Hakikat Dan Prinsip Gaya Hidup Islami

Dalam kehidupan manusia sehari-hari islam hadir untuk mengatur kehidupan manusia di dunia fana ini, dengan berlandaskan pada kitab suci Al-Qur’an yang turun sebagai kitab suci untuk seluruh umat manusia dari awal peradaban manusia hingga kelak pada hari akhir zaman. Allah adalah satu – satunya Tuhan yang disembah oleh umat manusia, dan Nabi Muhammad adalah salah satu utusan dari Allah untuk mengarahkan umat manusia kepada jalan yang benar. Islam menyebar secara luas, baik itu dalam ilmu pengetahuannya hingga aturan-aturan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad ke seluruh penjuru dunia.

Manusia diciptakan Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah, manusia tentu memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Allah SWT menganugerahi manusia suatu kemampuan yang tidak dimiliki makhluk lain, yaitu kemampuan berpikir dan kemampuan fisik. Hal itu dimaksudkan untuk membantu manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai khalifah di bumi. Dengan kemampuan berpikirnya, manusia dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk di dalam kehidupan yang fana ini. Dengan anugerah tersebut manusia dalam kesehariannya dapat mengambil yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, serta mampu mencegah sesuatu yang dapat berakibat buruk bagi dirinya juga orang lain. Sedangkan kemampuan fisik yang dimiliknya, manusia dapat berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya.

Ada dua hal yang umumnya dicari oleh manusia dalam kehidupan ini. Yang pertama ialah kebaikan (al-khair) dan yang kedua ialah kebahagiaan (as-sa’adah). Jika dua hal tersebut terpenuhi dalam setiap perjalanan hidup manusia, jelas akan membuat manusia merasakan ketentraman lahir dan batin. Hanya saja, untuk mewujudkan kedua hal tersebut memang bukanlah sesuatu yang mudah. Masing-masing orang mempunyai pandangan yang berbeda ketika memahami hakikat keduanya, perbedaan inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia.

Perbedaan cara pandang yang akhirnya menjadi perbedaan persepsi itu memunculkan beragam cara hidup atau yang lebih populer disebut sebagai perbedaan gaya hidup. Bagi umat muslim, gaya hidup setiap individu telah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya melalui Al Qur’an dan As Sunnah. Keduanya adalah penuntun yang paling tepat untuk menuju ke arah jalan yang lebih lurus. Namun, seiring perkembangan zaman sepertinya telah mengubah sebagian besar kaum muslim dalam memahami tuntunan dalam menjalani hidup. Saat ini sebagian orang memang bergaya hedonis, suka berfoya foya dan hanya memikirkan kepentingan duniawi saja. Sungguh hal tersebut sangat bertentangan dengan gaya hidup sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dalam pandangan Islam gaya hidup dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, pertama gaya hidup Islami dan kedua gaya hidup jahili. Gaya hidup Islami mempunyai landasan yang mutlak dan kuat, yaitu tauhid. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT berikut ini yang artinya:

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

 

Berdasarkan arti ayat tersebut, jelaslah bahwa bergaya hidup Islami hukumnya wajib bagi setiap muslim, dan gaya hidup jahili adalah haram hukumnya. Hanya saja dalam kenyataan justru membuat kita sangat prihatin, sebab justru gaya hidup jahili yang diharamkan itulah yang mendominasi sebagian besar gaya hidup umat Islam. Fenomena ini persis seperti yang pernah disinyalir oleh Rasulullah SAW. Beliau bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengikuti jejak umat beberapa abad sebelumnya, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta”. Ditanyakan kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, mengikuti orang Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?”. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah, shahih)

Berikut ini adalah beberapa Prinsip Gaya Hidup Islami yang Diridhai Allah :

1.Berniat Untuk Ibadah.

2.Baik dan Pantas

3.Halal dan Thayib

4.Tanpa Kebohongan

5.Tidak Berlebihan

Berpola hidup sederhana harus dibudayakan dan dilakukan untuk umat Islam. Mengapa? Karena seseorang yang sederhana akan mudah melepaskan diri dari kesombongan dan lebih mudah merasakan penderitaan orang lain. Jadi, bagi orang yang merasa penampilannya kurang indah, perindahlah dengan kesederhanaan. Sederhana adalah buah dari kekuatan mengendalikan keinginan. Seperti hal nya sifat yang Rasulullah ajarkan.

Nabi Muhammad adalah sosok yang sangat sederhana. Walaupun harta beliau sangat banyak, rumah beliau sangatlah sederhana, tidak ada singgasana, tidak ada mahkota walaupun jika beliau mau hal itu akan sangatlah mudah beliau dapatkan. Lalu, untuk apa Nabi Muhammad memiliki harta? Beliau menggunakan harta tersebut untuk menyebarkan risalah Islam, berdakwah, membantu fakir miskin, dan memberdayakan orang-orang yang lemah. Dari apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, kita harus kaya dan harus mendistribusikan kekayaan tersebut kepada orang lain sebanyak-banyaknya, terutama untuk orang terdekat. Kita harus ingat bahwa Allah menunjuk kita sebagai khalifah di muka bumi.

وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمُۢ

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-An’am:165]

Setiap Muslim adalah pelayan bagi bumi, dan Islam adalah agama yang adil. Kita harus berusaha untuk hidup dalam keselarasan dan kesederhaaan agar ketenangan jiwa dan ketentraman selalu dalam hati kita yang Insyaa Allah akan membawa kita lebih dekat kepada Allah. Hidup hanya sekali gunakan hidup untuk kebaikan dan kebermanfaatan untuk orang lain. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang beruntung.

Wallahu a’lam bisshawwab.

