Santri : Akhlaq, Ilmu, dan Khidmah

Dalam dunia pendidikan, terutama di pondok pesantren ada istilah ilmu bi ta’allum wal barakah bil khidmah, artinya ilmu diperoleh dengan belajar, keberkahan ilmu diperoleh dengan khidmah. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa untuk memperoleh keberkahan ilmu, maka harus dilakukan dengan khidmah. Bagian ini berisi dua kata kunci, yaitu berkah dan khidmah. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan berkah dan khidmah?

Secara sederhana keberkahan ilmu atau ilmu yang berkah dapat diartikan sebagai ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang telah dipelajari dengan susah-payah memberi manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Ilmu itu juga membawa manusia mendekat kepada Allah swt, bukan malah menjauh. Jika suatu ilmu menjauhkan manusia dari Allah, itu ciri ilmu yang tidak bermanfaat, walaupun ilmu itu misalnya membawa kekayaan dan mengantarkan pelakunya kepada puncak popularitas. Keberkahan ilmu ini kurang lebih sama dengan keberkahan harta.

Harta yang berkah adalah harta yang mendekatkan pemiliknya kepada Allah swt, bukan malah membuatnya semakin jauh dari Allah. Walaupun banyak, jika hanya menjadi sarana maksiat, menambah dosa, maka harta tersebut menjadi tidak berkah, begitu pula dengan ilmu.

Dikisahkan Khalifah Harun al-Rasyid pernah mengirimkan anaknya untuk belajar ilmu dan adab kepada seorang ulama. Suatu hari, beliau mengunjungi anaknya tersebut, lalu melihat sang guru sedang membasuh kakinya ketika berwudhu. Sedangkan anaknya terlihat menuangkan air di atas kaki gurunya itu. Menyaksikan kejadian itu, khalifah menegur guru anaknya dan mengatakan kepadanya, “Aku mengirim anakku kepada engkau agar engkau mengajarkan dia ilmu dan mendidiknya dengan adab. Lalu, mengapa engkau tidak menyuruhnya menuangkan air dengan satu tangannya dan membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”

Kisah di atas diceritakan oleh Imam Az-Zarmuji dalam kitabnya, Ta’lim Muta’alim. Bagi sebagian orang saat ini, cerita ini mungkin terlihat berlebihan. Padahal orang yang bermindset seperti itulah yang tidak memahami konsep khidmah dalam pendidikan.

Khidmah secara bahasa artinya adalah melayani. Hal semacam ini bukanlah hal baru dalam pendidikan. Para sahabat telah mengamalkannya dengan melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam waktu yang cukup lama. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari disebutkan bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkhidmah kepada Rasulullah selama sepuluh tahun.

Riwayat lain disebutkan oleh Syaikh Abdul Wahab as-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarin fi al-Qarn al-‘Asyir ‘ala ma Khalafi fihi Salafuhum al-Thahir. Abdurrahman ibnu al-Qasim, salah seorang murid Imam Malik, berkata, “Aku berkhidmat kepada Imam Malik selama dua puluh tahun. Delapan belas tahun aku gunakan untuk mempelajari adab, dan hanya dua tahun untuk mempelajari ilmu. Alangkah bahagianya, seandainya semua waktu itu dihabiskan untuk mempelajari adab.”

Apa Sebenarnya Urgensi Khidmah dalam Pendidikan?

Khidmah hakekatnya adalah bagian dari adab menuntut ilmu, khususnya adab kepada guru. Setiap penuntut ilmu yang tidak menghormati gurunya tidak akan mendapat berkah dari ilmu yang dia pelajari tersebut. Ada nasehat menarik dan berharga yang disampaikan seorang ulama di Kampong Melayu:
“Dengan kesungguhan, ilmu bisa dipahami. Dengan amal, ilmu menjadi bermanfaat. Dengan ridha guru, ilmu menjadi berkah.”

Di era modern ini, konsep khidmah tidak boleh diabaikan. Murid harus ditanamkan adab-adab ilmu, khususnya adab kepada guru. Orang tua juga harus memahami bahwa pendidikan bukan hanya terbatas di dalam kelas, bukan hanya menulis, bukan hanya menghafal, bukan hanya mencatat, atau tidak berakhir hanya sebatas mampu menjawab soal ujian. Pendidikan bisa berwujud membersihkan lingkungan pondok atau sekolah, bisa juga dengan menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan guru sebelum mengajar, dan bentuk pendidikan lainnya.

Sebuah kesalahan besar ketika ada orang tua yang marah ketika melihat anaknya menyapu halaman, membersihkan kamar mandi, atau ruangan lain di sekolah atau pondoknya. Padahal pelajaran yang didapatkan dengan khidmah semacam itu terkadang bisa lebih banyak dan cepat tertanam di hati seorang anak daripada teori yang disampaikan di dalam kelas. Dengan khidmah, seorang penuntut ilmu tidak hanya akan memahami teori ilmu, tetapi juga langsung mengaplikasikan adab ilmu.

