SEJARAH TASAWUF

Sejarah tasawuf dimulai era Nabi yang dinamakan era zuhud dengan tokoh Hasan Al-Bashri dan Rabi’ah Al-Adawiyyah. Era selanjutnya adalah mempelajari an-nafsu pada abad ke 4. 5, dan 6 Hijriyah. Di era ini, internalisasi tasawuf sudah berjalan dengan baik dan istilah tasawuf sudah mulai dikenal. Tokoh – tokoh tasawuf yang dikenal adalah az-Zuhrawardi, Al-Qusyairi, Al-Ghazali, Al-Hallaj, Dzunnun Al-Mishri, Ibnu Arabi, dan Umar Al-Farid. Tasawuf di era ini dibagi menjadi tasawuf sunni dan falsafi.

Era ini disusul dengan era lahirnya tarekat untuk menjembatani agar teori tasawuf yang rumit bisa dinikmati oleh orang awam. Lahirnya tarekat Ahmad Al-Rifai, Abu Hasan Asy-Syadzili, Bahauddin An-Naqsyabandi, Al-Burhani, Abdul Qadir Al-Jilani, Al-Badawi, dan lain – lain. Sebelum era terakhir ini orang bertasawuf tidak mempunyai tarekat. Justru pemikiran Imam Ghazali memengaruhi tarekat – tarekat yang ada. Tarekat Syadziliyyah sangat terpengaruh pemikiran Imam Ghazali. Imam Ghazali lebih dulu lahir sebelum lahirnya tarekat – tarekat yang ada. Oleh sebab itu, jangan menilai ulama yang tidak mengikuti aliran tarekat sebagai orang yang tidak bertasawuf. Orang yang bertasawuf tidak harus masuk dalam organisasi tarekat. Lebih jelasnya lihat table 2:

SEJARAH TASAWUF

PEMBAGIAN TASAWUF

Tasawuf dibagi dua. Pertama, Tasawuf sunni yang dikenal dengan tasawuf amali atau suluki adalah tasawuf yang menekankan pada amal dengan mengkaji rahasia – rahasia (asrar) dan hikmah yang ada dibalik ibadah formal. Misalnya, rahasia – rahasia yang ada dibalik ibadah salat, puasa, zakat, dan haji. Tasawuf sunni dikenal dengan tasawuf suluki yang di dalamnya ada maqamat (posisi) dan ahwal (pengalaman spiritual) yang harus dijalani seseorang dalam proses yang dijalani menuju wushul (sampai tujuan) ke hadiral Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali adalah karya dalam bidang tasawuf sunni atau suluki yang menekankan penghayatan rahasia yang ada dalam ibadah formal. Tasawuf ini berpijak kepada ilmu fikih. Ia melapisi esensi yang ada dalam ilmu fikih.

Kedua, tasawuf falsafi yang lebih menekankan kepada kontemplasi, refleksi, dan observasi intelektual. Tasawuf ini mendorong manusia untuk berfikir mendalam tentang eksistensi Allah dan alam semesta. Eksistensi alam semesta lahir karena eksistensi Allah. Alam tidak wujud tanpa eksistensi Allah. Allah adalah eksistensi sejati, sedangkan alam adalah eksistensi semu yang akan hancur. Eksistensi sejati yang abadi hanya Allah, tidak yang lain. Hakikat eksistensi selain Allah adalah pancaran eksistensi Allah. Inilah yang melahirkan konsep wahdatul wujud (kesatuan eksistensi) karena tidak ada eksistensi sejati kecuali eksistensi Allah. Tokoh sufi yang terkenal dalam hal ini adalah Ibnu Arabi yang terkenal dalam karya – nya Al-Futuhat Al-Makiyyah (penyingkapan Rohani di Mekah).

Menurut sumber lain, ada model tasawuf irfani, yaitu tasawuf yang berusaha menyingkat hakikat kebenaran yang dihasilkan dengan tidak menggunakan logika, pembelajaran atau pemikiran, tapi murni pemberian Tuhan (mauhibah) yang diperoleh lewat proses tashfiyatul qalbi (pembersihan hati). Hati yang suci mampu berdialog dengan Tuhan secara batin, sehingga Tuhan memasukkan pengetahuan atau ma’rifat ke dalam hati manusia yang menyingkap kebenaran lewat intuisi (ilham). Tokoh – tokoh antara lain : Rabiah Al-Adawiyyah, Dzunnun Al-Mishri, Junaid Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Busthami, Jalaluddin Ar-Rumi, Ibnu Arabi, Abu Bakar Asy-Syibli, Abu Hasan Al-Khurqani, ‘Ain Al-Qudhat, Al-Hamdani, dan Najmuddin Al-Kubra. Tasawuf Irfani ini memasukkan nama tokoh yang masuk dalam tasawuf sunni dan falsafi karena menitik beratkan kepada proses pembersihan hati. Kriteria tasawuf irfani ini abstrak karena berdasarkan ilham yang sangat privasi.