Penulis: Raisya Audyra

Peristiwa Yang Terjadi Dan Bantahan Rasulullah SAW Perihal Bulan Safar

Dalam khazanah Islam, bulan yang termasuk banyak peristiwa bersejarah terjadi adalah Safar. Safar adalah bulan kedua setelah bulan Muharram pada sistem penanggalan Hijriyah.

Meskipun Safar dikenal sebagai bulan keislaman, namun tak jarang terdapat berbagai kalangan yang salah dalam memaknai bulan tersebut. Bahkan terdapat anggapan bahwa Safar, dapat mendatangkan suatu kesialan.

Masyarakat Arab jahiliyyah dulu, mempercayai Safar sebagai bulan penuh kesialan, kemalangan dan hal-hal buruk lainnya. Mereka percaya bahwa pada bulan tersebut, akan datang berbagai kemalangan yang dapat menimpa siapa saja. Kepercayaan tersebut bahkan tetap ada sampai masa Rasulullah SAW.

Safar sendiri dalam bahasa Arab berarti “kosong”, makna ini merujuk pada kebiasaan masyarakat Arab dulu yang terbiasa berpergian meninggalkan rumah untuk mengumpulkan makanan ataupun untuk keperluan perang.

Akan tetapi sebagian orang Arab dulu mengartikan Safar juga sebagai sejenis penyakit dalam perut, berbentuk ulat besar yang mematikan. Karena kepercayaan itu pulalah orang Arab dulu menganggap Safar sebagai bulan sial atau bulan nahas.

Mengutip dari buku karangan H. A Zahri berjudul “Pokok-Pokok Akidah yang Benar”, kepercayaan bahwa Safar mendatangkan kesialan dapat disebut juga sebagai jenis khurafat atau mitos. Yakni secara bahasa artinya cerita bohong dan secara istilah khurafat berarti cerita rekaan atau khayalan. Kepercayaan tersebut bahkan dibantah langsung oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang berbunyi:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامَة ولا صَفَر
“Tidak ada kesialan karena ‘adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi) dan tidak pula Safar (menganggap bulan Safar sebagai bulan haram atau keramat).” (HR Bukhari)

Muhammad Khoirul Huda dalam bukunya Ilmu Matan Hadis, menyitir Abu ‘Ubaid bahwa melalui hadits di atas, Rasulullah SAW sedang berupaya mengkritik keyakinan khurafat kaum jahiliyyah. Yaitu keyakinan bahwa kesialan, keburukan nasib, dan mara bahaya disebabkan sesuatu di luar takdir Allah seperti karena pengaruh hama/wabah (‘adwa), maupun musim atau waktu tertentu seperti Safar.

Kepercayaan semacam itu bukanlah bagian dari ciri orang beriman, yakni orang yang memahami bahwa segala rahasia dari peristiwa-peristiwa itu hanya ada dalam genggaman Allah SWT, dan tidaklah suatu peristiwa itu terjadi melainkan karena rencana-Nya. Bukanlah keyakinan seorang mukmin pula untuk membenci Safar, ataupun enggan menyambutnya, ataupun menahan diri dari urusan hidup seperti pada hari-hari dan bulan lain biasanya.

Pada bulan Safar pun, Selain karena pada bulan tersebut Nabi Muhammad SAW melakukan Hijrah untuk pertama kalinya, ada banyak lagi peristiwa bersejarah penting lainnya yang perlu kita ketahui bersama. Banyak peristiwa penting yang bisa memberikan pelajaran penting bagi seluruh umat Islam untuk mengamalkan banyak kebaikan untuk kemajuan dakwah Islam.

Selama ini Bulan Safar seringkali dikaitkan dengan mitos masa-masa kesialan, atau bahkan disebut juga sebagai bulan marabahaya.

Asumsi negatif itu berangsur-angsur berkembang bahkan hingga pada masa Rasulullah SAW. Namun Rasulullah SAW menampiknya dan bahkan menyelenggarakan acara penting seperti pernikahan pada bulan Safar.

Lalu apa saja peristiwa-peristiwa bersejarah penting yang terjadi di bulan Safar?

Berikut ini rangkuman peristiwa bersejarah di Bulan Safar:

  1. Perang Al-Abwa, Perang Pertama dalam Islam

Dalam terminologi sejarah keislaman, terdapat dua macam jenis perang, yakni Ghazwah yang artinya peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah SAW sendiri, dan Sariyah yang artinya peperangan yang dipimpin oleh para sahabat.

Pada tahun pertama hijriah Bulan Safar, Rasulullah SAW. ikut andil dalam perang Abwa. Secara langsung, Rasulullah SAW turut terjun dalam medan perang yang kadangkala disebut juga sebagai perang Buwath itu.

  1. Perang Khaibar

Dikutip dari buku Sirah Nabawiyyah karya Abul Hasan Ali Al-Hasani An Nadwi, sekembalinya Rasulullah SAW dari Hudaibiyah pada bulan Dzulhijjah, beliau tinggal di Madinah selama beberapa hari pada bulan Muharram, lalu sisa hari dari bulan Muharram ke Bulan Safar itulah Rasulullah SAW pergi menuju Khaibar. Dengan pasukannya yang berjumlah 1.400 orang disertai 200 pasukan berkuda itu, Rasulullah SAW mampu menaklukan Khaibar yang meliputi benteng-benteng terkenal bernama Naim, Qumush, Syiq, dan Nithah. Perang tersebut terjadi pada tahun ketujuh hijriah di Bulan Safar.

  1. Ekspedisi Qutbah bin Amir bin Hadidah

Qutbah bin Amir adalah seorang dari Kaum Ansor. Pada Bulan Safar di tahun 9 hijriah, Rasulullah SAW mengutus Qutbah bin Amir menuju daerah yang dihuni Suku Khas’am, dekat dengan wilayah Bisah dekat Turabah. Qutbah pergi dengan membawa 20 tentara, dan memerintahkannya untuk menyerang Suku Khas’am.

