayat. Teriring salam takzim, untuk kebersamaan, persaudaraan, dan kesuksesan yang kita rajut di bumi Jawa Barat tercinta.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Apa Makna Zuhud?

Apa yang dinamakan zuhud? Zuhud adalah meninggalkan kecondongan terhadap kecintaan pada dunia. Zuhud adalah melepaskan hati dari pengaruh dunia. Maksudnya tidak kikir terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh kegiatan-kegiatan duniawi sehingga lupa pada Allah SWT. Namun zuhud juga bukan berarti harus mengosongkan tangan dari memiliki harta.

Selama ini banyak orang yang salah paham atau salah mengartikan sifat zuhud. Zuhud bukan berarti tidak boleh kaya. Zuhud juga bukan harus hidup miskin dan meninggalkan segala gemerlap kehidupan dunia. Karena bagaimanapun tidak ada larangan bagi umat Islam untuk meraih kekayaan setinggi-tingginya. Asal cara memperoleh dan penggunaannya sesuai dengan ajaran Islam.

Sederhananya, zuhud adalah melenyapkan keterkaitan hati dengan harta. Sehingga zuhud bukan berarti tidak kaya. Juga tidak identik dengan miskin. Orang kaya belum tentu tidak zuhud. Orang miskin juga belum pasti memiliki sikap zuhud. Karena zuhud adalah pekerjaan hati, bukan pekerjaan lahiriyah.  Sehingga yang mengetahui apakah dia zuhud atau tidak adalah dirinya sendiri, dan tentu saja Allah swt. 

“Allah dan Rasul-Nya tidak pernah melarang umatnya melakukan usaha untuk mendapatkan bagian di dunia. Tidak pernah seorangpun dilarang untuk melakukan hal tersebut.”

Allah berfirman :

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ ۝٢٠

     Barang siapa yang menghendaki keuntungan akhirat kami tambah keuntungan itu untuknya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia maka kubereikan sebagiannya dan tiadalah baginya suatu bagian pun di akhirat.  (Asy Syura: 20).

Ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata : “Tunjukkanlah aku tentang perbuatan, bila aku melakukannya maka aku disenangi oleh Allah dan disegani oleh manusia.” Lalu Nabi menjawab : “berzuhudlah dari keduniaan kamu akan dicintai oleh Allah, dan janganlah kamu tamak terhadap hak milik manusia kamu akan dicintai oleh mereka.” (HR.Ibnu Majah).


“Jangan kalian mengatakan bahwa seseorang mempunyai sifat zuhud. Karena keberadaan zuhud adalah di hati,” kata Abu Sulaiman ad-Darani. Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman AS tidak pernah mengangkat kepalanya ke langit, lantaran khusu’ dan merendahkan diri kepada Allah sekalipun diberi Kerajaan yang begitu mengagumkan. Dia senantiasa memberikan makanan yang enak-enak kepada orang banyak, tapi untuk dirinya beliau hanya memakan roti gandum. Ada seorang bertanya :”Mengapa kamu senang hidup lapar, sedang engkau telah diberi gudang kekayaan dibumi?” Lalu dijawab “:Aku khawatir bila aku kenyang, lantas aku lupa terhadap orang yang lapar.”

Sekali lagi zuhud bukan berarti anti-harta benda. Juga bukan harus hidup miskin atau identik dengan kemiskinan. Namun melepaskan keterkaitan hati dengan harta. Contohnya, banyak sahabat Nabi Muhammad saw. yang kaya namun tetap zuhud seperti Abduraahman bin Auf, Zubair binAwwam, Zaid bin Tsabit, dan lainnya. Mereka memiliki harta yang melimpah, namun hartanya tidak membutakan mata dan hati mereka sehingga melupakan akhirat. (A Muchlishon Rochmat)

Editor : Nawal A.N

Penderitaan Memperdalam Pengertian Kita Tentang Makna Hidup

اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلاَ تُباَلِ مَعَهاَ اِنْ قَلَّ

