Lebih Utama Menjadi Orang Kaya Bersyukur atau Miskin Bersabar?

Umat Islam tampaknya terbagi kepada dua bagian dalam memandang sosok Nabi Muhammad saw dari segi kondisi finansialnya. Ada yang memandang Nabi saw merupakan orang yang miskin, hingga tak ayal apabila beliau berdoa, “Ya Allah hidupkan aku dalam keadaan miskin, wafatkan aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama-sama orang-orang miskin.” Secara literal, doa Nabi saw di atas memang seolah meminta kemiskinan di dunia dan di akhirat, akan tetapi apabila kita melihat penjelasan para ulama, makna miskin tersebut adalah tawadhu atau rendah hati, bukan miskin harta.   Kemudian di sisi lain, sebagian umat Islam memandang Nabi saw bukan sebagai orang miskin, sebab beberapa sabdanya mendorong kaum muslimin untuk bekerja dan menghindari kefakiran. Kefakiran dianggap sebagai jalan menuju pegadaian iman dikarenakan kondisi yang memaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Mayoritas teks-teks hadits secara sekilas memang secara literal lebih dominan menganjurkan orang menjadi menjadi fakir. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:   يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ 

  Artinya, “Orang-orang beriman yang fakir kelak akan masuk surga terlebih dahulu setengah hari yang setara 500 tahun lamanya daripada orang kaya.” (HR Ibnu Majah).   Setelah membaca hadits di atas, barangkali sebagian di antara kita merasa aneh mengapa Islam menganjurkan umatnya menjadi miskin sekaligus menakut-nakuti untuk menjadi kaya. Tentunya kita harus membaca penjelasan para ulama mengapa Rasulullah saw mengatakan demikian.  An-Nawawi menyebut alasannya karena orang-orang miskin bahkan tidak mampu untuk melakukan kemaksiatan sebesar dan separah orang-orang kaya. Orang kaya apabila ingin bermaksiat maka dengan mudah mendapatkan fasilitas untuk kemaksiatan yang akan dilakukan. (An-Nawawi, Fatawal Imam An-Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018 M], halaman 63).   Namun apabila melihat penjelasan an-Nawawi di atas, apakah benar fakta di tengah masyarakat kita saat ini bahwa orang-orang miskin lebih terjaga dari perbuatan maksiat dibanding orang-orang kaya? Tentunya perlu penelitian lapangan yang akurat terkait pertanyaan ini.   Narasi antara anjuran menjadi kaya atau menjadi miskin dalam hadits perlu penjelasan yang proporsional. Jangan sampai ajaran agama membawa kepada kemiskinan dan memperburuk kondisi finansial karena mendapat legitimasi untuk tidak memperbaiki kualitas ekonomi. Nabi saw secara proporsional pernah bersabda:   عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يدعو بهذه الكلمات: اللهم إني أعوذ بك من فتنة النار، وعذاب النار، ومن شر الغنى والفقر. (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه

  Artinya, “Dari Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw pernah berdoa dengan ungkapan ini, ‘Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka juga dari fitnah kekayaan dan kefakiran’.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).   Dalam hadits di atas secara jelas Rasulullah saw memohon perlindungan dari keburukan yang ada pada kedua kondisi finansial, baik kaya maupun miskin. Artinya, kedua kondisi finansial tersebut sama-sama memiliki sisi baik dan sisi buruk. Persoalannya terletak pada karakter individu yang mengalami kondisi tersebut.   Menurut Al-Munawi, maksud berlindung dari ‘fitnah’ kekayaan adalah kesombongan, kelalaian, pamer, dan menggunakan harta dalam kemaksiatan. Adapun berlindung dari ‘fitnah’ kemiskinan adalah iri kepada orang kaya, tamak terhadap harta mereka, dan merendahkan diri di hadapan orang-orang kaya dengan cara mengotori kehormatan serta menyerahkan keimanan. Perilaku seperti ini juga menjadi penyebab ketidakpuasan atas takdir yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya, sehingga hidup isinya hanya keluhan-keluhan saja, sebagaimana disebut oleh Al-Baidhawi. Kemudian ath-Thibi menegaskan juga sebagaimana dikutip al-Munawi, bahwa fitnah dalam doa Nabi saw di atas artinya adalah ujian. Kondisi kaya maupun miskin menjadi ujian, apakah orang kaya dapat bersyukur dengan hartanya, dan si miskin dapat bersabar dengan kefakirannya. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415], jilid II, hal. 161).  Dengan demikian, baik kekayaan maupun kemiskinan, keduanya memiliki sisi baik dan sisi buruk. Semuanya kembali kepada masing-masing individu. Apabila seseorang menjadi pribadi yang baik dan bertakwa, maka baik kaya maupun miskin tidak menjadi masalah yang cukup serius selama tidak merugikan dan membebani orang lain.   Kaya bersyukur atau miskin bersabar? Sub judul ini bersumber dari judul sub-bab kitab al-Fatawal Haditsiyyah karya Ibnu Hajar al-Haitami. Dalam karyanya, secara spesifik terdapat seseorang yang bertanya, mana yang lebih baik antara orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar? Ibnu Hajar al-Haitami menjawab:   وقد استدل ابن عبد السلام على تفضيل الغني الشاكر على الفقير الصابر بأن الله تعالى لا يختار لنبيه إلا الأفضل، وأفضل أحواله صلى الله عليه وسلم الحالة التي توفاه الله عليها وكانت تلك الحالة على غاية من غناه صلى الله عليه وسلم 

