Seberapa Penting Nasab dalam Fiqih?

Perbincangan tentang nasab kembali melambung setelah acara “Silaturahmi Akbar Keluarga Kesultanan Banten” pada 26 Agustus 2023 lalu. Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo pun ikut membahas tentang nasab dalam Bahtsul Masail se-Malang Raya. Apakah persoalan mengenai nasab ini sepenting itu sampai dibahas dalam forum-forum besar?

Karena itu, mari kita telusuri sebatas mana ilmu fikih membahas tentang nasab ini. Terlepas dari polemik tentang nasab Ba ‘Alawi yang menjadi perbincangan publik, di sini penulis mencoba memaparkan tentang hukum-hukum fikih yang terkait dengan nasab.

Secara bahasa, nasab dapat diartikan sebagai hubungan keturunan atau pertalian keluarga. Imam Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an mengatakan, bahwa nasab adalah kata yang digunakan untuk mengungkapkan suatu hubungan dari percampuran sperma laki-laki dan ovum perempuan yang sesuai prosedur syariat (menikah).

Sementara nasab dalam kajian fikih, Imam Al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah Fath Al-Qarib-nya menyebutkan,

وَالْعِبْرَةُ فِي الْإِنْتِسَابِ بِالنَّسَبِ إِلَى الْآبَاءِ

Anggapan terhadap hubungan melalui garis keturunan adalah kepada ayah.”

Dengan demikian, nasab dapat dicontohkan seperti, “Rafatar memiliki nasab dengan Raffi Ahmad.” Karena Rafatar merupakan anak kandung dari pernikahan sah secara Islam antara Raffi Ahmad dengan Nagita Slavina.

Nasab dalam Fikih

Dalam pembahasan fikih, terdapat banyak bab yang berkaitan dengan nasab. Ini menunjukkan nasab memiliki kedudukan penting dalam Islam. Karena dengan nasab akan memunculkan perbedaan hukum. Contoh saja permasalahan fikih tentang mahram dalam kitab Fath Al-Qarib Al-Mujib karya Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi berikut:

وَالْمُرَادُ بِالْمَحْرَمِ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا لِأَجْلِ ‌نَسَبٍ

Yang dimaksud dengan mahram adalah seseorang yang haram untuk dinikahi karena ada hubungan nasab…”

Dari penggalan kitab ini, dapat kita pahami nasab berperan dalam penentuan mahram atau bukan. Bila memiliki hubungan nasab dalam hal mahram, maka kita tidak boleh menikah dengannya. Beda hukumnya bila kita menyentuhnya saat memiliki wudhu, maka wudhu kita tidak batal sebab ada ikatan mahram ini.

Contoh lagi dalam kitab Minhaj Ath-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftin karya Imam Nawawi berikut:

وَيُقَدَّمُ الأَفْقَهُ وَالْأَقْرَأُ عَلَى الْأَسَنِّ وَالنَّسِيْبِ

Dan pakar fikih dan qori’ lebih didahulukan (untuk menjadi imam) dari orang yang lebih tua dan nasabnya luhur.”

Dalam pembahasan teersebut, orang yang lebih alim dalam memahami fikih dan lebih bagus bacaan al-Qurannya didahulukan untuk menjadi imam shalat daripada orang yang lebih tua dan nasabnya lebih mulia. Di sini, fikih masih mempertimbangkan nasab dalam menetapkan hukum memilih imam.

Sebenarnya masih banyak permasalahan fikih yang bersangkutan dengan nasab. Seperti dalam pembahasan waris, nasab mempengaruhi apakah seseorang bisa mendapat bagian atau tidak; dalam pembahasan nikah, wali yang mengakad harus ayah kandung (memiliki hubungan nasab); dalam pembahasan zakat, keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib tidak boleh diberi zakat, dan masih banyak lagi.

Karena itu, penting bagi kita untuk menjaga nasab. Caranya dengan tidak memunculkan anak tak bernasab yang berasal dari hubungan zina. Dan ini sesuai dengan salah satu Maqashid Asy-Syari’ah (tujuan adanya hukum Islam) yang disebutkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa, yakni Hifdz An-Nasl wa An-Nasab.