عَمَلُكَ فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ إِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مَوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَالْلأَعْمَا لَ أَنْتَ مُعْدِيْهَا إِلَيْهِ؟

وَأَيْنَ مَا تُعْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مَوْرِدُهُ عَلَيْكَ؟

Idza fataha laka wijhatan min al-ta’arrufi fala tubali

Maaha in qalla ‘amaluka. Fa innaha ma fatahaha laka

Illa wa huwa yuridu an yataarrafa ilaika. Alam ta’lam

Ann al-ta’arrufa huwa muriduhu ‘alaika, wal a’mala anta

Muhdiha ilaihi? Wa aina ma tuhdihi ilaihi mimma

Huwa muriduhu ‘alaika?

“Jika Dia (Tuhan Yang Maha Benar) ingin membuka diri (melalui penderitaan yang menimpamu) untuk engkau kenal, maka (bergembiralah, bersuka citalah; dan) jangan bersedih hanya gara-gara amal dan pekerjaanmu yang berkurang (karena penderitaan itu). Sebab, Dia tak akan membuka diri seperti itu kecuali memang agar engkau bisa mengenal-Nya lebih dekat. Apakah engkau tidak tahu bahwa perkenalan itu adalah sesuatu yang Dia anugerahkan pada dirimu, sementara amal-amalanmu adalah sesuatu yang yang engkau persembahkan kepada-Nya? Bagaimana engkau akan membandingkan persembahanmu dengan anugerah-Nya?”

            Kebijaksanaan Syekh Ibnu ‘Atha’illah kali ini akan berbicara mengenai pengalaman penderitaan, sesuatu yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia.

Pengertian Umum

Hal yang tak terhindarkan dalam hidup manusia adalah penderitaan fisik, baik berupa penyakit, kemiskinan, maupun penderitaan-penderitaan lain yang membuat kita tidak nyaman. Pengalaman ini kerap membuat seseorang merasa putus harapan, atau bahkan menyalahkan dan mengutuk Tuhan. Apalagi jika penderitaan itu mencapai level yang ekstrem.

            Dalam bagian yang lalu, kita diajarkan untuk bersikap positif manakala doa dan permintaan kita tak segera dikabulkan Tuhan. Menghadapi situasi semacam itu, kita diharuskan berbaik sangka. Barangkali Tuhan punya rencana lain.

            Bagian ini masih merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya. Jika bagian sebelumnya berbicara mengenai permintaan dan do’a, bab ini berbicara mengenai cobaan yang kadang kita derita dalam hidup.

Sebagai orang beriman, kita diajak oleh Ibnu ‘Atha’illah agar bersikap sama menghadapi cobaan ini, yaitu berbuat baik sangka. Menurut Ibnu ‘Atha’illah, cobaan dan penderitaan dalam hidup adalah cara Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya kepada kita. Penderitaan adalah sarana Tuhan mau menjadika diri-Nya lebih dekat kepada kita.

            Sakit, kemiskinan, penderitaan adalah wijhah min al-ta’aruf, cara Tuhan menyingkap diri agar kita kenali secara lebih dekat lagi. Bagaimana ini bisa dijelaskan?

            Jika kehidupan kita berjalan mulus saja seperti berkendara di jalan tol yang bebas hambatan, tak ada gangguan, taka da soal, tak ada tantangan maka kehidupan seperti itu memang tampak menyenangkan. Akan tetapi, benarkah kehidupan yang tanpa gelombang dan ombak layak kita Jalani? Bukankah kehidupan seperti itu malah membosankan karena tak mengenal petualangan?

            Kita bisa menikmati hidup justru karena ada gelombang cobaan yang berhasil kita atasi. Saat kita berhasil mengatasi sebuah masalah, kita merasa plong, lega. Kita merasa diri kita secara kejiwaan makin matang, makin dewasa, makin bijaksana. Jadi, penderitaan, jika disikapi secara positif, membuat pengertian dan pemahaman kita tentang makna hidup lebih dalam.

