Islam periode Rasulullah SAW dan para Sahabat RA
Periode Rasullah SAW yakni masa hidup beliau, pasti islam dilaksanakan secara baik dan benar, tepat sesuai al-Qur’an dan as-sunnah, dan tidak menyimpang sedikitpun, khususnya oleh bimbingan- ilahi. Juga para sahabat RA yang terbimbing dan terkontrol langsung olehnya.
Amaliah Rasulullah SAW, mustahil menyimpang dari petunjuk al-Qur’an, karena amaliahnya inilah yang diteladani oleh para sahabat RA dan umat berikutnya. Mustahil pula jika Rasul teledor dalam membimbing dan mengontrol amaliah para sahabatnya.
Amaliah lahir batin Rasulullah SAW yang diteladankan kepada para sahabat RA secara lansung serta kepada para pengikutnya sepanjang zaman secara tidak langsung, inilah yang disebut sebut sebagai as-Sunnah. Amaliahnya yang diteladani secara langsung oleh para sahabat RA, yang kemudian menjadai jalan hidup mereka itulah yang kemudian disebut sebagai thariqah sahabat RA.
As-sunnah yang diteladankan Rasulullah SAW pastilah benar dan tepat sesuai Al-Qur’an. Sedankan thariqah sahabat RA, khususnya yang secara langsung melazimi sunnah Rasulullah SAW sehari-harinya, terlebih lagi sahabat empat yang pada gilirannya disebut al-khulafa’ ar-Rasyidun praktis sesuai benar dengan petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah. Inilah subtansi makna as-sunnah dalam term ahlussunnah wal jama’ah.
- ISLAM PERIODE SAHABAT RA
Perbedaan pendapat pertama yang kemudian menjadi problematika umat islam mulai muncul sejak Rasulullah saw wafat. lalu semenjak terbunuhnya khalifah ketiga, Ustman ibn Affan RA problematika politik semakin menjadi, berlanjut pada masa Ali ibn Abi Thalib RA sebagai khalifah keempat. Pada masa ini, perbedaan pendapat yang awalnya berorientasi pada politik, berujung pada persoalan akidah.
Nabi Muhammad SAW wafat pada 02 Rabi’ul Awwal 11 H/ 08 Juni 632 M. Pada hari wafatnya, seklompok kaum Anshar di bawah pimpinan Sa’ad bin Ubadah dari suku Khazraj berkumpul di saqifah Bani Sa’idah untuk memilih Khalifah, pemimpin pengganti Nabi Muhammad SAW. Mendengar hal ini kaum Muhajirin datang ke Saqifah di bawah pimpinan Abu bakar As-Shiddiq RA dan Umar bin Khatthab RA.
Setelah melewati perdebatan cukup senggit, dimana kaum Anshar mengajukan Sa’ad bin Ubadah RA sebagai dan kaum muhajirin mengajukan kepada Abu bakar As-Shiddiq RA atau Umar bin Khatthab RA, akhirnya semua sepakat mengangkat sahabat yang paling utama, yaitu Abu bakar As-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW.
Sampai masa kekhalifahan sahabat Umar bin Khattab RA, perpecahan belum begitu tampak. Tetapi sejak kekhalifahan Ustman bin Affan RA, fenomenanya mulai jelas. Lalu pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib RA perpecahan menjadi nyata. Dampaknya menjadi sumber perbedaan paham di tengah umat Islam dalam memedomani ajaran agamanya.
Sejak Abu Bakar RA dibai’at menjadi Khalifah, muncul gerakan pembangkang zakat yang menjadi sendi (rukun) Islam. Di ruang lain muncul pula gerakan ant-Islam di bawah komando nabi-nabi palsu seperti Musailamah Al-kadzdzab, Aswad al-Ansi, dan Thulaihah bin Khuwailid.
Meluasnya wilayah pemerintahan Islam di masa kepemimpinan Umar RA pun tak urung menimbulkan dendam terpendam dari para penguasa yang ditaklukan. Timbul gerakan bawah tanah untuk menyusupkan ajaran agama mereka kedalam ajaran islam dengan target menghancurkan islam dari dalam. Indikasinya sangat jelas, yakni terungkapnya kisah kisah israiliyyat di dalam beberapa disiplin keilmuan. Lebih nyata lagi pada kasus pembunuhan Umar Bin Khattab RA sendiri.sejarah mencatat, Pembunuhnya adalah Abu Lu’luah, Hurmuzan (keduanya asal persia / yahudi) dan Jufainah (Nasrani). Inilah indikasi nyata dendam kesumat dari negeri negeri taklukan sahabat Umar RA.
Di masa pemerintahan Ustman Bin Affan RA (23-35H) wilayah kekuasaan islam meluas,namun juga muncul banyak perpecahan. Abdullah Bin Saba’ mulai behasil mempengaruhi dan meracuni elit politik. Perasaan tidak puas pada kepemimpinan Ustman Bin Affan RA semakin menjadi. Kontra politik sengaja dibesar-besarkan, dan pemberontakan demi pemberontakan terjadi di Kufah, Basrah, Mesir, dan tempat lain yang bertujuan menjatuhkan kepemimpinannya. Pada masa kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib RA, umat islam mulai lebih jelas terpetakan dalam mazhab politik dan akidah.
