SEJARAH TASAWUF
Sejarah tasawuf dimulai era Nabi yang dinamakan era zuhud dengan tokoh Hasan Al-Bashri dan Rabi’ah Al-Adawiyyah. Era selanjutnya adalah mempelajari an-nafsu pada abad ke 4. 5, dan 6 Hijriyah. Di era ini, internalisasi tasawuf sudah berjalan dengan baik dan istilah tasawuf sudah mulai dikenal. Tokoh – tokoh tasawuf yang dikenal adalah az-Zuhrawardi, Al-Qusyairi, Al-Ghazali, Al-Hallaj, Dzunnun Al-Mishri, Ibnu Arabi, dan Umar Al-Farid. Tasawuf di era ini dibagi menjadi tasawuf sunni dan falsafi.
Era ini disusul dengan era lahirnya tarekat untuk menjembatani agar teori tasawuf yang rumit bisa dinikmati oleh orang awam. Lahirnya tarekat Ahmad Al-Rifai, Abu Hasan Asy-Syadzili, Bahauddin An-Naqsyabandi, Al-Burhani, Abdul Qadir Al-Jilani, Al-Badawi, dan lain – lain. Sebelum era terakhir ini orang bertasawuf tidak mempunyai tarekat. Justru pemikiran Imam Ghazali memengaruhi tarekat – tarekat yang ada. Tarekat Syadziliyyah sangat terpengaruh pemikiran Imam Ghazali. Imam Ghazali lebih dulu lahir sebelum lahirnya tarekat – tarekat yang ada. Oleh sebab itu, jangan menilai ulama yang tidak mengikuti aliran tarekat sebagai orang yang tidak bertasawuf. Orang yang bertasawuf tidak harus masuk dalam organisasi tarekat. Lebih jelasnya lihat table 2:
SEJARAH TASAWUF

PEMBAGIAN TASAWUF
Tasawuf dibagi dua. Pertama, Tasawuf sunni yang dikenal dengan tasawuf amali atau suluki adalah tasawuf yang menekankan pada amal dengan mengkaji rahasia – rahasia (asrar) dan hikmah yang ada dibalik ibadah formal. Misalnya, rahasia – rahasia yang ada dibalik ibadah salat, puasa, zakat, dan haji. Tasawuf sunni dikenal dengan tasawuf suluki yang di dalamnya ada maqamat (posisi) dan ahwal (pengalaman spiritual) yang harus dijalani seseorang dalam proses yang dijalani menuju wushul (sampai tujuan) ke hadiral Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali adalah karya dalam bidang tasawuf sunni atau suluki yang menekankan penghayatan rahasia yang ada dalam ibadah formal. Tasawuf ini berpijak kepada ilmu fikih. Ia melapisi esensi yang ada dalam ilmu fikih.
Kedua, tasawuf falsafi yang lebih menekankan kepada kontemplasi, refleksi, dan observasi intelektual. Tasawuf ini mendorong manusia untuk berfikir mendalam tentang eksistensi Allah dan alam semesta. Eksistensi alam semesta lahir karena eksistensi Allah. Alam tidak wujud tanpa eksistensi Allah. Allah adalah eksistensi sejati, sedangkan alam adalah eksistensi semu yang akan hancur. Eksistensi sejati yang abadi hanya Allah, tidak yang lain. Hakikat eksistensi selain Allah adalah pancaran eksistensi Allah. Inilah yang melahirkan konsep wahdatul wujud (kesatuan eksistensi) karena tidak ada eksistensi sejati kecuali eksistensi Allah. Tokoh sufi yang terkenal dalam hal ini adalah Ibnu Arabi yang terkenal dalam karya – nya Al-Futuhat Al-Makiyyah (penyingkapan Rohani di Mekah).