Menurut Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 638 H.), realitas alam semesta yang majemuk adalah bukti ke-Maha Esa-an Allah. Fenomena yang terlihat dalam kosmos adalah penampakan (tajalli) nama – nama sifat Allah. Tuhan dalam ke-Maha Esa-an-Nya ingin melihat Zat-Nya yang immateri dan memperkenalkan diri-Nya. Maka, lahirnya nama dan sifat, seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al-Jabbar (Maha Memaksa), dan Al-Qahhar (Maha Menekan). Nama dan sifat ini ternyata belum mampu dikenal, maka diperlukan cermin penjernih dalam bentuk alam semesta, Binatang, dan malaikat. Ketika semua makhluk ini belum mampu menjadi cermin Allah yang tepat, maka Adam lahir yang mampu menampakkan bentuk-Nya secara tepat. Oleh sebab itu, setiap gerakan manusia adalah pancaran diri-Nya. Manusia diktator adalah penampilan sifat Al-Jabbar Allah. Manusia yang lemah lembut adalah penampilan sifat Al-Lathif Allah. Dalam diri manusia, menurut Ibnu Arabi, ada esensi ketuhanan (Al-Haqq) dan dalam diri Tuhan (Al-Haqq) terselit sifat Al-Khalaq (Fahuwa Al-Haqq Al-Khalaq).

Sufi pertama yang membawa aliran filsafat (tasawuf falsafi) adalah Abu Yazid Al-Busthami yang lahir di Bistam Persia tahun 874 M. dan meninggal di usia 73 tahun. Meskipun lahir dari keluarga terpandang, namun Abu Yazid lebih memilih hidup sederhana dan memberikan kasih sayang kepada fakir miskin. Konsepnya yang terkenal adalah Al-Ittihad (bersatunya seseorang dengan Tuhan). Dalam konsep ini, seseorang telah meyakini bahwa di dunia hanya ada satu wujud, meskipun yang sebenarnya ada dua wujud. Namun yang disadari adalah wujud Tuhan. Sufi lain dalam aliran tasawuf falsafi adalah Husein Ibn Mansur Al-Hallaj yang lahir di Madinah Al-Baida’ Iran Selatan tahun 858 M. yang pindah ke Irak. Al-Hallaj ini dikenal dengan konsep Al-Hulul (mengambil tempat), yaitu paham yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya.

Namun sebelum itu, seorang Sufi harus menghancurkan sifat – sifat kemanusiaannya, sehingga yang tampak dalam dirinya adalah sifat – sifat ketuhanan. Ketika dalam kondisi ini, Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi tersebut. Al-Hallaj dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah ekstrim dan kaum Qaramitah yang sering menentang pemerintahan Bani Abbas, sehingga di tahun 922 M. Al-Hallaj dijatuhi dan dilaksanakan hukuman mati padanya. Hukuman ini bukan hanya karena ucapannya : Ana Al-Hallaq (Saya yang Maha Benar), tapi juga disebabkan factor politik. Setelah Al-Hallaj, tasawuf falsafi diteruskan oleh Ibnu Arabi yang terkenal dengan konsep Wahdah Al-Wujud.

Lebih tepatnya lihat tabel 3 :

TOKOH TASAWUF SUNNI, FALSAFI, DAN IRFANI18

18Disarikan dari buku Hamka, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Jakarta : Republika, 2016, dan buku Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Bandung : Rosda, 2014, cet. 2

Referensi Buku : Tasawuf Sosial (KH. MA. SAHAD MAHFUDH) Tasawuf Kajen Menghadirkan Solusi (hlm. 16 – 20)