            Jika engkau tahu makna hidupmu maka artinya engkau makin dekat dengan Tuhanmu. Para sufi mengatakan, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbah. Barang siapa tahu siapa jati dirinya, siapa “The real self” -nya, maka dia telah mengenali Tuhan. Dan itu artinya, siapa yang tahu jati dirinya, tak memahami tujuan hidupnya, ia sama saja tak kenal Tuhan.

            Penderitaan kerap membuat kita makin matang secara kejiwaan; membuat kita makin dekat dengan Tuhan. Jadi, penderitaan adalah uluran tangan dari Tuhan untuk berkenalan dengan Dia. Sambutlah uluran tangan itu dengan penuh suka-cita. Jangan mengeluh dan sedih saat menderita. Itulah jalan menuju kematangan jiwamu. Itulah jalan engkau mengenali sumber hidupmu.

Pengertian Khusus

Penderitaan memang tampak di permukaan seperti cerminan dari sifat keperkasaan Tuhan. Tuhan dengan sifat Jalal atau keagungan dan keperkasaan-Nya, menampakkan diri dalam bentuk kesakitan dan cobaan yang diderita oleh manusia.

Akan tetapi, jika kita hayati lebih dalam, cobaan bukan saja mencerminkan sifat  Jalal Tuhan, tetapi juga sifat Jamal atau keindahan-Nya. Kata Syekh Ibnu ‘Ajibah, cobaan manusia (disebut al-ta’arrufat al-qahriyyah), “Zhahiruha jalal wa bathinuka jamal”. Cobaan kelihatanya menakutkan kita, tetapi sejatinya ia cerminan dari keindahan Tuhan.

Para sufi melihat penderitaan sebagai pengalaman tentang keindahan Tuhan. Saat kita sakit, kita mengalami keindah Tuhan. Saat kita sakit, kita mengalami keindahan Tuhan karena dengan sakit itu kita bisa makin intens dan mendalam hubungan kita dengan Tuhan. Saat kita sakit, hubungan cinta kita dengan Tuhan makin diperkuat.

Karena itu, jangan mengeluh karena sakit, misalnya, telah membuatmu kehilangan kesempatan untuk melaksanakan ibadah fisik. Misalnya, saat sakit kita tak mampu melaksanakan sembahyang atau puasa seperti sedia kala. Jika Anda sakit, jangan merasa ngenes, nelangsa atau sedih karena kehilangan salat dan puasa sebab nilai sakit yang dicobakan Tuhan kepadamu lebih tinggi daripada ibadah fisik.

Bagaimana bisa demikian? Ibnu ‘Atha’illah memberikan penjelasan yang sangat menarik. Saat engkau sakit, Tuhanlah yang Pro-aktif mendekatimu, mengenalmu. Saat engkau beribadah (seperti salat dan puasa), engkaulah yang pro-aktif pe-de-ka-te (istilah anak muda sekarang) terhadap Tuhan.

Mana yang lebih baik? Tuhan yang pro-aktif mendekati kamu, ataukah kamu yang pro-aktif mendekati Tuhan? Tentu yang pertama yang jauh lebih berkualitas. Karena itu, sambutlah penderitaan dengan sikap optimism, kegembiraan, sebab Tuhan sedang mendekatimu, sedang ingin mengenalmu.

Apa Pelajaran yang bis akita ambil dari ajaran Syekh Ibnu ‘Atha’illah ini? Saya terus terang kagum dengan tafsir penderitaan semacam ini. Inilah salah satu keindahan dunia sufi. Dunia sufi mampu memberikan tafsiran yang sangat optimistic terhadap momen-momen yang menyakitkan dalam kehidupan manusia seperti sakit dan kemiskinan. Penderitaan tak harus dikutuk dan disesali. Penderitaan dihayati dan dimaknai sebagai sarana yang mendekatkan kepada Tuhan.

Oleh karena itu, terserah kepada Anda. Anda mau menghayati sakit dengan sikap negative, mengeluh, memprotes, tetapi toh tak mengubah keadaan juga? Ataukah anda mau bersikap yang justru secara radikal berbeda; sakit adalah pengalaman indah yang membuat kita lebih memaknai makna dan tujuan hidup?

