Walimatussafar

Hal ini biasanya dilakukan umat muslim untuk tasyakuran atau selamatan. Muslim yang akan menunaikan ibadah haji sangat mengharapkan hajinya menjadi mabrur. Karenanya sebelum berangkat menuju tanah suci mereka memohon doa restu kepada orang tua, keluarga dan tetangga. Tradisi ini kelihatannya sudah membumi di Nusantara. Hampir di semua daerah ditemukan tradisi ini, meskipun dengan nama yang berbeda-beda. Secara umum mereka menyebutnya walimah safar. Istilah ini memang jarang ditemukan dalam litaratur fikih. Tapi sebenarnya ada istilah yang hampir mirip, yaitu naqi’ah. Hanya saja, istilah naqi’ah secara spesifik digunakan untuk menyambut kedatangan musafir, terutama yang pulang dari perjalanan jauh semisal haji. Masyarakat menyambutnya dengan mengadakan walimah atau acara makan-makan. Naqi’ah ini bisa diadakan oleh musafir itu sendiri atau masyarakat yang menyambutnya.
Al-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berpendapat:

يستحب النقيعة وهي طعام يعمل لقدوم المسافر ويطلق على ما يعمله المسافر القادم وعلى ما يعمله غيره له

Artinya,“Disunahkan melangsungkan naqi’ah, yaitu makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan oleh musafir itu sendiri, atau orang lain untuk menyambut kedatangan musafir.”

Dan pada hari Sabtu, tepatnya pada tanggal 27 Mei 2023 telah di adakannya acara Walimatussafar di pondok pesantren Miftahul Huda Al-musri, yang dimana salah satu dewan kyai Miftahul Huda Al-musri (pangersa kyai Ayi Mahdi) beserta istrinya (pangersa teh Cucu Salamah) akan bermaksud melaksanakan Rukun islam yang ke-5, yaitu ibadah haji.

Dan dimana pangersa kyai Ayi Mahdi beserta istrinya telah bermaksud untuk menyempurnakan rukun islam / menunaikan ibadah haji ini pada tahun 2014 silam. Dan pada tahun 2018 pangersa K. Ayi mahdi beserta istrinya telah mendapatkan kabar bahwasanya beliau beserta istrinya sudah termasuk dalam rombongan jama’ah haji tahun 2020, namun hal itu tidak terjadi, dikarenakan semua jama’ah haji di seluruh Indonesia mendapatkan musibah, yaitu, pemerintah Indonesia tidak mengadakan pemberangkatan jama’ah haji pada tahun karena adanya pantrangan penyebaran virus COVID –19 pada tahun lalu, dan Alhamdulillah beliau bernasib untuk menunaikan ibadah haji pada tahun ini. Yang Insya Allah akan berangkat pada tanggal 05 Juni 2023 mendatang.

Dan dalam acara tersebut juga di adakannya tausyiah yang diisi oleh penceramah dari Cianjur, yaitu KH. Komarudin atau biasa dikenal dengan julukan Ajengan gambar, yang dimana beliau menjelaskan tentang bagaimana dan apa saja yang dilakukan jama’ah saat melaksanakan ibadah haji. Dari pemberangkatan di tanah air dan sampai kembali pulang ke tanah air.

Sumber: Rafli Syahwal 

Penulis: Fachry Syahrul

Bahtsul Masail Merupakan Tradisi Intelektual Di Kalangan Forum NU

NU, sebagai organisasi keagamaan, mempunyai rasa tanggungjawab moral terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. Atas dasar inilah, organisasi NU membentuk lembaga yang membahas segala persoalaan, mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Forum itu disebut Lajnah Bahtsul Masail (LBM). LBM merupakan lembaga atau forum yang memberikan fatwa hukum keagamaan kepada umat islam. Seperti yang tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU, dalam butir F pasal 16 menyatakan bahwa, tugas bahtsul masail adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mauquf dan waqi’iyah yang harus segera mendapatkan kepastian hukum.

Di kalangan NU, Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual yang berkembang sejak lama, bahkan ditengarai forum ini lahir sebelum NU dibentuk. Sebetulnya LBM telah berkembang di tengah masyarakat muslim tradisional pesantren, jauh sebelum tahun 1926 dimana NU didirikan. Secara individual, mereka bertindak sebagai penafsir hukum bagi  muslimin di sekelilingnya.

Kegiatan ini, menjadi salah satu forum diskusi yang sering dilakukan oleh para santri. Tujuannya untuk memecahkan sebuah masalah, baik yang sudah terungkap dalam tabir kitab salaf ataupun yang belum ditetapkan hukumnya. Dan, mendidik santri untuk berlatih berpikir kritis, solutif dan kontekstual. Sementara pembelajaran kontekstual atau CTL (Contextual and Teaching Learning) adalah sebuah pendekatan pembelajaran modern yang menekankan siswa sebagai subjek belajar yang menggali dan mencari pengalaman sendiri untuk pendapatkan pengetahuan. Santri yang terlibat, dituntut untuk mencoba masuk dalam masalah yang nyata disekitar mereka, serta merasakan dan memecahkan segala permasalahan yang melingkupinya. Bahtsul Masail ini sangat berperan penting dalam megembangkan berpikir kritis santri dalam berdiskusi. Santri diharapkan dapat memahami permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan materi pembahasan tersebut, santri dituntut agar mampu beragumen dan memberikan pendapat dengan dasar pengetahuan yang sudah dimiliki, berserta refrensi-refrensi yang telah dikaji. Sehingga setelah mengikuti Bahtsul Masail, santri dapat berpikir kritis dalam mengkaji dan dapat menganalisis semua kajian atau informasi yang santri dapat. Juga memberikan peluang bagi para santri untuk mengembangkan dayakritis santri dengan saling bertukar ide dan gagasan atas hasil tela’ah materi yang diajarkan. Pembelajaran yang demikian menjadikan suasana keilmuan terasa lebih mencair, dari pada hanya sekedar santri mendengarkan materi ajar, tanpa diberikan kesempatan untuk bertanya dan memberikan argumen.

Bahtsul masail ini terdiri dari beberapa komponen, diantaranya; musyawir,  moderator, perumus, dan musohih. Adapun, penggunaan metode bahtsul masail di pesantren Miftahulhuda Almusri’ adalah sebagai berikut:

A.Pembukaan

Tahap pembukaan atau mukadimah dalam penerapan Forum Bahtsul Masail ini,melalui beberapa sesi, yaitu:

(1) Mengucap salam.

(2) Mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT dan Shalawat terhadap Nabi Muhammad SAW.

(3) Mengucapkan salam penghormatan kepada Masyaikh dan Musyawirin atau hadirin.

(4) Mengabsen para Musyawirin.

(5) Menjelaskan maksud, tujuan dan memotivasi para Musyawirin dalam penerapan Forum Bahtsul Masail.

B.Tashawwur Masalah

Tahap tashowwur masalah dalam penerapan Forum Bahtsul Masail adalah  sebagai berikut:

(1) Tugas Sail mengajukan pertanyaan sejelas mungkin dengan mendeskripsikan melalui narasi dan contoh yang terjadi di lapangan.

(2) Moderator menyampaikan pertanyaan yang diberikan oleh sail kepada Musyawirin.

(3) Tugas Musyawirin adalah  memahami pertanyaan yang disampaikan oleh moderator. Musyawirin dapat mengembalikan pertanyaan yang diajukan Sail, apabila pertanyaan tersebut kurang jelas dipahami oleh Musyawirin. Pertanyaan tersebut bisa ditampung apabila sudah jelas dipahami oleh musyawirin. Setelah jawaban yang sudah dipahami dan ditampung, musyawirin mempersiapkan jawaban berserta dalil-dalilnya.

C.Penyampaian Jawaban

Adapun, tahap dalam sesi penyampaian jawaban adalah sebagai berikut:

(1) jawaban yang disampaikan kelompok musyawirin berdasarkan hukum masalah yang di kaji, dicatat oleh perumus.

(2) Setelah musyawirin menyampaikan jawaban, kemudian musyawirin mempertanggungjawabkan jawaban tersebut, disertai alasan dan referensi. Pada tahap ini perumus mencatat dan mengelompokan jawaban Musyawirin, Kemudian moderator menyampaikan jawaban supaya musyawirin mengetahui perkembangan jawaban. dan diupayakan ketika moderator menyampaikan jawaban menimbuilkan pro dan kontra dengan tujuan menstimulus santri agar mulai berpikir kritis terhadap jawaban tersebut.

(3) Moderator memberikan kesempatan kepada kelompok Musyawirin yang mengkritisi jawaban dari kelompok Musyawirin lain dan hanya bersifat menjelaskan intinya saja.

(4) Hasil dari tanggapan kelompok Musyawirin, di voting berdasarkan jawaban yang paling kuat. Biasanya jawaban yang paling kuat tersebut berasal dari kitab yang mu’tabaroh berasal dari madzhab Syafiiyyah yaitu, jika diperlukan kitab yang berasal dari lintas madzhab.

(5) Musohih mentashehkan jawaban dengan mempertimbangkan manfaat dan mafsadat dari persoalan tersebut. Pada sesi ini moderator memberikan kesempatan kepada para Musyawirin untuk menanggapi dan mengkritisi jawaban dari kelompok lain serta Musyawirin saling menguatkan jawaban dengan dalil-dalil yang ada. Kemudian tim perumus menilai jawaban kelompok mana yang paling kuat atau dengan cara di voting berdasarkan jawaban yang paling kuat, sebelum ditashehkan kepada Mushohih.

 

D.Perumusan jawaban

Berdasarkan penelitian di atas, bahwa tahap perumusan jawaban yakni:

(1) Moderator menyebutkan jawaban ideal dari kelompok Musyawirin yang telah disesuaikan dengan ibarah atau dasar kitab yang kuat.

(2) Moderator memberikan kesempatan kepada Musyawirin untuk menyepakati jawab ideal yang telah disesuaikandengan ibarah atau dasar yang kuat tersebut.

(3) Jawaban-jawaban ideal tersebut yang disepakati oleh Musyawirin, kemudian disahkan oleh Mushahih. Tahapan pada perumusan jawaban dan mauquf.  yakni moderator menyebutkan jawaban yang ideal yang didasari dengan dalil kuat maka moderator mempertegas jawaban tersebut untuk disetujui oleh Musyawirin, tim perumus. Artinya semua keputusan harus didasarkan atas musyawarah kemudian akan disahkan kepada Mushohih.

 

E.Pengesahan Jawaban

Sesi pengesahan jawaban adalah sesi terakhir dari program ini, Pengesahan ini juga melewati beberapa tahap, diantaranya:

(1) Jawaban kelompok Musyawirin yang telah sesuai dengan ibaroh dan disepakati, maka akan disahkan oleh Musoheh.

(2) Pengesahan jawaban tersebut dilakukan dengan cara Mushoheh mengajak para Musyawirin membaca umul kitab Al- Fatihah. Tujuan pembacaan umul kitab agarmendapat keberkahan atau manfaat dari pelaksanaan Forum Bahtsul Masail, melegakan dada para Musyawirin dan diharapkan jawaban tersebut dapat bermanfaat. tahapan pengesahan dianggap sah apabila mendapat persetujuan Musyawirin, tim perumus dan Musoheh, setelah melalui proses diskusi panjang maka moderator meminta kepada Musoheh untuk mengesahkan jawaban dan mengajak Musyawirin untuk membaca surah Al-Fatihah dengan tujuan mendapat keberkahan atau manfaat dari pelaksanaan Forum Bahtsul Masail.

Namun, Keputusan bahtsul masa’il di lingkungan NU, dibuat dalam rangka bermadzhab dengan salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qaul. Oleh karena itu dalam memberikan jawaban ittifaq hukum, digunakan susunan metodologis sebagai berikut:

1). Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibarat kitab dan hanya satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil.

2). Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya.

3). Bila jawaban tidak ditemukan dalam ibarat kitab sama sekali, dipakai ilhaq al masail binnadhariha secara jamai oleh para ahlinya.

4). Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq, maka dilakukan istimbat jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya.

 

Sebagai contoh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai status hukum bunga bank. Dalam memutuskan masalah krusial ini, tidak pernah ada kesepakatan di dalamnya. Ada yang mengatakan halal, haram dan juga subhat. Hal ini terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya diselenggarakan. Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya masih sama yakni halal, haram dan subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU. Sebab, sejatinya orang tidak bisa menghindar dari persoalan bank. Dalam hal ini, NU mengatakan bahwa perkara khilafiyah dalam hal apapun, termasuk bunga bank, sebaiknya dikembalikan pada madzhab yang dianut. Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Buya Yahya dalam ceramah singkatnya di Channel YouTube Al-Bahjah TV. Beliau menuturkan: “Untuk mempermudah dalam mengambil dan mengamalkan hukum Islam, ambilah yang sesuai dengan madzhab Anda. Di Indonesia Syafi’i, ya ambil Madzhab Syafi’i. Karena sejatinya, semua ulama madzhab itu dekat dengan sunnah”.

 

Penulis: Eka Nurlela

 

 

Dzulqa’dah: Asyhurul Hurum, Keutamaan, Dan Ragam Peristiwa Yang Terjadi Pada Bulan Tersebut.

Perlu dimafhumi bahwa pada bulan Dzulqa’dah terdapat kejadian penting dan menjadikannya bulan istimewa. Mengetahui keberadaan bulan Dzulqa’dah dengan beragam kelebihannya mendesak diketahui agar umat Islam dapat mengisinya dengan ibadah terbaik sekaligus mendapat pelajaran berharga untuk direnungi.

Allah Subhanahu wa ta’ala melebihkan derajat sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Sebagian manusia, Allah jadikan lebih utama daripada sebagian manusia yang lain. Sebagian tempat, Dia jadikan lebih utama daripada sebagian tempat yang lain. Juga sebagian waktu, Dia jadikan lebih utama dibandingkan dengan sebagian waktu yang lainnya. Salah satu waktu tersebut, yakni bulan Dzulqa’dah yang sedang kita lalui.

Adapun asal usul bulan Dzulqa’dah berasal dari bahasa Arab ذُو القَعْدَة yang terdiri dari dzu artinya pemilik yang jika disandingkan dengan kata lainnya berarti berbeda. Dalam kamus al-Ma’ānī kata dzū artinya pemilik, namun jika digandengkan dengan kata lain akan mempunyai makna tersendiri, misalnya dzū mālin (orang kaya), dzū ‘usrah (orang susah). Sementara kata qa’dah adalah devriasi dari kata qa’ada yang secara etimologis berarti orang yang tidak memiliki tempat duduk atau tidak bepergian ke mana-mana ia banyak duduk (di kursi). Dari kata “qa’ada” ini bisa berkembang beberapa bentuk dan pemaknaan, antara lain taqā’ud artinya pensiun, konotasinya orang yang sudah purna tugas akan berkurang pekerjaannya sehingga dia akan banyak duduk (di kursi).

Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan, bahwa bulan ke-11 dalam bulan Hijriah ini diberi nama Dzulqadah karena pada bulan ini, orang Arab tidak bepergian, tidak mencari pakan ternak, dan tidak melakukan peperangan (qu’ud ‘anil qital). Karenanya jazirah Arab lebih tenang, demi menghormati bulan ini. Sebagian mengatakan juga bahwa tidak bepergian di bulan ini, demi mempersiapkan ibadah haji.

Dalam kalender Jawa bulan ke-11 itu dinamai Dulkangidah. Bulan ini dikenal pula dengan nama bulan Apit atau Hapit (Jawa Kuno). Menurut masyarakat Jawa, apit berarti terjepit. Hal ini karena bulan tersebut terletak di antara dua hari raya besar yaitu, Idul Fitri (Syawal) dan Idul Adha (Dzulhijah)

Bulan Dzulqa’dah juga merupakan salah satu di antara empat bulan yang dimuliakan (asyhurul hurum). Bahkan, bulan ini menjadi permulaannya. Tiga bulan lainnya adalah Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah (9) ayat 36 dalam Al-Qur’an:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ (سورة التوبة: ٣٦)

Artinya: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, sebagaimana dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan yang diagungkan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab)” (QS at-Taubah: 36).

Al-Thabari, sewaktu menafsirkan at-Taubah: 36, dia berpendapat bahwa kata ganti  fī hinna  di ayat itu  kembali ke bulan-bulan suci, dan dia menyebutkan dalil-dalil untuk memperkuat pendapatnya ini. Jika dikatakan bahwa pendapat ini berarti membolehkan untuk berbuat zalim di selain empat bulan suci itu, sudah barang tentu pendapat itu tidak benar, karena perbuatan zalim itu diharamkan kepada kita di setiap waktu dan di setiap tempat. Hanya saja Allah SWT sangat menekankan keempat bulan tersebut karena kemuliaan bulan itu sendiri, sehingga ada penekanan secara khusus kepada orang yang bebuat dosa pada bulan-bulan itu, sebagaimana ada penekanan secara khusus  kepada orang-orang yang memuliakannya.

Sebagai padanannya firman Allah SWT:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى

“Peliharalah semua sholat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.” (QS al-Baqarah: 238).

Tidak diragukan lagi bahwasanya Allah SWT memerintah kita untuk memelihara (melaksanakan) seluruh sholat-sholat fardlu dan tidak berubah menjadi boleh meninggalkan sholat-sholat itu dikarenakan ada perintah untuk memelihara sholat wustha. Karena perintah memelihara sholat wustha di sana untuk penekanan agar diperhatikan jangan sampai ditinggalkannya. Demikian halnya larangan berbuat zhalim pada keempat bulan suci dalam QS at-Taubah: 36

Dzulqa’dah adalah satu di antara tiga bulan haji, yaitu Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Tidak sah ihram untuk haji pada selain waktu tersebut. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 197:

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ (البقرة: ١٩٧)

Artinya: “Musim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi (ditentukan)” (QS al-Baqarah: 197).

Menurut Ibn Umar RA yang dimaksud bulan-bulan haji itu adalah: Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Menurut Ibnu Abbas RA diantara sunnah Rasulullah SAW adalah melaksanakan ihram haji hanya pada bulan-bulan haji tersebut.

Rasulullah saw tidak pernah melakukan umrah kecuali pada bulan Dzulqa’dah. Sahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadits berikut.

اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعَ عُمَرٍ، كُلَّهُنَّ فِي ذِي القَعْدَةِ، إِلَّا الَّتِي كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ، عُمْرَةً مِنَ الحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ العَامِ المُقْبِلِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ الجِعْرَانَةِ، حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي  ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ (رواه البخاري)

Artinya: “Rasulullah saw berumrah sebanyak empat kali, semuanya pada bulan Dzulqa’dah kecuali umrah yang dilaksanakan bersama haji beliau, yaitu satu umrah dari Hudaibiyah, satu umrah pada tahun berikutnya, satu umrah dari Ji’ranah ketika membagikan rampasan perang Hunain dan satu lagi umrah bersama haji.” (HR al-Bukhari/ 1654 dan Muslim/ 1253)

Menurut Mazhab Syafii, barang siapa berbuat kebaikan di bulan-bulan suci, maka pahalanya dilipatgandakan, dan barang siapa berbuat kejelekan di bulan-bulan tersebut, maka dosanya dilipatgandakan pula. Di samping itu,  pembayaran diyat yang diberikan kepada keluarga terbunuh di bulan-bulan suci harus diperberat.

Bulan Dzulqa’dah merupakan 30 malam yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya;

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً، وَقَالَ مُوسَى لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ (سورة الأعراف: ١٤٢)

Artinya: “Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa untuk memberikan kepadanya kitab Taurat setelah berlalu tiga puluh malam (bulan Dzulqa’dah), dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam lagi (sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya menjadi empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, yaitu Harun, “Gantikanlah aku dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah dirimu dan kaummu, dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS al-A’raf:142).

Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa, “Tiga puluh malam itu adalah di bulan Dzulqadah, sedangkan yang sepuluh malam adalah di bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir II/244)

Selain karena keistimewaannya yang begitu banyak dan tidak kalah dari bulan lainnya, nyatanya sejumlah peristiwa penting pernah terjadi di bulan ini. Lantas, apa saja peristiwa tersebut?

  1. Pada tahun 5 hijriah, terjadi perang Bani Quraizhah.
  2. Pada Dzulqa’dah tahun 3 hijriah, terjadi perang Badr Sughra.
  3. Pada hari Sabtu, tanggal 7 Dzulqa’dah tahun 403 H, wafat seorang ulama ahli ilmu kalam dan ahli debat yang sangat masyhur, yaitu Imam Abu Bakr al-Baqillani. Beliau adalah salah seorang pejuang, pembela dan penyebar mazhab Asy’ari yang tiada lain adalah mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) ke berbagai penjuru. Berkat kegigihan dan perjuangannya dan ulama-ulama Aswaja lain saat itu, aqidah dan ajaran kelompok-kelompok yang menyimpang semakin tenggelam dan ditinggalkan para pengikutnya.
  4. Terjadinya Perjanjian Hudaibiyah. Peristiwa di bulan Dzulqa’dah yang pertama adalah munculnya perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada tahun ke-6 Hijriah atau Maret 628 Masehi. Perjanjian ini adalah kesepakatan antara kaum kafir Quraisy kota Mekkah, dengan umat Islam Madinah. Perjanjian Hudaibiyah dilatarbelakangi atas dilarangnya umat Islam oleh kaum kafir Quraisy ketika ingin memasuki kota Mekkah untuk beribadah Haji. Berkat adanya perjanjian ini, dakwah Islam di wilayah Arab dapat semakin meluas. Sebab, salah satu poin dari kesepakatan Hudaibiyah yakni, pihak Quraisy sepakat untuk tidak berperang dengan umat Muslim selama 10 tahun. Alhasil, umat Islam bisa lebih fokus dalam memaksimalkan penyebaran agama Islam.
  5. Nabi Muhammad SAW Melaksanakan Haji Wada (Haji Perpisahan). Peristiwa di bulan Dzulqa’dah selanjutnya yang tak kalah penting ialah Haji Wada yang dilaksanakan Rasulullah SAW. Selang empat tahun setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasul melaksanakan ibadah haji terakhirnya sebelum wafat. Kejadian ini tepatnya terjadi pada tahun ke-10 Hijriah tanggal 10 Dzulqa’dah. Di momen ini pula Rasul menyampaikan khutbah terakhirnya. Dalam khutbah tersebut, Rasul meninggalkan pesan kepada seluruh umat Islam agar selalu memegang teguh Al-Quran maupun Hadis Nabi SAW.
  6. Wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq. Peristiwa di bulan Dzulqa’dah selanjutnya cukup menyayat hati. Bagaimana tidak? Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Rasul yang juga termasuk ke dalam golongan Assabiqunal Awwalun, harus menghembuskan nafas terakhir akibat sakit. Abu Bakar Ash-Shiqqid wafat selang tiga tahun kepergian Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat pada 22 Dzulqa’dah tahun ke-13 Hijriah. Beliau dimakamkan tepat disebelah makam Rasulullah SAW.
  7. Muawiyah bin Abu Sufyan terpilih menjadi khalifah pertama Dinasti Umayyah pada tahun ke-41 Hijriah.

Setelah kita mengetahui apa saja keutamaan dan peristiwa penting yang terjadi di bulan Dzulqa’dah, mari kita tingkatkan taqwa serta amal kebaikan di bulan ini.

Penulis: Raisya Audyra

 

 

Kunjungan Ke Malaysia

Kamis 26 maret 2023, KH. Mahmud Munawar dan HJ. Siti Maryam (dewan kyai dan dewan nyai Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’) kunjungan ke Negri Perak, dan Negri Kelantan di Malaysia dan Negeri Pattani di Thailand.

“Disamping menjenguk para santri, KH Mahmud Munawar dan Hj. Siti Maryam juga ada tujuan lain, yaitu mengesahkan metode Al-Musri’ di Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Furqon dan Tahfidz Daarul Qur’an (Pondok Pesantren salah satu Muqimin Al-Musri’ yang berada di Malaysia) yang beralamat lengkap di Kampung Permatang Pasir Panjang, Bandar Baru, Seri Manjung, Perak, Malaysia,” unggah akun media sosial Al-musri’.

Dalam keterangannya, tidak hanya di Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an dan Tahfidz Darul Furqon saja. Pegesahan metode Al-Musri’ juga dilakukan di Ma’had Anwar Al-Bayan yang beralamat di Lot 564 Kg Chekok, 16600 Pulai Chondong, Machang , Kelantan, Malaysia dan Pondok Pesantren Ribath Al-Musthafa di Kampung Bagan Bawah, Pulai Chondong, Malaysia.

Baca Juga: Wisata Religi dengan Berziarah ke Makam Waliyullah

 

“Selepas dari Malaysia, beliau juga silaturahim kepada Baba Abdul Karim bin Hasbullah, salah satu ulama besar di Pattani, Thailand. Setelah silaturahim, beliau diminta untuk mengisi pengajian di Markaz Sultan Aulia, Yala Thailand,” tandasnya.

 

Sumber: Nabila Hasna

Pewarta: Dimas Pamungkas

Mengulang Pelajaran Dengan Ujian

Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ 26 Maret 2023 mengadakan ujian akhir semester untuk menaiki kelas selanjut-Nya. Ujian merupakan cara terbatas untuk mengukur kemampuan seseorang. Pelaksanaan ujian dimaksudkan untuk mengukur pengetahuan seseorang atau peserta didik. Ujian juga dijadikan sebagai alat evaluasi untuk menilai berapa jauh pengetahuan sudah dikuasai dan ketrampilan yang sudah diperoleh.

Tujuan diadakannya ujian adalah untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik serta menentukan kelulusan. Adapun syarat-syarat kelulusan tersebut ialah Telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Mengikuti seluruh mata pelajaran yang diujikan, adapun mata pelajaran yang menjadi bahan ulangan yaitu:

 

  • Fiqih
  • Tajwid
  • Tauhid
  • Imla
  • Bahasa arab
  • Yakulu
  • Jurumiyah
  • Kaelani
  • Tijan
  • Tasrif
  • Safinah
  • Sulamu taufiq
  • Tajwid
  • Bahasa arab
  • Al-Fiyah
  • Tasrif
  • Tajwid
  • Bahasa arab
  • Samarqondi
  • Sulamunawaroq
  • Uqudul juman
  • Waroqot
  • Fathul Wahab
  • Jazariyah
  • Bahasa arab
  • Jam’ul jawami
  • Jam’ul jawami
  • Rohbiyah
  • Taqribul maqshod
  • Baequniyah
  • Uqudul Juman
  • Ma’kulat
  • Bahasa Inggris

Ujian yang dilaksanakan setelah santri menyelesaikan semua materi belajar. Ujian pesantren ini memiliki fungsi untuk menentukan kelulusan santri. Pelaksanaan ujian merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban santri terhadap Tuhan, orang tua, dan orang di sekitar kita.