Penulis Buku : DR. JAMAL MA’MUR ASMANI

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

Kisah Imam Ghazali Berguru kepada Tukang Sol Sepatu

Imam Al-Ghazali (450 – 505 H) merupakan seorang ulama terkemuka yang bergelar Hujjatul Islam, dengan pemikiran yang hingga kini masih terus dikaji dan diikuti oleh umat Islam.   Siapa sangka, di balik kapasitas keilmuannya yang luar biasa, Imam Ghazali tetap bersedia belajar dari seorang tukang sol sepatu. Belakangan diketahui bahwa tukang sol sepatu tersebut adalah seorang ahli ma’rifat yang menyembunyikan keilmuannya di balik profesinya. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Maraqil Ubudiyah syarah Bidayatul Hidayah (Jakarta, Darul Kutubil Islamiyah, 2010: 161-162) mengisahkan bahwa perjumpaan Imam Ghazali dengan tukang sol sepatu ini berawal dari saudaranya yang bernama Ahmad. Imam Ghazali sering menjadi imam shalat berjamaah di sebuah masjid dekat rumahnya. Namun, saudaranya yang bernama Ahmad tidak pernah terlihat menjadi makmum di masjid tersebut. Suatu hari, Imam Ghazali mengadukan hal ini kepada ibunya. “Ibu, tolong suruh saudaraku, Ahmad, untuk shalat berjamaah bersamaku supaya orang-orang tidak menuduh macam-macam,” ujar Al-Ghazali pada ibunya. Setelah mendapat perintah sang ibu, Ahmad pun menurutinya dan menjadi makmum saat Al-Ghazali menjadi imam shalat di masjid. Beberapa saat kemudian, Ahmad melakukan mufaraqah (berpisah dengan imam) karena melihat darah dalam diri Al-Ghazali. Usai shalat, Al- Ghazali pun mengetahui Ahmad melakukan mufaraqah dan menanyakan alasannya. “Aku melihat kamu dipenuhi dengan darah,” jawab Ahmad Imam Ghazali pun mengakui bahwa saat shalat, ia tidak bisa khusyuk karena pikirannya terganggu dengan masalah darah haid, tepatnya pada persoalan mutahayyirah, yaitu wanita yang sudah pernah mengalami haid dan suci darinya, kemudian mengalami pendarahan kembali. “Dari mana kamu belajar ilmu ini?” tanya Al-Ghazali penasaran. “Aku mempelajarinya dari syekh yang berprofesi sebagai tukang sol sepatu,” jawab Ahmad. Tidak menunggu lama, setelah mengetahui sosok dan alamatnya, Imam Ghazali pun segera berangkat untuk menemui dan belajar kepada syekh yang dimaksud. “Wahai tuanku, aku ingin belajar ilmu kepadamu,” ucap Al-Ghazali usai bertemu dan menyampaikan salam.  “Sepertinya kamu tidak akan sanggup untuk taat pada perintahku,” jawab syekh meragukan keseriusan Imam Ghazali. “Insyaallah aku sanggup,” jawab Imam Ghazali meyakinkan syekh. “Kalau begitu, sekarang coba kamu sapu lantai ini,” ujar syekh pada Al-Ghazali. Ketika Al-Ghazali hendak mengambil sapu, syekh kemudian menyuruh agar lantai itu tidak dibersihkan dengan sapu melainkan dengan tangan. Al-Ghazali pun melakukannya, menyapu lantai tersebut dengan tangannya. Setelah lulus dari ujian pertama, syekh kemudian menguji kembali Al-Ghazali, yaitu memerintahkannya untuk membersihkan kotoran yang ada di sekitarnya. “Sapulah kotoran itu,” perintah syekh. Ketika Al-Ghazali hendak melepas pakaiannya, syekh kemudian memerintahkan agar kotoran itu dibersihkan dengan pakaian itu. “Bersihkan lantai itu dengan baju yang kamu pakai,” perintah syekh. Saat Al-Ghazali hendak membersihkan kotoran tersebut dengan pakaiannya, syekh kemudian mencegahnya karena telah melihat keikhlasan dalam diri muridnya itu.  Selanjutnya, syekh tersebut memerintahkan Al-Ghazali untuk pulang. Setelah kembali dan tiba di madrasahnya, Imam Ghazali merasakan hatinya terbuka dan mendapatkan ilmu yang luar biasa dari Allah melalui wasilah pertemuan tersebut. Perjalanan hidup Imam Ghazali ini mengajarkan pentingnya seorang muslim untuk tidak pernah berhenti belajar. Meski telah bergelar syekh, semangat Imam Ghazali dalam mencari ilmu tidak pernah padam. Selanjutnya, seorang muslim juga perlu memiliki guru spiritual yang dapat membimbing, mengarahkan, serta memperbaiki hati. Dalam dunia tasawuf, hati memiliki peran penting dalam kehidupan manusia karena menjadi pusat dan penentu kualitas spiritual seseorang. Selain itu, kisah ini juga memberikan gambaran sekaligus tantangan bagi para guru agar bisa meningkatkan dimensi batin. Ketika hal tersebut tercapai, murid-murid berkualitas akan lahir dari hasil didikannya yang baik.   Di sisi lain, marak terjadi hubungan tidak wajar antara guru dan murid yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk memenuhi syahwatnya dengan dalih mencari ridha guru. Hal ini mungkin terjadi karena adanya kekosongan spiritual dalam diri guru tersebut, sehingga syahwatnya menjadi tidak terkendali. Wallahu a‘lam

Adab Lebih Penting Daripada Ilmu

Kesungguhan hati dalam menuntut ilmu merupakan suatu pedoman dan prinsip yang selalu di tanamkan pada setiap orang. Menuntut ilmu sendiri merupakan suatu kewajiban dan termasuk hal penting yang tidak bisa dilewatkan bagi setiap orang. Sebab dengan adanya ilmu kita dapat menjadi seseorang yang mulya. Untuk mencapai semua itu tentunya tidak dilakukan dengan semudah membalikkan tangan. Akan tetapi harus dicapai dengan kesungguhan hati yang kuat.

Dalam Islam, mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap orang.

Untuk mengaplikasikan kewajiban tersebut dapat dicapai dengan kegigihan yang kuat. Hal ini sesuai dengan dawuh Baginda Nabi Muhammad SAW:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan”.

اطلبواالعلم ولو بالصين
“Tuntutlah ilmu, walau sampai ke negeri China.”

Sekarang ini banyak sekali orang pintar dan memiliki keilmuan yang luas. Tetapi ternyata dengan keilmuanya yang luas tersebut kurang tepat dalam pengaplikasianya justru merasa paling bangga seolah-olah dialah yang paling benar dan merasa paling pintar dibanding yang lain. Maka dari itu, adab dan etika perlu diterapkan sebagai penyeimbang ilmu dan kepintaran yang kita miliki. Sebab, kepintaran seseorang tidak akan ada harganya apabila tidak mempunyai adab (etika). Ilmu akan menjadi berbahaya bagi dirinya dan orang lain apabila tidak dihiasi dan dibarengi dengan akhlak.

Dalam hal ini K.H. Muhammad Syafi’i Baidlowi, Pengasuh Ponpes Ma’hadut Tholabah, Babakan, Lebaksiu, Tegal setiap kali mengajar santri-santrinya selalu berpesan tentang pentingnya menjaga adab dan etika, baik di dalam pondok atau saat di rumah. Pepatah arab mengatakan “Al adabu Fauqol ’ilmi” yang artinya adab itu lebih tinggi dari pada ilmu. Kalau hanya mengandalkan ilmu tanpa di barengi adab, iblis lebih bisa. Sebab iblis diberikan keistimewaan oleh Allah lebih pintar dari pada manusia.

Imam Malik pun pernah berkata kepada salah seorang pemuda Quraisy tentang pentingnya mendahulukan adab sebelum mempelajari ilmu.

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Mempelajari adab dan etika membutuhkan proses waktu yang lama. Faktor terpenting yang mempengaruhi baik burukya perilaku yaitu lingkungan, baik keluarga ataupun masyarakat. Banyak ulama dalam memepelajari adab itu lebih lama ketimbang mempelajari ilmu. Memiliki sedikit adab justru lebih penting dari pada mempunyai banyak illmu. Mengapa demikian, sebab orang yang berilmu tinngi belum tentu beradab. Tetapi orang yang beradab sudah pasti berilmu, karena mampu menempatkan ilmu tersebut sesuai dengan semestinya.

Marikah kita mulai menanamkan dan menumbuhkan adab dan etika: seperti ketika berjumpa ucapkanlah salam, menghormati yang lebih tua, bila lewat di depan orang banyak hendaklah permisi. Semakin baik perilaku kita, maka orang lain akan menilai jauh lebih baik. Salah satu ulama besar Al Habib Lutfi pernah mengatakan, bahwa beliau ketika hendak makan saja selalu berpakaian rapi, wangi, dan bersih. Menurut beliau itu salah satu adab terhadap makanan, kepada Allah yang memberikan rezeki. Betapa pentingnya adab sebagai penghias ilmu yang kita miliki.

Orang bijak mengatakan “jika engkau ingin dihormati dalam dalam hidupnya, maka belajarlah untuk menghormati orang lain.”

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah salah satu bentuk ibadah. Begitu penting ilmu dalam Islam hingga Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Walaupun begitu, ada hal yang perlu dipelajari terlebih dahulu sebelum ilmu yakni adab.

Adab berasal dari bahasa Arab yang artinya kesopanan, kehalusan, dan kebaikan budi pekerti, akhlak. Sedangkan adab menurut Rasulullah SAW adalah pendidikan tentang kebaikan yang merupakan bagian dari keimanan.

Menukil buku Adab dan Doa Sehari-Hari untuk Muslim Sejati karya Thoriq Aziz Jayana, kedudukan adab dalam Islam lebih tinggi dari ilmu. Sejumlah ulama pun menyampaikan pendapat serupa.

Pertama, ulama Imam Malik mengatakan bahwa, “Pelajarilah adab terlebih dahulu sebelum mempelajari suatu ilmu.” Sebagaimana yang dilakukan Imam Ibnu Mubarak, ia mempelajari adab selama 30 tahun, setelah itu baru mempelajari ilmu selama 20 tahun.

Adab dalam Kehidupan Sehari-hari

Merangkum dari buku Pendidikan Agama Islam Akidah dan Akhlak kelas X karya Thoyib Sah Saputra dan Wahyudin, berikut adab pergaulan sehari-hari sesuai ajaran Islam.

1. Contoh Adab terhadap Kedua Orang Tua

  • Menghormati orang tua
  • Tidak durhaka kepada kedua orang tua
  • Patuh kepada kedua orang tua dan selalu mendoakannya
  • Bersyukur sudah diberi keluarga yang utuh
  • Mengucapkan kata-kata yang mulia
  • Tidak mengucap kata kasar seperti berdecak “ah”
  • Meneruskan berbuat baik kepada kedua orang tua walaupun keduanya sudah meninggal

2. Contoh Adab terhadap Guru

  • Menghormati guru
  • Mengamalkan ilmu yang telah diajarkan
  • Menjaga perilaku ketika di sekolah
  • Tidak berkata kasar kepada guru
  • Tidak membentak guru

3. Contoh Adab dalam Bermasyarakat

  • Mengucapkan salam ketika bertemu
  • Memenuhi undangan, jika diundang dalam sebuah acara
  • Memberikan nasihat ketika diminta
  • Menjenguk tetangga ketika sakit
  • Mengantarkan jenazah tetangga sampai ke kubur
  • Berperilaku jujur
  • Lemah lembut dan kasih sayang
  • Tidak ikut campur terhadap urusan orang lain

4. Contoh Adab Pergaulan Sesama Teman

  • Mencintai teman karena Allah
  • Saling menyapa atau menegur ketika bertemu
  • Mengajak teman ke arah kebaikan
  • Berperilaku ramah
  • Memberi senyuman ketika bertemu
  • Menolong teman yang kesusahan
  • Bersama-sama berjuang bersama mencari ilmu

Lebih Utama Menjadi Orang Kaya Bersyukur atau Miskin Bersabar?