  1. Perang Dzu’Amr

Disitir dari keterangan Ibnu Ishaq, sekembalinya Rasulullah SAW dari perang Sawiq, nabi tinggal sementara di Madinah pada bulan Dzulhijjah dan Muharram dengan umatnya. Lalu Rasulullah SAW bersama 450 orang sahabatnya kemudian menyambangi wilayah Najid untuk memerangi Kabilah Ghathafan. Perang tersebut dikenal sebagai perang Dzu’Amr. Lalu Rasulullah SAW berdiam di wilayah Najid selama satu bulan Safar penuh.

  1. Datangnya utusan dari Bani Udzra menghadap Rasulullah SAW

Dikutip dari Sirah Nabawiyyah karya Abul Hasan Ali Al-Hasani An Nadwi, pada tahun ke – 9 Hijriah, setelah penaklukan Makkah dan sekembalinya Rasulullah dari perang Tabuk, masuklah momen bersejarah di mana Rasulullah SAW menyurati raja-raja dan pemimpin-pemimpin di semenanjung Arab untuk masuk dalam naungan Islam. Selepas itu banyak kabilah-kabilah Arab mengirim utusan menghadap Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Salah satu di antaranya adalah Bani Udzra.

Pada bulan Safar, utusan dari Bani Udzra yang berjumlah 12 orang datang menghadap Rasulullah SAW. Rasulullah lalu menyambutnya dengan memberi kabar gembira akan kemenangan Syam. Tidak lupa Rasulullah melarang Bani Udzrah untuk meminta pertolongan dari dukun, dan melarang mereka menyembelih hewan seperti yang biasa mereka lakukan selain untuk kepentingan qurban.

  1. Islamnya Amr bin Ash

Amr bin Ash dikenal sebagai salah satu dari pemuka Suku Quraisy. Ia adalah seorang yang memiliki kelihaian dalam bertempur, bahkan dalam suatu pertempuran ia dapat menaklukkan Mesir dari cengkeraman Imperium Romawi dan Persia, sampai para sejarawan menjulukinya sebagai “Pembebas Mesir”.

Pada Bulan Safar pula inilah Amr bin Ash menjemput hidayah Allah SWT dan mulai menjadi sahabat setia Rasulullah SAW yang gagah berani. Menurut Ibnu Ishaq, keislaman Amr bin Ash dipengaruhi oleh Raja Negus, seorang penguasa dari wilayah Habasyah, Ethiopia. Amr bin Ash memilih Islam sebagai pegangan dan jalan hidupnya tepat pada tahun ke 8 Hijriah.

  1. Hijrah pertama Rasulullah SAW

Salah satu momen bersejarah dalam khazanah Islam adalah hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Peristiwa hijrah pertama tersebut terjadi pada bulan Safar. Rasulullah berangkat dari Makkah pada Bulan Safar, dan sampai di Madinah pada bulan Rabiul Awwal.

Dalam buku Sirah Nabawiyyah karya Abul Hasan Ali Al-Hasani An Nadwi, peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dapat diambil pelajarannya sebagai simpulan bahwa dakwah dan akidah dapat melepaskan seseorang dari setiap yang dicintainya, dan sebaliknya, segala sesuatu tidak akan dapat melepaskan dakwah dan akidah dari manusia.

  1. Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Khadijah

Sebagaimana yang kita ketahui, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, seorang bangsawan Suku Quraisy yang terpandang, cerdas, dan berakhlak mulia itu merupakan istri pertama Rasulullah SAW. Menurut Ibnu Ishak, Rasulullah SAW menikahi perempuan yang disebut juga “Ummul Mukminin” itu tepat pada bulan Safar, yakni ketika Rasulullah SAW berusia genap 26 tahun.

  1. Pernikahan Ali bin Abi
    Thalib RA dengan Sayyidah Fatimah

Dikutip dari keterangan Ibnu Katsir, bulan Safar rupanya bukan saja bulan pernikahan Rasulullah SAW dengan Sayyidah Khadijah RA., melainkan juga bulan pernikahan putri Rasulullah, Sayyidah Fatimah RA dengan seorang sahabat yang pandai, Ali bin Abi Thalib RA. Keduanya menikah tepat pada bulan Safar di tahun ke-2 Hijriah.

  1. Penaklukan Romawi oleh Usamah bin Zaid

Romawi adalah satu dari beberapa imperium kekaisaran dengan kekuatan militer dan politik yang besar pada zaman Rasulullah SAW. Keberadaannya yang kuat seringkali menjadi halangan Rasul dan sahabat dalam berdakwah. Pada bulan Safar tahun ke – 11 Hijriah, Rasulullah SAW memerintahkan pasukan umat Islam untuk bersiap menyerang Romawi. Rasulullah menunjuk Usamah bin Zaid sebagai komando perang.

Dikutip dari buku Sirah Nabawiyyah karya Abul Hasan Ali Al-Hasani An Nadwi, penunjukan Usamah bin Zaid mengundang tanda tanya di tengah umat. Sebab, di antara pasukan yang akan berangkat menuju Romawi itu terdapat pembesar-pembesar Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin.