  Artinya, “Ibnu Abdus Salam berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih utama daripada orang miskin yang bersabar dengan landasan bahwa Allah Ta’ala tidak memilihkan kondisi bagi nabi-Nya kecuali yang terbaik. Kondisi terbaik bagi Nabi saw adalah kondisi di masa-masa akhir yang ditetapkan oleh Allah, yaitu puncak kekayaan.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, [Libanon: Darul Ma’rifah, t.t.], hal. 91).   Puncak kekayaan Nabi saw pada hadits tersebut memang tidak sebagaimana kehidupan glamour bak raja yang memiliki singgasana megah dengan limpahan berlian dan permata di dalamnya. Kaya bagi Nabi saw dapat dimaknai dengan kecukupan harta yang membuat seseorang terhindar dari meminta-minta dan membebani orang lain.   Harta yang cukup akhirnya dapat disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya seperti anak dan istri. Dengan harta tersebut ia juga dapat menyalurkan hartanya kepada ibadah-ibadah sosial seperti bersedekah dan mendermakan hartanya kepada orang yang membutuhkan.   Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawal Haditsiyyah juga mengutip nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya, secara substansial nasihat tersebut berkaitan dengan motivasi untuk bekerja mencari nafkah yang halal untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Luqman berkata:

  استغن بالكسب الحلال عن الفقر فإن ما افتقر أحد قط إلا أصابه ثلاث خصال: رقة في دينه وذهاب في عقله وذهاب مروءته، وأعظم من هذه الثلاث: استخفاف الناس به  

Artinya, “Cukupkan dirimu dengan usaha yang halal untuk menghindar dari kemiskinan, karena tidak ada seorangpun yang menjadi miskin kecuali ia akan mengalami tiga hal: kelemahan dalam agamanya, hilangnya akal, dan hilangnya harga dirinya. Dan yang lebih besar dari ketiga hal tersebut adalah direndahkan oleh orang-orang.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, hal. 91).   Konon, beberapa tabi’in pernah ditanya mana yang lebih baik, pengusaha yang jujur atau orang yang hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah?   Para tabi’in menjawab, “Pengusaha yang jujur lebih disukai karena secara tidak langsung mereka sebenarnya sedang jihad. Setan yang datang kepadanya menyerang melalui godaan untuk mencurangi timbangan dan takaran, dan si pengusaha melawannya dengan tidak menuruti godaan yang mengajak pada sesuatu yang haram.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, hal. 91).   Selanjutnya, pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik dari orang miskin yang penyabar tidak didasarkan pada asumsi belaka. Faktanya, ada hadits yang dinilai oleh para ulama memiliki nilai-nilai motivasi agar menjadi orang kaya supaya dapat bersyukur dan menyalurkan hartanya kepada kebaikan. Hadits tersebut tercatat dalam Shahih al-Bukhari, yaitu:

  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنْ الْأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَا وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا وَيَعْتَمِرُونَ وَيُجَاهِدُونَ وَيَتَصَدَّقُونَ ..

  Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Pernah datang para fuqara kepada Nabi saw seraya berkata, ‘Orang-orang kaya, dengan harta benda mereka itu, mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi, juga kenikmatan yang abadi. Karena mereka melaksanakan shalat seperti juga kami melaksanakan shalat. Mereka puasa sebagaimana kami juga berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan disebabkan harta mereka, sehingga mereka dapat menunaikan ibadah haji dengan harta tersebut, juga dapat melaksanakan umrah bahkan dapat berjihad dan bersedekah…’.” (HR Al-Bukhari)   Berdasarkan hadits ini, Ibnu Daqiq al-‘Id berpendapat bahwa orang kaya tentu lebih utama karena selain dapat melaksanakan ibadah-ibadah individual, mereka juga dapat menambah pahala dan berupaya mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ibadah sosial. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid XI, hal. 275).   Lebih lanjut lagi, Ibnu Daqiq memberikan paparan yang spesifik bahwa baik-buruknya kepemilikan harta tergantung bagaimana pemakaiannya. Boleh jadi si pemilik menggunakannya untuk taat kepada Allah, atau mungkin juga dalam kemaksiatan. Ia berkata:  

فكم من غني لم يشغله غناه عن الله، وكم من فقير شغله فقره عن الله.

  Artinya, “Berapa banyak orang kaya, yang kekayaannya tidak menghalangi mereka dari Allah, dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya justru menghalangi mereka dari Allah.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, jilid XI, hal. 275).   Alhasil, orang kaya atau miskin tergantung kepada diri pribadi masing-masing. Namun demikian, menjadi orang kaya yang bersyukur dan mendayagunakan hartanya untuk beribadah kepada Allah dinilai lebih utama dari orang miskin yang dengan kemiskinannya malah menghalangi ibadah kepada-Nya.   Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi umat Islam untuk lebih giat mencari kekayaan yang halal. Semakin besar harta yang dimiliki, semakin tinggi kemampuan untuk melaksanakan ibadah sosial yang manfaatnya tidak terbatas kepada diri sendiri saja. Wallahu a’lam.