Khidmah yang lebih tinggi disampaikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu. Beliau menyampaikan bahwa seorang penuntut ilmu dalam berkhidmah bukan hanya siap membantu gurunya, tetapi juga siap menjadi budaknya. Kata-kata beliau yang sangat masyhur ini dicatat dengan baik oleh Imam Zarmuji:

اَنََا عَبْدُ مَنْ عََلََمَنِى حَرِْفًا وَاحِدَا اِنْ شَاءَ بَاعََ وَ اِنْ شَاءَ اَعْتَقَ وَ اِنْ شَاءَ اِسْتَرَقَّ

Artinya, “Aku siap menjadi budak orang yang mengajarkanku satu huruf. Jika dia mau, dia boleh menjualku; jika dia mau, boleh membebaskanku; jika dia mau, boleh menjadikanku budaknya.”

Kata-kata sang pintu gudang ilmu ini jangan disalahpahami dan diaplikasikan dengan gegabah. Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan puncak kerendahan hati seorang murid kepada gurunya. Pernyataan ini hadir dari seorang yang sudah memahami betul akan kedudukan gurunya dan juga sudah merasakan lezatnya ilmu yang ditanamkan dalam dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang guru besar sangat memahaminya. Oleh karena itu, kita tidak pernah menemukan bahwa Nabi memperbudak seorang pun dari para sahabatnya.

Khidmah adalah salah satu cara untuk meraih hikmah, bukan perbudakan murid. Khidmah tidak akan menurunkan derajat penuntut ilmu. Justru semakin dia rendah hati kepada gurunya, semakin tinggi derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makhluk-Nya. Tujuan dari khidmah adalah untuk mendidik murid, bukan memperbudak mereka. Oleh karena itu, tugas yang diberikan seorang guru harus sesuai ajaran Islam dan kemampuan murid. Jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka murid boleh menolaknya.

Lalu, Apakah Murid Cukup Berkhidmah kepada Guru dan Tanpa Belajar?

Tentu saja tidak. Keduanya harus berjalan secara berdampingan. Ada saatnya mereka belajar dengan membaca buku-buku, kitab-kitab, mencatatnya, bahkan menghafalkannya. Ada saatnya juga mereka membantu gurunya dalam rangka membuktikan pengamalan adab. Sebagaimana kata Imam Al-Khalil ibn Ahmad dalam gubahan syairnya:
“Khidmahlah kepada ilmu seperti khidmahnya seseorang yang menginginkan sebuah keuntungan, dan teruslah mempelajari ilmu dengan perilaku yang baik.”

Semoga catatan singkat ini memberi sedikit pemahaman kepada kita, para orang tua, dan calon orang tua, tentang betapa pentingnya khidmah dalam membangun adab pada diri anak. Sehingga para orang tua tidak akan marah lagi ketika melihat anaknya berkhidmah. Justru, mereka bangga dan bahagia karena memiliki anak yang mampu mengamalkan adab menuntut ilmu, khususnya adab kepada sang guru.

Editor: Nanda Wahidah

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat: Termasuk Pesantren?

Di sebuah desa yang tak tampak di peta wisata, berdiri bangunan bersahaja. Tak bertembok semen, hanya kayu tua yang menguap aroma tanah. Lantainya bukan ubin berkilau, melainkan bumi yang selalu jujur menampung telapak kaki. Atapnya seng berkarat yang bersuara saat hujan tiba. Tapi dari ruangan sederhana itulah—ilmu mengalir, adab ditanam, dan peradaban ditumbuhkan dalam diam.

Anak-anak duduk bersila, berselimut angin pagi yang mengigau. Di pangkuan mereka, kitab-kitab yang lebih berat dari tubuh mungil mereka. Di hadapan mereka, seorang guru berbaju lusuh tapi berhati luas, mengajarkan huruf demi huruf dengan suara yang lembut, meski mungkin perutnya belum sempat diisi sejak subuh.

Tempat sederhana itu dikenal orang sebagai madrasah—sebuah pesantren kecil yang menjadi pelita dalam sunyi, tempat ilmu dan adab disemai di antara dinding kayu dan lantai tanah, jauh dari gemerlap, namun dekat dengan langit.

Saya menulis ini bukan karena saya ahli dalam merumuskan keadilan, tapi karena saya resah. Resah yang lama bersembunyi di balik halaman-halaman laporan negara, tapi selalu terbangun

setiap kali mendengar kisah tentang guru madrasah yang digaji tak lebih dari harga satu kali makan siang di restoran ibu kota.

Resah karena negeri ini belum adil pada mereka yang diam-diam menjaga nyala moral bangsa.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, dalam rapat Komisi VIII DPR RI, pernah berkata dengan nada getir yang tenang:

“Lebih dari 90% sekolah di bawah Kementerian Agama adalah swasta. Negara tidak membeli tanahnya, tidak menggaji penuh gurunya. Bahkan banyak guru madrasah hanya menerima Rp100.000 per bulan.”

Saya membaca pernyataan itu perlahan. Bukan karena saya sulit memahami, tapi karena dada saya sesak menahannya. Saya bayangkan, apa jadinya bangsa ini jika para penjaga akhlaknya hanya dibayar sekadar sedekah?

Di sekolah negeri, guru berdiri di ruang berpendingin, berpapan tulis digital, dan digaji dengan nominal yang masuk akal. Tapi di madrasah? Mereka mengajar dengan suara yang dikalahkan hujan, dengan spidol yang telah kering separuh, dan penghasilan yang tak cukup untuk membeli tinta printer. Mereka tidak berteriak, tapi mereka tetap hadir. Setiap hari.

Apakah negara tidak melihat?

Apakah negara benar-benar buta, atau hanya rabun terhadap cahaya yang berasal dari ruang-ruang sunyi?