Menurut sumber lain, ada model tasawuf irfani, yaitu tasawuf yang berusaha menyingkat hakikat kebenaran yang dihasilkan dengan tidak menggunakan logika, pembelajaran atau pemikiran, tapi murni pemberian Tuhan (mauhibah) yang diperoleh lewat proses tashfiyatul qalbi (pembersihan hati). Hati yang suci mampu berdialog dengan Tuhan secara batin, sehingga Tuhan memasukkan pengetahuan atau ma’rifat ke dalam hati manusia yang menyingkap kebenaran lewat intuisi (ilham). Tokoh – tokoh antara lain : Rabiah Al-Adawiyyah, Dzunnun Al-Mishri, Junaid Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Busthami, Jalaluddin Ar-Rumi, Ibnu Arabi, Abu Bakar Asy-Syibli, Abu Hasan Al-Khurqani, ‘Ain Al-Qudhat, Al-Hamdani, dan Najmuddin Al-Kubra. Tasawuf Irfani ini memasukkan nama tokoh yang masuk dalam tasawuf sunni dan falsafi karena menitik beratkan kepada proses pembersihan hati. Kriteria tasawuf irfani ini abstrak karena berdasarkan ilham yang sangat privasi.
Menurut Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 638 H.), realitas alam semesta yang majemuk adalah bukti ke-Maha Esa-an Allah. Fenomena yang terlihat dalam kosmos adalah penampakan (tajalli) nama – nama sifat Allah. Tuhan dalam ke-Maha Esa-an-Nya ingin melihat Zat-Nya yang immateri dan memperkenalkan diri-Nya. Maka, lahirnya nama dan sifat, seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al-Jabbar (Maha Memaksa), dan Al-Qahhar (Maha Menekan). Nama dan sifat ini ternyata belum mampu dikenal, maka diperlukan cermin penjernih dalam bentuk alam semesta, Binatang, dan malaikat. Ketika semua makhluk ini belum mampu menjadi cermin Allah yang tepat, maka Adam lahir yang mampu menampakkan bentuk-Nya secara tepat. Oleh sebab itu, setiap gerakan manusia adalah pancaran diri-Nya. Manusia diktator adalah penampilan sifat Al-Jabbar Allah. Manusia yang lemah lembut adalah penampilan sifat Al-Lathif Allah. Dalam diri manusia, menurut Ibnu Arabi, ada esensi ketuhanan (Al-Haqq) dan dalam diri Tuhan (Al-Haqq) terselit sifat Al-Khalaq (Fahuwa Al-Haqq Al-Khalaq).
Sufi pertama yang membawa aliran filsafat (tasawuf falsafi) adalah Abu Yazid Al-Busthami yang lahir di Bistam Persia tahun 874 M. dan meninggal di usia 73 tahun. Meskipun lahir dari keluarga terpandang, namun Abu Yazid lebih memilih hidup sederhana dan memberikan kasih sayang kepada fakir miskin. Konsepnya yang terkenal adalah Al-Ittihad (bersatunya seseorang dengan Tuhan). Dalam konsep ini, seseorang telah meyakini bahwa di dunia hanya ada satu wujud, meskipun yang sebenarnya ada dua wujud. Namun yang disadari adalah wujud Tuhan. Sufi lain dalam aliran tasawuf falsafi adalah Husein Ibn Mansur Al-Hallaj yang lahir di Madinah Al-Baida’ Iran Selatan tahun 858 M. yang pindah ke Irak. Al-Hallaj ini dikenal dengan konsep Al-Hulul (mengambil tempat), yaitu paham yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya.
Namun sebelum itu, seorang Sufi harus menghancurkan sifat – sifat kemanusiaannya, sehingga yang tampak dalam dirinya adalah sifat – sifat ketuhanan. Ketika dalam kondisi ini, Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi tersebut. Al-Hallaj dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah ekstrim dan kaum Qaramitah yang sering menentang pemerintahan Bani Abbas, sehingga di tahun 922 M. Al-Hallaj dijatuhi dan dilaksanakan hukuman mati padanya. Hukuman ini bukan hanya karena ucapannya : Ana Al-Hallaq (Saya yang Maha Benar), tapi juga disebabkan factor politik. Setelah Al-Hallaj, tasawuf falsafi diteruskan oleh Ibnu Arabi yang terkenal dengan konsep Wahdah Al-Wujud.
Lebih tepatnya lihat tabel 3 :
TOKOH TASAWUF SUNNI, FALSAFI, DAN IRFANI18


18Disarikan dari buku Hamka, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Jakarta : Republika, 2016, dan buku Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Bandung : Rosda, 2014, cet. 2
Referensi Buku : Tasawuf Sosial (KH. MA. SAHAD MAHFUDH) Tasawuf Kajen Menghadirkan Solusi (hlm. 16 – 20)
Penulis Buku : DR. JAMAL MA’MUR ASMANI
Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa