Pengajian Triwulan, Sosialisasi Masyayikh & Wali santri Al-Musri’

            Telah di selenggarakannya acara pengajian triwulan dan sosialisasi di ponpes Miftahul Huda Al Musri’. Kegiatan tersebut di hadiri oleh para guru guru Al Musri dan Orang tua wali santri. Dengan diadakannya kegiatan tersebut bertujuan mempererat tali silaturahmi antara para guru guru yang ada di Al Musri’ dan orang tua wali santri, tidak hanya dengan acara sosialisi kegiatan tersebut pun di isi dengan pengajian kitab kuning yaitu kitab Ihya Ulumuddin, isi dari sosialisasi tersebut juga para guru guru al musri memaparkan program progam ke Al Musrian yang diantara nya : Program Ketarbiyahan dan program keamanan, guna supaya orang tua santri mengetahui kegiatan kegiatan yang ada di Al Musri’.

                Dalam pemaparan program, ada yang menarik para orang tua santri yaitu pemukiman. Di Al Musri ada program pemukiman yang selalu di laksanakan ketika salah seorang santri telah di wisuda di Ponpes Miftahul Huda Al Musri’. Program ini sangat membantu bagi seorang santri yang bingung setelah beres/lulus dari pesantren harus bagaimana, dan program ini adalah salah satu cara dewan kyai al musri menitipkan santri nya kepada masyarakat umum. Menurut pengersa Eteh Hj Iyam “Loba Ku zaman Ayeuna Nu Nyuprih Kana Elmu tapi hasil/teu nepi kana tsamrohna elmu(buah na elmu)”.

                Acara ini juga sekaligus waktu penjengukan orang tua kepada anak nya yang sering dilakukan pada setiap hari kamis dan jum’at di Al Musri’. Sosialisasi menjadi dorongan semangat kepada orang tua santri  dalam mempesantrenkan anak nya.

Miftahul Huda Al Musri’ Pusat

Kamis, 5/8/2025

Menyelami Ulang Dakwah Para Influencer di Media Sosial: Anugerah atau Musibah?

Disadari secara penuh kecenderungan masyarakat Indonesia terhadap pengunaan media sosial disebabkan kemajuan dalam bidang revolusi industri menjadikan Information Communication and Technology (ICT) sebagai sebuah komoditi yang tidak dapat dinafikan lagi keberadaannya. Kemajuan teknologi menghantarkan berbagai kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan dengan waktu yang cepat.

Penggunaan smartphone yang hampir dimiliki oleh seluruh kalangan di masyarakat membuat masyarakat dapat dengan mudah mengakses internet, sehingga dengan itu berbagai informasi pun akan dengan mudah didapatkan sesuai dengan kebutuhan. Didorong dengan penggunaan internet, memicu muncul dan berkembangnya situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, Whatsapp, dan sebagainya.

Penggunaan situs-situs tersebut dikenal dan digandrungi oleh segala usia, dari mulai anak-anak hingga orang tua, pun diminati oleh setiap kalangan baik itu pekerja, kaum intelektual, ibu rumah tangga, sampai pada pelajar di sekolah.

Media sosial juga menjadi sumber primer yang digunakan sebagai referensi informasi tentang agama. Maraknya penggunaan media sosial belakangan ini memberikan dampak positif dan negatif bagi seseorang khususnya dalam mempelajari agama. Media sosial dapat memanjakan seseorang yang seiring kemajuan teknologi, menuntut segala sesuatu serba cepat dan instan.

Dampak positif yang ditimbulkannya adalah kemudahan akses yang membuat seseorang semakin tertarik untuk mempelajari Islam. Ketika menemukan suatu permasalahan keagamaan, sudah barang tentu mereka membuka media sosial untuk mencari solusi atas permasalahan yang dimiliki karena hal tersebut merupakan solusi paling cepat, di samping itu dengan seringnya mempelajari agama melalui media sosial seseorang akan merasa pemahamannya tentang agama menjadi lebih banyak dan lebih sempurna dari sebelumnya, hal ini juga menjadikan aktifitas sehari-harinya lebih baik dan sesuai dengan tuntutan agama.

Salah satu media yang banyak diminati oleh para masyarakat untuk belajar agama adalah media Youtube Menurut penelitian yang dilakukan oleh We Are Social dan Hotsuite, bahwasanya pengguna internet di Indonesia sendiri dengan rentan usia 16 sampai 64 tahun mencapai 202,6 juta hingga januari 2021. Di satu sisi jumlah pengguna media sosial mencapai pada angka 170 juta. Youtube berhasil menjadi media sosial yang sangat populer dikarenakan diakses sebanyak 93,8% dai keseluruhan jumlah pengguna media sosial yang ada. Hal ini mengatarkan Youtube menjadi media sosial yang sangat efektif karena mampu mengjangkau ratusan juta penonton di Indonesia.

Beberapa nama da’i kondang baik secara personal atau kelompok memanfaatkan media Youtube ini untuk media dakwah menyiarkan pesan-pesan agama Islam.  Seperti, Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Hanan Attaki, Gus Baha, Pak Fahruddin Faiz, Buya Yahya dan Guru Gembul. Mereka-mereka semua telah memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk berdakwah dengan gaya khasnya masing-masing melalui media sosial Youtube. Sehingga masyarakat dapat  menikmati belajar atau mengaji ke mereka semua tanpa harus datang ke lokasi.

Selain para pendakwah yang memang sudah memiliki keilmuan dibidangnya masing-masing sesuai dengan standar agama, juga munculah beberapa orang yang medakwahkan agama Islam melalui platfom media sosial, yang mana mereka ini bukanlah dari kalangan seorang agamawa, dai, atau bahkan ustadz. Mereka hanya orang-orang yang memiliki pengikut banyak di media sosial, atau biasa disebut dengan “influencer”. Secara pengertian influencer adalah orang yang memiliki pengaruh besar di media sosial dan dapat memengaruhi perilaku pengikutnya. Influencer dapat menjadi sumber inspirasi, baik dalam hal gaya hidup, kesehatan, dan lainnya.

Berangkat dari memiliki banyaknya pengikut di media sosial, umunya influencer sudah berani memberikan tentang kajian-kajian agama di media sosial dan diikuti apa yang disampaikan oleh para pengikutnya. Fenomena ini menguai pro dan kontra hingga muncullah anggapan, apakah fenomena dakwah para influencer, akan membawa anugerah atau justru petaka?

Dalam memahami hal ini, perlu dikaji secara keseluruhan, artinya tidak berat sebelah. Bila kita memandang aspek anugrah, pada akhirnya bahwa para influencer ini secara tidak langsung membantu syiar agama Islam ke masyarakat luas, khususnya masyarakat-masyarakat yang berada di perkotaan, atau biasa disebut dengan masyarakat urban. Dengan kehadiran para influencer yang berdakwah mereka bisa lebih mudah mengakses pembelajaran agama di tengah-tengah kesibukannya seperti bekerja dan lain sebagainya.

Selain memberikan akses kemudahan untuk memahami nilai-nilai agama masyarakat perkotaan, para influencer ini juga menggunakan pendekatan yang modern kepada para masyarakat perkotaan yang mudah untuk dipahami dalam dakwahnya. Gaya dakwah ini tidak dimiliki oleh para dai atau para ustadz-ustadz yang di kampung. Karena pada dasarnya dakwah mereka juga lebih mengena kepada kultur kebudayaan masyarakat desa setempat.

Di tengah-tengah kemudahaan yang diberikan oleh para influencer dalam berdakwah di media sosial, ada satu hal yang perlu diperhatikan, yakni mengenai  kedalaman ilmu agama mereka. Karena seringkali ditemukan para influencer ini, salah dalam menyampaikan pesan agama, seperti salah memberikan statement, mengutip ayat al-qur’an atau hadis dan lain sebagainya.

Terkait statement ini yang pada akhirnya berdampak dari salah pahamnya masyarkat menganai suatu persoalan agama, para influencer rasa-rasanya harus memperdalam ilmu agama lagi agar tidak menjadi sebuah kesesatan dalam memberikan pemahaman. Di sisi lain, tidak sedikit juga para influencer, dalam dakwahnya hanya diisi dengan persoalan-persoalan mengenai cinta-cinta ala anak muda.

Pada tahap tertentu dari isi materi dakwahnya yang seperti itu, menimbulkan sebuah pertayaan, apaka ini benar-benar kajian keagamaan atau sekedar seminar yang membahas persoalan percintaan saja? Apalagi belum ditambah dengan ajakan-ajakan seputar pernikahan muda kepada para remaja dengan alih-alih menghindari zina.

Hal-hal di atas seakan-akan tidak memberikan gambaran yang tepat dalam berdakwah kepada para umat. Meskipun memang kita juga harus mengakui bahwa setiap madu’ (orang yang didakwahi) itu berbeda-beda tipikal, karekter dan juga ketarikan terhadap para mubaligh atau dai’

Di tengah-tengah keresahan tersebut, hal paling tepat untuk dievaluasi adalah bagaimana cara dakwah para snatri-santri yang bertahun-tahun belajar agama Islam, baik itu fan keilmuan fiqih, tauhid, tasawwuf, nahwu, hadis & al-qur’an. Rasanya para alumni santri dari berbagai pondok pesantren yang ada di Indonesia mendapatkan tantangan bagaimana mereka bisa mendapatkan ruang dakwah dan panggung di tengah-tengah masyarakat untuk bisa mendampingi spirit keagamaan masyarakat.

Sumber : Fenomena Selebgram Da’i

Pewarta : M Wildan Musyaffa

Selamat Hardiknas 2025! Merdeka Belajar Dalam Mewujudkan Pendidikan Tuntas dan Berkualitas

Mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua” peringatan ini menjadi momentum untuk meneguhkan dan memperkuat tekad serta komitmen dalam memajukan pendidikan nasional. Tanggal 2 Mei Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional yang sering disingkat Hardiknas, menjadi momen penting dalam menghargai kemajuan dunia pendidikan di tanah air. Hari ini bukan hanya sekadar tanggal di kalender, melainkan sebuah refleksi tentang bagaimana pendidikan memegang peranan vital dalam kemajuan bangsa.

Momen ini mengingatkan kita akan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan untuk mempersiapkan generasi yang cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan global. Lantas, bagaimana sejarah singkat mengenai Hari Pendidikan Nasional yang selalu diperingati setiap tahunnya? Simak ulasannya berikut ini.

Sejarah singkat Hari Pendidikan Nasional

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap tanggal 2 Mei di Indonesia untuk menghormati jasa Ki Hadjar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan hari kelahiran beliau pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Hal tersebut tertuang dalam keputusan presiden (Keppres) Nomor 316 tahun 1959 pada tanggal 16 Desember 1959.

Sebagai menteri pendidikan pertama di Indonesia pada tahun 1950, ia menanamkan semangat pendidikan yang merdeka dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ki Hajar Dewantara juga dikenal dengan semboyannya ‘Tut Wuri Handayani’ yang menjadi slogan Kementrian Pendidikan Indonesia hingga kini.

Pada masa penjajahan Belanda, Ki Hadjar Dewantara, yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, menentang kebijakan pendidikan kolonial yang hanya mengutamakan golongan tertentu. Sebagai bentuk perlawanan, beliau mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, sebuah lembaga pendidikan yang terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang status sosial.

Atas dedikasinya, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan setelah Indonesia merdeka. Beliau wafat pada 26 April 1959, dan sebagai penghormatan, pemerintah menetapkan hari kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959.

Peringatan Hardiknas bertujuan untuk merefleksikan pentingnya pendidikan dalam membangun bangsa. Meskipun bukan hari libur nasional, peringatan ini biasanya diisi dengan upacara bendera di sekolah-sekolah dan instansi pendidikan lainnya.

Tema Hardiknas tahun 2025

Pada tahun 2025, tema Hardiknas adalah “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, yang menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak dalam mewujudkan pendidikan berkualitas bagi seluruh masyarakat. Tema ini mengajak seluruh elemen bangsa untuk bekerja sama dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Melalui peringatan ini, diharapkan semangat Ki Hadjar Dewantara dalam memperjuangkan pendidikan untuk semua dapat terus menginspirasi generasi penerus bangsa. Semangat tersebut menjadi landasan penting untuk menciptakan pendidikan yang lebih inklusif dan merata bagi setiap lapisan masyarakat.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Mari kita lanjutkan perjuangan Ki Hajar Dewantara demi kemajuan pendidikan Indonesia

Editor: Siti Lidiana

Untuk yang Lelah Tanpa Banyak Kata: Selamat Hari Buruh

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional sebagai penghormatan atas perjuangan para pekerja. Bagi umat Islam, ini menjadi momen penting untuk merenungkan makna bekerja dalam perspektif Islam, serta mengambil teladan dari Nabi Muhammad SAW dalam hal etos kerja, kemandirian ekonomi, dan integritas dalam profesi.

Islam memandang bekerja bukan sekadar aktivitas duniawi, melainkan ibadah yang bernilai tinggi jika diniatkan dengan benar dan dilakukan secara halal. Allah SWT berfirman:


َؤَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)

Usaha dan kerja keras adalah bagian dari tanggung jawab manusia, dan hasil yang diperoleh adalah buah dari jerih payahnya sendiri. Maka, setiap tenaga yang dikeluarkan dalam bekerja menjadi bagian dari pengabdian kepada Allah SWT.

Nilai-nilai luhur dalam bekerja berupa kejujuran, amanah, tanggung jawab, disiplin, dan profesionalisme.

Rasulullah SAW bersabda:


مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ…

“Tidak ada seorang pun yang makan makanan lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri…” (HR. Bukhari no. 2072)

Etos ini sangat relevan dalam momentum Hari Buruh, di mana penghargaan terhadap para pekerja harus diwujudkan dalam kebijakan yang adil, gaji yang layak, dan suasana kerja yang manusiawi. Islam menekankan kemandirian dalam mencari nafkah, bahkan Rasulullah SAW melarang umatnya menjadi peminta-minta. Beliau bersabda:


لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً… خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا

“Jika salah seorang dari kalian memikul seikat kayu di punggungnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain…” (HR. Bukhari)

Bekerja adalah bentuk kemuliaan, bukan sekadar keterpaksaan. Islam mendorong setiap individu menjadi produktif dan mandiri, agar hidup bermartabat.

Sebelum diangkat menjadi Nabi Muhammad SAW telah dikenal sebagai pedagang muda yang sukses dan terpercaya. Ia bekerja pada seorang saudagar wanita terhormat, Siti Khadijah RA. Integritas dan kejujurannya membuat Khadijah terkesan dan akhirnya meminangnya. Kisah ini menjadi inspirasi bahwa kesuksesan lahir dari etos kerja yang baik, kejujuran, dan tanggung jawab.

Hari Buruh seharusnya tidak hanya diperingati dengan aksi, tetapi juga menjadi sarana muhasabah (introspeksi). Bagi pekerja apakah kita sudah bekerja dengan niat ibadah dan akhlak mulia? Bagi pemberi kerja apakah kita telah memperlakukan para pekerja dengan adil.


أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah, sahih).

Dalam islam martabat pekerja menyiratkan bahwa semua jenis pekerjaan yang sah layak mendapatkan rasa hormat yang sama, baik secara fisik maupun mental.

Adapun hak-hak buruh dalam pandangan islam antara lain:

  • Hak atas upah yang layak (QS. Al Ahqaf:19): Upah harus sebanding dengan nilai kerja bukan sekedar minimum.
  • Hak atas perlindungan sosial (QS. An Nur): Negara dan masyarakat wajib melindungi pekerja dari kehinaan ekonomi.
  •  Hak atas waktu istirahat (HR. Bukhari): Rasulullah SAW bersabda agar buruh tidak dipaksa melebihi batas kemampuannya.
  •  Hak atas keamanan dan keselamtan kerja: Islam melarang segsala bentuk kekerasan atau ekspoitasi terhadap kerja.

Rasulullah adalah teladan dalam memperlakukan buruh. Beliau tidak pernah menunda upah kerja, tidak membebani mereka melebihi batas kemampuan, dan memperlakukan mereka sebagai manusia seutuhnya. Sebuah teladan yang sangat relevan di era kapitalisme digital yang sering memperlakukan buruh hanya sebagai angka-angka produktivitas.

Hari buruh internasional adalah hari pengingat bahwa tidak ada pembangunan tanpa buruh. Mereka adalah fondasi ekonomi, kekuatan sosial, dan harapan masa depan. Alquran dan teladan Rasulullah SAW telah memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana memperlakukan buruh secara adil dan manusiawi. Sudah saatnya kembali kepada nilai-nilai wahyu.

Memberi upah sebelum keringat mengering, memperlakukan buruh sebagai saudara, dan menjamin hak-haknya sebagai manusia. Karena di mata islam, buruh bukan hanya alat produksi, tapijuga pemilik kehormatan dan harga diri.

Selamat hari buruh internasional. Semoga Hari Buruh menjadi titik tolak untuk mewujudkan keadilan kerja, memuliakan pekerja, dan menjadikan setiap pekerjaan sebagai jalan menuju ridha Allah SWT. Semoga keadilan sosial benar-benar menjadi kenyataan, bukan sekedar slogan.

Editor: Siti Lidiana

Tayamum Saat Cuaca Dingin? Boleh atau Tidak?

Wudhu hanya dapat dilakukan dengan air. Namun terkadang seseorang mengalami kesulitan dalam menggunakannya, baik karena tidak menemukannya, sedang melakukan perjalanan jauh, atau ada penyakit yang menghalangi penggunaannya.   Sebagai bentuk kemudahan dan keringanan dalam Islam, disyariatkan tayamum dengan tanah yang suci sebagai pengganti wudhu atau mandi, agar seorang Muslim tidak terhalang untuk beribadah.

Allah swt berfirman:    وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ  

Artinya, “Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.” (QS Al-Ma’idah: 6).

Lalu bagaimana hukum tayamum yang menggantikan wudhu ketika dingin? Dari penelusuran hukum fiqih terdapat sebab utama yang memperbolehkan tayamum. Sebab pertama karena tidak mendapati air dan sebab kedua adalah khawatir menggunakan air. Dalam kasus ini misalnya, kedinginan dan dingin tersebut dapat membahayakan.


Jika seseorang khawatir sakit akibat cuaca yang sangat dingin, seperti lambatnya kesembuhan, tidak mampu menghangatkan air karena tidak memiliki alat untuk memanaskannya, atau tidak dapat menghangatkan anggota tubuhnya setelah menggunakan air, maka ia boleh bertayamum. Namun, ia tetap harus mengulang shalatnya (qadha).” (Muhammad Zuhri Al-Ghamrawi, Anwarul Masalik Syarhul Umdatis Salik, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2012], halaman 38). 

Kemudian terkait dengan kewajiban mengulangi atau tidaknya shalat yang telah dikerjakan dengan tayamum sebab cuacanya sangat dingin terdapat tiga pendapat sebagai berikut:

  وَمِنْهَا: التَّيَمُّمُ لِشِدَّةِ الْبَرْدِ، وَالْأَظْهَرُ: أَنَّهُ يُوجِبُ الْإِعَادَةَ. وَالثَّانِي: لَا. وَالثَّالِثُ: يَجِبُ عَلَى الْحَاضِرِ دُونَ الْمُسَافِرِ​​​​​​​

​​​​​​​Artinya, “Di antaranya: tayamum karena cuaca yang sangat dingin. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa orang yang bertayamum karena alasan ini wajib mengulang shalatnya.   Pendapat kedua menyatakan tidak wajib mengulang. Pendapat ketiga menyatakan bahwa kewajiban mengulang hanya berlaku bagi orang yang berada di tempat tinggalnya (mukim), sedangkan bagi musafir tidak diwajibkan.” (An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I halaman 121). 

Namun, ada juga solusi lain, yaitu menghangatkan air yang dingin. Imam as-Syafi’i memperbolehkan air dingin yang dihangatkan untuk berwudhu. Pendapat pendiri mazhab Syafii ini tertera dalam kitab Al-Hawi yang ditulis oleh Al-Mawardi menuturkan bahwa,

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ : وَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ سَمَاءٍ أَوْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ ، وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ

Artinya, Imam Syafi’i RA berkata, “Bahwa setiap dari laut, baik tawar atau asin, dari sumur atau langit (air hujan), atau air yang dingin atau salju, yang dipanaskan atau tidak adalah sama dan boleh untuk bersuci,” ( Al-Mawardi, Al-Hawi fi Fiqhis Syafi’i, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, cetakan ke-1, 1414 H/1994 M, juz I, halaman 39). Jadi kesimpulannya, dingin bisa jadi alasan untuk mengganti wudhu dengan tayamum, namun dengan syarat dingin tersebut dapat membahayakan tubuh. Namun bisa juga dengan memanaskan atau menghangatkan air dingin tersebut agar tidak terlalu membahayakan.

Baca juga: Cara Wudhu Pasca Kecelakaan

Lebih lanjut mengenai sebab-sebab bertayamum telah dijelaskan para ulama fiqih, di antaranya oleh Syekh Mushthafa al-Khin dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzahib al-Imam al-Syafi‘i (Terbitan Darul Qalam, Cetakan IV, 1992, Jilid 1, hal. 94). Menurutnya, ada empat alasan dibolehkannya bertayamum.

1. Ketiadaan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Ketiadaan air secara kasat mata misalnya dalam keadaan bepergian dan benar-benar tidak ada air, sedangkan ketiadaan air secara syara‘ misalnya air yang ada hanya mencukupi untuk kebutuhan minum.

2. Jauhnya air, yang keberadaannya diperkirakan di atas jarak setengah farsakh atau 2,5 kilometer. Artinya, jika dimungkinkan ada air tetapi di atas jarak tersebut, maka diperbolehkan bertayamum mengingat beratnya perjalanan, terlebih ditempuh dengan berjalan kaki. 

3. Sulitnya menggunakan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Sulit secara kasat mata contohnya airnya dekat, tetapi tidak bisa dijangkau karena ada musuh, karena binatang buas, karena dipenjara, dan seterusnya. Sementara sulit menggunakan air secara syara‘ misalnya karena khawatir akan datang penyakit, takut penyakitnya semakin kambuh, atau takut lama sembuhnya.

4. Kondisi sangat dingin. Artinya, jika menggunakan air, kita akan kedinginan karena tidak ada sesuatu yang dapat mengembalikan kehangatan tubuh. Diriwayatkan bahwa ‘Amr ibn ‘Ash pernah bertayamum dari junubnya karena kedinginan.  Hal itu lalu disampaikan kepada Rasulullah saw., dan beliau pun mengakui serta menetapkannya, sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud. Namun, dalam keadaan terakhir ini, terlebih jika ada air, seseorang diharuskan mengqadha shalatnya. 

Selanjutnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat bertayamum. 