Editor: Nawal amiroh n

Cerminan Pemimpin: Bukan Dendam Kekuasaan

Dalam kaitannya dengan kekuasaan dan kekayaan duniawi, seorang ulama bijak memberi nasihat bahwa ada fase-fase godaan ketika manusia melakukan amal perbuatan. Pertama, godaan hendak memimpin ketika dirinya benar-benar didukung rakyat dan seluruh komponen masyarakat. Artinya, apakah sang pemimpin sudah meluruskan niatnya dalam beramal. Bahwa ia akan memimpin dengan cara-cara yang fair dan jujur, ingin menolong dan memberdayakan umat, sebagai tugas pemimpin selaku khalifah di muka bumi? Kedua, kesanggupan untuk istiqomah dalam posisi dan tugas memimpin. Apakah ia akan lanjut secara konsisten, di tengah badai prahara dan kecamuk problem permasalahan umat. Terutama ketika ia menghadapi cobaan dicaci-maki karena kinerja yang dianggap kurang adil oleh sebagian komponen masyarakat, sementara tiap-tiap negara dan bangsa pasti akan menghadapi cobaan-cobaan yang disodorkan Tuhan kepada mereka, dalam ruang dan waktu permasalahan yang berbeda pula. Ketiga, ketika dia lengser atau turun jabatan, apakah disertai dengan keikhlasan, sehingga Allah ridho kepadanya. Ataukah, sang pemimpin masih berambisi untuk mendendam kepada pihak tertentu, bahkan terus terobsesi untuk menunjukkan dirinya orang baik dan kredibel di hadapan umat? Seorang calon presiden yang menyadari kekhilafannya akan senantiasa mengakui bahwa penguasa di era modern hingga post-modern ini tak lebih dari pejabat-pejabat publik yang “mencalonkan diri” selaku pemimpin umat. Sementara tidak ada konsep “mencalonkan” dalam tradisi kepemimpinan Islam. “Sekarang saya mengerti kata-kata hikmah, bahwa ketika saya gagal, berarti Allah sedang melindungi dan menyelamatkan saya. Tetapi, jika saya sukses, hal itu semata-mata Allah sedang mengizinkan saya.” Begitulah kira-kira perkataan cerminan untuk individu pemimpin. Itu artinya, kemenangan dalam politik kekuasaan, hanyalah fase awal dari suatu perjalanan panjang, yang nantinya beban itu akan terasa berat dipikulkan di pundaknya, lantaran ia telah meminta dan menuntut dirinya, seakan telah “memaksa” Tuhan agar mengabulkan permintaannya. Sama halnya dengan bocah yang masih duduk di bangku SD, meminta dengan segala cara agar orang tuanya membelikan sepeda motor, bahkan jikapun orang tuanya tak memberinya, ia akan terus mendesak sampai berani mencuri uang orang tuanya agar terpenuhi kehendak dan keinginannya (meskipun bukan kebutuhan primernya). Mari kita bahas kata-kata hikmah di atas secara lebih mendalam, bahwa hakikatnya kekuasaan duniawi yang hanya terhitung dalam tempo lima atau sepuluh tahun, tidak berarti apa-apa dalam manajemen perhitungan Tuhan. Bahkan, jikapun seorang penguasa berbohong selama puluhan tahun. Misalnya, seseorang naik ke tahta kekuasaan dengan trik-trik dan berbagai siasat, ia merasa dirinya berhak membohongi masyarakat, karena ia merasa khawatir dibohongi lebih dulu di zaman yang (menurutnya) serba edan ini. Hal itu mengindikasikan, sejak ia mengawali kekuasaannya, memang sudah berangkat dengan konsep pemikiran yang salah yang menyimpang. Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang cerdas dan mulia, bahwa ia tetap tegar menghadapi bertubi-tubi cobaan dan permasalahan. Ia terlahir sebagai anak yatim di tengah prahara budaya dan tradisi Jahiliyah yang penuh pertikaian suku dan kabilah. Ia pernah dicaci-maki bahkan dilempari anak-anak muda karena dianggap gagal dalam mendidik umat (di daerah Thaif). Berkali-kali ia ditinggal mati orang-orang yang dicintai dan mencintainya, dari ibunya sendiri, kakek dan paman yang mengasuhnya, istri dan anak-anak yang sangat dicintainya. Barangkali dalam logika absurditas, nasib hidup yang nelangsa semacam itu, setidaknya ia bisa menjadi anak jalanan, atau gelandangan yang terseok-seok diperdagangkan di pasar-pasar budak. Ketika para kepala suku dan kabilah sibuk menunjukkan taring kekuasaannya, hingga saling memperebutkan posisinya, bahwa kelompok merekalah yang paling berhak memindahkan Hajar Aswad setelah pemugaran Ka’bah, justru Nabi Muhammad muda tak terpengaruh dengan kesibukan mereka yang saling menonjolkan diri di depan publik. Saat itu, Nabi Muhammad hanya membentangkan sorban, dan silakan saja para kepala kabilah memegang ujung-ujung sorban, lalu meletakkan batu hitam yang dianggap sakti dan keramat itu. Dari kacamata rohani dan spiritualitas Nabi Muhammad, pengaruh dan kekuasaan duniawi tak layak diperebutkan, meskipun tidak sedikit orang-orang di zamannya, betapa mereka saling sikut kiri dan kanan, hanya semata memperebutkan posisi jabatan dan kedudukan, yang kewenangan dan hak sepenuhnya berada di tangan Allah semata. Sesungguhnya, pemberian Tuhan yang bersifat istidraj, hanyalah mementingkan kegembiraan dan kesenangan sesaat yang bersifat nisbi dan semu belaka. Sedangkan, yang layak diperjuangkan adalah kebahagiaan sejati yang berpangkal dari anugerah yang bukan semata mendapat izin Allah melainkan juga ridho dari-Nya. Itu hanya mungkin diraih oleh orang-orang yang ikhlas dalam beramal, karena telah mengawali