Anak-anak terbaik bangsa—yang menjadi sarjana teladan di kampus negeri ternama, yang hafal 30 juz Al-Qur’an sambil memegang gelar doktor—banyak lahir dari gubuk ilmu bernama madrasah. Bukan dari sekolah internasional, bukan dari gedung bertingkat, tapi dari bangku kayu dan tikar yang telah bertahun- tahun menyerap ilmu dan doa.

Saya merasa marah. Tapi ini bukan amarah yang membakar, melainkan cinta yang terlalu lama dipendam dalam ketimpangan. Karena saya tahu, madrasah tidak pernah meminta disanjung. Mereka hanya ingin diperlakukan adil.

Jauh sebelum Indonesia punya kementerian, pondok pesantren telah mengajarkan etika. Saat bangsa ini masih mengeja makna merdeka, pesantren telah selesai mengajarkan makna kemanusiaan. Kini, ketika negeri ini sudah mampu membangun gedung-gedung pencakar langit, mereka masih berdiri di pinggir, mengajarkan langit akhlak dari tanah yang tak pernah dilirik.

Jika negara ini jujur, maka ia akan mencium tangan guru madrasah seperti seorang santri mencium tangan kiainya. Tapi sayang, kenyataan tak seindah pidato. Negara lebih sibuk menyusun dokumen perencanaan, ketimbang menengok ruangan tanpa kipas di pelosok desa.

Guru madrasah bukan tidak tahu cara mogok. Mereka hanya terlalu cinta pada ilmu. Mereka tahu hukum, tapi lebih mengenal

adab. Mereka tahu jalan ke istana, tapi lebih memilih jalan menuju surga.

Lantas, mengapa kita diam?

Saya menulis ini bukan karena saya punya kuasa. Saya hanya seorang penulis yang amat sangat amatir, yang tak punya mikrofon, tapi percaya bahwa kata-kata bisa lebih lantang dari pengeras suara parlemen.

Wahai pemimpin, dengarlah.

Madrasah tidak butuh belas kasihanmu. Madrasah butuh pengakuan. Butuh keadilan.

Jangan nilai mereka dari megahnya bangunan. Lihat dari dalamnya pengabdian. Jangan ukur mereka dari jumlah honor, ukur dari keberanian mereka mengajar dalam keterbatasan. Jangan tanya di mana suara mereka, karena mereka tak teriak— mereka bekerja dalam diam.

Kita sering menyuarakan bahwa pendidikan karakter adalah penyelamat bangsa. Tapi karakter macam apa yang kita harapkan jika tempat paling karakteristik dalam mendidik justru ditelantarkan?

Di sana, di madrasah dan pesantren, anak-anak diajarkan berdoa sebelum membaca. Diajar minta maaf sebelum tidur. Diajak menangis dalam doa malam. Mereka tidak sekadar belajar— mereka ditempa.

Negara bangga punya universitas besar dengan anggaran besar. Tapi siapa yang berani menyebut bahwa moral anak negeri akan lahir dari anggaran semata?

Honor guru madrasah hanya sekitar Rp100.000 per bulan. Jauh dari layak. Tapi mereka tak pernah menjadikan angka sebagai alasan untuk absen. Mereka mengajar dengan tekad, bukan dengan tagihan.

Di antara debu, peluh, dan tikar yang sudah tua, mereka berdiri. Karena bagi mereka, mendidik bukan pekerjaan—melainkan jalan hidup. Jalan sunyi yang tak diberitakan, tapi ditulis malaikat. Apakah itu belum cukup jadi alasan bagi negara untuk berpihak? Saya menulis ini sebagai permohonan dan peringatan.

Permohonan:

Berikan madrasah dan pesantren anggaran yang layak. Berikan mereka perlakuan setara.

Berikan mereka kesempatan tumbuh, bukan dengan belas kasihan, tapi dengan keadilan yang jujur.

Peringatan:

Jangan biarkan mereka terus berdiri sendiri. Sebab jika madrasah tumbang,

bangsa ini kehilangan akarnya. Dan bangsa yang kehilangan akar adalah bangsa yang mudah roboh oleh angin.

Penutup

Saya menulis dengan penuh kesadaran bahwa mungkin tulisan ini hanya dibaca sedikit orang. Tapi saya percaya, satu hati yang tergugah lebih berarti daripada seribu yang diam.

Madrasah telah lama memberi tanpa syarat. Maka sudah saatnya negara memberi tanpa pamrih.

Karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat—juga berarti untuk pesantren.

Sebagai bagian dari keluarga besar Pondok Pesantren ini, kami bangga mempersembahkan tulisan dari salah satu alumni terbaik kami. Melalui pengalamannya yang berharga selama menuntut ilmu di pondok, ia kini berbagi pemikiran, pengetahuan, dan refleksi dalam bentuk artikel jurnal ini. Semoga apa yang disampaikannya menjadi inspirasi, menambah wawasan, serta menguatkan semangat kita semua untuk terus menebar manfaat, menuntut ilmu, dan meneladani nilai-nilai luhur pesantren. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Penulis: Munawar Hakimi Ahmad Q

Editor: M Wildan Musyaffa

Saat Langit Cianjur Penuh Dzikir: Sebuah Catatan dari Hari Bersejarah

Cianjur, Masjid Agung Cianjur, 27 Juni 2025 M | 01 Muharram 1447 H
Pagi itu, langit tampak tenang. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Di tengah pusat kota Cianjur, tepatnya di Masjid Agung Cianjur, Alun-Alun, yang biasanya riuh oleh lalu lalang masyarakat, hari itu berubah menjadi sesuatu yang lain—lebih syahdu, lebih khidmat, lebih hidup.