Bahkan salah satu di antaranya ialah Umar bin Khattab RA. Dengan kondisi sakit yang parah, Rasulullah SAW lantas datang ke hadapan orang-orang yang meragukan Usamah bin Zaid, dengan meyangga kepala dan duduk di mimbar, Rasulullah SAW lalu bersabda

“Wahai manusia! Laksanakanlah (perintah) pengiriman Usamah. Demi Allah jika kalian berkata (meragukan) tentang kepemimpinan Usamah, maka kalian telah berkata (meragukan) tentang kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Sesungguhnya ia pantas menjadi pemimpin, sebagaimana ayahnya juga pantas untuk menjadi pemimpin.” Rasulullah SAW kemudian turun dari mimbar. Dan bala tentara pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid pun bergegas mempersiapkan keperluan perang, lalu berangkatlah sampai tiba di hari pertempuran, yang kemudian misi tersebut diteruskan oleh Abu Bakar RA.

Wallahu a’lam bishawab.

Penulis: Raisya Audyra

Bulan Safar: Keutamaan, Amalan, Dan Do’a

Sama seperti bulan-bulan lainnya, terdapat juga keutamaan bulan Safar dalam Islam. Safar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriah yang memiliki arti sepi atau sunyi. Diartikan sebagai sepi karena rumah masyarakat Arab pada bulan Safar sangat senyap akibat kebiasaan melakukan peperangan atau bepergian jauh. Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, bulan Safar juga memiliki keutamaan serta amalan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh umat muslim. Hingga kini, bulan Safar dikenal sebagai bulan yang penuh bala atau kesialan. Banyak yang percaya bahwa pada bulan Safar akan terjadi banyak musibah dan cobaan dibanding bulan-bulan lainnya.

KEUTAMAAN BULAN SAFAR

Para ulama terdahulu sependapat bahwa Allah SWT banyak menurunkan musibah pada Rabu terakhir bulan Safar. Ulama ahli ma’rifat juga menyebutkan bahwa di setiap tahun akan turun 320.000 bala, yang semuanya diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Dengan situasi seperti itu membuat hari tersebut disebut sebagai Yaumi Nahsin Musta’mir atau hari yang paling sulit di setiap tahun. Namun, itu bukan alasan untuk menganggap bulan Safar adalah bulan sial. Justru sebaliknya, umat Islam harus menganggap bahwa pada bulan Safar Allah SWT sedang memberikan ujian besar kepada umatnya.

Selain itu, baik di dalam Al-Qur’an ataupun hadis, diterangkan bahwa Allah SWT melarang umat-Nya untuk mengkhususkan hari atau bulan tertentu sebagai sesuatu yang dianggap kesialan, termasuk bulan Safar. Maka ketika musibah dianggap ujian, setiap orang akan berusaha melewatinya dengan sebaik mungkin agar mendapat nilai yang baik. Terdapat beberapa keutamaan bulan Safar yang harus diketahui oleh umat Islam, yakni:

1. Memperkuat Keimanan

Umat Islam meyakini bahwa bulan Safar sama seperti bulan-bulan lain sehingga diharapkan untuk selalu melakukan ibadah dan amalan saleh yang dicintai oleh Allah SWT. Ini akan memperkuat keimanan karena tidak mempercayai bulan Safar merupakan bulan sial karena segala sesuatu hanya terjadi atas izin Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

وَاِنْ يَّمْسَسْكَ اللّٰهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهٗ ٓاِلَّا هُوَ ۚوَاِنْ يُّرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَاۤدَّ لِفَضْلِهٖۗ يُصِيْبُ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ ۗوَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

(Wa iy yamsaskallāhu biḍurrin fa lā kāsyifa lahū illā huw, wa iy yuridka bikhairin fa lā rādda lifaḍlih, yuṣību bihī may yasyā`u min ‘ibādih, wa huwal-gafụrur-raḥīm)

Artinya: “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yunus: 107).

2. Yakin Akan Ketetapan Allah SWT

Ini adalah bentuk keimanan kepada qadja dan qadar dari Allah SWT. Sebab dalam Alquran, Allah SWT berfirman:

قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ

(Qul lay yuṣībanā illā mā kataballāhu lanā, huwa maulānā wa ‘alallāhi falyatawakkalil-mu`minụn)

Artinya: “Katakanlah, ’Sekali-kali tidak akan menimpa kami, melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS At-Taubah: 51).

3. Meningkatkan Rasa Takwa dan Tawakal

Dengan menyadari bahwa segala sesuatu adalah kehendak Allah SWT, maka ketakwaan seseorang juga akan meningkat. Umat Islam diharapkan akan semakin rajin beribadah, seperti menambah kekhusyukan saat shalat wajib, menambah shalat sunah karena ingin mendapat ridha Allah SWT.

AMALAN MENGISI BULAN SAFAR

Sebagai hamba Allah SWT yang saleh, hendaknya umat Islam terus istiqamah dalam mengerjakan berbagai amalan, baik yang wajib ataupun sunah. Meski Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan kepada para sahabat untuk mengkhususkan amalan tertentu untuk dijalankan saat bulan Safar, tapi untuk memperoleh keutamaan bulan Safar ada baiknya untuk menambah ibadah harian. Berikut ini adalah amalan sunah yang bisa diperbanyak dilakukan untuk mendapatkan keutamaan bulan Safar:

1. Perbanyak Zikir kepada Allah SWT

Menjadi amalan yang ringan, tapi memberikan banyak pahala, berzikir juga dapat menjadi amalan sunah di bulan Safar. Berzikir membuat umat Islam selalu mengingat Allah SWT. Salah satu zikir adalah dapat memperberat timbangan di akhirat, mendatangkan pahala, dan dicintai oleh Allah SWT.