perbuatannya dengan niat-niat baik dan jujur, lalu ia terus istiqomah dalam menjalankan tugasnya, sampai kemudian berakhir dengan husnul khatimah. Pemberian kekuasaan yang berupa istidraj, boleh saja dipegang para penguasa negeri selama beberapa dinasti, bahkan hingga 309 tahun sekalipun. Tapi bagi orang-orang yang kualitas kesalehannya teruji, waktu sepanjang itu tak lebih dari sekali tidur dan terlelap di dalam gua, seperti yang pernah dialami para pemuda kekasih Allah (ashabul kahfi). Jadi, para politisi dan penguasa bisa saja bersiasat secanggih apapun, serta melakukan makar dengan segala dusta dan kefasikan, namun ketika mata-hatinya telah ditutup oleh Allah, maka tertutuplah ia dari jalan hidayah yang memungkinkan ia dapat terlindungi dan terselamatkan. Lalu, siapa lagi yang akan dia harapkan, jika Allah sudah berpaling darinya? Apakah ia akan meminta pertolongan dari orang-orang kaya dan berpengaruh, padahal mereka yang dimintai pertolongan itu pun sedang kewalahan mencari jalan untuk mendapat perlindungan dan keselamatan dari Allah? Mungkinkah orang-orang sakit yang kesibukannya hanya mementingkan kegembiraan dan kesenangan sekejap mata itu, dapat memberi pertolongan? Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah tak akan memberi petunjuk dan hidayah bagi orang-orang yang fasik dan zalim. Di sini tak berlaku lagi garis dikotomi antara pemimpin berlabel agamis, sosialis, humanis ataukah nasionalis. Walaupun pemimpin itu mengawali kekuasaannya dengan mendendam pada kemiskinannya di masa lalu, atau pernah menjadi pesakitan yang terkorbankan oleh penguasa-penguasa sebelumnya, tetap jalan “mendendam” karena penderitaan masa lalu, tak bisa dibenarkan dalam logika ketuhanan. Bahkan, jikapun dendam itu berdasarkan kepentingan agama tertentu, atau berdasarkan mazhab tertentu. Sebab, di dalam iman yang dewasa akan saling terhubung meskipun manusia berbeda agama. Tetapi, dalam iman kepada thagut (syirik), orang-orang akan sulit saling terkoneksi, meskipun dalam satu agama. Jadi, pemimpin bijak dan adil itu sudah selesai dengan masa lalunya, juga selesai dengan ego-ego pribadinya. Apakah dulunya ia anak seorang raja yang makmur secara ekonomi, ataukah anak seorang sudra (kuli), hal tersebut tak boleh menjadi acuan yang membuatnya harus membalas-dendam atas masa lalunya. Seorang pahlawan pembela tanah air, yang berjiwa ksatria, serta berhasil mengadakan perlawanan atas pendudukan kaum penjajah, pada akhirnya juga mesti bersikap rendah hati, bahwa hakikat kemerdekaan terwujud berkat rahmat dan kasih sayang Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Allah berhak melanggengkan kemerdekaan itu bagi suatu bangsa, juga berhak mencabut anugerah kemerdekaan itu kembali, terlepas apakah para penjajahnya adalah dari ras dan suku yang sama. “Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang punya kemauan untuk mengubah dirinya sendiri. Jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, tak ada yang bisa menolaknya, serta tak ada yang menjadi pelindung kecuali hanya Allah semata,” demikian termaktub jelas dalam surat ar-Ra’d, ayat 11. Alkisah, di masa kepemimpinan Umar bin Khattab, seorang sahabat Nabi, Said bin Amir, sebenarnya tak pernah bercita-cita menjadi seorang pejabat tinggi di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Tiba-tiba, Umar selaku sahabat lamanya, menunjuk Said bin Amir agar menjabat Gubernur di wilayah Damsyik (Damaskus). “Tolong jangan bebani saya dengan tugas seberat ini, wahai Umar,” demikian Said bin Amir menyatakan penolakannya kepada Khalifah Umar. “Sahabatku, Said bin Amir,” balas Umar, “sekarang saya sudah dilantik sebagai Khalifah, karena pilihan kalian. Lalu, kenapa Anda menolak ketika saya punya kewenangan untuk menunjuk orang yang saya pilih?” Baca Juga Kriteria Pemimpin yang Baik Menurut Nabi Said bin Amir memang kurang dikenal di kalangan para sahabat Nabi. Ia seorang yang introvert dan kurang percaya-diri. Namun, Umar mengenal kapasitasnya selaku sahabat dan pengikut jejak perjuangan Nabi, meski karakteristiknya cenderung pasif dan tak suka menonjolkan diri. Umar menilai Said bin Amir sebagai sahabat yang zuhud, tetapi ia memiliki jiwa leadership yang tangguh. Damaskus kala itu termasuk salah satu wilayah yang tergolong makmur dengan pesatnya kemajuan di bidang perdagangan dan jasa. Tetapi, Said bin Amir menolak tunjangan dan fasilitas mewah yang disediakan negara, pada saat ia menjabar Gubernur. Ia juga menolak tunjangan khusus bagi keluarga Gubernur maupun saudara kerabatnya. Ia ingin mendidik istri dan anak-anaknya agar bersikap santun kepada para fakir-miskin, serta mengajarkan orang-orang terdekatnya agar hidup bersahaja. Bagi Said bin Amir, kenikmatan dan kemegahan dunia ini hanyalah sekejap mata, dan merupakan kesenangan yang menipu. Tak ada kenikmatan dalam kefanaan, tetapi kebahagiaan dan kenikmatan abadi justru di negeri akhirat kelak. Sungguh, alangkah bodoh dan dungu, jika seorang penguasa memilih jalan dendam, kemudian tidak ada keberanian untuk berusaha menolak menipu rakyatnya.