Ribuan orang mulai berdatangan sejak pagi buta. Mereka datang dari berbagai penjuru Jawa Barat. Dari pesantren, dari kota, dari desa-desa pelosok. Tidak ada batas antara tua dan muda, antara santri dan petani, semua larut dalam satu semangat yang sama: berdzikir bersama dalam cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.


Detik-Detik Awal: Sholat Jum’at dan Ayat Langit

Acara dimulai setelah pelaksanaan sholat jum’at berjamaah. Ribuan jamaah menunaikan sembahyang dengan tertib, langit tetap cerah, angin berhembus lembut, dan bumi Cianjur menjadi sajadah raksasa yang menyatukan hati-hati yang ingin pulang kepada Allah.

Usai sholat, pembacaan Al-Barzanji dan Sholawat Nabi mengisi ruang udara yang panas pelan-pelan menjadi sejuk. Lantunan pujian kepada Rasul ﷺ menggetarkan hati. Lalu mikrofon berpindah ke seorang qari muda yang dengan tartil membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Orang-orang menunduk. Beberapa menangis. Entah karena rindu, entah karena merasa pulang ke hati yang lama mereka tinggalkan.


Satu Panggung, Banyak Amanah

Tak hanya itu, bahkan masyaikh Ponpes Miftahulhuda Al-Musri’ pusat, para muqimin sepuh, dan dewan ampuh berdatangan menghadiri acara Ijtima ini. Hadir pula muqoddam-muqoddam dari berbagai daerah yang membawa semangat dan barokah untuk kebersamaan dzikir ini, di antaranya yaitu: 1. K.H. Ikhyan Sibaweh Badruzzaman (Garut), 2. K.H. Abuy Jamhur Badruzzaman(Garut), 3. K.H. Maman Abdurrahman Bz (Padalarang), 4. K.H. Ade Hidayat (Garut), 5. K.H. Asep Saefudin (Garut), 6. K.H. Maman Bin Dadang Bz (Garut), 7. K.H. Salim Hidayat (Garut), 8. K.H. Khoer Hasanul Akhlaq (Garut), 9. Kyai. Asep Sofwan (Garut), 10. K.H. Mahmud Munawwar (Cianjur) Setelah pembukaan resmi, Ketua Panitia, P. Akang K.H. Burhan Rosyidi, S.E., naik ke panggung. Dengan suara yang tenang namun penuh tekad, beliau menyampaikan laporan pelaksanaan. Disusul sambutan dari shohibul bait, perwakilan pemerintah daerah, yang menyambut dengan hangat dan penuh hormat.

Kemudian naiklah para sesepuh Thariqah Tijaniyah. Suasana berubah hening. Setiap kalimat yang mereka ucapkan bukan hanya didengar, tapi dirasakan. Sambutan sesepuh Thariqah Tijaniyah disampaikan oleh Habib Umar Toyyib. “Kita berkumpul bukan untuk dunia, tapi untuk menghidupkan warisan ruhani,” ucap salah satu mursyid. Tepuk tangan tak terdengar. Tapi getaran kalbu itu nyata.

Sambutan terakhir datang dari Bupati Cianjur, Slamet Riyadi, S.STP, M.AP, yang mewakili aspirasi pemerintah dan masyarakat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan harapan agar Cianjur tak hanya maju dalam pembangunan fisik, tapi juga menjadi pusat kemajuan ruhani. yang mewakili aspirasi pemerintah dan masyarakat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan harapan agar Cianjur tak hanya maju dalam pembangunan fisik, tapi juga menjadi pusat kemajuan ruhani.


Ketika Jamaah Bersujud Bersama

Waktu dzuhur berlalu (Waktu Sholat Jum’at), lalu tibalah sholat Ashar berjamaah. Ribuan orang berbaris rapih. Langit tetap cerah. Angin masih lembut. Dan bumi Cianjur menjadi sajadah raksasa yang menyatukan hati-hati yang ingin pulang kepada Allah.


Puncak Dzikir: Wadzifah dan Haelalah

Setelah istirahat singkat, acara dilanjutkan dengan tausiyah ruhani dari para mursyid Tijaniyah, yang kali ini dibawakan oleh Syekh Ikhyan (Syekh Zawih Samarang). Tak hanya berisi nasihat, tapi juga kisah, sanad, dan ajakan untuk terus berada di jalan dzikir, cinta, dan adab. dari para mursyid Tijaniyah. Tak hanya berisi nasihat, tapi juga kisah, sanad, dan ajakan untuk terus berada di jalan dzikir, cinta, dan adab. Menjelang maghrib, para jamaah duduk rapat. Suara dzikir mulai bergema. Wadzifah—dzikir khas Thariqah Tijaniyah—dilantunkan serentak dipimpin oleh K.H. Maman Abdurrahman. Hati-hati pun tunduk. Beberapa menangis, banyak yang terdiam. Inilah saat yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setelah itu, Haelalah dipimpin oleh K.H. Maman Abdurrahman (Padalarang KBB) mengguncang langit Cianjur. Kalimat “La ilaha illallah” membahana, menggema dari bibir ribuan manusia menuju langit yang luas. Tak ada suara lain. Tak ada dering ponsel. Hanya kalimat tauhid yang menjadi napas bersama. dipimpin oleh Drs.Syekh.Ikhyan Shibaweh mengguncang langit Cianjur. Kalimat “La ilaha illallah” membahana, menggema dari bibir ribuan manusia menuju langit yang luas.


Di Balik Layar: Mereka yang Diam Tapi Bergerak

Acara sebesar ini tak mungkin berjalan tanpa para pahlawan tanpa nama. Sebanyak 1000 panitia dikerahkan. Mereka bekerja dalam senyap tapi sungguh-sungguh.

  • Ada 100 orang penerima tamu yang berdiri sejak pagi.
  • 110 tim keamanan menjaga jalannya acara dengan tenang.
  • 170 petugas kebersihan memastikan setiap sudut bersih dan nyaman.
  • 25 personil logistik, 9 petugas transportasi, dan 15 tim kesehatan bekerja tanpa henti.
  • Tim publikasi & dokumentasi, konsumsi, acara, hingga humas semua bergerak dalam semangat khidmah.

Mereka berasal dari santri Al-Musri’ pusat, dibantu dari cabang, serta aparat dari Polres, Dishub, dan Satpol PP. Sebuah kolaborasi indah antara pesantren dan negara, antara spiritualitas dan ketertiban.


Saat Langit Mulai Gelap, Dzikir Masih Menyala

Acara pun ditutup menjelang malam. Tidak dengan pesta, tidak dengan sorak-sorai. Tapi dengan doa, dan dzikir pelan yang masih mengalun. Orang-orang mulai kembali ke asal mereka—tapi tidak dengan hati yang sama.

Hari ini, Cianjur menjadi rumah bagi ruh-ruh yang kembali menyala. Dan dari Ijtima ini, semoga lahir generasi yang tak hanya paham dunia, tapi juga paham jalan pulang.

“Bersatu dalam dzikir, bergerak dalam iman –
Wujudkan Cianjur Jaya di Tanah Jawa Barat Istimewa.”

Dokumentasi

Berikut beberapa dokumentasi dari acara ini: potret ribuan jamaah memadati Masjid Agung Cianjur, barisan sholat berjamaah yang rapih, para masyaikh duduk di panggung kehormatan, tangis haru saat dzikir, dan senyum bahagia para panitia yang bekerja sepenuh hati. Semoga setiap momen ini menjadi saksi berkah dan cahaya bagi perjalanan ruhani kita bersama.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami haturkan, dengan untaian kata yang tak akan pernah cukup menampung syukur dan bangga. Kepada semua yang hadir, semua yang setia mendukung, semua yang menata langkah dan menebar doa. Ijtima Wadzifah dan Haelalah ini tak akan menjadi cahaya di bumi Cianjur tanpa kalian. Semoga berkah melimpah, semoga dzikir terus bersemi, dan semoga cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi pelita sepanjang hayat. Teriring salam takzim, untuk kebersamaan, persaudaraan, dan kesuksesan yang kita rajut di bumi Jawa Barat tercinta.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Penderitaan Memperdalam Pengertian Kita Tentang Makna Hidup

اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلاَ تُباَلِ مَعَهاَ اِنْ قَلَّ

عَمَلُكَ فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ إِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مَوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَالْلأَعْمَا لَ أَنْتَ مُعْدِيْهَا إِلَيْهِ؟

وَأَيْنَ مَا تُعْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مَوْرِدُهُ عَلَيْكَ؟

Idza fataha laka wijhatan min al-ta’arrufi fala tubali

Maaha in qalla ‘amaluka. Fa innaha ma fatahaha laka

Illa wa huwa yuridu an yataarrafa ilaika. Alam ta’lam

Ann al-ta’arrufa huwa muriduhu ‘alaika, wal a’mala anta

Muhdiha ilaihi? Wa aina ma tuhdihi ilaihi mimma

Huwa muriduhu ‘alaika?

“Jika Dia (Tuhan Yang Maha Benar) ingin membuka diri (melalui penderitaan yang menimpamu) untuk engkau kenal, maka (bergembiralah, bersuka citalah; dan) jangan bersedih hanya gara-gara amal dan pekerjaanmu yang berkurang (karena penderitaan itu). Sebab, Dia tak akan membuka diri seperti itu kecuali memang agar engkau bisa mengenal-Nya lebih dekat. Apakah engkau tidak tahu bahwa perkenalan itu adalah sesuatu yang Dia anugerahkan pada dirimu, sementara amal-amalanmu adalah sesuatu yang yang engkau persembahkan kepada-Nya? Bagaimana engkau akan membandingkan persembahanmu dengan anugerah-Nya?”

            Kebijaksanaan Syekh Ibnu ‘Atha’illah kali ini akan berbicara mengenai pengalaman penderitaan, sesuatu yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia.

Pengertian Umum

Hal yang tak terhindarkan dalam hidup manusia adalah penderitaan fisik, baik berupa penyakit, kemiskinan, maupun penderitaan-penderitaan lain yang membuat kita tidak nyaman. Pengalaman ini kerap membuat seseorang merasa putus harapan, atau bahkan menyalahkan dan mengutuk Tuhan. Apalagi jika penderitaan itu mencapai level yang ekstrem.

            Dalam bagian yang lalu, kita diajarkan untuk bersikap positif manakala doa dan permintaan kita tak segera dikabulkan Tuhan. Menghadapi situasi semacam itu, kita diharuskan berbaik sangka. Barangkali Tuhan punya rencana lain.

            Bagian ini masih merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya. Jika bagian sebelumnya berbicara mengenai permintaan dan do’a, bab ini berbicara mengenai cobaan yang kadang kita derita dalam hidup.

Sebagai orang beriman, kita diajak oleh Ibnu ‘Atha’illah agar bersikap sama menghadapi cobaan ini, yaitu berbuat baik sangka. Menurut Ibnu ‘Atha’illah, cobaan dan penderitaan dalam hidup adalah cara Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya kepada kita. Penderitaan adalah sarana Tuhan mau menjadika diri-Nya lebih dekat kepada kita.

            Sakit, kemiskinan, penderitaan adalah wijhah min al-ta’aruf, cara Tuhan menyingkap diri agar kita kenali secara lebih dekat lagi. Bagaimana ini bisa dijelaskan?

            Jika kehidupan kita berjalan mulus saja seperti berkendara di jalan tol yang bebas hambatan, tak ada gangguan, taka da soal, tak ada tantangan maka kehidupan seperti itu memang tampak menyenangkan. Akan tetapi, benarkah kehidupan yang tanpa gelombang dan ombak layak kita Jalani? Bukankah kehidupan seperti itu malah membosankan karena tak mengenal petualangan?

            Kita bisa menikmati hidup justru karena ada gelombang cobaan yang berhasil kita atasi. Saat kita berhasil mengatasi sebuah masalah, kita merasa plong, lega. Kita merasa diri kita secara kejiwaan makin matang, makin dewasa, makin bijaksana. Jadi, penderitaan, jika disikapi secara positif, membuat pengertian dan pemahaman kita tentang makna hidup lebih dalam.

            Jika engkau tahu makna hidupmu maka artinya engkau makin dekat dengan Tuhanmu. Para sufi mengatakan, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbah. Barang siapa tahu siapa jati dirinya, siapa “The real self” -nya, maka dia telah mengenali Tuhan. Dan itu artinya, siapa yang tahu jati dirinya, tak memahami tujuan hidupnya, ia sama saja tak kenal Tuhan.

            Penderitaan kerap membuat kita makin matang secara kejiwaan; membuat kita makin dekat dengan Tuhan. Jadi, penderitaan adalah uluran tangan dari Tuhan untuk berkenalan dengan Dia. Sambutlah uluran tangan itu dengan penuh suka-cita. Jangan mengeluh dan sedih saat menderita. Itulah jalan menuju kematangan jiwamu. Itulah jalan engkau mengenali sumber hidupmu.

Pengertian Khusus

Penderitaan memang tampak di permukaan seperti cerminan dari sifat keperkasaan Tuhan. Tuhan dengan sifat Jalal atau keagungan dan keperkasaan-Nya, menampakkan diri dalam bentuk kesakitan dan cobaan yang diderita oleh manusia.

Akan tetapi, jika kita hayati lebih dalam, cobaan bukan saja mencerminkan sifat  Jalal Tuhan, tetapi juga sifat Jamal atau keindahan-Nya. Kata Syekh Ibnu ‘Ajibah, cobaan manusia (disebut al-ta’arrufat al-qahriyyah), “Zhahiruha jalal wa bathinuka jamal”. Cobaan kelihatanya menakutkan kita, tetapi sejatinya ia cerminan dari keindahan Tuhan.

Para sufi melihat penderitaan sebagai pengalaman tentang keindahan Tuhan. Saat kita sakit, kita mengalami keindah Tuhan. Saat kita sakit, kita mengalami keindahan Tuhan karena dengan sakit itu kita bisa makin intens dan mendalam hubungan kita dengan Tuhan. Saat kita sakit, hubungan cinta kita dengan Tuhan makin diperkuat.

Karena itu, jangan mengeluh karena sakit, misalnya, telah membuatmu kehilangan kesempatan untuk melaksanakan ibadah fisik. Misalnya, saat sakit kita tak mampu melaksanakan sembahyang atau puasa seperti sedia kala. Jika Anda sakit, jangan merasa ngenes, nelangsa atau sedih karena kehilangan salat dan puasa sebab nilai sakit yang dicobakan Tuhan kepadamu lebih tinggi daripada ibadah fisik.

Bagaimana bisa demikian? Ibnu ‘Atha’illah memberikan penjelasan yang sangat menarik. Saat engkau sakit, Tuhanlah yang Pro-aktif mendekatimu, mengenalmu. Saat engkau beribadah (seperti salat dan puasa), engkaulah yang pro-aktif pe-de-ka-te (istilah anak muda sekarang) terhadap Tuhan.

Mana yang lebih baik? Tuhan yang pro-aktif mendekati kamu, ataukah kamu yang pro-aktif mendekati Tuhan? Tentu yang pertama yang jauh lebih berkualitas. Karena itu, sambutlah penderitaan dengan sikap optimism, kegembiraan, sebab Tuhan sedang mendekatimu, sedang ingin mengenalmu.

Apa Pelajaran yang bis akita ambil dari ajaran Syekh Ibnu ‘Atha’illah ini? Saya terus terang kagum dengan tafsir penderitaan semacam ini. Inilah salah satu keindahan dunia sufi. Dunia sufi mampu memberikan tafsiran yang sangat optimistic terhadap momen-momen yang menyakitkan dalam kehidupan manusia seperti sakit dan kemiskinan. Penderitaan tak harus dikutuk dan disesali. Penderitaan dihayati dan dimaknai sebagai sarana yang mendekatkan kepada Tuhan.

Oleh karena itu, terserah kepada Anda. Anda mau menghayati sakit dengan sikap negative, mengeluh, memprotes, tetapi toh tak mengubah keadaan juga? Ataukah anda mau bersikap yang justru secara radikal berbeda; sakit adalah pengalaman indah yang membuat kita lebih memaknai makna dan tujuan hidup?

Apa yang dapat kita petik?

  1. Mutiara Hikam yang kedelapan ini bis akita sebut sebagai “filosofi penderitaan”. Bagaimana jika kita mendapatkan cobaan berupa penderitaan dalam hidup ini? Semua orang, dalam hidupnya masing-masing tentu pernah mengalami penderitaan, besar atau kecil, ringan atau akut, sebentar atau lama. Tergantung.

Karena penderitaan merupakan fakta hidup yang tak terhindarkan, maka ajaran tentang penderitaan sangat penting. Ajaran tentang penderitaan mengajari kita agar kita menyikapinya dengan tepat dan benar, agar kita tak menderita dua kali. Sekurang-kurangnya, jika kita menyikapi penderitaan secara tepat, kita hanya menderita sekali saja.

2. Apa makna penderitaan? Ibnu ‘Atha’illah mengajarkan; Penderitaan adalah cara Tuhan mau mengenalkan diri (ta’aruf) lebih dekat kepada kita. Penderitaan adalah sarana menuju pendewasaan mental dan spiritual. Sama dengan ujian yang membuat kita naik kelas.

Kehidupan yang mulus-mulus saja, nir-penderitaan (kalau memang ada) Sudah pasti kehidupan yang membosankan dan kosong makna. Karena itu, sambutlah penderitaan dengan perasaan gembira dan sikap yang positif.

            Akan tetapi ini jangan dimaknai bahwa kita lebih baik menderita terus, tanpa berusaha untuk mencari Solusi dan jalan keluar dari sana. Bukan itu yang dimaksudkan. Kita tetap diwajibkan mencari jalan keluar dari penderitaan kita. Jalan keluar itu justru dimudahkan jika kita bersikap positif terhadap sakit yang sedang kita derita.

            Mari kita berdo’a agar kita semua yang sedang dan menderita diringankan, dilekaskan kesembuhannya, dimudahkan jalan ikhtiarnya untuk mencari jalan keluar dari sana, dan diberikan kemampuan menghayati penderitaan sebagai jalan pendewasaan, jalan mengenal Tuhan secara lebih dekat.

Aforisme

“Penderitaan kerap membuat kita makin matang secara kejiwaan: membuat kita makin dekat dengan Tuhan. Jadi, penderitaan adalah uluran tangan dari Tuhan untuk berkenalan dengan Dia”

Referensi Buku: Menjadi Manusia Rohani | Ulil Abshar Abdalla | Meditasi-meditasi Syekh Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Al-Hikam | Hikmah ke-delapan | Cetakan Pertama: Januari 2019 | hlm. 49 s/d 56 |

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Sedekah Menumbuhkan Kebaikan dan Menyuburkan Harta

Sedekah berasal dari bahasa Arab “shadaqah” yang berarti kebenaran atau keikhlasan. Dalam Islam, sedekah adalah pemberian sukarela yang tidak bersifat wajib, melainkan sunnah atau perbuatan baik.  Sedekah adalah perbuatan memberi harta atau non-harta secara sukarela kepada orang yang membutuhkan, di luar kewajiban zakat, dengan tujuan untuk kebaikan umum dan mengharap ridha Allah SWT.

Sedekah adalah salah satu amalan utama dalam Islam yang memiliki ganjaran pahala luar biasa. Anjuran bersedekah diturunkan langsung oleh Allah dalam firman-Nya di dalam Alquran, kemudian dipertegas oleh Rasulullah dalam berbagai hadis. Bersedekah dengan penuh keikhlasan merupakan salah satu upaya manusia untuk menjadi bermanfaat di lingkungan sosialnya dan untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah.

Sedekah yang dilakukan secara diam-diam akan lebih murni niatnya dan lebih besar pahalanya di sisi Allah SWT. Ketiga jenis sedekah di atas—sedekah dalam keadaan sehat dan kikir, kepada keluarga terdekat, dan secara sembunyi-sembunyi—menunjukkan betapa luasnya kesempatan kita untuk meraih pahala besar melalui sedekah.

Prinsip Keadilan Sosial dalam Sedekah

Sedekah tidak hanya memberikan manfaat materi bagi penerima, tetapi juga memainkan peran penting dalam menciptakan keseimbangan sosial. Dalam Islam, sedekah adalah manifestasi dari prinsip keadilan sosial, di mana yang kaya membantu yang miskin, sehingga tercipta keseimbangan dalam masyarakat.

Dalil tentang Sedekah dalam Alquran

1.Bersedekah di Jalan Allah

Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 261:


مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٢٦١

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”

Ayat ini menekankan bahwa infak di jalan Allah memiliki pahala yang sangat besar dan berlipat ganda. Dengan menggunakan perumpamaan biji yang menumbuhkan banyak tangkai, Allah menggambarkan betapa besar pahala yang akan diterima oleh orang-orang yang bersedekah dengan ikhlas.