Apa yang dapat kita petik?

  1. Mutiara Hikam yang kedelapan ini bis akita sebut sebagai “filosofi penderitaan”. Bagaimana jika kita mendapatkan cobaan berupa penderitaan dalam hidup ini? Semua orang, dalam hidupnya masing-masing tentu pernah mengalami penderitaan, besar atau kecil, ringan atau akut, sebentar atau lama. Tergantung.

Karena penderitaan merupakan fakta hidup yang tak terhindarkan, maka ajaran tentang penderitaan sangat penting. Ajaran tentang penderitaan mengajari kita agar kita menyikapinya dengan tepat dan benar, agar kita tak menderita dua kali. Sekurang-kurangnya, jika kita menyikapi penderitaan secara tepat, kita hanya menderita sekali saja.

2. Apa makna penderitaan? Ibnu ‘Atha’illah mengajarkan; Penderitaan adalah cara Tuhan mau mengenalkan diri (ta’aruf) lebih dekat kepada kita. Penderitaan adalah sarana menuju pendewasaan mental dan spiritual. Sama dengan ujian yang membuat kita naik kelas.

Kehidupan yang mulus-mulus saja, nir-penderitaan (kalau memang ada) Sudah pasti kehidupan yang membosankan dan kosong makna. Karena itu, sambutlah penderitaan dengan perasaan gembira dan sikap yang positif.

            Akan tetapi ini jangan dimaknai bahwa kita lebih baik menderita terus, tanpa berusaha untuk mencari Solusi dan jalan keluar dari sana. Bukan itu yang dimaksudkan. Kita tetap diwajibkan mencari jalan keluar dari penderitaan kita. Jalan keluar itu justru dimudahkan jika kita bersikap positif terhadap sakit yang sedang kita derita.

            Mari kita berdo’a agar kita semua yang sedang dan menderita diringankan, dilekaskan kesembuhannya, dimudahkan jalan ikhtiarnya untuk mencari jalan keluar dari sana, dan diberikan kemampuan menghayati penderitaan sebagai jalan pendewasaan, jalan mengenal Tuhan secara lebih dekat.

Aforisme

“Penderitaan kerap membuat kita makin matang secara kejiwaan: membuat kita makin dekat dengan Tuhan. Jadi, penderitaan adalah uluran tangan dari Tuhan untuk berkenalan dengan Dia”

Referensi Buku: Menjadi Manusia Rohani | Ulil Abshar Abdalla | Meditasi-meditasi Syekh Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Al-Hikam | Hikmah ke-delapan | Cetakan Pertama: Januari 2019 | hlm. 49 s/d 56 |

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Bagaimana Menjadi Sufi di Era Digital?

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ اَظْهاَرَ مِنْ كُلِّ شَيءٍ ؟

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يُحْجَبَهُ شَيءٌ وَهُوَ الَّذِي لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٍ ؟

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ اَقْرَبُ اِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ؟

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَلَوْلَاهُ لَمَا ظَهَرَ وُجُوْدُ كُلِّ شَيْءٍ ؟

Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa huwa azhhara min kulli syai? Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa huwa alladzi laisa ma’ahu syai’? Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa huwa aqrabu ilaika min kulli syai’? Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa laulahu’ lama’zhahara wujudu kulli syai’?

Bagaimana mungkin Dia terhijab dan terhalang oleh sesuatu, sementara Dia lebih terang-benderang dari segala barang? Bagaimana Dia terhijab oleh sesuatu, sementara taka da sesuatu yang lain Bersama Dia? Bagaimana Dia Bisa terhijab oleh sesuatu, sementara Dia lebih dekat kepadamu dari segala wujud yang ada? Bagaimana Dia bisa terhijab, sementara Dia adalah Dia Yang tanpa-Nya, segala sesuatu gelap, tak Nampak?

