Minta Doa pada Jamaah Haji yang Baru Pulang dari Tanah Suci

Sudah menjadi tradisi di Indonesia, jamaah yang telah melaksanakan ibadah haji di tanah suci mengadakan tasyakuran. Dalam momentum tersebut masyarakat mendatangi mereka, baik untuk berbagi cerita, mengambil oleh-oleh khas dari tanah Arab hingga meminta doa dari jamaah haji. Tradisi meminta doa dari jamaah haji diyakini memiliki perbedaan dari doa-doa lainnya, dari sisi diterima atau tidaknya di sisi Allah. Sehingga muncul ungkapan bahwa doa dari seseorang yang melaksanakan haji akan dikabulkan dalam rentang waktu 40 hari pasca kembalinya dari tanah suci. Tentunya sebuah tradisi yang hidup di masyarakat memiliki asal usul dan latar belakang yang menjadi pondasi awal lahirnya kebiasaan tersebut. Asal usul tersebut mewujud dalam beragam bentuk, salah satunya adalah teks-teks keagamaan, dalam konteks Islam adalah Al-Quran, hadits hingga pendapat para ulama dalam literatur keislaman

Menyinggung soal tradisi meminta doa kepada jamaah yang baru pulang dari tanah suci, setidaknya penulis mendapati beberapa hadits yang berkaitan dengan tradisi ini. Pertama, hadits yang diriwayatkan Abu Musa al-Asy’ari terkait orang yang melaksanakan ibadah haji dapat memberikan syafaat kepada 400 orang keluarganya, teksnya yaitu:

عَن أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، رَفَعَهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَالَ الْحَاجُّ يَشْفَعُ فِي أَرْبَعِ مِائَةِ أَهْلِ بَيْتٍ، أَوْ قَالَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَيَخْرُجُ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  ad

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari yang bersambung kepada Nabi, ia berkata, ‘Seseorang yang berhaji dapat memberikan syafaat kepada 400 orang keluarga atau keluarganya dan ia akan keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya’.” (HR Al-Bazzar) Mengenai kualitas sanad hadits di atas, Al-Haitsami mengomentari bahwa dalam sanad milik al-Bazzar, ada perawi yang tidak disebut namanya. Sayangnya tidak ada pelacakan lebih lanjut mengenai kritik terhadap sanad hadits tersebut (Al-Haitsami, Majma’uz Zawaid wa Manbaul Fawaid, [Beirut: Darul Fikr, 1412], jilid III, hal. 484). Kedua, hadits terkait dengan doa orang yang melaksanakan haji diijabah oleh Allah. Riwayat ini dicantumkan oleh Al-Baihaqi dalam karyanya yang berjudul Ad-Da’awat al-Kabir. Teksnya yaitu: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “خَمْسُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ حَتَّى يُنْتَصَرَ، وَدَعْوَةُ الْحَاجِ حَتَّى يُصْدَرَ، وَدَعْوَةُ الْمُجَاهِدِ حَتَّى يُقَفْلَ، وَدَعْوَةُ الْمَرِيضِ حَتَّى يُبْرَأَ…

Artinya, “Dari Ibnu ‘Abbas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Ada lima doa yang pasti dikabulkan: doa orang yang dizalimi hingga dia mendapat keadilan, doa orang yang berhaji hingga dia kembali, ………… doa mujahid sampai perjuangannya selesai, doa orang yang sakit hingga dia sembuh..” (HR Al-Baihaqi, Ad-Da’awat al-Kabir, Mengenai kualitas hadits di atas, para perawi yang disebutkan Al-Baihaqi dalam sanadnya merupakan perawi yang shahih (rijalush shahih), terlebih ‘Ali bin ‘Ali ar-Rifa’i dalam sanad Al-Baihaqi merupakan seorang yang kredibel (tsiqah) (Al-Mubarakfuri, Mir’atul Mafatih syarh Misykatil Mashabih, [India: Idaratul Buhuts. 1984],  jilid VII, hal. 375).