2.Anjuran Berinfak dengan Ikhlas

Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 267:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ ٢٦٧

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.”

Ayat ini mengajarkan umat Muslim untuk bersedekah dengan harta yang baik dan halal. Sedekah yang diberikan dengan ikhlas dari hasil usaha yang baik akan mendatangkan keberkahan dan keridhaan Allah.

 3. Sedeqah  dan Kematian

Allah berfirman dalam Surah Al-Munafiqun ayat 10:*

وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

Artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?'”

Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya bersedekah sebelum ajal menjemput. Pada saat kematian mendekat, kita akan menyadari betapa pentingnya sedekah, tetapi pada saat itu mungkin sudah terlambat. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk segera bersedekah selagi masih ada kesempatan dan kemampuan.

4. Bersedekah Saat Lapang dan Sempit

Anjuran untuk selalu bersedekah dalam keadaan lapang maupun sempit:

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Ayat ini mengajarkan kita untuk konsisten dalam bersedekah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Selain itu, ayat ini juga menekankan pentingnya menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain sebagai bagian dari perbuatan baik yang dicintai oleh Allah SWT.

5. Sedekah Mensucikan Harta

Keutamaan bersedekah yang dapat mensucikan harta:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) mensucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ayat ini menegaskan bahwa sedekah berfungsi untuk mensucikan dan membersihkan harta kita. Selain itu, doa dari orang yang menerima sedekah juga menjadi ketenteraman bagi pemberi. Dengan demikian, sedekah tidak hanya memberikan manfaat materi tetapi juga spiritual bagi pemberi dan penerima.

* Dalil tentang Sedekah dalam Hadis*

.Pahala Berlipat Ganda

Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Seseorang masuk surga, lalu dia melihat tulisan di atas pintu surga ‘Satu sedekah dibalas sepuluh kali lipat, dan pinjaman dibalas 18 kali lipat.'” (Hadis shahih, termuat dalam As-Silsilah Ash-Shahihah)

نَبِيُّ مُحَمَّدٍ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “يَدْخُلُ شَخْصٌ ٱلْجَنَّةَ، ثُمَّ يَرَى كِتَابَةً عَلَىٰ بَابِ ٱلْجَنَّةِ، ‘تُجْزَىٰ صَدَقَةٌ وَاحِدَةٌ بِعَشْرَةِ أَضْعَافٍ، وَيُجْزَىٰ ٱلْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ أَضْعَافٍ.'”

2. Kewajiban Bersedekah

Abu Dzar RA. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُولُ ٱللّٰهِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَصْبِحُ عَلَىٰ كُلِّ سُلَامَىٰ مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ ٱلشَّمْسُ: تَعْدِلُ بَيْنَ ٱثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِينُ ٱلرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ، وَٱلْكَلِمَةُ ٱلطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِّ خَطْوَةٍ تَمْشِيهَا إِلَىٰ ٱلصَّلَاةِ صَدَقَةٌ، وَتُمِيطُ ٱلْأَذَىٰ عَنِ ٱلطَّرِيقِ صَدَقَةٌ.”

3. Sedekah Menghapus Dosa

Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ ٱللّٰهِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ ٱلصَّدَقَةَ تُطْفِئُ ٱلْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ ٱلْمَاءُ ٱلنَّارَ.” (رواه الترمذي

4. Sedekah Membuka Pintu Rezeki

Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ عَبْدِ ٱللّٰهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ ٱللّٰهِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “تَصَدَّقُوا تُرْزَقُوا.” (رواه البيهقي)

5. Waktu Terbaik Bersedekah

Seseorang datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?” Beliau bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ، قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ ٱللّٰهِ، أَيُّ ٱلصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: “أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى ٱلْفَقْرَ وَتَأْمُلُ ٱلْغِنَىٰ، وَلَا تُمْهِلَ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَتِ ٱلْحُلْقُومَ قُلْتَ: لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ.” (رواه أبو هريرة)

Sedekah dalam Islam memiliki makna yang sangat mendalam dan komprehensif. Secara filosofis, sedekah adalah manifestasi dari kepedulian sosial dan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan. Sedekah juga mencerminkan prinsip keadilan sosial dalam Islam, di mana yang kaya membantu yang miskin, sehingga tercipta keseimbangan dalam masyarakat.

Dalam perspektif holistik, sedekah tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga bagi pemberi. Bagi penerima, sedekah dapat membantu memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan taraf hidup. Bagi pemberi, sedekah membersihkan harta, menghapus dosa, dan mendatangkan berkah serta rezeki yang lebih banyak.

Sedekah meskipun dianjurkan dalam Islam, sebenarnya merupakan konsep universal yang relevan dengan semua agama dan kepercayaan. Semua agama mengajarkan pentingnya berbagi dan membantu sesama. Oleh karena itu, nilai-nilai sedekah dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas, melampaui batasan agama dan budaya.

Berdasarkan dalil-dalil dari Alquran dan hadis, sedekah adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam dengan ganjaran pahala yang besar. Sedekah dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari memberikan harta, menolong sesama, hingga melakukan kebaikan kecil sehari-hari. Dengan memahami dan mengamalkan konsep sedekah, kita dapat menjadi individu yang lebih baik dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Editor: Siti Lidiana