Umat Islam tampaknya terbagi kepada dua bagian dalam memandang sosok Nabi Muhammad saw dari segi kondisi finansialnya. Ada yang memandang Nabi saw merupakan orang yang miskin, hingga tak ayal apabila beliau berdoa, “Ya Allah hidupkan aku dalam keadaan miskin, wafatkan aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama-sama orang-orang miskin.” Secara literal, doa Nabi saw di atas memang seolah meminta kemiskinan di dunia dan di akhirat, akan tetapi apabila kita melihat penjelasan para ulama, makna miskin tersebut adalah tawadhu atau rendah hati, bukan miskin harta.   Kemudian di sisi lain, sebagian umat Islam memandang Nabi saw bukan sebagai orang miskin, sebab beberapa sabdanya mendorong kaum muslimin untuk bekerja dan menghindari kefakiran. Kefakiran dianggap sebagai jalan menuju pegadaian iman dikarenakan kondisi yang memaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Mayoritas teks-teks hadits secara sekilas memang secara literal lebih dominan menganjurkan orang menjadi menjadi fakir. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:   يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ 

  Artinya, “Orang-orang beriman yang fakir kelak akan masuk surga terlebih dahulu setengah hari yang setara 500 tahun lamanya daripada orang kaya.” (HR Ibnu Majah).   Setelah membaca hadits di atas, barangkali sebagian di antara kita merasa aneh mengapa Islam menganjurkan umatnya menjadi miskin sekaligus menakut-nakuti untuk menjadi kaya. Tentunya kita harus membaca penjelasan para ulama mengapa Rasulullah saw mengatakan demikian.  An-Nawawi menyebut alasannya karena orang-orang miskin bahkan tidak mampu untuk melakukan kemaksiatan sebesar dan separah orang-orang kaya. Orang kaya apabila ingin bermaksiat maka dengan mudah mendapatkan fasilitas untuk kemaksiatan yang akan dilakukan. (An-Nawawi, Fatawal Imam An-Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018 M], halaman 63).   Namun apabila melihat penjelasan an-Nawawi di atas, apakah benar fakta di tengah masyarakat kita saat ini bahwa orang-orang miskin lebih terjaga dari perbuatan maksiat dibanding orang-orang kaya? Tentunya perlu penelitian lapangan yang akurat terkait pertanyaan ini.   Narasi antara anjuran menjadi kaya atau menjadi miskin dalam hadits perlu penjelasan yang proporsional. Jangan sampai ajaran agama membawa kepada kemiskinan dan memperburuk kondisi finansial karena mendapat legitimasi untuk tidak memperbaiki kualitas ekonomi. Nabi saw secara proporsional pernah bersabda:   عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يدعو بهذه الكلمات: اللهم إني أعوذ بك من فتنة النار، وعذاب النار، ومن شر الغنى والفقر. (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه

  Artinya, “Dari Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw pernah berdoa dengan ungkapan ini, ‘Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka juga dari fitnah kekayaan dan kefakiran’.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).   Dalam hadits di atas secara jelas Rasulullah saw memohon perlindungan dari keburukan yang ada pada kedua kondisi finansial, baik kaya maupun miskin. Artinya, kedua kondisi finansial tersebut sama-sama memiliki sisi baik dan sisi buruk. Persoalannya terletak pada karakter individu yang mengalami kondisi tersebut.   Menurut Al-Munawi, maksud berlindung dari ‘fitnah’ kekayaan adalah kesombongan, kelalaian, pamer, dan menggunakan harta dalam kemaksiatan. Adapun berlindung dari ‘fitnah’ kemiskinan adalah iri kepada orang kaya, tamak terhadap harta mereka, dan merendahkan diri di hadapan orang-orang kaya dengan cara mengotori kehormatan serta menyerahkan keimanan. Perilaku seperti ini juga menjadi penyebab ketidakpuasan atas takdir yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya, sehingga hidup isinya hanya keluhan-keluhan saja, sebagaimana disebut oleh Al-Baidhawi. Kemudian ath-Thibi menegaskan juga sebagaimana dikutip al-Munawi, bahwa fitnah dalam doa Nabi saw di atas artinya adalah ujian. Kondisi kaya maupun miskin menjadi ujian, apakah orang kaya dapat bersyukur dengan hartanya, dan si miskin dapat bersabar dengan kefakirannya. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415], jilid II, hal. 161).  Dengan demikian, baik kekayaan maupun kemiskinan, keduanya memiliki sisi baik dan sisi buruk. Semuanya kembali kepada masing-masing individu. Apabila seseorang menjadi pribadi yang baik dan bertakwa, maka baik kaya maupun miskin tidak menjadi masalah yang cukup serius selama tidak merugikan dan membebani orang lain.   Kaya bersyukur atau miskin bersabar? Sub judul ini bersumber dari judul sub-bab kitab al-Fatawal Haditsiyyah karya Ibnu Hajar al-Haitami. Dalam karyanya, secara spesifik terdapat seseorang yang bertanya, mana yang lebih baik antara orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar? Ibnu Hajar al-Haitami menjawab:   وقد استدل ابن عبد السلام على تفضيل الغني الشاكر على الفقير الصابر بأن الله تعالى لا يختار لنبيه إلا الأفضل، وأفضل أحواله صلى الله عليه وسلم الحالة التي توفاه الله عليها وكانت تلك الحالة على غاية من غناه صلى الله عليه وسلم 

  Artinya, “Ibnu Abdus Salam berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih utama daripada orang miskin yang bersabar dengan landasan bahwa Allah Ta’ala tidak memilihkan kondisi bagi nabi-Nya kecuali yang terbaik. Kondisi terbaik bagi Nabi saw adalah kondisi di masa-masa akhir yang ditetapkan oleh Allah, yaitu puncak kekayaan.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, [Libanon: Darul Ma’rifah, t.t.], hal. 91).   Puncak kekayaan Nabi saw pada hadits tersebut memang tidak sebagaimana kehidupan glamour bak raja yang memiliki singgasana megah dengan limpahan berlian dan permata di dalamnya. Kaya bagi Nabi saw dapat dimaknai dengan kecukupan harta yang membuat seseorang terhindar dari meminta-minta dan membebani orang lain.   Harta yang cukup akhirnya dapat disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya seperti anak dan istri. Dengan harta tersebut ia juga dapat menyalurkan hartanya kepada ibadah-ibadah sosial seperti bersedekah dan mendermakan hartanya kepada orang yang membutuhkan.   Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawal Haditsiyyah juga mengutip nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya, secara substansial nasihat tersebut berkaitan dengan motivasi untuk bekerja mencari nafkah yang halal untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Luqman berkata:

  استغن بالكسب الحلال عن الفقر فإن ما افتقر أحد قط إلا أصابه ثلاث خصال: رقة في دينه وذهاب في عقله وذهاب مروءته، وأعظم من هذه الثلاث: استخفاف الناس به  

Artinya, “Cukupkan dirimu dengan usaha yang halal untuk menghindar dari kemiskinan, karena tidak ada seorangpun yang menjadi miskin kecuali ia akan mengalami tiga hal: kelemahan dalam agamanya, hilangnya akal, dan hilangnya harga dirinya. Dan yang lebih besar dari ketiga hal tersebut adalah direndahkan oleh orang-orang.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, hal. 91).   Konon, beberapa tabi’in pernah ditanya mana yang lebih baik, pengusaha yang jujur atau orang yang hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah?   Para tabi’in menjawab, “Pengusaha yang jujur lebih disukai karena secara tidak langsung mereka sebenarnya sedang jihad. Setan yang datang kepadanya menyerang melalui godaan untuk mencurangi timbangan dan takaran, dan si pengusaha melawannya dengan tidak menuruti godaan yang mengajak pada sesuatu yang haram.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, hal. 91).   Selanjutnya, pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik dari orang miskin yang penyabar tidak didasarkan pada asumsi belaka. Faktanya, ada hadits yang dinilai oleh para ulama memiliki nilai-nilai motivasi agar menjadi orang kaya supaya dapat bersyukur dan menyalurkan hartanya kepada kebaikan. Hadits tersebut tercatat dalam Shahih al-Bukhari, yaitu:

  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنْ الْأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَا وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا وَيَعْتَمِرُونَ وَيُجَاهِدُونَ وَيَتَصَدَّقُونَ ..

  Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Pernah datang para fuqara kepada Nabi saw seraya berkata, ‘Orang-orang kaya, dengan harta benda mereka itu, mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi, juga kenikmatan yang abadi. Karena mereka melaksanakan shalat seperti juga kami melaksanakan shalat. Mereka puasa sebagaimana kami juga berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan disebabkan harta mereka, sehingga mereka dapat menunaikan ibadah haji dengan harta tersebut, juga dapat melaksanakan umrah bahkan dapat berjihad dan bersedekah…’.” (HR Al-Bukhari)   Berdasarkan hadits ini, Ibnu Daqiq al-‘Id berpendapat bahwa orang kaya tentu lebih utama karena selain dapat melaksanakan ibadah-ibadah individual, mereka juga dapat menambah pahala dan berupaya mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ibadah sosial. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid XI, hal. 275).   Lebih lanjut lagi, Ibnu Daqiq memberikan paparan yang spesifik bahwa baik-buruknya kepemilikan harta tergantung bagaimana pemakaiannya. Boleh jadi si pemilik menggunakannya untuk taat kepada Allah, atau mungkin juga dalam kemaksiatan. Ia berkata:  

فكم من غني لم يشغله غناه عن الله، وكم من فقير شغله فقره عن الله.

  Artinya, “Berapa banyak orang kaya, yang kekayaannya tidak menghalangi mereka dari Allah, dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya justru menghalangi mereka dari Allah.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, jilid XI, hal. 275).   Alhasil, orang kaya atau miskin tergantung kepada diri pribadi masing-masing. Namun demikian, menjadi orang kaya yang bersyukur dan mendayagunakan hartanya untuk beribadah kepada Allah dinilai lebih utama dari orang miskin yang dengan kemiskinannya malah menghalangi ibadah kepada-Nya.   Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi umat Islam untuk lebih giat mencari kekayaan yang halal. Semakin besar harta yang dimiliki, semakin tinggi kemampuan untuk melaksanakan ibadah sosial yang manfaatnya tidak terbatas kepada diri sendiri saja. Wallahu a’lam.