Aku membaca Subhaanallah Wal Hamdulillah Walaailaaha Illallahu Wallahu Akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan Allah Maha Besar). Bacaan itu lebih aku sukai daripada mendapat kekayaan sebanyak apa yang di bawah sinar matahari.” (HR Muslim)

Dalam hadis yang lain disebutkan: “Ada dua kalimat yang dicintai oleh Allah, ringan di lisan dan berat di timbangan: (yaitu bacaan) Subhaanallah Wabihamdihi Subhaanallahil Adzim.” (HR Bukhari)

2. Salat Duha

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Di dalam tubuh manusia terdapat tiga ratus enam puluh sendi, yang seluruhnya harus dikeluarkan sedekahnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah yang mampu melakukan itu wahai Nabiyullah?” Beliau menjawab: “Engkau membersihkan dahak yang ada di dalam masjid adalah sedekah, engkau menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan adalah sedekah. Maka jika engkau tidak menemukan-nya (sedekah sebanyak itu), maka dua rakaat Duha sudah mencukupimu.” (HR. Abu Dawud)

3. Salat Berjemaah di Masjid

Dari Abu Umamah, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang keluar dalam keadaan suci, menuju masjid untuk melaksanakan salat jemaah, maka pahalanya seperti pahala seperti orang yang sedang haji dalam keadaan ihram.” (HR Abu Daud)

Salah satu keistimewaan melaksanakan shalat berjamaah di masjid adalah mendapatkan pahala 27 kali lipat dibandingkan salat sendirian. Ini akan menjadi amalan baik untuk mendapatkan keutamaan bulan Safar berikutnya.

4. Membaca Al-Qur’an

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dia mendapat satu pahala kebaikan dan setiap satu pahala itu dilipatkan menjadi 10 kali.” (HR At Tirmidzi dan At Thabrani)

5. Bersalawat
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang membaca salawat untukku sekali, maka Allah akan memberikan selawat kepadanya sepuluh kali, dihapuskan sepuluh kesalahan, dan diangkat sepuluh derajat.” (HR An-Nasai)

Ini juga dikuatkan dalam hadis lain tentang keutamaan bershalawat ketika diucapkan setiap saat: “Barang siapa yang membaca selawat untukku sekali, maka Allah akan memberikan shalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR Muslim)

6. Membaca Doa di Antara Azan dan Ikamah

Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mendengarkan azan kemudian dia membaca doa: Allahumma rabba hadzihid dawatittammah washsalatil qaimah, ati muhammadanil wasilata wal fadhilah wabats-hu maqamam mahmudanilladzi waadtahu,

(Ya Allah, Rabb pemilik panggilan yang sempurna dan salat wajib yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah dan fadhilah. Bangkitkanlah beliau ke tempat terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya, maka dia berhak mendapat syafaatku pada hari kiamat).” (HR Bukhari)

7. Memperbanyak Istigfar

Dari Ibn Abbas, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang rajin beristigfar maka Allah akan berikan jalan keluar setiap ada kesulitan, Allah berikan penyelesaian setiap mengalami masalah, dan Allah berikan rezeki yang tidak disangka-sangka.” (HR Abu Dawud)

Ini adalah sedikit dari banyaknya keutamaan untuk memperbanyak istigfar, untuk dilakukan setiap hari, terutama untuk mendapatkan keutamaan bulan Safar.

8. Memperbanyak Ibadah

Beribadah dengan tujuan semata-mata mengharap ridha Allah SWT dapat dilakukan dengan banyak hal. Misalnya menjalankan shalat sunnah, menolong orang di jalan, berpuasa, atau bersedekah. Ini dapat dilakukan tanpa memandang hari ataupun bulan tertentu. Terlebih jika bersedekah yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Untuk mendapatkan keutamaan bulan Safar, umat Islam dapat menjalankan sunah yang bersumber dari Rasulullah SAW ini agar mendapatkan pahala saat menjalankannya.

DOA BULAN SAFAR

Ketika memasuki bulan Safar dan ingin mengharapkan keberkahan serta perlindungan dari Allah SWT. Mungkin bisa membaca doa bulan Safar yang dikutip dari karya Mandzûmah Syarhil Atsar fî Mâ Warada‘an Syahris Shafar:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شَرِّ هٰذَا الزَّمَانِ وَأَهْلِهِ،  وَأَسْأَلُكَ بِجَلَالِكَ وَجَلَالِ وَجْهِكَ وَكَمَالِ جَلَالِ قُدْسِكَ أَنْ تُجِيْرَنِيْ وَوَالِدَيَّ وَأَوْلَادِيْ وَأَهْلِيْ

وَأَحْبَابِيْ وَمَا تُحِيْطُهُ شَفَقَةُ قَلْبِيْ مِنْ شَرِّ هٰذِهِ السَّنَةِ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ فِيْهَا، وَاصْرِفْ عَنِّيْ شَرَّ شَهْرِ صَفَرَ، يَا كَرِيْمَ النَّظَرِ، وَاخْتِمْ لِيْ فِيْ هٰذَا الشَّهْرِ وَالدَّهْرِ بِالسَّلَامَةِ وَالْعَافِيَةِ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَأَوْلَادِيْ وَلِأَهْلِيْ وَمَا تَحُوْطُه

شَفَقَةُ قَلْبِيْ وَجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اَللّٰهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هٰذَا الشَّهْرِ، وَمِنْ كُلِّ شِدَّةٍ وَبَلَاءٍ وبَلِيَّةٍ قَدَّرْتَهَا فِيْهِ يَا دَهْرَ، يَا مَالِكَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ، يَا عَالِمًا بِمَا كَانَ وَمَا

يَكُوْنُ، وَمَنْ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا قَالَ لَهُ: (كُنْ فَيَكُوْنُ) يَا أَزَلِيُّ يَا أَبَدِيُّ يَا مُبْدِئُ يَا مُعِيْدُ يَاذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَاذَا الْعَرْشِ الْمَجِيْدِ أَنْتَ تَفْعَلُ مَا تُرِيْدُ اَللّٰهُمَّ احْرِسْ بِعَيْنِكَ أَنْفُسَنَا وَأَهْلَنَا وَأَمْوَالَنَا وَوَالِدِيْنَا وَدِيْنَنَا وَدُنْيَانَا الَّتِيْ ابْتَلَيْتَنَا