Sumber: https://www.nu.or.id

Editor: Alima sri sutami mukti

Misteri Hidayah Alloh

Terbukti betapa banyak ulama, khususnya dari Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijebloskan ke pengapnya penjara tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Seperti yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali.

Saat itu, Mu’tazilah memaksakan doktrinnya yang menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah makhluk karena itu bersifat baru (hadith), sementara Imam Hanbali berpendapat sebaliknya, bahwa al-Qur’an bersifat qadim (dahulu tanpa diawali ketiadaan) karena Ia merupakan kalamullah (firman Allah).

Syekh Abdullah al-Harari (1910 M.) yang masyhur dengan julukan “al-Habshi”, menulis dalam salah satu karyanya al-Gharat al-Imaniyyah fi Radd Mafasid al-Tahririyyah yang membantah pendapat Imam Taqiyyuddin al-Nabhani (L. 1327 H./1909 M.), pendiri Hizbut Tahrir dalam karyanya al-Shahsiyyah al-Islamiyyah yang menyatakan bahwa semua perbuatan manusia (af’al al-insan) tidak ditentukan kepastian Tuhan (qadla’) dan kepastian Tuhan tidak dapat menjangkau perbuatan manusia karena dengan kemampuan manusia itulah semua perbuatannya bisa dilakukan dengan kehendaknya dan pilihan rasionalnya.

Lebih lanjut al-Nabhani mengkaitkan ”pahala” (al-mathubah) dan ”siksaan” (al-’uqubah) berdasar petunjuk (al-hidayah) dan penyesatan (al-dlalal) Tuhan  mengindikasikan bahwa suatu perbuatan manusia itu dari murni manusia itu sendiri, bukan dari Tuhan. Inilah yang dibantah oleh Syekh Abdullah al-Harari dan seluruh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahwa pandangan al-Nabhani di atas bertentangan (mukhalif) dengan nash al-Qur’an dan Hadis yang sarih (jelas teks dan maknanya).

Di antara firman Allah dalam QS al-Furqan (25): 2, tepatnya di bagian akhir ayat ini, dinyatakan bahwa ”Allah swt menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat”. Demikian pula dalam QS al-Saffat (37): 96, yang maknanya ”Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. Juga kejelasan makna firman Allah yang langsung bisa didapatkan dari redaksi teks (’ibarat al-nass) QS. al-Qamar (54): 49, yaitu ”Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”.

Al-Harari selanjutnya mengajukan argumen, yakni ”sesuatu” di sini mencakup segala sesuatu yang ada (al-wujud) mencakup hal-hal yang bersifat fisik (al-ajsam), gerak-gerik manusia (harakat al-’ibad), dan diamnya (sukun). Pun demikian dengan perbuatan manusia sehari-hari (ikhtiyari) seperti makan, minum, dan kegiatan lainnya, juga perbuatan yang tidak dapat dihindari (idltirari), seperti sakit, terkena musibah, dan mati.

Perbuatan ikhtiyari manusia dari segi kuantitas tentu jauh lebih banyak daripada yang non-ikhtiyari (idltirari). Oleh karena itu, mengatakan bahwa eksistensi ciptaan manusia dalam wujud perbuatan manusia sehari-hari itu lebih banyak kuantitasnya daripada ciptaan Allah merupakan pernyataan yang keliru dan menyesatkan.

Demikian pula pandangan al-Nabhani di atas bertentangan dengan sejumlah Hadis sarih dan sahih yang dikutip al-Harari, di antaranya hadis riwayat Imam Muslim dan Imam Baihaqi yang artinya bahwa segala sesuatu telah ditentukan takdirnya sampai sifat malas (al-’ajz) dan potensi cerdas (al-kays).

Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Hudzaifah menyebutkan suatu Hadis, yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah swt adalah Dzat Yang Maha Mencipta sesuatu yang mengkreasi dan hasil kreasinya.” Imam Turmudzi juga meriwayatkan Hadis sahih dalam kitab Sunan-nya yang menyatakan ”ada 6 (enam) orang di mana Allah swt dan aku (Nabi Muhammad saw), juga setiap Nabi yang mesti diterima (mujab) doanya melaknat orang yang menambah-nambahkan (merubah) al-Qur’an, orang yang mendustakan takdir Allah.”

Dari sini menjadi jelas bahwa pada dasarnya perbuatan manusia (sengaja hanya dibahas global) dan urusan hidayah adalah murni ciptaan Allah sebagaimana yang ditegaskan dalam QS al-Qasas (28): 56 yang menyatakan, ”Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.

Untuk mendukung uraian di atas, Imam Ahmad Shihab al-Din bin Salamah al-Qalyubi dalam karyanya ”al-Nawadir” (halaman 17) pada hikayah ke-25 menceritakan betapa sekelompok pencuri (al-lusus) yang sudah merajai sejumlah wilayah pada akhirnya bertobat. Hati mereka terketuk dan menjadi sadar akan masa lalu mereka yang kelam setelah kedapatan menyaksikan langsung di hadapan mata kepala mereka sendiri, bahwa anak dari keluarga yang mereka singgahi untuk bermalam, saat itu dalam kondisi lumpuh.

Namun di kesempatan lain, sekelompok penyamun itu menyaksikan sang anak sembuh total dari penyakit lumpuhnya. Mereka penasaran untuk bertanya perihal kesembuhan sang anak. Akhirnya mereka mendapat jawaban, sang anak sembuh karena mendapatkan suatu keberkahan setelah meminum air sisa mereka saat bertamu. Di akhir cerita, Imam al-Qalyubi menulis kelanjutan para pencuri itu setelah bertobat, mereka berbalik 180 derajat, menjadi sekelompok pejuang agama (jumlat al-ghuzat wa al-mujahidin) sampai meninggalnya.

Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Hudzaifah menyebutkan suatu Hadis, yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah swt adalah Dzat Yang Maha Mencipta sesuatu yang mengkreasi dan hasil kreasinya.” Imam Turmudzi juga meriwayatkan Hadis sahih dalam kitab Sunan-nya yang menyatakan ”ada 6 (enam) orang di mana Allah swt dan aku (Nabi Muhammad saw), juga setiap Nabi yang mesti diterima (mujab) doanya melaknat orang yang menambah-nambahkan (merubah) al-Qur’an, orang yang mendustakan takdir Allah.”

Dari sini menjadi jelas bahwa pada dasarnya perbuatan manusia (sengaja hanya dibahas global) dan urusan hidayah adalah murni ciptaan Allah sebagaimana yang ditegaskan dalam QS al-Qasas (28): 56 yang menyatakan, ”Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.

Untuk mendukung uraian di atas, Imam Ahmad Shihab al-Din bin Salamah al-Qalyubi dalam karyanya ”al-Nawadir” (halaman 17) pada hikayah ke-25 menceritakan betapa sekelompok pencuri (al-lusus) yang sudah merajai sejumlah wilayah pada akhirnya bertobat. Hati mereka terketuk dan menjadi sadar akan masa lalu mereka yang kelam setelah kedapatan menyaksikan langsung di hadapan mata kepala mereka sendiri, bahwa anak dari keluarga yang mereka singgahi untuk bermalam, saat itu dalam kondisi lumpuh.

Namun di kesempatan lain, sekelompok penyamun itu menyaksikan sang anak sembuh total dari penyakit lumpuhnya. Mereka penasaran untuk bertanya perihal kesembuhan sang anak. Akhirnya mereka mendapat jawaban, sang anak sembuh karena mendapatkan suatu keberkahan setelah meminum air sisa mereka saat bertamu. Di akhir cerita, Imam al-Qalyubi menulis kelanjutan para pencuri itu setelah bertobat, mereka berbalik 180 derajat, menjadi sekelompok pejuang agama (jumlat al-ghuzat wa al-mujahidin) sampai meninggalnya.

Editor : Alima sri sutami mukti

cr: https://pin.it/7DlJ9XvAT
Munafik Tanpa Sadar

Di antara sifat munafik adalah senang pujian dan benci celaan, senang di puji atas sesuatu yang tidak ada pada dirinya, dan benci celaan atas atas kejelekan yang ada pada dirinya, dan ia marah terhadap orang yang mengoreksi kekuranngan nya. Dalam bahasa yang mudah, orang munafik adalah menampakan sesuatu yag bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam hati. Lain di mulut, lain di hati. Dan tahukah kamu, kenapa udara pada waktu subuh masih sangat segar? sebab tidak bercampur dengan nafas orang munafik yang tidak bangun waktu subuh.

Subuh. Gelap dan tidak terlihat. Waktu penanda seseorang, beriman atau iman nya tergadaikan. Di dalam nya ada sholat yang teramat agung. Shalat subuh, dialah shalat pemisah antara orang mukmin dengan orang munafik. Shalat subuh adalah shalat yang paling berat bagi orang munafik.

Shalat Isya. Juga bisa dijadikan indikasi keimanana seseorang. Ya, shalat yang memiliki keutamaan besar adalah shalat subuh dan isya. Dua shalat ini lah yang terasa amat berat bagi orang orang munafik, disebabkan rasa malas yang menggelayuti tekad mereka, sehingga enggan untuk melaksanakan nya. ini karna shalat isya di lakukan pada waktu orang orang beristirahat setelah seharian berpenat, sedangkan waktu subuh adalah waktu nikmat nya waktu mendengkur.

Dari Abu Hurairah, Rasulallah Saw bersabda:

“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang orang munafik kecuali shalat subuh dan shalat isya. seandainya mereka mengetahui (kebaikan) yang ada pada keduannya, tentunya mereka akan mendatanginya walau harus dengan merangkak.” (HR. Bukhari)

kata “sambil merangak” dimaksudkan sebagai ungkapan yang menyatakan betapa muliannya kedua shalat tersebut, di samping shalat fardhu yang lainnya.

Nifak. merupakan salah satu penyakit yang sangat berbahaya. jika tidak ditangani segera mungkin, akan mengakibatkan penderitaan, munafik binasa membinasakan yang lainnya. penyakit ini nampak menjijikan dan menimbulkan penyimpangan yang amat buruk lagi terkutuk.

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa:142)

Ada tiga sifat shalat orang munafik yang bisa kita simpulkan dari ayat di atas.

Pertama, ia malas shalat dan berat melakukannya.

Kedua, riya dalam shalat. maksudnya, mereka tidak ikhlas dalm bermunajat kepada Alloh. mereka berpura pura baik saja di hadapan manusia. karena itulah, oran munafik tidak terlihat pada shalat isya dan subuh, sebab keadaan kedua shalat itu masih gelap.

Ketiga, hanya sedikit mengigat Alloh. Artinya, dalam melaksanakan shalat, mereka tidak khusyu, benar benar lalai, dan tidak tahu apa yang mereka ucapkan dalm shalatnya.

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًاۙ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di tingkat paling bawah dari neraka. Kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa:145)

Pernahkah melihat kerak nasi? biasanya letaknya di bagian paling bawah tempat menanak nasi. karena terlalu panas, nasi yang berada paling bawah ini kemudian mengeras dan menjadi kerak dengan warna hitam legam. Demikianlah, gambarannya orang munafik dalam neraka. Ya, mereka berada di bagian paling bawah, paling panas di dasar neraka, paling hina dan paling nista.