Renungan Syekh Ibnu ‘Atha’illah ini masih berkaitan dengan renungan-renungan sebelumnya. Ia masih berbicara tentang Kebenaran (dengan K besar) yang tak mungkin dihijab dan dihalang-halangi oleh segala sesuatu jika Dia menghendaki diri-Nya untuk menampakkan diri kepada kita. Kita bisa memahami kebijaksanaan Syekh Ibnu ‘Athai’illah ini dengan dua pengertian: Pengertian umum dan khusus.

Pengertian Umum

Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya, Kebenaran adalah Bagai Cahaya yang begitu terang yang tak mungkin ditutup oleh apapun. Pada momen Ketika kemunculan Cahaya kebenaran, “Moment of truth” sudah tiba, tak ada siapapun yang bisa menghalanginya.

Banyak skandar besar dalam Sejarah yang semula terpendam dan terkubur, tetapi pelan-pelan kemudian muncul ke permukaan. Alam bekerja dengan cara yang misterius. Manusia kerap mencoba untuk menyembunyikan kebenaran, tetapi makar dan usahanya itu kerap kali “muspra” (sia-sia). Sebab, cepat atau lambat, kebenaran akan muncul ke permukaan.

Ini mengingatkan kita pada kisah Yusuf dan isteri Potifar, seorang pegawai pada Kerajaan Firaun, Sebagaimana kita baca dalam surah Yusuf di Al-Qur’an, isteri Potifar (konon Namanya Zulekha) pernah menggoda Yusuf untuk melakukan Tindakan percabulan. Yusuf menolak dan hendak lari dari hadapannya.

Zulekha menarik baju Yusuf dari arah belakang dan robek. Lalu Potifar atau Zulekha masuk rumah dan mendapati situasi yang mencurigakan itu. Zulekha mengadu kepada suaminya bahwa Yusuf hendak menggodanya. Yusuf kemudian dipenjara dengan tuduhan hendak mencabuli isteri seorang Kerajaan.

Tentu saja, Zulekha menyampaikan versi yang bohong tentang peristiwa skandal itu. Semula banyak mempercayai versinya. Namun, pelan-pelan, kebenaran terungkap, dan akhirnya Zulekha mengaku bersalah. Dia membuat pengakuan: Dia memang jatuh cinta kepada Yusuf dan yang terakhir ini menolak.

Pengakuan Zulekha inilah yang disebut Moment of truth. Kebenaran, jika sudah matang, akan mlethek. (pecah dengan sendirinya) seperti sebuah bisul. Dia tak bisa dihalang-halanginya.

Pengertian Khusus

Seseorang, jika masih dalam keadaan terhijab, terhalang, sehingga tak bisa melihat dan menjumpai Tuhan, dia mempunyai sangkaan dan asumsi bahwa wujud dirinya sebagai makhluk/manusia adalah wujud yang “dharuri”, wujud yang niscaya, wujud yang riil dan nyata. Dia menganggap bahwa dirinya adalah “the real being”. Pada saat yang sama dia juga beranggapan bahwa wujud Tuhan adalah wujud yang semu, wujud yang “nazhariy”, teoretis, konseptual.

Akan tetapi jika seorang hamba pelan-pelan dan secara konsisten melakukan perjalanan dan meningkatkan maqamnya lebih tinggi, yaitu maqam memahami Kebenaran ketuhanan, dan lebur di dalamnya, dia akan mengalami situasi spiritual dan eksistensial yang sama sekali berbeda, Dia akan menganggap bahwa yang konseptual dan teoretis adalah wujudnya sendiri. Sementara yang ada secara “dharuri”, secara sungguh-sungguh, adalah Tuhan.

Orang yang mencapai tahap ma’rifat akan memahami bahwa Tuhan adalah wujud yang lebih terang dari wujud apapun, bahwa Tuhan adalah wujud satu-satunya. Sementara itu, yang lain adalah wujud yang semu; bahwa Tuhan adalah wujud yang jauh lebih dekat kepada manusia ketimbang wujud apa pun; bahwa Tuhan adalah “kekuatan” yang membuat segala sesuatu bisa tampak ada ke permukaan.

Apa yang bisa kita pelajari dari kebijaksanaan Syekh Ibnu ‘Atha’illah ini?