بِصُحْبَتِهَا، بِبَرَكَةِ الْأَبْرَارِ وَالْأخْيَارِ، وَبِرَحْمَتِكَ يَاعَزِيْزُ يَاغَفَّارُ، يَاكَرِيْمُ يَاسَتَّارُ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

(Bismilahirrahmanirrahim, wa shallallahu ta’âla ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala âlihi wa shahbihi ajma’în. A’ûdzu billahi min syarr hadzaz zaman wa ahlihi, wa as`aluka bi jalâlika wa jalâli wajhika wa kamâli jalâli qudsika an tujîrani wa walidayya wa ahlî wa ahbâbi wa mâ tuhîthuhu syafaqatu qalbi min syarri hadzas sanati, wa qini syarra mâ qhaddaita fîha, washrif ‘anni syarra syahri shafar, yâ Karîman nazhar, wakhtim lî fî hâdzas syahri wad dahri bis salamati wal ‘afiyati lî wa liwâdayya wa aulâdi wa li ahli wa mâ tahûthuhu syafaqatu qalbi wa jamî’il muslimîn, wa shallallahu ta’âla ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘alâ âli wa shahbihi wa sallam.

Allahumma innâ na’udzubika min syarri hadzas syahri, wa min kulli syiddatin wa balâin wa baliyyatin qaddartahâ fîhi yâ dahru, ya mâlikad dunya wal akhirat, ya ‘âliman bima kâna wa mâ yakûnu, wa man idzâ arâda syai`an qâla lahu: (kun fayakûn) yâ azaliyyu ya abadiyyu ya mubdi-u ya mu‘id ya dzal jalâli wal ikrâm, ya dzal ‘arsyil majîd anta taf’alu mâ turîd.

Allahummahris bi ‘anika anfusana wa ahlana wa amwalana wa wâlidina wa dînana wa dunyânal latî ibtalaina bi suhbatiha, bi barakatil abrâri wal akhyâri, wa birahmatika ya ‘azîzu yâ ghaffâru, yâ karîmu yâ sattâru yâ arhamar râhimin.​​​​​​​Allahuma yâ syadîdal qawiyyi wa yâ syadidal mihani, yâ ‘azîzu dzallat li’izzatika jamîu khalkika, ikfîni min jami’i khalkika, yâ Muhsinu yâ Mujmilu yâ Mutafaddhil, yâ Mun’im, ya Mutakarrim, yâ man lâ ilaha illa Anta, irhamnâ allahumma bi rahmatika yâ arhamar rahimîn. Wa shallallahu ta’âla ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala âlihi wa shahbihi ajma’în)

Wallahu a’lam bissshawab.

Penulis: Raisya Audyra

Hukum Menunda Qadha Puasa Hingga Ramadhan Berikutnya

Puasa Ramadhan adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Bahkan ibadah puasa adalah ibadah yang juga diwajibkan oleh Allah pada umat terdahulu sebelum umat Nabi Muhammad ﷺ, meski cara pelaksanaannya mungkin berbeda. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

 

Meski kewajiban untuk melaksanakannya sama seperti shalat, namun puasa bisa tidak dilaksanakan oleh orang yang memiliki uzur, seperti orang sakit, musafir, wanita haid, dan orang yang tidak mampu karena kondisi yang jika berpuasa dikhawatirkan akan berdampak negatif, seperti ibu hamil dan menyusui.

 

Meskipun begitu, bagi orang yang memiliki uzur, mereka tetap harus melakukan qadha (mengganti) puasa di waktu yang memungkinkan baginya untuk melaksanakan. Adapun bagi orang yang sama sekali sudah tidak mampu melaksanakannya, maka ia wajib membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin.

 

Ada tiga kelompok mukallaf yang diizinkan tidak puasa Ramadhan. Sebagai gantinya mereka mengqadha puasanya pada hari-hari di luar Ramadhan.

 

Tiga kelompok tersebut adalah orang sakit, musafir, dan perempuan haid. Izin untuk orang sakit dan musafir bersifat pilihan, boleh puasa boleh juga tidak puasa, tergantung kepada situasi dan kondisi yang ada.

 

Untuk perempuan yang haid bersifat larangan, sebagaimana ijmak ulama, bahwa syariat Islam melarang wanita haidh mengerjakan tiga macam peribadahan. Yaitu shalat, puasa, dan thawaf.

 

Untuk shalat mereka dilarang mengerjakan pada waktunya (adaa’an) ataupun di luar waktunya (qadha’an). Untuk puasa mereka dilarang mengerjakan pada waktunya (adaa’an), namun dibolehkan mengerjakan di luar waktunya (qadha’an).

 

Dasar hukum kebolehan untuk tidak puasa bagi orang sakit dan musafir adalah firman Allah dalam al-Baqarah ayat 185.

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”

 

Larangan Puasa bagi yang Haid. Sedangkan dasar hukum larangan puasa bagi perempuan haid adalah riwayat dari ummul mukminin; Aisyah.

حدثنا عبد بن حميد أخبرنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن عاصم عن معاذة قالت سألت عائشة فقلت ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة فقالت أحرورية أنت قلت لست بحرورية ولكني أسأل قالت كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة

“Telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Ashim dari Mu’adzah dia berkata:

Saya bertanya kepada Aisyah: Kenapakah wanita yang haid harus meng-qadha puasanya tapi tidak meng-qadha shalatnya?

Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Saya jawab, saya bukan Haruriyah, saya hanya bertanya. Aisyah menjawab, “Kami dahulu saat mengalami haid diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (Shahih Muslim: 508).

Baca Juga>>6 Adab Yang Perlu Diperhatikan Orang yang Berpuasa

Wajib Qadha Puasa

Berdasarkan dalil ini para fuqaha mewajibkan qadha puasa bagi orang yang memiliki utang puasa. Pelunasan utang puasa dilaksanakan sebelum datang Ramadhan berikutnya.

Ketentuan ini juga berdasarkan keterangan Aisyah:

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ

“Saya pernah memiliki utang puasa Ramadhan, saya tidak mampu melunasinya kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR, al-Bukhari: 1950). Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, asysyughlu bi rasulillah (karena beliau sibuk melayani Rasulullah SAW (HR Muslim: 1146).

 

Diriwayatkan bahwa ummul mukminin Aisyah sangat setia kepada suaminya yaitu Rasulullah SAW. Ia siap sedia menemani dan melayani kapanpun suaminya datang.

 

Aisyah tidak ingin agenda hajat suaminya terganggu gara-gara qadha puasa yang dijalankannya. Hal inilah yang menyebabkan Aisyah meng-qadha puasanya pada bulan Sya’ban, bulan terakhir sebelum Ramadhan.

 

Berdasarkan praktik Aisyah ini dipahami bahwa qadha puasa boleh dilaksanakan pada bulan Sya’ban, karena perbuatan Aisyah dipandang sebagai sunnah taqriri, atau perbuatan yang mendapat persetujuan dari Nabi SAW, karena diamnya Nbi adalah persetujuannya.

Dalam Fath al-Bari, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, mengatakan:

وَيؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذلك في شَعْبَان: أَنَّهُ لا يجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يدْخُلَ رَمَضَان آخر

“Disimpulkan dari semangat Aisyah meng-qadha puasa di bulan Sya’ban, bahwa tidak boleh mengakhirkan qadha puasa Ramadhan sehingga masuk bulan Ramadhan yang berikutnya.” (Fathul Bari, IV/191).

 

Tiga Pendapat Ulama

Belum qadha hingga datang Ramadhan berikutnya Ibn Rusyd (wafat 1196 M), mengatakan jika seseorang memiliki utang puasa dan belum dilunasi hingga datang bulan Ramadhan yang berikutnya, maka terdapat tiga macam pendapat di kalangan fukaha.

 

Pertama, setelah selesai Ramadhan yang bersangkutan wajib meng-qadha puasanya dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Malik bin Anas, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Ulama dari mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat bahwa seseorang yang menunda pelaksanaan qadha puasa Ramadhan sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya bukan karena uzur, maka ia berkewajiban qadha dan juga harus membayar fidyah, yaitu berupa makanan pokok sebanyak 1 mud (675 gram/0.8 liter/6.7 ons) untuk 1 hari. Jika 7 hari, maka 7 mud dibagikan kepada orang-orang fakir dan miskin.

Jika ingin fidyah dalam bentuk makanan matang, maka beras 6.7 ons itu kemungkinan akan menghasilkan tiga porsi makanan matang. Kalau kewajiban fidyahnya 10 hari, maka ia harus membagikan 30 porsi makanan matang kepada orang miskin.

Kewajiban fidyah ini menjadi berlipat seiring bertambahnya tahun penundaan. Apabila sampai dua kali Ramadhan masih belum melakukan qadha, maka besarnya fidyah menjadi 2 mud. Apabila tiga tahun, maka 3 mud, dan begitu seterusnya. Ini lah yang dianggap pendapat paling kuat menurut Imam Nawawi.

وَالأَصَحُّ تَكَرُّرُهُ بِتَكَرُّرِ السِّنِيْنَ

Pendapat yang kuat (menyatakan bahwa) berulang-ulangnya mud sesuai dengan berulang-ulangnya tahun.

 

Kedua, yang bersangkutan wajib meng-qadha saja tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i.

 

Ketiga, yang bersangkutan tidak meng-qadha, juga tidak membayar fidyah. Pangkal perbedaan pendapat ini terletak pada boleh dan tidaknya mengqiyaskan kaffarah dari satu bentuk pelanggaran puasa kepada bentuk pelanggaran puasa yang lainnya.

 

Dalam hal ini adalah meng-qiyas-kan keterlambatan meng-qadha puasa kepada kesengajaan membatalkan puasa tanpa alasan syar’i. Bagi yang tidak setuju penggunaan qiyas, maka berpendapat bahwa orang yang memiliki utang puasa dan belum dilunasi hingga datang bulan Ramadhan cukup meng-qadha saja.

 

Sedangkan bagi yang setuju dengan qiyas maka berpendapat meng-qadha dan membayar fidyah. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak perlu mengqadha, juga tidak membayar fidyah, tidak bisa diterima, karena menyalahi dalil agama. (Bidayatul Mujtahid, I/292).

 

Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, berpendapat; jika seseorang mengakhirkan qadha hingga datang Ramadhan berikutnya sebab sakit, maka cukup meng-qadha. Jika mengakhirkan qadha karena meremehkan ajaran agama, maka wajib qadha dan bayar fidyah.

 

Kesimpulan

Dari paparan di atas dipahami bahwa menunda qadha hingga masuk Ramadhan berikutnya, baik karena udzur syar’i ataupun tanpa udzur syar’i, memunculkan tiga ketentuan hukum.

 

-Hukum qadha tidak hilang. Artinya tetap wajib qadha sekalipun sudah melewati Ramadhan berikutnya. Dan hal ini sudah menjadi ijmak.

-Kewajiban bertaubat bagi yang sengaja menunda qadha tanpa ada udzur syar’i. Karena qadha adalah wajib, dan menunda kewajiban adalah pelanggaran atas ajaran agama.