- Mazhab Politik
Pasca Rasulullah SAW wafat, umat islam dalam ranah siyasah (politik) terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Jumhur Muslimin, yaitu mayoritas umat islam. Mereka menyepakati Abu Bakar As-Shiddiq RA menjadi Khalifah Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan tugas-tugas dakwah islam dan kenegaraan.
Kedua: Syiah, yang muncul pada 30H dipelopori Abdullah Bin Saba’ pendera Yahudi Yaman yang masuk islam dan berposisi terhadap Khalifah Ustman Bin Affan RA. Saat datang ke Madinah ia tidak terlalu mendapat penghargaan dari Khalifah dan umat islam lain, sehingga menyimpan kemarahan.
Syiah adalah sebagian kecil umat islam yang mendeklarasikan Ali Bin Abi Thalib RA menjadi Khalifah Nabi Muhammad SAW. Syi’ah mempunyai dokrin Nabi Muhammad SAW telah berwasiat secara terang-terangan bahwa Ali Bin Abi Thalib RA merupakan Khalifah penerus kepemimpinannya. Sehingga diserukan kepada khalayak bahwa Ali yang berhak menjabat sebagai Khalifah, sedangkan Abu Bakar As- Shiddiq, Umar Bin Khattab RA dan Ustman Bin Affan RA tidak sah dan telah merampas hak Ali Bin Abi Thalib, padahal sebenarnya beliau justru melarang siapa pun yang mengagung-agungkannya melebihi mereka.
Syiah secara umum (selain zaidiyah) dalam hal immah (kepemimpinan) meyakini:
- Imamah (kepemimpinan) hanya milik keturunan Rasulullah SAW sedangkan bagi selain keturunannya adalah kezaliman.
- Imamah bukan merupakan urusan terkait kemaslahatan yang didasarkan pada proses pemilihan dan pengangkatan umat islam secara umum, tapi merupakan dasar agama islam yang Rasulullah SAW dan Rasul lainnya tidak mungkin menyia-nyiakan dengan menyerahkan kepada umatnya.
- Para Imam bersifat ma’shum (terjaga dari dosa besar dan kecil) sebagai mana Rasulullah SAW dan para Rasul lainnya.
Penyimpangan yang dilakukan Syiah dengan berbagai golongan itu, antara lain (1) berani memasukan kepercayaan Yahudi dan Nasrani serta Hindu Samani dan Majusi tentang paham inkarnasi(al-hulul) dan paham reinkarnasi (al tanashukh) ke dalam ajaran islam, (2) mengkultuskan sahabat Ali Bin Abi Thalib RA, serta mengafirkan tiga khalifah sebelumnya, (3) menolak pendapat ijma’ dan Qiyas, serta membolehkan kawin kontrak (mut’ah).
Ketiga: Khawarij. Pasca perang siffin, perang saudara sesama islam antara tentara khalifah Ali Bin Abi Thalib RA dan tentara Mu’awiyah Bin Abu Sufyan RA (Gubernur Syiria) pada 37 H muncul pula Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari sayidina Ali Bin Abi Thalib dan Mu’awiyah Bin Abu Sufyan.
Khwarij merupakan kelompok minoritas yang:
- Keluar dari jama’ah (persatuan umat islam) di bawah pimpinan Ustman Bin Affan RA, dan menobatkan diri sebagai oposisi, bahkan membunuhnya karena menggangapnya telah kafir.
- Menolak kebijakan Ali Bin Abi Thalib RA yang menerima tahkim (perjanjian damai) dengan Mu’awiyah Bin Abu Sufyan. Mereka menyatakan keluar daeri jama’ah di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib RA, dan menjadi oposisi.
Tiga mazhab dalam bidang siyasah (politik) tidak secara langsung mempengaruhi terbentuknya mazhab-mazhab dalam bidang akidah.
- Mazhab Akidah
Pasca Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin masih dalam satu manhaj dalam bidang ushuluddin, namun kemudian muncul bid’ah akidah. Tiga mazhab siyasah di atas menjadi titik awal terbentuknya mazhab-mazhab dalam bidang akidah. Mazhab di bidang akidah berlanjut menjadi semakin banyak. Hal ini menjadi pada masa akhir sahabat.
- ISLAM PERIODE TABI’IN
Maksud periode Tabi’in ialah pasca kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Thalib RA yang ditandai dengan munculnya sekte-sekte islam yang banyak mendapatkan sorotan ulama dan ahli sejarah, seperti: Qadariyah, Murji’ah, dan Jabbariyah.