Bagi Sebagian orang, mungkin renungan Ibnu ‘Atha’illah ini adalah renungan “elitis” yang hanya relevan bagi orang-orang “khawwash”, orang-orang sufi yang telah mencapai tahap spiritual yang tertinggi. Pandangan semacam ini, menurut saya, keliru.

Kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah ini relevan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita telah mengetahui kebenaran, mengerti duduk soal segala masalah, memahami versi yang sebenarnya dari sebuah informasi, kita tak akan terombang-ambing oleh rumor, sas-sus, berita-berita yang simpang siur.

Betapa relevannya kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah di era digital sekarang, di era dimana ribuan informasi yang kerap simpang siur memborbardir kita setiap detik. Kita sering dibuat bingung, sebab informasi datang dengan semacam “framing” atau kerangka tertentu yang berbeda-beda. Kesimpang-siuran ini adalah symbol dari dunia maya yang memiliki wajah yang bermacam-macam. Mirip dengan Rahwana yang multi-wajah. Kita dibuat bingung olehnya.

Tugas kita sebagai manusia yang berfikir dan beriman adalah menapis informasi itu sehingga kita bisa mengetahui duduk masalah yang sebenar-benarnya, tidak diombang-ambingkan ikeh rumor dan opini yang saling tabrakan.

Mencari kejelasan di Tengah-tengah kebingungan ini adalah sama dengan seorang sufi yang mencari kebenaran di Tengah-tengah realitas maya, yang sering berubah-ubah seperti partikel neutrino yang kemarin sempat menjadi pembicaraan luas karna hadiah Nobel Fisika 2015 yang diberikan kepada dua ilmuwan yang meneliti partikel super-mini ini.

Anda harus menjadi ”sufi” di Tengah-tengah ledakan informasi yang kerap menipu ini. Kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah ini adalah semacam kiat bagaimana menjadi “sufi” ditengah-tengah era digital.

Aforisme

“Seseorang jika masih dalam keadaan terhijab, terhalang, sehingga tak bisa melihat menjumpai Tuhan. Dia mempunyai sangkaan dan asumsi bahwa wujud dirinya sebagai makhluk/manusia adalah wujud yang “dharuri”, Wujud yang niscaya, wujud yang riil dan nyata. Dia menganggap bahwa dirinya adalah  the real being.”

Referensi Buku: Menjadi Manusia Rohani | Ulil Abshar Abdalla | Cetakan pertama: Januari 2019 | meditasi-meditasi Ibnu ‘Atha’illah dalam Kitab Al-Hikam | Hikmah dua puluh satu | Halaman (131 s/d 136).

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Kisah Imam Ghazali Berguru kepada Tukang Sol Sepatu