Oleh sebab itu jangan, sekali kali meremehkan sifat munafik yang bisa jadi ada dam diri kita!!!

Penulis: Alima Sri Sutami Mukti

Editor: Nida Millatissaniyah

Keutamaan Belajar Bersama dan Mengajarkan Ilmu Menurut KH Hasyim Asy’ari

Dikarenakan sudah menghadapi MUDASMAT DAN ULANGAN, Masyarakat santriyin wa santriwati dalam menghadapi Musabaqoh, Cerdas Cermat, Ulangan tulis dan Ulangan pembacaan, Oleh Panitia Mudasmat diberi tambahan PEMBELAJARAN COOPERATIF ( COOPERATIVE LEARNING ) atau bisa di bilang Belajar bersama.

Pembelajaran kooperatif merupakan metode belajar yang dilaksanakan dengan bekerja sama antar siswa atau santri, sehingga nantinya santri tidak semata mencapai kesuksesan secara individual atau saling mengalahkan antar santri.

Namun mereka juga bisa membantu teman belajarnya yang berkemampuan di bawah standart minimum. Dengan demikian tumbuhlah jiwa sosial dalam diri santri. Uraian di bawah ini menawarkan untuk merekonstruksi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah khususnya di pesantren salafiyyah yang semula memakai metode ceramah menjadi metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning).

Dengan tujuan agar para siswa/santri tidak merasa jenuh dalam mempelajari beberapa fan ilmu yang ada di Pondok pesanten Miftahulhuda Al-Musri’. Sekalipun demikian, disamping mempunyai kelebihan, pembelajaran kooperatif juga tidak terlepas dari kelemahan. Namun kelemahannya jauh lebih bisa diatasi atau diminimalkan.

Berikut adalah dokumentasi Belajar Bersama di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’.

Dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari mengawali pembahasan dengan ulasan tentang keutamaan ilmu, ulama, belajar, dan mengajarkan ilmu. Beliau memaparkan beberapa dalil Al-Qur’an dan al-Hadits serta pernyataan para sahabat Nabi dan ulama yang menjelaskan hal itu.

Tentang keutamaan ulama, di antaranya beliau mencantumkan ayat Al-Qur’an:  

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ

“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu” (QS Al-Mujadalah ayat 11).

Menurut KH Hasyim Asy’ari, alasan Allah mengangkat derajat para ahli ilmu adalah karena mereka dapat mengaplikasikan ilmu mereka dalam kehidupannya. Beliau memberikan tafsir (interpretasi) ayat di atas sebagai berikut:

درجات العلماء فوق المؤمنين بسبعمائة درجة درجة ما بين الدرجتين خمسمائة عام

“Para ulama mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang mukmin pada umumnya dengan selisih 700 derajat dan di antara dua derajat terpaut selisih 500 tahun.” 

Apa yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari ini senada dengan penjelasan al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dalam kitab al-Manhaj al-Sawi. Habib Zain menjelaskan alasan terpautnya selisih derajat yang sangat jauh antara orang berilmu dan selainnya dalam statemen beliau sebagai berikut: 

قلت وذلك لأن العلم أساس العبادات ومنبع الخيرات كما أن الجهل رأس كل شر وأصل جميع البليات.

“Aku berkata. Demikian itu karena ilmu adalah asasnya ibadah-ibadah dan sumber beberapa kebaikan, sebagaimana kebodohan adalah pangkal setiap keburukan dan sumber seluruh musibah”

(al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal. 77).

Hadratussyekh selanjutnya mengutip ayat “Allah, para malaikat dan orang-orang yang berilmu bersaksi bahwa tiada tuhan selain-Nya.” (QS Ali Imran ayat 18). Dalam ayat tersebut Allah Swt telah mengawali dengan penyebutan Allah sendiri, selanjutnya menyebutkan para malaikat-Nya dan terakhir menyebutkan para ahli ilmu, penyebutan ini sangat cukup untuk menyimpulkan bahwa ulama memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya.

KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa ada dua ayat yang menunjukan bahwa ulama adalah makhluk Allah terbaik. Pertama firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ أُولئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, merekalah makhluk yang terbaik”

(QS Al-Bayyinah ayat 7). 

Setelah mengutip dua ayat di atas, Hadratussyekh memberi kesimpulan:  

فاقتضت الآيتان أن العلماء هم الذين يخشون الله تعالى والذين يخشون الله هم خير البرية فينتج أن العلماء هم خير البرية

“Dua ayat di atas menuntut bahwa para ulama adalah mereka yang takut kepada Allah, orang-orang yang takut kepada Allah adalah makhluk terbaik. Maka menyimpulkan bahwa para ulama adalah makhluk terbaik.”  

KH Hasyim Asy’ari juga mendasari pendapatnya tentang keutamaan ulama dengan beberapa hadits Nabi, di antaranya: “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah Swt, maka Allah akan memberikan pemahaman kepadanya dalam permasalahan agama.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain disebutkan “Para ulama merupakan pewaris para Nabi.” (HR al-Tirmidzi dan lainnya). KH Hasyim Asy’ari mengungkapkan bahwa derajat sebagai pewaris para nabi yang disebutkan dalam hadits memberikan indikasi kuat bahwa ulama memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, bahkan merupakan derajat yang terbaik sepeninggal para Nabi. Beliau menyampaikan kesimpulan tersebut dengan argumentasi sebagai berikut:

وإذا كان لا رتبة فوق النبوة فلا شرف فوق شرف الوراثة لتلك الرتبة

“Ketika tidak ada derajat yang lebih mulia daripada derajat kenabian, maka tidak ada kemuliaan yang dapat mengalahkan kemuliaan para pewaris derajat kenabian tersebut (yaitu para ulama).”