Penulis : M Wildan Musyaffa

Fatwa MUI, Hukum Dukungan Perjuangan Rakyat Palestina

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memboikot produk-produk yang berkaitan dengan Israel sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Israel terhadap Palestina. Keputusan MUI ini didasarkan pada pandangan moral, kemanusiaan, dan solidaritas terhadap rakyat Palestina yang dianggap terzalimi oleh kebijakan Israel.

  • Pandangan Islam tentang Solidaritas dan Keadilan

Pada dasarnya, ajaran Islam mendorong umatnya untuk berdiri dalam solidaritas terhadap mereka yang terzalimi. Prinsip keadilan, empati terhadap penderitaan orang lain, dan menentang penindasan merupakan nilai-nilai yang sangat dianjurkan dalam Islam.

  • Konteks Konflik Israel-Palestina

Pada konflik Israel-Palestina, pandangan ini menjadi penting karena situasi yang terus berkecamuk di wilayah tersebut. Banyak pihak melihat bahwa tindakan Israel terhadap rakyat Palestina, termasuk pendudukan wilayah, pembangunan pemukiman, dan kekerasan yang mengakibatkan penderitaan bagi warga sipil, sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

  • Boikot Produk Zionis

MUI memboikot produk-produk yang berasal dari Israel atau terkait dengan Zionis sebagai bentuk protes dan dukungan terhadap Palestina. Boikot ini adalah upaya konkret dalam menunjukkan sikap solidaritas terhadap rakyat Palestina yang berjuang dalam konflik yang panjang.

  • Pandangan Lain dalam Islam

Namun, dalam Islam, pandangan terhadap konflik ini dapat beragam. Beberapa orang mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda tentang cara terbaik untuk menyelesaikan konflik atau mengatasi masalah tersebut, sementara yang lain akan mendukung tindakan konkret seperti boikot.

  • Kaitan dengan Prinsip Keadilan dan Kemanusiaan

Secara umum, keputusan MUI untuk memboikot produk-produk Zionis Israel didasarkan pada prinsip keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas terhadap rakyat Palestina. MUI, sebagai lembaga fatwa dan otoritas keagamaan di Indonesia, berupaya mengedepankan nilai-nilai ini dalam pandangan dan tindakannya terhadap isu-isu internasional yang memiliki dampak besar terhadap kemanusiaan.

Dalam rangka untuk memahami secara lebih komprehensif mengenai boikot ini, penting untuk mencari pemahaman dari berbagai sumber yang dapat memberikan wawasan yang luas dan mendalam mengenai konteks politik, sosial, dan kemanusiaan yang melatarbelakangi tindakan tersebut.

Isi Lengkap Fatwa MUI No. 83 tahun 2023

Penulis : M Wildan Musyaffa

Silaturahmi, Wasilah Mencapai Derajat Birrul Walidain

Orang tua merupakan tumpuan yang paling mendasar bagi seorang anak dalam menjalani kehidupan yang terus berlangsung. Seorang anak tidak akan mendapatkan kebahagian tanpa luapan kasih yang telah diperjuangkan oleh orang tua bertahun-tahun bahkan sampai meninggal. Sama halnya seorang anak yang sudah baligh sebenarnya sudah tidak menjadi tanggungan orang tua -tidak hanya perihal pahala dan dosa, tapi juga seluruh kehidupannya-, akan tetapi dengan dengan sifat loman yang dimiliki orang tua maka seorang anak tetap menjalani kehidupannya berkat tunjangan dari orang tua.

Maka, sangat “biadab” bukan apabila ada seorang anak yang nglarakke –dhahir maupun bathin-orang tuanya? Bagaimana tidak “biadab”? Orang tua tetap menanggung kehidupan anaknya yang sudah baligh, padahal hal itu sudah tidak menjadi kewajiban orang tua.

Oleh karena itu, sudah menjadi barang yang tidak bisa ditawar lagi bahwa berbakti kepada orang tua merupakan hal yang wajib.  Bahkan, dalam hadis Nabi Muhammad Saw. memberikan julukan orang yang berdebu hidungnya (baca: orang yang merugi). Orang yang berdebu hidungnya menjadi kinayah (julukan) bagi orang yang masih memiliki orang tua tapi tidak berbakti kepada orang tua.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رَغِمَ أَنفُهُ, ثُمَّ رَغِمَ أَنفُهُ”, قِيلَ: مَن يارسولَ اللهِ؟ قال: “مَن أدرَكَ وَالِدَيهِ عِندَ الكِبَرِ أَو أَحَدَهُمَا ثُمَّ لَم يَدخُلِ الجَنَّةَ”. (رواه مسلم)

Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw. bersabda: “Sangat rugi, sangat rugi.” Nabi ditanya, “Siapa orang yang rugi itu, ya Rasulullah?” Kemudian Nabi bersabda, “Orang yang rugi adalah orang yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah satunya tetapi orang tersebut tidak masuk surga”. (H.R. Muslim).

Sudah sangat gamblang hadis tersebut menyebutkan betapa ruginya orang yang tidak berbakti kepada orang tua, bahkan secara “ekstrim” Nabi mengatakan tidak masuk surga. Orang tua yang sudah jelas di depan mata kita, satu rumah dengan kita, bertemu setiap jam, menit, bahkan detik akan tetapi kita tidak berbuat baik kepadanya, maka kita adalah orang yang sangat rugi dan tidak akan masuk surga.

Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk mengajak teman-teman semua -tanpa terkecuali diri saya sendiri- menyadari akan pentingnya berbakti kepada orang tua dan betapa meruginya orang yang tidak berbakti kepada orang tua.

Makna dan Kewajiban Birrul Waalidain

Di dalam ajaran Islam ada istilah birrul waalidain yang bisa kita artika sebagai berbuat baik kepada orang tua atau berbakti kepada orang tua. Birrul waalidain dalam Islam menjadi kewajiban dan di beberapa referensi disebutkan birrul waalidain merupakan amal ibadah kepada Allah yang paling utama. Sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-An’am ayat 151:

قُل تَعَالَوا اَتلُ مَاحَرَّمَ رَبُّكُم عَلَيكُم اَلَّاتُشرِكُوا بِهٖ شَيأً وَبِالوَالِدَينِ اِحسَانًا

Artinya: “Katakanlah (Muhammad): “Aku akan membacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu, (yaitu) janganlah mempersekutukan-Nya dengan siapapun, berbuat baiklah kepada orang tua”.

Kitab Risalah Akhlak Birrul Waalidain karya KH. Ahmad Mujab Mahalli menyebutkan bahwa birrul waalidain merupakan sebuah sikap yang memenuhi hak-hak orang tua serta memuliakan dengan mengikuti dan menjalankan dhawuh orang tua. Menjalankan segala sesuatu yang menyebabkan hatinya ridha serta menjauhi dari perbuatan yang dapat membuat kecewa dan marah orang tua. Tentu seperti yang kita ketahui, kewajiban taat kepada dhawuh atau perintah orang tua itu perintah-perintah yang baik, bukan kok malah perintah yang tidak baik atau maksiat.

Beberapa hal yang mendasar mengapa kita harus berbakti kepada orang tua di antara yaitu berkat orang tualah kita terlahir di dunia ini; mendidik; orang tua membesarkan sehingga menjadi manusia yang sempurna dan mendapatkan keluhuran. Maka dari itu, sudah menjadi hal yang wajib -tidak bisa ditawar lagi- bahwa birrul waalidain sebuah sikap yang wajib dimiliki setiap orang, dan tidak lain adalah seorang anak yang memiliki kewajiban birrul waalidain.

Birrul Waalidain Setelah Orang Tua Meninggal

Jangan dipahami bahwa berbakti kepada orang tua tidak hanya orang tua yang masih hidup saja, akan tetapi bagi seorang anak yang sudah ditinggal wafat orang tuanya pun masih memiliki kewajiban untuk berbakti kepada orang tuanya.

Ada beberapa hadis yang menjelaskan bagaimana cara untuk berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal, di antara hadis yang masyhur bagi kita mengenai birrul waalidain kepada orang tua yang sudah meninggal adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa ketika anak adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya. Saya tidak akan membahas hadis tersebut, karena nampaknya sudah banyak yang mengetahuinya.