Kemudian Al-Haitsami juga melampirkan riwayat mengenai meminta doa dari orang yang melaksanakan haji. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami bersumber dari riwayat Imam Ahmad, dan memiliki kualitas yang dhaif.  Menurut al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid, riwayat di atas lemah disebabkan adanya perawi dalam sanad riwayat Imam Ahmad yang bernama al-Baylamani. Teks hadits tersebut adalah

عن عبد الله بن عمر رحمه الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا لقيت الحاج فسلم عليه وصافحه ومره أن يستغفر لك قبل أن يدخل بيته فإنه مغفور له Artinya, “Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar ra, menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila kamu bertemu dengan seorang yang telah melaksanakan haji, ucapkanlah salam kepadanya, berjabat tangan dengannya, dan mintalah agar ia memohonkan ampunan bagimu sebelum masuk ke rumahnya, karena sesungguhnya dia telah diampuni.” (HR Ahmad). Dengan adanya teks-teks hadits di atas, jamaah haji di Indonesia selepas pulang dari tanah suci kerap dimintai doa, terkhusus doa supaya diberikan kesempatan dan rejeki juga untuk melaksanakan ibadah haji. Tradisi ini tidak ada salahnya apabila dipraktikkan, selama di dalamnya tidak ada unsur atau faktor eksternal yang menyebabkan suatu perbuatan dinilai haram atau dilarang dalam aturan agama Islam. Mengutip Hasyiyah al-Qalyubi, tradisi ini termasuk yang dianjurkan. Berikut keterangannya: وَيُنْدَبُ لِلْحَاجِّ الدُّعَاءُ لِغَيْرِهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَإِنْ لَمْ يَسْأَلْ وَلِغَيْرِهِ سُؤَالُ الدُّعَاءِ مِنْهُ بِهَا وَذَكَرُوا أَنَّهُ أَيْ الدُّعَاءَ يَمْتَدُّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مِنْ قُدُومِهِ  Artinya, “Disunnahkan bagi orang yang berhaji untuk mendoakan kepada orang (yang tidak berhaji) dengan ampunan meskipun orang tersebut tidak meminta. Dan bagi orang yang tidak berhaji hendaknya meminta didoakan oleh dia. Para ulama menyebut bahwa doa tersebut sampai empat puluh hari dari kedatangannya [pulang dari tanah suci].” (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi, Beirut: Darul-Fikr, 1419 H/1998 M, jilid II, hal. 190). Selanjutnya, apabila sebagian hadits di atas dinilai dhaif, sudah tentu tetap dapat diamalkan. Para ulama membolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam fadha’ilul ‘amal (amalan-amalan utama) dengan beberapa syarat yakni: tidak meyakini keshahihannya, tidak meyakini betul bahwa itu murni dari lisan dan tindakan Nabi, dan menjelaskan hukum haditsnya serta persyaratan lain yang telah ditetapkan ulama. Kesimpulannya, tradisi meminta doa kepada seseorang yang baru pulang dari tanah suci selepas menunaikan ibadah haji dianjurkan. Kita dapat meminta agar didoakan hal-hal yang baik, hingga didoakan supaya sampai juga ke tanah suci. Tentunya permintaan untuk didoakan tidak dengan memaksa, atau meyakini bahwa kuasa mengabulkan doa ada pada dirinya.

Sumber: https://islam.nu.

Editor: Alima sri sutami mukti___

Syarat Suci saat Tawaf dalam Ragam Pandangan Ulama

Di antara hal yang sering mengganggu pikiran jamaah haji ketika tawaf adalah soal kesucian dari najis dan hadats baik kecil maupun hadats besar. Tentu saja ini sangat baik sehingga jamaah haji selalu menjaga kesucian baik dari hadats maupun najis.   Ulama berbeda pendapat perihal kesucian dari hadats dan najis saat tawaf. Imam An-Nawawi menjelaskan ragam pandangan ulama empat mazhab tentang kesucian dari hadats dan najis saat melaksanakan tawaf.   Ulama berbeda pendapat perihal status hukum kesucian, apakah ia masuk dalam syarat sah tawaf atau masuk wajib haji yang dapat dikompensasi dengan pembayaran dam?  