Selanjutnya KH Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa puncak dari keilmuan seseorang adalah pengamalan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sebab hal itu merupakan buah dari ilmu dan faedah kebaikan dari umur seseorang serta merupakan bekal yang akan berguna di akhirat kelak, maka siapa saja yang dapat menggapai itu semua maka ia akan berbahagia baik di dunia maupun di akhirat, dan barangsiapa yang tidak dapat menggapainya maka ia akan berada dalam kerugian.

Hadratussyekh juga menyampaikan hadits Nabi tentang perbandingan ahli ibadah dan ulama. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa ada dua orang sowan menghadap baginda Nabi Muhammad Saw, salah seorang di antara mereka merupakan ahli ibadah, sedang yang lain merupakan ahli ilmu. Nabi mengatakan tentang perbandingan keduanya dalam sabda beliau “Keutamaan orang yang berilmu berada di atas orang yang ahli ibadah layaknya keutamaanku atas orang-orang yang paling rendah derajatnya di antara kalian” (HR al-Tirmidzi).

Belajarlah!

Berkait dengan keutamaan mencari ilmu, KH Hasyim Asy’ari menyebut hadits Nabi “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah subhanahu wata’ala akan memberinya jalan menuju surga” (HR Ahmad, Abu Daud dan lainnya). Dalam hadits lain Nabi bersabda “Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, laki-laki dan perempuan. Setiap sesuatu yang di dunia ini akan memintakan pengampunan kepada Allah Swt untuk para pencari ilmu, hingga ikan di laut pun ikut memintakan pengampunan baginya.”

(HR Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sebagai catatan tambahan, doa pengampunan ikan-ikan di laut untuk orang berilmu tidak hanya dipanjatkan saat mereka hidup, namun juga berlaku setelah wafat hingga akhir kiamat, sebab ilmu ulama akan senantiasa bermanfaat setelah mereka wafat hingga hari kiamat. Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith menegaskan:

قلت واستغفار حيتان البحر للعالم يكون في حياته وبعد مماته إلى يوم القيامة لأن العلم ينتفع به بعد موت العالم إلى يوم القيامة وفي هذا دليل على شرف العلم وتقدم أهله وأن من أوتيه فقد أوتي فضلا عظيما

“Aku berkata, pengampunan ikan-ikan laut untuk orang alim terjadi di masa hidup dan setelah kewafatannya hingga hari kiamat. Sebab ilmu akan terus dimanfaatkan setelah kematian orang alim hingga hari kiamat. Ini adalah petunjuk atas kemuliaan ilmu dan unggulnya ahli ilmu, sesungguhnya orang yang diberi ilmu, maka sungguh diberi keutamaan yang agung.” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Manhaj al-Sawi, hal. 77).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Barangsiapa berangkat di pagi hari untuk mencari ilmu, malaikat memintakan ampunan untuknya dan diberkahi hidupnya” (HR Abu Umar al-Qurthubi). Riwayat lain menyebutkan “Barangsiapa yang bergegas pergi ke Masjid dalam keadaan tidak menginginkan kecuali untuk belajar ilmu maka ia akan mendapatkan pahala layaknya pahala orang yang berhaji secara sempurna” (HR al-Thabrani).   

Kedekatan orang alim dan pembelajar diibaratkan Nabi seperti dua jari telunjuk dan jari tengah, keduanya saling menempel, derajat mereka berdua jauh meninggalkan manusia yang lain. Dalam sebuah riwayat Nabi bersabda “Orang alim dan pembelajar layaknya jari ini dan jari yang ini (beliau mengumpulkan antara jari telunjuk dan jari tengah yang berada di sampingnya), keduanya bersekutu dalam pahala, tiada kebaikan untuk segenap manusia selain kedua orang tersebut” (HR Ibnu Majah, Abu Nu’aim dan lainnya).

Nabi berpesan agar umatnya tidak melepaskan diri dari salah satu lima status, yaitu ahli ilmu, pembelajar, pendengar dan pecinta mereka. Dalam sebuah riwayat beliau bersabda “Jadilah orang yang alim ataupun orang yang belajar keilmuan ataupun orang yang senantiasa mendengarkan ilmu atau orang yang suka akan hal itu dan jangan sampai kamu menjadi orang yang ke lima, sebab kamu akan menjadi orang yang rusak” (HR al-Thabrani, al-Darimi dan lainnya).

Orang kelima yang dimaksud dalam hadits di atas adalah mereka yang membenci ilmu dan ulama. Syekh Abdurrauf al-Manawi mengatakan:

قال عطاء وقال لي مسعر زدتنا خامسة لم تكن عندنا والخامسة أن تبغض العلم وأهله فتكون من الهالكين وقال ابن عبد الله البر: هي معاداة العلماء أو بغضهم ومن لم يحبهم فقد أبغضهم أو قارب وفيه الهلاك

“Atha’ berkata, berkata kepadaku Mis’ar, tambahkanlah yang kelima yang tidak ada di sisi kami, yaitu engkau membenci ilmu dan ahlinya, maka akibatnya engkau termasuk orang-orang yang rusak. Berkata Ibnu Abd al-Barr, yang kelima adalah memusuhi ulama atau membencinya. Barangsiapa tidak cinta ulama maka ia telah membencinya atau mendekati benci dan di situlah kebinasaan”

(Syekh Abdurrauf al-Manawi, Faidl al-Qadir, juz 2, hal. 17).

,