Fatwa MUI, Hukum Dukungan Perjuangan Rakyat Palestina

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memboikot produk-produk yang berkaitan dengan Israel sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Israel terhadap Palestina. Keputusan MUI ini didasarkan pada pandangan moral, kemanusiaan, dan solidaritas terhadap rakyat Palestina yang dianggap terzalimi oleh kebijakan Israel.

  • Pandangan Islam tentang Solidaritas dan Keadilan

Pada dasarnya, ajaran Islam mendorong umatnya untuk berdiri dalam solidaritas terhadap mereka yang terzalimi. Prinsip keadilan, empati terhadap penderitaan orang lain, dan menentang penindasan merupakan nilai-nilai yang sangat dianjurkan dalam Islam.

  • Konteks Konflik Israel-Palestina

Pada konflik Israel-Palestina, pandangan ini menjadi penting karena situasi yang terus berkecamuk di wilayah tersebut. Banyak pihak melihat bahwa tindakan Israel terhadap rakyat Palestina, termasuk pendudukan wilayah, pembangunan pemukiman, dan kekerasan yang mengakibatkan penderitaan bagi warga sipil, sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

  • Boikot Produk Zionis

MUI memboikot produk-produk yang berasal dari Israel atau terkait dengan Zionis sebagai bentuk protes dan dukungan terhadap Palestina. Boikot ini adalah upaya konkret dalam menunjukkan sikap solidaritas terhadap rakyat Palestina yang berjuang dalam konflik yang panjang.

  • Pandangan Lain dalam Islam

Namun, dalam Islam, pandangan terhadap konflik ini dapat beragam. Beberapa orang mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda tentang cara terbaik untuk menyelesaikan konflik atau mengatasi masalah tersebut, sementara yang lain akan mendukung tindakan konkret seperti boikot.

  • Kaitan dengan Prinsip Keadilan dan Kemanusiaan

Secara umum, keputusan MUI untuk memboikot produk-produk Zionis Israel didasarkan pada prinsip keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas terhadap rakyat Palestina. MUI, sebagai lembaga fatwa dan otoritas keagamaan di Indonesia, berupaya mengedepankan nilai-nilai ini dalam pandangan dan tindakannya terhadap isu-isu internasional yang memiliki dampak besar terhadap kemanusiaan.

Dalam rangka untuk memahami secara lebih komprehensif mengenai boikot ini, penting untuk mencari pemahaman dari berbagai sumber yang dapat memberikan wawasan yang luas dan mendalam mengenai konteks politik, sosial, dan kemanusiaan yang melatarbelakangi tindakan tersebut.

Isi Lengkap Fatwa MUI No. 83 tahun 2023

Penulis : M Wildan Musyaffa

Memadukan Kecerdasan, Daya Juang, dan Spiritualitas

Manusia adalah unik. Memandang sosok manusia bisa dilihat dari berbagai sisi dan yang paling gampang dilihat adalah fisik. Kurus, gemuk, tinggi, rendah, rupawan, sederhana dan lain-lain wajah fisik dengan mudah kita mengenalinya.

Tetapi ada unsur-unsur lain dalam diri manusia yang untuk memahaminya diperlukan berbagai informasi dan data untuk menyimpulkannya. Sesorang yang disebut memiliki kecerdasan tinggi misalnya, mungkin baru bisa dilihat setelah dilakukan pengukuran kecerdasan (inttelligence quotient).

Biasanya orang-orang cerdas atau hebat selalu dihubung-hubungkan dengan hasil pengukuran IQ. Jika hasil pengukurannya tinggi mereka disebut sebagai orang cerdas. Dan orang-orang cerdas inilah yang biasanya dihubungkan juga dengan orang-orang berprestasi di sekolah atau pesantren karena dikaitkan ranking atau indeks prestasi.

Banyak lagi sebenarnya predikat yang bisa disematkan kepada seseorang, seperti orang hebat, orang sukses, orang bijak dan lain-lain yang pengukurannya tentu lebih sulit dibandingkan mengukur kecerdasan intelektual karena sudah ada instrumen yang mashur dan disepakati banyak pihak. Oleh sebab itu, belakangan ini muncul banyak istilah-istilah yang ada kaitannya dengan kecerdasan seperti Emotional Quotient (EQ), Adversity Quotient (AQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Munculnya temuan dan pemikiran ini menjadikan kita tidak lagi tunggal mengatakan bahwa orang hebat dan sukses itu bukan semata-mata karena kecerdasan intelektual saja tetapi juga ditentukan kecerdasan yang lainnya.

Dari sini para pakar pendidikan mulai menggali potensi selain IQ untuk dioptimalkan dalam rangka mendefinisikan sebuah keberhasilan. Berdasarkan argumen-argumen baru ini, orang tidak lagi pesimis ketika dinyatakan IQ rendah atau kurang cerdas intelektualnya. Sebab, mereka masih memiliki potensi lain yang jika dikembangkan juga mampu meraih keberhasilan sebagaimana orang-orang yang memiliki IQ tinggi. Banyak contoh yang ditunjukkan dengan mereka yang memilki EQ, AQ, SQ yang baik mereka juga akan memperoleh keberhasilan dalam bidang tertentu yang juga mengagumkan.

Oleh karena itu, jika kita tidak atau kurang mampu dalam salah satu kecerdasan bisa mengembangkan kecerdasan yang lain, syukur-syukur mampu memadukan semua potensi kecerdasan tersebut. Dengan demikian semakin banyak kecerdasan yang dioptimalkan, tentu akan lebih baik jika dibandingkan hanya salah satu kecerdasan yang dikembangkan. Dan yang terpenting, kita yakin bahwa semua manusia pasti memiliki keunikan sehingga tidak perlu mengeluh dari hasil pengukuran kecerdasan intelektual yang rendah. Sebab, masih ada kecerdasan yang lain dan jika dikembangkan terus juga bisa meraih keberhasilan yang juga bisa dibanggakan.

Kecerdasan

Banyak perdebatan yang membicarakan tentang kecerdasan manusia. Sebagian mengatakan itu pemberian (given) dari Tuhan dan sebagian lain menyimpulkan bahwa itu sesungguhnya potensi yang semua orang memiliki dan tergantung pengembangannya.

Sebagai modal potensial, kecerdasan intelegensia ini masih menjadi andalan dan harapan banyak pihak. Hari ini masih banyak lembaga-lembaga pendikan yang melakukan seleksi awal dengan melakukan pengukuran kecerdasan ini. Apalagi sekolah-sekolah yang mendeklarasikan sebagai sekolah unggulan, di samping uang sekolahnya mahal karena dukungan fasilitas yang lengkap, juga melakukan tes kecerdasan sebagai pertimbangan.

Para penyelenggara pendidikan jenis ini meyakini bahwa prestasi akademik pasti akan diraih dengan kemampuan awal (entry behavior) anak-anak yang memiliki skor IQ tinggi. Didukung dengan fasilitas yang mewah dan memadahi menjadikan lembaga-lembaga seperti ini banyak menjadi rebutan orang-orang mampu yang menginginkan putra-putrinya tumbuh dan berkembang menjadi orang yang hebat di masa akan datang.

Kecerdasan intelektual menjelaskan sifat fikiran yang kompleks yang mencakup sejumlah kemampuan seperti kemampuan menalar, memproyeksikan, memecahkan masalah, berfikir abstrak, pemahaman terhadap gagasan, daya tangkap dan kemampuan belajar. Kompleksitas variabel ini membutuhkan treatment yang kompleks juga jika ingin terus tetap berkembang optimal pada sesorang. Pemahaman terhadap semua variabel kecerdasan ini penting bagi pendidik agar para peserta didik bisa mendapatkan perhatian dibutuhkan.

Memang orang-orang hebat seperti Albert Einstein, BJ Habibie, Kim Um Yong, Christoper Hirata dan sejumlah tokoh terkenal lainnya dikenal sebagai orang yang memiliki skor di atas rata-rata IQ manusia di kisaran 90-109. Kecerdasan orang-orang hebat ini di samping anugerah Tuhan juga karena mereka mampu melampaui tahapan belajar yang sungguh-sungguh. Jadi seberapapun potensi skor IQ kita, masih diperlukan tahapan belajar yang tepat dan sungguh-sungguh. Bagi yang diberikan skor tinggi ini adalah anugerah Tuhan, tetapi bagi mereka yang skor IQ-nya di bawah rata-rata pasti juga masih banyak diberikan keunikan. Intinya kita tidak boleh pasrah dan terus bekerja keras mengoptimalkan taqdir yang diberikan oleh Tuhan.

Daya Juang

Ternyata banyak sekali orang bersyukur dengan perjalanan hidupnya yang penuh derita, sengsara dan serba kekurangan. Kenapa ini disyukuri? Karena mereka menyadari betul dengan berbagai penderitaan yang pernah dialaminya dan mampu dilampuinya itulah yang mengantarkannya pada sebuah keberhasilan yang gemilang.

Ini adalah pembelajaran, pengalaman dan juga anugerah yang luar biasa. Orang yang mampu mengatasi persoalan, melampaui rintangan, melawan keterbatasan mereka adalah para juara sejati. Hanya mereka yang memiliki daya juang (adversity quotient) yang tinggi seperti ini yang akan bisa membalikkan kekhawatiran-kekhawatiran.

Banyak atlet peserta lomba yang di awal (start) bagus dan memilki potensi fisk yang kuat ternyata banyak yang terdampar di tengah perlintasan tidak mencapai garis finish. Kenapa ini bisa terjadi? Karena mereka tidak memiliki daya juang yang tangguh dan tidak mampu mengatasi persoalan di tengah perjalanan yang memang terkadang semuanya terjadi di luar dugaan. Kalau mereka frustasi dan tidak siap dengan cobaan seperti ini, sudah dapat dipastikan mereka akan gagal melampaui perlintasan dan tidak pernah mencapai garis finish. Model seperti ini tidak hanya terjadi di area perlombaan tetapi terjadi pula dalam proses pembelajaran dan fakta kehidupan.

Terkait dengan bahasan ini, ada kisah menarik yang pernah disajikan di sebuah majalah populer “Luar Biasa” yang pimpinan redaksinya Andri Wongso. Diceritakan pada sebuah even perlombaan awak media memberikan penghargaan dan apresiasi yang luar biasa kepada seorang atlit yang memasuki garis finish paling akhir dibandingkan peserta lomba lainnya. Hal ini tidak lazim seperti biasanya yang selalu dielu-elukan, dipeluk, dicium dan diberikan karangan bunga adalah atlit yang mencapai garis finish pertama. Ternyata penghargaan ini diberikan kepada seseorang yang memiliki daya juang yang mengagumkan. Betapa tidak, hanya tinggal seorang diri, terseok-seok, berlumuran darah, bercucuran keringat dan air mata tetap semangat menuju ke garis finish. Dan yang paling mengagumkan ketika ditanya kenapa Anda tetap bersemangat menuju garis finish, meski tidak mungkin menjadi juara? Jawabnya, “Saya diutus negara ke sini bukan untuk Start, tetapi untuk Finish”.

Ini pembelajaran kehidupan yang luar biasa. Kita dalam menilai sesuatu tidak boleh hanya melihat hasil akhirnya saja tetapi juga harus melihat proses yang dilaluinya. Kita tidak boleh hanya memberikan apresiasi kepada anak-anak didik yang lulus tercepat atau tinggi hasil ujianya atau cumlaude wisudanya, tetapi anak-anak yang bekerja keras karena berbagai keterbatasan namun mereka tetap bekerja keras dan tegar menghadapi berbagai cobaan hingga bisa menyelesaikan studi sebagaimana teman-temannya, orang-orang seperti ini saya kira juga layak diberi penghargaan.

Spiritualitas

Banyak pengertian dan definisi tentang spiritualitas yang dikemukakan beberapa pakar. Dari sisi makna kata spiritualitas berasal dari kata spirit yang maknanya jiwa. Sehingga spiritualitas selalu dihubungkan dengan pengalaman jiwa atau moralitas manusia.

Kita coba mengambil definisi salah satu ilmuwan yakni Dewit-Weaver (Dalam McEven, 2004) yang menyatakan bahwa spiritualitas sebagai bagian dari dalam individu yang tidak terlihat yang berkontribusi terhadap keunikan serta dapat menyatu dengan nilai-nilai transendental (suatu kekuatan yang maha tinggi/high power dengan Tuhan/God) yang memberikan makna, tujuan, dan keterhubungan.

Ternyata, di samping modal kecerdasan intelektualitas dan daya juang, ada faktor lain yang mendasari keberhasilan manusia dan ini juga sangat menentukan. Di balik kesuksesan dan pencapaian, puncak prestasi seseorang juga ditentukan faktor spiritualitas. Keyakinan terhadap hal-hal yang transendental ini tidak bisa diabaikan. Yaitu, hal-hal yang tidak tampak tetapi kekuatannya cukup dahsyat.

Kesadaran seperti inilah yang menumbuhkan kecerdasan spiritualitas seseorang yang makin menenangkan. Mereka yang makin meningkat kecerdasan spiritualitasnya juga bisa terhindar dari gaya arogan, sombong, ananiah (individualis) dan sikap-sikap berlebihan. Sebab, mereka betul-betul menyadari bahwa keberhasilanya bukan semata-mata dari kemampuan dan jerih payahnya sendiri, tetapi pertolongan Tuhan.

Memadukan ketiga unsur yakni kecerdasan, daya juang dan spiritualitas ini akan mengokohkan harapan-harapan bagi mereka yang akan memulai menapaki suatu tujuan. Manusia sesungguhnya diciptakan tidak ada yang dalam kondisi kekurangan. Hanya kemampuan untuk memahami keunikan dirinya sendiri yang terkadang menjadi hambatan. Apalagi kalau juga tidak ada kepercayaan diri atau penuh kekhawatiran menatap masa depan, ini juga bisa berkontribusi menjadikan keberhasilan semakin buram.

Oleh karena itu, memadukan kecerdasan, daya juang dan spiritualitas harus menjadi komitmen untuk benar-benar dilakukan. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan jika kita sudah menyadari kemampuan, bekerja keras, dan menyerahkan urusan kepada Tuhan. Dalam jiwa yang penuh kepasrahan kepada Tuhan, akan hadir sebuah ketenangan.

 

 

Penulis: Eka Nurlela

 

Hari Anak Perempuan: Islam Muliakan Anak Perempuan

Hari Anak Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 11 Oktober. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak perempuan dan pentingnya melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Sebagai agama, Islam adalah agama yang sangat memuliakan anak perempuan. Hal ini untuk melawan nasib tragis perempuan di zaman jahiliyah yang menganggap anak perempuan sebagai aib dan sering dibunuh hidup-hidup. Namun, Islam datang untuk menghapus praktik-praktik jahiliyah tersebut dan memuliakan anak perempuan.  Agama yang dibawa Nabi Muhammad ini mengajarkan bahwa anak perempuan adalah anugerah dari Allah swt dan memiliki hak yang sama dengan anak laki-laki untuk dididik, dibesarkan, dan dilindungi. Dalam Al-Qur’an QS An-Nahl [16] ayat 58-59, Allah berfirman:

وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

Artinya: “(Padahal), apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu). Dia bersembunyi dari orang banyak karena kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruk (putusan) yang mereka tetapkan itu!”

Dalam Tafsir al-Baghawi jilid III, halaman 83 dijelaskan bahwa pada masa Jahiliyah, anak perempuan yang lahir sangat dikucilkan. Orang Arab sering mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup karena takut akan kemiskinan. Jika seorang pria Arab memiliki anak perempuan dan ingin menyelamatkannya, dia akan mengenakannya jubah wol atau rambut dan membiarkannya menggembalakan unta dan domba di padang pasir.  Jika dia ingin membunuhnya, dia akan meninggalkannya sampai dia berusia enam tahun, lalu mengatakan kepada ibunya untuk mendandaninya sehingga dia bisa membawanya ke keluarganya. Dia akan menggali sumur di gurun, dan ketika dia sampai di sumur, dia akan menyuruhnya melihat sumur itu, lalu mendorongnya dari belakang ke dalam sumur. Dia akan menutupi kepalanya dengan tanah sampai sumur itu rata dengan tanah. Sementara itu Imam Qurthubi dalam kitab al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an, Jilid X, halaman 117, dijelaskan bahwa pada masa pra-Islam, ada kebiasaan mengubur anak perempuan hidup-hidup di kalangan sebagian suku Arab. Hal ini dilakukan karena ketakutan direndahkan. Orang Arab pada masa itu menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga daripada anak perempuan. Oleh karena itu, mereka takut direndahkan oleh orang lain jika memiliki banyak anak perempuan. Sehingga tindakan mengubur anak perempuan hidup-hidup ini merupakan tindakan yang kejam dan tidak manusiawi. Dahulu, suku-suku Mudhar dan Khuza’ah biasa mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Suku yang paling parah dalam hal ini adalah Bani Tamim. Mereka beralasan karena takut direndahkan dan dirampas oleh orang-orang yang tidak sepadan. Dan Sufyan bin Naajiyah, paman Farazdaq, jika dia mengetahui adanya hal tersebut, dia akan memberikan seekor unta kepada orang tua gadis itu untuk mencegahnya mengubur anaknya. Islam datang untuk menghapuskan kebiasaan ini dan mengajarkan umatnya untuk memperlakukan anak perempuan dengan baik. Pun Islam, lewat Rasulullah SAW mengangkat derajat dan sangat memuliakan anak perempuan. Beliau bersabda:

مَنِ ابْتُلِيَ مِنَ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ، فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

Artinya: “Siapa saja yang diuji dengan anak perempuan, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits ini menjelaskan bahwa orang yang diuji dengan anak perempuan, lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka. Sejatinya, berbuat baik kepada anak perempuan adalah salah satu bentuk ketakwaan kepada Allah. Pun Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik kepada anak perempuan, dan Dia akan membalas kebaikan tersebut dengan surga. Rasulullah SAW juga memiliki seorang putri bernama Fatimah Az-Zahra. Beliau sangat menyayangi Fatimah dan sering memujinya. Beliau bersabda:

حَدَّثَنِي أَبُو مَعْمَرٍ إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْهُذَلِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّي يُؤْذِينِي مَا آذَاهَا

Artinya: “Menceritakan kepadaku Abu Ma’mar Ismail bin Ibrahim al-Hudzali, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amru dari Ibnu Abi Mulaikah dari Miswar bin Makhramah, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari diriku. Apa yang menyakitinya, menyakitiku.” Islam mengajarkan bahwa anak perempuan memiliki hak yang sama dengan anak laki-laki. Mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan perlindungan yang layak. Mereka juga berhak untuk menikah dengan orang yang mereka cintai dan memiliki keluarga yang bahagia. Pada Hari Anak Perempuan Internasional ini, mari kita semua bersama-sama meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memuliakan anak perempuan. Mari kita ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak perempuan untuk tumbuh dan berkembang.

 

Penulis: Eka Nurlela

Jejak Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari

Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.

Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu ‘Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibnu ‘Atha’illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”,

… dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:

Masa pertama Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.

Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya :

“apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah menceritakan :

“Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir.
Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”. Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.

Masa ketiga Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari

Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.

Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.

Ibnu Hajar berkata:

“Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”.

Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi :

“Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”.

Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.

Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.

Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibnu Atha’illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

 

Sumber: Semesta Hikmah Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah

Editor: Raisya Audyra

Meminta Hujan dengan Doa, Shalawat Nariyah, dan Istighfar

Saat musim kemarau panjang dan kekeringan melanda di mana-mana, semua orang mengeluhkan kekurangan air. Diantara ikhtiar atau usaha yang dapat dilakukan adalah mengikuti Nabi dengan melaksanakan shalat Istisqa’. Istisqa sendiri maknanya adalah memohon hujan kepada Allah ketika membutuhkan.  Istisqa’ atau cara meminta hujan kepada Allah ternyata tidak tunggal dengan melaksanakan shalat. Syekh Nawawi Banten menjelaskan dalam kitabnya Nihayatuzain berkenaan dengan meminta hujan terdapat tiga cara. Di antaranya dengan yang paling minimalis berupa berdoa meminta hujan saja sampai yang paling sempurna dengan mengerjakan shalat dan dua khutbah. Berikut selengkapnya:

والاستسقاء ثلاثة أنواع: أدناها أن يكون بالدعاء مطلقا فرادى ومجتمعين وأوسطها يكون بالدعاء خلف الصلوات فرضها ونفلها وفي خطبة الجمعة وخطبة العيدين ونحو ذلك، وأكملها يكون بالصلاة على الوجه الآتي

Artinya, “Istisqa atau meminta hujan ada tiga macam-macam caranya,

(1) cara paling minimalis adalah hanya berdoa baik sendirian atau secara berjamaah.

(2) cara pertengahan atau sedang adalah dengan berdoa setelah shalat fardhu atau sunnah, dalam khutbah Jum’at, khutbah hari raya, dan semisalnya.

(3) adapun yang paling sempurna adalah dengan melaksanakan shalat (dan khutbah).

Sebagaimana nanti dijelaskan.” (Muhammad Umar Nawwi al-Jawi, Nihayatuzzain, [Bairut, Darul Fikr: t.t], halaman 111).  Masih menurut Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya yang lain Qutul Habibil Gharib atau yang terkenal dengan Tausyikh ala Fathil Qarib al-Mujib menyebutkan suatu faedah bahwa membacakan ayat dan doa tertentu pada batu sejumlah 70.000 dapat digunakan untuk istisqa’ atau meminta hujan. Berikut jelasnya:

(فائدة) والقراءة على الأحجار للاستسقاء أمر مستحسن مروي عن الحسن البصري وابن سيرين وغيرهما، يقرأ على سبعين ألف حصاة على كل واحدة مرة قوله تعالى: ﴿وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الوَليُّ الحَمِيدُ) [سورة الشورى: الآية، ۲۸] ويقرأ الدعاء في رأس كل مائة. اللهم لا تهلك بلادك بذنوب عبادك ، ولكن برحمتك الشاملة اسقنا ماء غدقاً تحيا به الأرض وتروى به العباد إنك على كل شيء قدير. ثم ترمي الحصيات في ماء جار أو راكد

Artinya: “(Faedah) membaca (ayat dan doa) pada bebatuan untuk istisqa’ adalah perkara yang dianjurkan, diriwayatkan dari Al-Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin dan dari selain keduanya: ” Dibacakan masing-masing pada 70.000 batu kerikil firman Allah pada surat as-Syuro ayat 28 yang Artinya: “Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan (Dia pula yang) menyebarkan rahmat-Nya. Dialah Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” Dan dibacakan doa pada setiap permulaan 100, doanya adalah:

اَللَّهُم لا تَهْلِكْ بِلادَكَ بِذُنُوْبِ عِبَادَكَ ، وَلَكِنْ بِرَحْمَتِكَ الشَّامِلَةِ اِسْقِنَا مَاءً غدقاً تُحْيَا بِهِ الأَرْضُ وَتُرْوَى بهِ العِبَادُ إِنَّكَ عَلَى كُلِ شَيْءِ قَدِيْرٌ

Artinya: “Ya Tuhan, jangan engkau hancurkan negara-Mu sebab dosa-dosa hamba-Mu, tetapi dengan rahmat-Mu yang melimpah, berikan kami air yang melimpah sehingga bumi dapat hidup dan hamba-hamba-Mu segar (tidak dahaga) sesungguhnya Engkau mampu melakukan segala hal.” Kemudian setelah selesai batunya dilontarkan ke dalam air yang mengalir ataupun air yang tenang. Masih menurut beliau, penduduk Maghrib atau kini disebut Maroko meminta hujan dengan membaca Shalawat Nariyah dalam satu majlis sejumlah 4.444 kali.  Sebagian ulama mengatakan: “Dianjurkan meminta hujan dengan Shalawat Nariyah ini seperti dianjurkannya membaca shalawat Nariyah untuk terpenuhinya hajat.”  Dan yang juga mempunyai manfaat untuk meminta hujan adalah tawasul dengan istighfar, yang lebih baik dikerjakan secara berjamaah dengan membaca: “Astaghfirullah waatubu ilaihi” sebanyak 100.00 kali. (Muhammad Umar Nawwi al-Jawi, Tausyekh ala Fathil Qarib al-Mujib, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1418 H], halaman 140-141).

Wallahu a’lam bisshawab.

 

Penulis: Eka Nurlela