Qadariyah dengan pendirinya Ma’bad al-Juhani dan Ghilan ad-Dimasyiqi antara lain berpendapat, manusia memiliki qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan perbuatannya tanpa intervensi Tuhan sama sekali. Sedangkan pendapat yang paling menonjol dari sekte Murji’ah yang di pelopori oleh Hasan bin Bilal al-Muzni, Abu Salah as-Saman, Sauban dan Dirar bin Affan RA. Mereka enggan menyatakan bagaimana hukum kelompok Syi’ah, Khawarij, Mu’awiyah, ataupun kelompok Ali sendiri? Hukum masing-masing diserahkan kepada Tuhan kelak pada hari kiamat. Tapi kemudian pendapatnya meluas termasuk meniadakan hukum qishas, diyat, atau hukuman bagi pezina. Semua hukuman ditunda sampai hari kiamat.
Sementara itu sekte Jabariyah dengan pendirinya Jahm Bin Shafwan, yang sering disebut sekte Jahmiyah, menyatakan bahwa manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan manusia diciptakan secara mutlak oleh qadar Tuhan. Baik-buruknya perbuatan manusia, semata-mata merupakan perwujudan dari baik buruknya qadar Tuhan. Pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat sekte Qadariyah.
Tentang keempat sekte ini, sebagian ulama berpendapat sebenarnya kembali pada dua sekte. Qadariyah adalah nama lain dari Mu’tazilah, dan Murtaji’ah nama lain dari Jabariyah atau Jahmiyah. Namun yang pengaruhnya sangat kuat karena hingga kini terus mewarnai perdebatan kalam (teologis) umat islam ialah sekte Mu’tazilah.
Nama Mu’tazilah merupakan nisbat ucapan Syaikh Hasan Basri tatkala mengeluarkan muridnya yang radikal, Wasil Bin Atha Al-Ghazal(80-131H).I’tazil’anna! (keluarlah dari perguruanku!). Wasil inilah yang dikenal sebagai pendiri sekte Mu’tazilah.
Wasil sendiri menamakan sektenya dengan sebutan ahl al-adl wa at-Tauhid (golongan yang berpaham adil dan meng-Esakan Tuhan) yang sekaligus mengindikasikan pendapat utamanya. Adil menurutnya ialah Tuhan membalas amal perbuatan manusia yang diciptakan sendiri tanpa intervensi qadar-Nya. Sedangkan tauhid menurutnya ialah Tuhan Esa tanpa diembel-embeli berbagai sifat dan tidak memiliki sifat-sifat.
Keradikalan Mu’tazilah, meskipun akhirnya terpecah hingga 22 sekte; semuanya terlalu berlebihan dalam memuja kemampuan akal, dan nyaris mengabaikan petunjuk naqli Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk(ciptaan Tuhan) dan bersifat hadist (Baru). Pertanyaan terakhir inilah yang kemudian disebut oleh banyak kalangan sebagai al-Mihnah (ujian bagi ulama mayoritas yang tetap berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan, dan bersifat qadim).
Sampai periode tabi’in istiah Ahlussunnah Wal Jama’ah masih belum muncul sebagai gerakan bersama.
D.ISLAM PERIODE IMAM MAZHAB EMPAT
Periode Imam Mazhab Empat pada dasarnya merupakan periode kemunculan mazhab fikih yang sangat banyak. Namun kemudian tinggal empat Mazhab saja yang hingga kini diterima dan diakui mayoritas umat Islam,yaitu:
- Pendirinya Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah (80-150H).
- Pendirinya Malik bin Anas (93-170H).
- Syafi’i. Pendirinya Muhammad bin Idris As-Syafi’i (150-204H).
- Pendirinya Ahmad bin Hanbal (164-241H).
Keempat Imam Mazhab tersebut adalah penegak subtansi paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang sangat handal. Selain di bidang Fikih, mereka pun banyak menyinggung lingkup kalam (akidah) dan akhlak dengan merujuk pada Sunnah Rasul dan Thariqah Sahabat Empat, dan senantiasa berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah.
- ISLAM PERIODE AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI
Periode ini pada dasarnya adalah periode institusi Ahlussunnah Wal Jama’ah, khususnya dalam lingkup kalam (teologi). Karena sejak kemunculan dua tokoh besar Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, Ahlussunnah Wal Jama’ah semakin melembaga.
Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H) berada di Basrah dan Abu Mansur al-Maturidi (248-333 H) berada di Khurasan yang saling berjauhan dan praktis tidak pernah berkomunikasi, secara kebetulan sama-sama berjuang menegakkan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menolak paham Mu’tazilah yang terus berkembang dan mendapat dukungan politis dari Khalifah dan Daulah Abbasiyah terutama khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Wasiq.
Meski kemasan institusi al-Asy’ari dan al-Maturidi sebatas dalam linkup teologi, namun mengingat secara subtansial paham Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah melekat di hati mayoritas umat sejak zaman Rasul SAW, maka mereka segara mendapat sambutan hangat dari berbagai penjuru dan institusi Ahlussunnah Wal Jam’ah segera menjadi mazhab mayoritas umat Islam.
Penulis: Fachry Syahrul