1. Tayamum harus dilakukan setelah masuk waktu shalat. 

2. Jika alasannya ketiadaan air, maka ketiadaan itu harus dibuktikan setelah melakukan pencarian dan pencarian itu dikerjakan setelah masuk waktu. 

3. Tanah yang dipergunakan harus yang bersih, lembut, dan berdebu. Artinya, tidak basah, tidak bercampur tepung, kapur, batu, dan kotoran lainnya. 

4. Tayamum hanya sebagai pengganti wudhu dan mandi besar, bukan pengganti menghilangkan najis. Artinya, sebelum bertayamum, najis harus dihilangkan terlebih dahulu. 

5. Tayamum hanya bisa dipergunakan untuk satu kali shalat fardhu. Berbeda halnya jika usai shalat fardhu dilanjutkan dengan shalat sunat, shalat jenazah, atau membaca Al-Quran. Maka rangkaian ibadah itu boleh dengan satu kali tayamum. 

6. Tayamum berbeda dengan wudhu. Jika wudhu setidaknya ada enam rukun, maka tayamum hanya memiliki empat rukun: (1) niat dalam hati, (2) mengusap wajah, (3) mengusap kedua tangan, (4) tertib.  

Adapun tata cara bertayamum adalah sebagai berikut: 

1. Siapkan tanah berdebu atau debu yang bersih. 

2. Menghadap kiblat, ucapkan basmalah lalu letakkan kedua telapak tangan pada debu dengan posisi jari-jari tangan dirapatkan. 

3. Lalu usapkan kedua telapak tangan pada seluruh wajah disertai dengan niat dalam hati, salah satunya dengan redaksi niat berikut:

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ للهِ تَعَالَى    

Artinya: Aku berniat tayamum agar diperbolehkan shalat karena Allah. 

Berbeda dengan wudhu, dalam tayamum tidak disyaratkan untuk menyampaikan debu pada  bagian-bagian yang ada di bawah rambut atau bulu wajah, baik yang tipis maupun yang tebal. Yang dianjurkan adalah berusaha meratakan debu pada seluruh bagian wajah. Dan itu cukup dengan satu kali menyentuh debu, sebab pada dasarnya lebar wajah tidak melebihi lebar dua telapak tangan. Sehingga “meratakan debu” di sana cukup mengandalkan dugaan yang kuat (ghalibuzhan). 

4. Letakkan kembali telapak tangan pada debu. Kali ini jari-jari direnggangkan serta cincin yang ada pada jari (jika ada) dilepaskan sementara.  

5. Kemudian tempelkan telapak tangan kiri pada punggung tangan kanan, sekiranya ujung-ujung jari dari salah satu tangan tidak melebihi ujung jari telunjuk dari tangan yang lain.    

6. Dari situ usapkan telapak tangan kiri ke punggung lengan kanan sampai ke bagian siku. Lalu, balikkan telapak tangan kiri tersebut ke bagian dalam lengan kanan, kemudan usapkan hingga ke bagian pergelangan. 

7. Sekarang, usapkan bagian dalam jempol kiri ke bagian punggung jempol kanan. Selanjutnya, lakukan hal yang sama pada tangan kiri. 

8. Terakhir, pertemukan kedua telapak tangan dan usap-usapkan di antara jari-jarinya. 

9. Sebagaimana setelah wudhu, setelah tayamum juga dianjurkan oleh sebagian ulama untuk membaca doa bersuci seperti halnya doa berikut ini.     

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ 

Artinya: Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku sebagai orang-orang yang bertaubat, jadikanlah aku sebagai orang-orang yang bersuci, dan jadikanlah aku sebagai hamba-hamba-Mu yang saleh. Mahasuci Engkau, ya Allah. Dengan kebaikan-Mu, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Dan dengan kebaikan-Mu, aku memohon ampunan dan bertaubat pada-Mu.   

Demikian sebab-sebab dan tata cara bertayamum dan penjelasan tentang bertayamum saat cuaca dingin. Semoga bermanfaat.

Editor: Siti Lidiana