-Apakah hukum menunda qadha puasa cukup meng-qadha ataukah meng-qadha plus membayar fidyah? Dalam hal ini ada dua pendapat.

 

Pertama, wajib qadha dan membayar fidyah. Menurut asy-Syaukani, ini adalah pendapat mayoritas ulama, Malik bin Anas, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. (Nailul Authar, 4/278).

 

Kedua, wajib qadha saja, tanpa membayar fidyah. Ini masyhur sebagai pendapat Abu Hanifah dan para ulama Hanafiyyah. Mereka membangun pendapatnya berdasarkan dalil naqli dan aqli:

 

a. Secara naqli, semua puasa yang dikerjakan di luar waktunya (qadha’an), baik sebab sakit dan safar, sebagaimana al-Baqarah183. Atau sebab datang bulan, sebagaimana hadis Aisyah riwayat Muslim, hanya menyebut qadha, tidak menyebut fidyah.

 

Syaikh al-Albani pernah diminta fatwanya tentang masalah ini, yakni qadha plus fidyah bagi yang menunda pelunasan puasanya hingga masuk Ramadan yang berikutnya. Ia hanya mengatakan bahwa pendapat tersebut memang ada, namun tidak ada satu hadits pun yang marfu’ (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, III/327).

 

b. Secara aqli, terkait hukum seputar puasa, qadha adalah wajib, dan fidyah juga wajib. Masing-masing memiliki tempat sendiri-sendiri. Pendapat yang mengatakan qadha plus bayar fidyah adalah menghimpun dua kewajiban pengganti sekaligus. Karena qadha adalah kewajiban pengganti dan bayar fidyah juga kewajiban pengganti. Yang demikian ini tidak diperkenankan karena yang wajib dilakukan pasti salah satunya. (Rawa’i al-Bayan, I/210)

 

Penulis: Raisya Audyra

6 Adab Yang Perlu Diperhatikan Orang yang Berpuasa

Paling tidak ada 6 adab puasa menurut Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi dalam kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz. Dan bagi orang yang berpuasa hendaknya memperhatikan adab tersebut. Adab-adab puasa itu antara lain:

1.Makan sahur. Ini berdasar hadis yang diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً.

“Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.”[Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/139, no. 1923), Shahiih Muslim (II/770, no. 1095), Sunan at-Tirmidzi (II/106, no. 703), Sunan an-Nasa-i (IV/141), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1692)]Dan telah terhitung makan sahur walaupun hanya dengan seteguk air, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةِ مَاءٍ.

“Makan sahurlah kalian meski hanya dengan seteguk air.” [Shahih: (Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2945)], Shahiih Ibni Hibban (no. 223, 884)].

Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur, sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu beliau langsung berangkat shalat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?’ Dia menjawab, ‘Kira-kira sama seperti bacaan 50 ayat.’” Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/138, no. 1921), Shahiih Muslim (II/771, no. 1097), Sunan at-Tirmidzi (II/104, no. 699), Sunan an-Nasa-i (IV/143), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1694).

Jika azan telah terdengar dan makanan atau minuman masih di tangannya, maka boleh ia memakan atau meminumnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ.

“Barangsiapa di antara kalian yang mendengar adzan (Shubuh) dan bejana (makanan) masih di tangannya, maka janganlah ia menaruhnya sebelum ia menyelesaikan makannya.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 607)], Sunan Abi Dawud (VI/475, no. 2333), Mustadrak al-Hakim (I/426)]

2.Menahan diri dari pembicaraan yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor, atau yang semisal dengannya dari hal-hal yang bertentangan dengan tujuan puasa.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ, فَإِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَليَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ.

“Jika pada hari salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan dan tidak juga melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (Penggalan dari hadits: “Setiap amal anak Adam adalah untuknya sendiri…” dan telah berlalu takhrijnya).

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya, maka Allah tidak memerlukan orang itu untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” [Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 921)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/116, no. 1903), Sunan Abi Dawud (VI/488, no. 2345), Sunan at-Tirmidzi (II/105, no. 702)].

3.sifat dermawan dan memperbanyak bacaan al-Qur-anDiriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dan beliau akan lebih dermawan (dari hari-hari biasanya) pada bulan Ramadhan, ketika Jibril datang menemuinya dan adalah Jibril selalu datang menemuinya setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan, hingga Ramadhan selesai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan al-Qur-an kepada Jibril. Dan di saat ia bertemu Jibril beliau lebih pemurah (lembut) dari angin yang berhembus dengan lembut.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari I/30, no. 6), Shahiih Muslim (IV/1803, no. 2308)].

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلِيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيِ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

4.menyegerakan berbuka.

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزَالُ النّاَسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ.

“Umat manusia akan tetap baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/198, no. 1957), Shahiih Muslim (II/771, no. 1098), Sunan at-Tirmidzi (II/103, no. 695)’.

5.berbuka puasa dengan apa yang mudah didapatkan baginya.

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Nabi biasa berbuka dengan ruthab (kurma segar) sebelum mengerjakan shalat. Jika beliau tidak mendapatkan ruthab, maka beliau berbuka dengan beberapa buah tamr (kurma masak yang sudah lama dipetik) dan jika tidak mendapatkan tamr, maka beliau meminum air.” [ Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 2065)], Sunan Abi Dawud (VI/ 481, no. 2339), Sunan at-Tirmidzi (II/102, no. 692)].

6.berdo’a ketika berbuka puasa.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berbuka puasa selalu membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.

“Telah hilang rasa haus dan telah basah urat-urat, serta telah ditetapkan pahala, insya Allah.” [Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2066)]

 

Penulis: Eka Nurlela