Saya tertarik kepada hadis Nabi yang mengatakan bahwa menyambung tali silaturahim kepada orang yang biasa disilaturahimi -termasuk teman-temannya- oleh orang tua itu merupakan berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal. Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut di antaranya:

اِنَّ اَبَرَّ البِرِّ صِلَةُ الوَلَدِ أَهلَ وُدِّ اَبِيهِ (رواه مسلم).

Artinya: “Sesungguhnya kebaikan yang utama ialah apabila seorang anak melanjutkan hubungan (silaturahim) dengan keluarga sahabat baiknya ayahnya.

Suatu ketika Abdullah bin Umar menemui Abi Burdah di kota Madinah, kemudian Abdullah bin Umar berkata: “Wahai Abi Burdah, apakah panjenengan tahu mengapa aku menemui panjenengan?” Tentu Abi Burdah menjawab, “Tidak.” Kemudian Abdillah bin Umar berkata: “Sebab aku pernah mendengar bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

مَن اَحَبَّ اَن يَصِلَ اَبَاهُ فِي قَبرِهِ فَليَصِل اِخوَانَ اَبِيهِ مِن بَعدِهِ وَاِنَّهُ كَانَ بَينَ أَبي عُمَرَ وَبَينَ أَبِيكَ اِخَاءٌ وَوُدٌّ فَاحبَبتُ اَن اَصِلَ ذٰلِكَ (رواه عبد الرزاق وابن حبان فى صحيحه).

Artinya: “Barangsiapa yang senang menyambung di kuburan ayahnya maka sebaiknya dia menyambung tali persaudaraan kepada teman-teman ayahnya setelah meninggal. Maka dari itu ayah saya (Umar bin Khatab) dengan ayah kamu terdapat hubungan persahabatan. Kini aku ingin menyambungnya”.

Abu Sayad Maalik bin Raabi’ah as-Sa’idi r.a berkata:

بَينَمَا نَحنُ جُلُوسٌ عِندَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم اِذ جَاءَ رَجُلٌ مِن بَنِي سَلَمَةَ فقال: يا رسولَ اللهِ هَل بَقِيَ مِن بِرِّ اَبَوَيَّ شَيءٌ اَبَرُّهُمَا بِهِ بَعدَ مَوتِهِمَا؟ قال: نَعَم, الصَّلَاةُ عَلَيهِمَا وَالإِستِغفَارُ لَهُمَا وَاِنفَاذُ عَهدِهِمَا مِن بَعدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ اِلَّا بِهِمَا وَاِكرَامُ صَدِيقِهِمَا (رواه أبو داود وابن ماجة, وابن حبان فى صحيحه).

Artinya: “Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw. tiba-tiba dayang seseorang dari bani Salamah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Rasulullah Saw. bersabda: “Iya, mendoakan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga yang dijalin oleh kedua orang tua dan memuliakan teman dekat keduanya.

Berdasarkan hadis nabi mengenai silaturahim, ada beberapa manfaat dari silaturahim di antaranya yaitu mendekatkan kepada rahmat Allah dan mempermudah rezeki. Berbekal hadis manfaat silaturahim tersebut dan ketiga hadis di atas seharusnya sudah sangat memantapkan hati kita untuk selalu menjaga dan menyambung tali persaudaraan-dalam konteks ini kepada kerabat, teman, dan siapa saja yang punya hubungan dengan orang tua.

Penulis : M Wildan Musyaffa

Keutamaan Shalat Sunnah Malam

Karena adanya kemungkinan hal tersebut belum bisa ditunaikan sepenuhnya, maka ia mencari cara penyempurnaan itu dengan melakukan shalat-shalat sunnah. Bahkan, seandainya shalat wajib sudah bisa dilaksanakan tepat waktu dan berjamaah, masih terbuka kemungkinan bagi kita untuk melakukan upaya penyempurnaan itu.

Rasulullah SAW, melalui teladan dalam kehidupan sehari-hari, sudah menyediakan fasilitas bagi kita untuk berupaya ke arah penyempurnaan ibadah kita dengan menetapkan berbagai pilihan shalat-shalat sunnah yang beragam. Berdasarka. dalil-dalil yang kuat ada tiga shalat sunnah yang dapat kita lakukan secara rutin, yakni:

  • Rawatib, shalat sunnah yang dikerjakan antara azan dan iqamah, kecuali yang pelaksanaannya setelah shalat wajib;
  • Dhuha’, dikenal sebagai shalat tanda syukur dan gembira kepada Allah;
  • Shalat tahajud, shalat malam yang dilaksanakan sesudah tengah malam dan setelah tidur.
Pilihan-pilihan Shalat Sunnah Rawatib

Shalat rawatib terkait dengan shalat Magrib, Isya dan shalat Jumat, lebih afdol dilaksanakan di rumah. Itu jika masjid/surau tempat shalat wajib berjamaah itu dilakukan letaknya dekat rumah. Jika letaknya cukup jauh, atau misalnya di tempat kerja atau saat bepergian, tentu saja tidak perlu menunggu pulang ke rumah dulu, melainkan dikerjakan di masjid/mushala itu juga. Jika kita sedang bepergian, maka tidak disunnahkan shalat sunnah rawatib kecuali shalat sunat fajar dan witir (HR Bukhari-Muslim).

Shalat sunnah rawatib ini dapat dibedakan atas dasar frekuensi pelaksanaannya oleh Nabi. Suri teladan yang diberikan selama beliau hidup menjadi rujukan bagaimana hal itu dikerjakan sekarang. Dari situ kita membedakan apa yang disebut shalat sunnah muakkadah (sangat intens dilaksanakan) dan ghairu muakkadah (tidak terlalu intens dilaksanakan Rasulullah SAW).

Pembedaan itu dapat dipahami sebagai kualifikasi tingkatan shalat sunnah tersebut. Yang muakkadah berarti shalat-shalat tersebut nyaris mendekati shalat wajib yang lima itu; yang ghairu mukkadah posisinya berada setingkat di bawahnya.

Dari hadits-hadits yang disampaikan kepada kita secara otentik dan terjaga, kita tahu bagaimana shalat sunnah yang dipraktekkan Rasulullah. Setelah dipilah-pilah kita menemukan hadits yang kuat untuk mengkategorikan shalat-shalat sunnah menjadi dua: shalat sunnah rawatib mu’akadah dan ghairu mu’akadah yang sama-sama bisa kita praktikkan.

Berikut ini pengelompokan shalat sunnah rawatib —sekadar untuk memudahkan kita memahami— yang didasarkan hadits yang menyebutkannya.

PILIHAN 1: Shalat sunnah 10 rakaat yang mu’akadah berdasar HR Muslim dari Ibnu Umar, Nabi mencontohkan mengerjakan shalat sunnah rawatib sebagai berikut:

Teks hadits dari Ibnu Umar itu bunyinya sebagai berikut:

“Saya jaga (amalan) dari Rasulullah 10 rakaat shalat sunnah, yaitu: 2 rakaat sebelum Dzuhur dan 2 rakaat sesudahnya, 2 rakaat sesudah magrib dan 2 rakaat sesudah Isya, serta 2 rakaat sebelum Shubuh.” (Muttafaq alayh)

PILIHAN 2: Shalat sunnah 12 rakaat yang mu’akadah berdasar HR at-Tirmidzi dari Ummu Habibah, istri Nabi

Beberapa hadits Nabi yang lain, yang menguatkan bilangan rakaat di atas, berbunyi sebagai berikut:

  • “Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah, ikhlas karena Allah, sebanyak 12 rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim dari Ummu Habibah, isteri Nabi SAW, yang mengabarkan Rasulullah bersabda demikian itu).
  • “Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah 12 rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu 4 rakaat sebelum Dzuhur, 2 rakaat setelah Dzuhur, 2 rakaat setelah Maghrib, 2 rakaat setelah Isya`, dan 2 rakaat sebelum Subuh.” (HR. At-Tirmizi dan An-Nasai).
  • Dalam riwayat Muslim yang lain juga ditambahkan keterangan: “Adapun pada shalat Maghrib, Isya, dan Jum’at, maka Rasulullah mengerjakan shalat sunnahnya di rumah.”

Dalam pengungkapan redaksional yang lain, ada hadits yang menyebut 12 rakaat juga seharinya, digambarkan dalam Pilihan 3 di atas, yang menambah 2 rakaat sebelum Ashar tetapi tanpa menyebut 2 rakaat setelah Isya. Hadits riwayat Aisyah (dari Muslim, an-Nasai, Abu Dawud) dan Ali menceritakan bahwa Rasulullah biasa mengerjakan 2 rakaat sebelum Ashar itu (hadits hasan dari Abu Dawud dan at-Thabrani).

Sedangkan untuk shalat sunnah ghairu mu’akadah adalah sebagai berikut di bawah ini.

Pilihan-pilihan di atas tadi adalah pengelompokan atas dasar hadits-hadits tersebut. Ringkasnya, shalat sunnah rawatib yang muakkadah dan ghairu muakadah adalah sebagai berikut:

Beberapa Catatan

Penting dicatat bahwa ada waktu-waktu yang tidak diperbolehkan melakukan shalat sunnah; yakni sesudah shalat Shubuh dan sesudah Ashar. Dasarnya adalah HR Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah dan Umar bin Khaththab: “Sesungguhnya Rasulullah melarang shalat setelah shalat Shubuh hingga terbit matahari dan setelah shalat Ashar hingga terbenamnya matahari”.

Shalat sunnah rawatib sebelum shalat wajib itu dilaksanakan setelah adzan dan sebelum iqamat. Sesuai yang dipraktekkan Nabi SAW, untuk shalat-shalat sunnah bakda Magrib, Isya dan shalat Jumat, itu dilaksanakan di rumah.

Untuk shalat sunnah rawatib 4 rakaat (bakda Dzuhur dan sebelum Ashar) tatacara pelaksanaannya dapat dengan 2-2 rakaat atau salam setiap rakaat; atau dengan dua kali duduk tasyahud (tahiyat) dengan sekali salam. Keduanya memiliki dasar hukum yang kuat.

Shalat Dhuha

Shalat dhuha atau disebut juga shalat al-awwabin yaitu shalat sunnat yang dilakukan seorang muslim ketika waktu dhuha. Yang disebut waktu dhuha dalam teks-teks lama dijelaskan dengan istilah “tujuh hasta sejak terbit matahari” atau “matahari naik sepenggal hingga tengah hari”, yang jika dikonversi dalam pengertian sekarang kira-kira sejak pukul 7 hingga waktu dzuhur.

Hadits Rasulullah SAW terkait shalat dhuha antara lain:

  • Abu Hurairah berkata: Kekasihku Nabi SAW mewasiatkan kepada saya tiga perkara : “Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum saya tidur”. (HR. Bukhari-Muslim dari Anas)
  • “Barang siapa shalat dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana di surga”. (HR. Tirmidzi dan Abu Majah).

Jumlah rakaat shalat dhuha bisa dua, empat, delapan atau 12 rakaat; dilakukan dengan dua rakaat sekali salam.

Shalat dhuha juga dipahami sebagai bentuk syukur kepada Allah. Syukur yang sunnah yaitu melaksanakan hal-hal yang sunnah setelah yang wajib. Syukur yang sunnah bisa diwakili dengan mengerjakan shalat dhuha dua rakaat. Hal itu tercermin dari hadits riwayat Muslim sebagai berikut:

  • Rasulullah bersabda: “Setiap ruas tulang dari seseorang di antara engkau semua itu harus ada sedekahnya pada saban pagi harinya. Maka setiap sekali tasbih, tahmid, tahlil dan takbir adalah sedekah; amar makruf adalah sedekah, nahy munkaradalah sedekah; dan yang sedemikian itu dapat dicukupi oleh dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang dengan shalat Dhuha.” (HRMuslim dari Abu Dzar)

Sejumlah hadits sahih yang sampai kepada kita menunjukkan bahwa Nabi melaksanakan shalat dhuha 12 rakaat manakala malam sebelumnya beliau tidak sempat shalat malam lantaran ketiduran, kelelahan atau sakit. Hal ini menegaskan betapa Rasulullah memperbanyak shalat-shalat sunnah secara proaktif. Karena malam sebelumnya tidak sempat shalat sunnah tahajud, maka seolah-olah beliau menggantinya dengan memperbanyak jumlah rakaat pada saat shalat dhuha.

Sumber Artikel : http://tuntunanislam.id

Editor: Alima Sri Sutami Mukti

7 Sahabat Paling Banyak Meriwayatkan Hadits

Hadits adalah mutiara yang sangat penting bagi seorang muslim sebagaimana Al Qur’an. Fungsi

hadits adalah sebagai penjelas, penguat dan bahkan menjadi sumber syariat yang tidak tertera secara detail dalam Al Qur’an. Siapa sajakah sahabat paling banyak meriwayatkan hadits?

1. Abu Hurairah 5374 hadits

Sahabat asal Yaman ini hanya 4 tahun bersama Rasulullah, namun seluruh hidupnya ia wakafkan untuk mengabadikan semua perkataan Rasulullah dalam hafalannya yang sangat kuat. Tempat tinggalnya di Masjid Nabawi memungkinkan Abu Hurairah meriwayatkan sampai 5374 hadits. Beliau wafat di Madinah pada era Kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan.

2. Abdullah bin Umar 2630 hadits

Putra Umar bin Khattab ini memang istimewa dengan tekadnya untuk meniru segala hal tentang Rasulullah bahkan hingga cara berjalan dan tempat-tempat yang dikunjungi Rasulullah sehari-hari. Selain tangkas di bidang hadits, tafsir dan fiqh, Abdullah bin Umar juga handal di medan tempur bahkan mencapai penaklukan Afrika. Usianya yang muda dan intensitas pertemuan dengan Rasulullah membuat riwayat haditsnya banyak.

3. Anas bin Malik 2286 hadits

10 tahun lamanya Anas bin Malik menjadi asisten pribadi Rasulullah, dan itu jadi rahasia keberkahan hidup Anas. Sebab beliau diberi umur panjang dan anak yang banyak berjumlah 100 lebih. Dikenal pula sebagai pemanah ulung di peperangan melawan nabi palsu. Rasulullah menganggapnya seperti anak sendiri selama hidupnya. Sepeninggal Rasulullah, Anas bermukim di Kota Bushra hingga wafatnya.

4. Aisyah binti Abi Bakr 2210 hadits

Ibunda Aisyah menjadi sumber hadits yang langsung bersumber dari rumah tangganya dengan Baginda Rasulullah. Abu Musa Al Asy’ari berkata, “Jika ada hadits yang tidak kami tahu maknanya, maka kami datang kepada Aisyah dan mendapatkan ilmu darinya.” Beliau terhitung sebagai wanita paling paham tentang ajaran Islam di era sahabat. Pengetahuannya mencakup hadits, tafsir dan fiqh terlebih tentang rumah tangga dan wanita.

5. Abdullah bin Abbas 1660 hadits

“Tinta Umat”, begitulah para sahabat menggelari Abdullah bin Abbas. Sahabat ini termasuk junior di antara generasi sahabat lainnya, namun semuanya bersaksi bahwa Ibnu Abbas ini merupakan sumber ilmu yang sangat diperhitungkan. Umar bin Khattab sering menghadirkan Ibnu Abbas dalam musyawarah kenegaraan, karena ide-ide dan ilmu Ibnu Abbas memahamkan para sahabat. Beliau wafat di Kota Thaif di usia 71 tahun.

6. Jabir bin Abdillah 1540 hadits

Sahabat Anshar ini adalah pembela Rasulullah sejak langkah pertama Rasul di Kota Madinah. Seringnya beliau menghadiri majelis Rasulullah di Masjid Nabawi dengan ingatannya yang kuat membuat beliau meriwayatkan banyak hadits. Sepeninggal Rasulullah, Jabir meneruskan perjuangan dengan mengikuti Pembebasan Syam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid. Beliau wafat di Kota Madinah setelah menjadi Mufti kota tersebut.

7. Abu Said Al Khudri 1170 hadits

Beliau berusia 10 tahun ketika Rasulullah datang ke Madinah. Di usia 12 tahun, beliau ingin ikut dalam Perang Uhud, namun Rasulullah melarangnya karena usianya masih terlalu muda. Meskipun begitu, Abu Said Al Khudri kemudian mengikuti semua pertempuran yang dipimpin Rasulullah. Sahabat ini wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Baqi’ dekat Masjid Nabawi. []

Penulis : M Wildan Musyaffa