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا اشْتِرَاطُ الطَّهَارَةِ عَنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَبِهِ قَال مَالِكٌ وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي طَهَارَةِ الْحَدَثِ عَنْ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ وَانْفَرَدَ أَبُو حَنِيفَةَ فَقَالَ الطَّهَارَةُ مِنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ لِلطَّوَافِ فَلَوْ طَافَ وَعَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا صَحَّ طَوَافُهُ  

Artinya, “Kami telah menyebutkan, mazhab kami (Syafi’iyah) mensyaratkan suci dari hadits dan najis [ketika tawaf]. Demikian juga pendapat Imam Malik. Al-Mawardi juga menghikayatkan demikian dari jumhur ulama. Demikian juga Ibnul Mundzir dari umumnya ulama tentang kesucian dari hadats. Imam Abu Hanifah ra berbeda sendiri. Ia berpendapat, ‘Suci dari hadats dan najis bukan syarat tawaf. Jadi, seandainya seseorang melakukan tawaf, sementara padanya terdapat najis, dalam keadaan hadats kecil, atau junub, maka tawafnya tetap sah,’” (An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhaddzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VIII, halaman 20).  

Imam An-Nawawi melanjutkan diskusi para ulama perihal kategori suci. Apakah suci dari hadats kecil atau besar itu termasuk wajib haji? Artinya, kalau suci saat tawaf itu masuk wajib haji, maka mereka yang bertawaf dalam kondisi berhadats atau najis dan tidak mengulangnya maka akan terkena dam.   Ulama berbeda pendapat perihal kewajiban suci bagi orang yang tawaf, tetapi mereka bersepakat bahwa kesucian dari bukan bagian dari syarat sah tawaf. Dua hal ini harus dibedakan betul. Artinya, bisa saja seorang jamaah haji melakukan tawaf dalam kondisi hadats dan tetap sah tawafnya karena kesucian bukan syarat sah tawaf.   Ulama yang mewajibkan kesucian saat tawaf berpendapat, seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil wajib terkena dam seekor kambing. Tetapi jika hadats besar, maka ia terkena dam unta dan ia wajib mengulangi tawaf dalam kondisi suci selama masih stay di Makkah.   Terdapat dua riwayat pendapat dari Imam Ahmad:

Riwayat pertama Imam Ahmad seperti pandangan mazhab Syafi’i perihal kesucian saat tawaf.

Riwayat kedua Imam Ahmad menyebutkan, jika jamaah masih stay di Makkah, ia boleh mengulang tawafnya dalam kondisi suci. Tetapi jika sudah kembali ke Tanah Air, ia wajib menyempurnakannya dengan dam. Adapun Imam Dawud berpendapat, kesucian saat tawaf adalah wajib. Jika ada jamaah yang melakukan tawaf dalam kondisi berhadats kecil, maka itu sudah memadai (sah) kecuali dalam kondisi haidh. Sementara Al-Manshuri, ulama pengikut Imam Dawud berpendapat, kesucian merupakan syarat tawaf, seperti pandangan mazhab Syafi’i.   Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Syarah Sahih Bukhari menyebutkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal kesucian saat tawaf berangkat dari perbedaan cara memahami hadits Sayyidatina Aisyah ra:   افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطَّهَّرِي   Artinya, “Rasulullah saw berkata kepada Aisyah ra yang sedang haidh ketika berhaji, ‘Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji lain selain tawaf di Ka’bah sampai kamu suci,’” (HR Bukhari dan Muslim).   Al-Asqalani menerangkan bahwa dari hadits ini dapat dipahami bahwa hadats dapat merusak tawaf sehingga tawaf nanti dilakukan ketika seseorang dalam kondisi suci.

  وَالْحَدِيثُ ظَاهِرٌ فِي نَهْيِ الْحَائِضِ عَنِ الطَّوَافِ حَتَّى يَنْقَطِعَ دَمُهَا وَتَغْتَسِلَ لِأَنَّ النَّهْيَ فِي الْعِبَادَاتِ يَقْتَضِي الْفَسَادَ وَذَلِكَ يَقْتَضِي بُطْلَانَ الطَّوَافِ لَوْ فَعَلَتْهُ وَفِي مَعْنَى الْحَائِضِ الْجُنُب وَالْمُحْدِث وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَذَهَبَ جَمْعٌ مِنَ الْكُوفِيِّينَ إِلَى عَدَمِ الِاشْتِرَاطِ قَالَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ سَأَلْتُ الْحَكَمَ، وَحَمَّادًا، وَمَنْصُورًا، وَسُلَيْمَانَ عَنِ الرَّجُلِ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَلَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا. وَرُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ: إِذَا طَافَتِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَطْوَافٍ فَصَاعِدًا ثُمَّ حَاضَتْ أَجْزَأَ عَنْهَا   Artinya, “Hadits ini jelas tentang larangan perempuan haidh untuk tawaf sampai darahnya terhenti dan ia mandi karena kaidah larangan dalam ibadah berkonsekuensi kerusakan (ibadah). Artinya larangan ini menuntut batalnya tawaf seandainya perempuan haidh tetap melakukan tawaf. Semakna dengan perempuan haidh ialah (status tawaf) orang junub dan berhadats kecil. Ini pandangan jumhur ulama.   Tetapi sekelompok ulama Kufah tidak menganggap suci sebagai syarat tawaf. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ghundar, dari Syu’bah, ‘Aku bertanya pada Imam Hakam, Hammad, Manshur, dan Sulaiman tentang jamaah yang bertawaf tanpa bersuci. Mereka tidak menganggapnya masalah.’ Diriwayatkan dari Imam Atha ra, ‘Jika seorang perempuan bertawaf 3 kali atau lebih putaran, lalu datang haidh, maka tawafnya memadai (sah).’” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M/1424 H], juz III, halaman 571-572).   Imam Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli memberikan catatan tambahan atas keterangan Majmuk karya Imam Nawawi, “Hanya Imam Abu Hanifah sendiri yang berpendapat bahwa kesucian bukan syarat sah tawaf. Sementara ulama pengikutnya berbeda pendapat perihal wajib suci dan wajib dam jika seorang jamaah melakukan tawaf dalam kondisi hadats.”   Menurut Ar-Ramli, sejatinya mereka tidak sendiri. Mereka hanya sendiri di tengah tiga mazhab lainnya. Tetapi sebenarnya, satu riwayat Imam Ahmad menyebutkan bahwa kesucian saat tawaf merupakan wajib haji yang dapat diganti dengan dam. Demikian juga riwayat ulama-ulama bermazhab Maliki yang memiliki pendapat serupa riwayat pendapat Imam Ahmad.  

وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ أَوْ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عِنْدَهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِيهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ  

Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haidh bermazhab Syafi’i yang bertaklid kepada Imam Abu Hanifah atau Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haidh, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: 2009 M/1429-1430 H], juz III, halaman 366).   Sementara Imam Abu Hanifah berpegangan pada Surat Al-Haji ayat 29:   وَلْيَطَّوَّفُوا۟ بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ   Artinya, “Hendaklah mereka tawaf di Baitullah yang tua sejarahnya,” (Surat Al-Hajj ayat 29).   Pada ayat ini, Allah memerintahkan secara mutlak tawaf tanpa mensyaratkan suci di dalamnya. Dengan demikian, orang boleh tawaf dalam kondisi tidak suci dari hadats.   Senada dengan Ar-Ramli, Syekh As-Syarqawi mengatakan bahwa jamaah haji perempuan yang bermazhab Syafi’i dapat bertaqlid kepada mazhab Abu Hanifah perihal suci yang hanya wajib haji dalam tawaf sehingga aktivitas tawafnya dalam kondisi haid tetap sah meski dia akan terkena dam.  

  وَبَحَثَ بَعْضُهُمْ أَنَّهَا إنْ كَانَتْ شَافِعِيَّةً تُقَلِّدُ الْإِمَامَ أَبَا حَنِيفَةَ فَإنَّ الطَّهَارَةَ عِنْدَهُ وَاجِبَةٌ فِي الطَّوَافِ لَيْسَتْ شَرْطًا فَإِذَا فَعَلَتْهُ صَحَّ مَعَ وُجُوْبِ بَدَنَةٍ عَلَى نَحْوِ حَائِضٍ وَشَاةٍ عَلَى مُحْدِثٍ وَلَو بِجَنَابَةٍ أَوْ الْإِمَامَ أَحْمَدَ عَلَى إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فِي أَنَّهَا تَهْجُمُ وَتَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَلْزَمُهَا بَدَنَةٌ وَتَأْثَمُ بِدُخُولِهَا الْمَسْجِدَ حَائِضًا، وَيُجْزِئُهَا هَذَا الطَّوَافُ عَنْ الْفَرْضِ لِمَا فِي بَقَائِهَا عَلَى الْإِحْرَامِ مِنْ الْمَشَقَّةِ