Imam Al-Ghazali (450 – 505 H) merupakan seorang ulama terkemuka yang bergelar Hujjatul Islam, dengan pemikiran yang hingga kini masih terus dikaji dan diikuti oleh umat Islam.   Siapa sangka, di balik kapasitas keilmuannya yang luar biasa, Imam Ghazali tetap bersedia belajar dari seorang tukang sol sepatu. Belakangan diketahui bahwa tukang sol sepatu tersebut adalah seorang ahli ma’rifat yang menyembunyikan keilmuannya di balik profesinya. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Maraqil Ubudiyah syarah Bidayatul Hidayah (Jakarta, Darul Kutubil Islamiyah, 2010: 161-162) mengisahkan bahwa perjumpaan Imam Ghazali dengan tukang sol sepatu ini berawal dari saudaranya yang bernama Ahmad. Imam Ghazali sering menjadi imam shalat berjamaah di sebuah masjid dekat rumahnya. Namun, saudaranya yang bernama Ahmad tidak pernah terlihat menjadi makmum di masjid tersebut. Suatu hari, Imam Ghazali mengadukan hal ini kepada ibunya. “Ibu, tolong suruh saudaraku, Ahmad, untuk shalat berjamaah bersamaku supaya orang-orang tidak menuduh macam-macam,” ujar Al-Ghazali pada ibunya. Setelah mendapat perintah sang ibu, Ahmad pun menurutinya dan menjadi makmum saat Al-Ghazali menjadi imam shalat di masjid. Beberapa saat kemudian, Ahmad melakukan mufaraqah (berpisah dengan imam) karena melihat darah dalam diri Al-Ghazali. Usai shalat, Al- Ghazali pun mengetahui Ahmad melakukan mufaraqah dan menanyakan alasannya. “Aku melihat kamu dipenuhi dengan darah,” jawab Ahmad Imam Ghazali pun mengakui bahwa saat shalat, ia tidak bisa khusyuk karena pikirannya terganggu dengan masalah darah haid, tepatnya pada persoalan mutahayyirah, yaitu wanita yang sudah pernah mengalami haid dan suci darinya, kemudian mengalami pendarahan kembali. “Dari mana kamu belajar ilmu ini?” tanya Al-Ghazali penasaran. “Aku mempelajarinya dari syekh yang berprofesi sebagai tukang sol sepatu,” jawab Ahmad. Tidak menunggu lama, setelah mengetahui sosok dan alamatnya, Imam Ghazali pun segera berangkat untuk menemui dan belajar kepada syekh yang dimaksud. “Wahai tuanku, aku ingin belajar ilmu kepadamu,” ucap Al-Ghazali usai bertemu dan menyampaikan salam.  “Sepertinya kamu tidak akan sanggup untuk taat pada perintahku,” jawab syekh meragukan keseriusan Imam Ghazali. “Insyaallah aku sanggup,” jawab Imam Ghazali meyakinkan syekh. “Kalau begitu, sekarang coba kamu sapu lantai ini,” ujar syekh pada Al-Ghazali. Ketika Al-Ghazali hendak mengambil sapu, syekh kemudian menyuruh agar lantai itu tidak dibersihkan dengan sapu melainkan dengan tangan. Al-Ghazali pun melakukannya, menyapu lantai tersebut dengan tangannya. Setelah lulus dari ujian pertama, syekh kemudian menguji kembali Al-Ghazali, yaitu memerintahkannya untuk membersihkan kotoran yang ada di sekitarnya. “Sapulah kotoran itu,” perintah syekh. Ketika Al-Ghazali hendak melepas pakaiannya, syekh kemudian memerintahkan agar kotoran itu dibersihkan dengan pakaian itu. “Bersihkan lantai itu dengan baju yang kamu pakai,” perintah syekh. Saat Al-Ghazali hendak membersihkan kotoran tersebut dengan pakaiannya, syekh kemudian mencegahnya karena telah melihat keikhlasan dalam diri muridnya itu.  Selanjutnya, syekh tersebut memerintahkan Al-Ghazali untuk pulang. Setelah kembali dan tiba di madrasahnya, Imam Ghazali merasakan hatinya terbuka dan mendapatkan ilmu yang luar biasa dari Allah melalui wasilah pertemuan tersebut. Perjalanan hidup Imam Ghazali ini mengajarkan pentingnya seorang muslim untuk tidak pernah berhenti belajar. Meski telah bergelar syekh, semangat Imam Ghazali dalam mencari ilmu tidak pernah padam. Selanjutnya, seorang muslim juga perlu memiliki guru spiritual yang dapat membimbing, mengarahkan, serta memperbaiki hati. Dalam dunia tasawuf, hati memiliki peran penting dalam kehidupan manusia karena menjadi pusat dan penentu kualitas spiritual seseorang. Selain itu, kisah ini juga memberikan gambaran sekaligus tantangan bagi para guru agar bisa meningkatkan dimensi batin. Ketika hal tersebut tercapai, murid-murid berkualitas akan lahir dari hasil didikannya yang baik.   Di sisi lain, marak terjadi hubungan tidak wajar antara guru dan murid yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk memenuhi syahwatnya dengan dalih mencari ridha guru. Hal ini mungkin terjadi karena adanya kekosongan spiritual dalam diri guru tersebut, sehingga syahwatnya menjadi tidak terkendali. Wallahu a‘lam