Editor: Nawal amiroh n

Cerminan Pemimpin: Bukan Dendam Kekuasaan

Dalam kaitannya dengan kekuasaan dan kekayaan duniawi, seorang ulama bijak memberi nasihat bahwa ada fase-fase godaan ketika manusia melakukan amal perbuatan. Pertama, godaan hendak memimpin ketika dirinya benar-benar didukung rakyat dan seluruh komponen masyarakat. Artinya, apakah sang pemimpin sudah meluruskan niatnya dalam beramal. Bahwa ia akan memimpin dengan cara-cara yang fair dan jujur, ingin menolong dan memberdayakan umat, sebagai tugas pemimpin selaku khalifah di muka bumi? Kedua, kesanggupan untuk istiqomah dalam posisi dan tugas memimpin. Apakah ia akan lanjut secara konsisten, di tengah badai prahara dan kecamuk problem permasalahan umat. Terutama ketika ia menghadapi cobaan dicaci-maki karena kinerja yang dianggap kurang adil oleh sebagian komponen masyarakat, sementara tiap-tiap negara dan bangsa pasti akan menghadapi cobaan-cobaan yang disodorkan Tuhan kepada mereka, dalam ruang dan waktu permasalahan yang berbeda pula. Ketiga, ketika dia lengser atau turun jabatan, apakah disertai dengan keikhlasan, sehingga Allah ridho kepadanya. Ataukah, sang pemimpin masih berambisi untuk mendendam kepada pihak tertentu, bahkan terus terobsesi untuk menunjukkan dirinya orang baik dan kredibel di hadapan umat? Seorang calon presiden yang menyadari kekhilafannya akan senantiasa mengakui bahwa penguasa di era modern hingga post-modern ini tak lebih dari pejabat-pejabat publik yang “mencalonkan diri” selaku pemimpin umat. Sementara tidak ada konsep “mencalonkan” dalam tradisi kepemimpinan Islam. “Sekarang saya mengerti kata-kata hikmah, bahwa ketika saya gagal, berarti Allah sedang melindungi dan menyelamatkan saya. Tetapi, jika saya sukses, hal itu semata-mata Allah sedang mengizinkan saya.” Begitulah kira-kira perkataan cerminan untuk individu pemimpin. Itu artinya, kemenangan dalam politik kekuasaan, hanyalah fase awal dari suatu perjalanan panjang, yang nantinya beban itu akan terasa berat dipikulkan di pundaknya, lantaran ia telah meminta dan menuntut dirinya, seakan telah “memaksa” Tuhan agar mengabulkan permintaannya. Sama halnya dengan bocah yang masih duduk di bangku SD, meminta dengan segala cara agar orang tuanya membelikan sepeda motor, bahkan jikapun orang tuanya tak memberinya, ia akan terus mendesak sampai berani mencuri uang orang tuanya agar terpenuhi kehendak dan keinginannya (meskipun bukan kebutuhan primernya). Mari kita bahas kata-kata hikmah di atas secara lebih mendalam, bahwa hakikatnya kekuasaan duniawi yang hanya terhitung dalam tempo lima atau sepuluh tahun, tidak berarti apa-apa dalam manajemen perhitungan Tuhan. Bahkan, jikapun seorang penguasa berbohong selama puluhan tahun. Misalnya, seseorang naik ke tahta kekuasaan dengan trik-trik dan berbagai siasat, ia merasa dirinya berhak membohongi masyarakat, karena ia merasa khawatir dibohongi lebih dulu di zaman yang (menurutnya) serba edan ini. Hal itu mengindikasikan, sejak ia mengawali kekuasaannya, memang sudah berangkat dengan konsep pemikiran yang salah yang menyimpang. Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang cerdas dan mulia, bahwa ia tetap tegar menghadapi bertubi-tubi cobaan dan permasalahan. Ia terlahir sebagai anak yatim di tengah prahara budaya dan tradisi Jahiliyah yang penuh pertikaian suku dan kabilah. Ia pernah dicaci-maki bahkan dilempari anak-anak muda karena dianggap gagal dalam mendidik umat (di daerah Thaif). Berkali-kali ia ditinggal mati orang-orang yang dicintai dan mencintainya, dari ibunya sendiri, kakek dan paman yang mengasuhnya, istri dan anak-anak yang sangat dicintainya. Barangkali dalam logika absurditas, nasib hidup yang nelangsa semacam itu, setidaknya ia bisa menjadi anak jalanan, atau gelandangan yang terseok-seok diperdagangkan di pasar-pasar budak. Ketika para kepala suku dan kabilah sibuk menunjukkan taring kekuasaannya, hingga saling memperebutkan posisinya, bahwa kelompok merekalah yang paling berhak memindahkan Hajar Aswad setelah pemugaran Ka’bah, justru Nabi Muhammad muda tak terpengaruh dengan kesibukan mereka yang saling menonjolkan diri di depan publik. Saat itu, Nabi Muhammad hanya membentangkan sorban, dan silakan saja para kepala kabilah memegang ujung-ujung sorban, lalu meletakkan batu hitam yang dianggap sakti dan keramat itu. Dari kacamata rohani dan spiritualitas Nabi Muhammad, pengaruh dan kekuasaan duniawi tak layak diperebutkan, meskipun tidak sedikit orang-orang di zamannya, betapa mereka saling sikut kiri dan kanan, hanya semata memperebutkan posisi jabatan dan kedudukan, yang kewenangan dan hak sepenuhnya berada di tangan Allah semata. Sesungguhnya, pemberian Tuhan yang bersifat istidraj, hanyalah mementingkan kegembiraan dan kesenangan sesaat yang bersifat nisbi dan semu belaka. Sedangkan, yang layak diperjuangkan adalah kebahagiaan sejati yang berpangkal dari anugerah yang bukan semata mendapat izin Allah melainkan juga ridho dari-Nya. Itu hanya mungkin diraih oleh orang-orang yang ikhlas dalam beramal, karena telah mengawali perbuatannya dengan niat-niat baik dan jujur, lalu ia terus istiqomah dalam menjalankan tugasnya, sampai kemudian berakhir dengan husnul khatimah. Pemberian kekuasaan yang berupa istidraj, boleh saja dipegang para penguasa negeri selama beberapa dinasti, bahkan hingga 309 tahun sekalipun. Tapi bagi orang-orang yang kualitas kesalehannya teruji, waktu sepanjang itu tak lebih dari sekali tidur dan terlelap di dalam gua, seperti yang pernah dialami para pemuda kekasih Allah (ashabul kahfi). Jadi, para politisi dan penguasa bisa saja bersiasat secanggih apapun, serta melakukan makar dengan segala dusta dan kefasikan, namun ketika mata-hatinya telah ditutup oleh Allah, maka tertutuplah ia dari jalan hidayah yang memungkinkan ia dapat terlindungi dan terselamatkan. Lalu, siapa lagi yang akan dia harapkan, jika Allah sudah berpaling darinya? Apakah ia akan meminta pertolongan dari orang-orang kaya dan berpengaruh, padahal mereka yang dimintai pertolongan itu pun sedang kewalahan mencari jalan untuk mendapat perlindungan dan keselamatan dari Allah? Mungkinkah orang-orang sakit yang kesibukannya hanya mementingkan kegembiraan dan kesenangan sekejap mata itu, dapat memberi pertolongan? Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah tak akan memberi petunjuk dan hidayah bagi orang-orang yang fasik dan zalim. Di sini tak berlaku lagi garis dikotomi antara pemimpin berlabel agamis, sosialis, humanis ataukah nasionalis. Walaupun pemimpin itu mengawali kekuasaannya dengan mendendam pada kemiskinannya di masa lalu, atau pernah menjadi pesakitan yang terkorbankan oleh penguasa-penguasa sebelumnya, tetap jalan “mendendam” karena penderitaan masa lalu, tak bisa dibenarkan dalam logika ketuhanan. Bahkan, jikapun dendam itu berdasarkan kepentingan agama tertentu, atau berdasarkan mazhab tertentu. Sebab, di dalam iman yang dewasa akan saling terhubung meskipun manusia berbeda agama. Tetapi, dalam iman kepada thagut (syirik), orang-orang akan sulit saling terkoneksi, meskipun dalam satu agama. Jadi, pemimpin bijak dan adil itu sudah selesai dengan masa lalunya, juga selesai dengan ego-ego pribadinya. Apakah dulunya ia anak seorang raja yang makmur secara ekonomi, ataukah anak seorang sudra (kuli), hal tersebut tak boleh menjadi acuan yang membuatnya harus membalas-dendam atas masa lalunya. Seorang pahlawan pembela tanah air, yang berjiwa ksatria, serta berhasil mengadakan perlawanan atas pendudukan kaum penjajah, pada akhirnya juga mesti bersikap rendah hati, bahwa hakikat kemerdekaan terwujud berkat rahmat dan kasih sayang Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Allah berhak melanggengkan kemerdekaan itu bagi suatu bangsa, juga berhak mencabut anugerah kemerdekaan itu kembali, terlepas apakah para penjajahnya adalah dari ras dan suku yang sama. “Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang punya kemauan untuk mengubah dirinya sendiri. Jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, tak ada yang bisa menolaknya, serta tak ada yang menjadi pelindung kecuali hanya Allah semata,” demikian termaktub jelas dalam surat ar-Ra’d, ayat 11. Alkisah, di masa kepemimpinan Umar bin Khattab, seorang sahabat Nabi, Said bin Amir, sebenarnya tak pernah bercita-cita menjadi seorang pejabat tinggi di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Tiba-tiba, Umar selaku sahabat lamanya, menunjuk Said bin Amir agar menjabat Gubernur di wilayah Damsyik (Damaskus). “Tolong jangan bebani saya dengan tugas seberat ini, wahai Umar,” demikian Said bin Amir menyatakan penolakannya kepada Khalifah Umar. “Sahabatku, Said bin Amir,” balas Umar, “sekarang saya sudah dilantik sebagai Khalifah, karena pilihan kalian. Lalu, kenapa Anda menolak ketika saya punya kewenangan untuk menunjuk orang yang saya pilih?” Baca Juga Kriteria Pemimpin yang Baik Menurut Nabi Said bin Amir memang kurang dikenal di kalangan para sahabat Nabi. Ia seorang yang introvert dan kurang percaya-diri. Namun, Umar mengenal kapasitasnya selaku sahabat dan pengikut jejak perjuangan Nabi, meski karakteristiknya cenderung pasif dan tak suka menonjolkan diri. Umar menilai Said bin Amir sebagai sahabat yang zuhud, tetapi ia memiliki jiwa leadership yang tangguh. Damaskus kala itu termasuk salah satu wilayah yang tergolong makmur dengan pesatnya kemajuan di bidang perdagangan dan jasa. Tetapi, Said bin Amir menolak tunjangan dan fasilitas mewah yang disediakan negara, pada saat ia menjabar Gubernur. Ia juga menolak tunjangan khusus bagi keluarga Gubernur maupun saudara kerabatnya. Ia ingin mendidik istri dan anak-anaknya agar bersikap santun kepada para fakir-miskin, serta mengajarkan orang-orang terdekatnya agar hidup bersahaja. Bagi Said bin Amir, kenikmatan dan kemegahan dunia ini hanyalah sekejap mata, dan merupakan kesenangan yang menipu. Tak ada kenikmatan dalam kefanaan, tetapi kebahagiaan dan kenikmatan abadi justru di negeri akhirat kelak. Sungguh, alangkah bodoh dan dungu, jika seorang penguasa memilih jalan dendam, kemudian tidak ada keberanian untuk berusaha menolak menipu rakyatnya.

Sumber: https://www.nu.or.id

Editor: Alima sri sutami mukti