  Artinya, “Sebagian ulama membahas, kalau ada perempuan haid bermazhab Syafi’i bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah karena suci menurutnya hanya wajib, bukan syarat dalam tawaf, – kalau ia juga bertawaf -, maka sah tawafnya dengan wajib dam unta bagi perempuan haid, dam kambing bagi jamaah tawaf yang berhadats meski dengan junub; atau kepada Imam Ahmad pada salah satu dari dua riwayatnya perihal masuk [ke Masjidil Haram] dan bertawaf di Ka’bah, maka ia wajib menyembelih dam unta dan berdosa karena masuk masjid dalam keadaan haid, tetapi tawaf rukunnya tetap memadai [sah] karena kesulitan bila terlalu lama dalam status ihram,” (Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi, Hasyiyatus Syarqawi ‘ala Tuhfatit Thullab, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1426-1427 H], juz I, halaman 461).   Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat diterima dengan baik.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/syarat-suci-saat-tawaf-dalam-ragam-pandangan-ulama-ebEWr

Editor: Alima sri sutami mukti

kenapa bacaan sholat dzuhur & ashar tidak bersuara?
  • 3). Pan aya keterangan bahwa solat lohor asar bacaanna kudu di launken jeng magrib isa subuhmah ditarikken tah nha bet kudu di launken bacaan solat lohor jeng asarteh ari magrib isa subuh mah di tarikken hoyong dalilna?

       Jawab :

Dalil as-sunnah referensi kitab sohih bukhori hal  153

Pertama: solat malam di jahr keun

Hadist ti jubair bin muth’im R.A

سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقرأُ بالطورِ في المغربِ

Kuring ngadangu kangjeng rasul eta maca/ngaosken surat at-tur dina solat magrib (HR.bukhori-muslim no. 463).

Kedua : solat siang di sirr keun

Hadist katampi ti khabbab bin al-arat R.A aya nu naros ka anjenna

أكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ في الظهر والعصر ؟ قال : نعم . قلنا : بمَ كنتم تعرفون ذلك ؟ قال : ” باضطِرَاب لحيته

“Apakah rasululloh saw dina waktos netepan dhuhur sareng ashar eta maca ayat al-quran? Khabbab menjawab : muhun. Jalmi tadi naros dei: kumaha anjeun nganyahoken nana? Khabbab menjawab: tina gerakan jenggot anjena ( kangjeng nabi)” (HR. bukhori no.713)

Hikmahna nyaeta : peting mah tempatna persepenan /sepi karna ngarasa ngenah, ni’mat munajatna hiji hamba ka pangerannana maka sunat di tarikken , jeung karna berang teh tempatna kasibukan, rarecokna jama2x maka sunat dilaunken .

Referensi kitab i’anatuttolibiin juz 1 hal 153

والحكمة في الجهر في موضعه انه لما كا نا الليل محل الخلوة ويطيب فيه السمر شرغ الجهر فيه طلبا للذاة مناجة العبد لربه وخص بالاوليين لنشاة المصلى فيهما , والنهار لما كانا محل الشواغل والاختلاة بالناس طلب فيه الاسرار  لعدم صلاحيته للتفرغ للمناجة , واٌلحق الصبح  بالصلاة الليلة  لان وقته ليس محلا للشواغ                                                                                                            

Ketika Rasulullah Membatalkan Kepemilikan Lahan Pribadi untuk Kepentingan Umat

Kepemilikan tanah di masa Rasulullah saw tidak sekompleks masa kini. Misalnya di Indonesia, sudah dilengkapi dengan sistem sertifikasi kepemilikan tanah yang dikelola oleh pemerintah melalui lembaga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Meskipun begitu, langkah-langkah menuju keadilan agraria sudah ada pada masa Nabi, khususnya ketika beliau menjabat sebagai kepala negara di Madinah. Mengutip buku Islam dan Agraria karya Gita Anggraini, ada beberapa catatan sejarah di mana Nabi mengapling tanah kepada beberapa orang sahabat. Misalnya Rasulullah pernah mengaplingkan tanah untuk seseorang dari kalangan Anshar yaitu, Sulaith. Selain Sulaith, ada juga Zubair bin ‘Awwam yang ditetapkan baginya tanah di Khaibar

Menariknya, pada masa Rasulullah sudah ada sistem surat tanda kapling tanah. Surat kapling tanah ini beliau berikan kepada Abu Tsa’labah al-Khusyani, salah seorang sahabat Nabi yang terkenal rajin beribadah dan berilmu.

Dikisahkan suatu hari Rasulullah saw didatangi oleh Abyadh bin Hammal, salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari wilayah di pedalaman Yaman yang disebut dengan Ma`rib. Pada pertemuan tersebut, ia meminta untuk dipatenkan baginya hak milik tanah di wilayah Ma`rib tersebut. Konon lahan di wilayah tersebut terkenal dengan tambang garamnya, hingga Rasulullah saw mengira bahwa penetapan tanah untuk Abyadh adalah dalam rangka ihya al-mawat atau menghidupkan serta memakmurkan kembali lahan yang telah mati atau lama tidak ada aktivitas manusia di dalamnya. Tanpa banyak pertimbangan, Rasulullah pun menetapkan tanah itu untuk Abyadh. Selang beberapa waktu kemudian, ada seseorang mendatangi Rasulullah, ternyata ia adalah Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi, sosok sahabat yang terhormat dari kalangan Bani Tamim. “Wahai Rasul, tahukah tanah jenis apa yang telah engkau tetapkan untuk Abyadh? Aku pernah melewati tambang garam pada masa jahiliyah dulu. Tambang tersebut terdapat di suatu daerah yang tidak berair. Siapa pun yang mendatanginya, ia bebas untuk mengambilnya, ia layaknya air yang mengalir tak terbatas. Sungguh engkau menetapkan tanah yang memiliki air yang diam” ungkap Al-Aqra’ kepada Nabi saw.

Mengetahui kabar tersebut, Rasulullah saw menganulir kepemilikan tanah yang telah ia tetapkan atas Abyadh bin Hammal. Pasalnya, tanah yang memiliki sumber alam yang untuk memperolehnya tidak perlu fasilitas dan tenaga, dihukumi oleh Nabi sebagai tanah lindung dan harus dialokasikan untuk kepentingan publik, bukan milik pribadi.

Riwayat tersebut tercatat dalam Sunan at-Tirmidzi dan juga Sunan Ibnu Majah, yaitu:

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ 

Artinya: “Dari Abyadh bin Hammal, ia datang kepada Rasulullah saw meminta untuk menetapkan kepemilikan sebidang tambang garam untuknya, lalu Rasul pun menetapkan untuknya. Ketika hendak beranjak pergi, seseorang yang berada di majelis berkata; Tahukah engkau apa yang engkau tetapkan untuknya? Sesungguhnya engkau menetapkan tanah yang memiliki air yang diam. Nabi pun membatalkannya.” (HR at-Tirmidzi).

Hadits yang serupa dengan hadits riwayat at-Tirmidzi, yaitu riwayat Ibnu Majah:

عَنْ أَبِيهِ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ اسْتَقْطَعَ الْمِلْحَ الَّذِي يُقَالُ لَهُ مِلْحُ سُدِّ مَأْرِبٍ فَأَقْطَعَهُ لَهُ ثُمَّ إِنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ التَّمِيمِيَّ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ وَرَدْتُ الْمِلْحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ بِهَا مَاءٌ وَمَنْ وَرَدَهُ أَخَذَهُ وَهُوَ مِثْلُ الْمَاءِ الْعِدِّ فَاسْتَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْيَضَ بْنَ حَمَّالٍ فِي قَطِيعَتِهِ فِي الْمِلْحِ فَقَالَ قَدْ أَقَلْتُكَ مِنْهُ عَلَى أَنْ تَجْعَلَهُ مِنِّي صَدَقَةً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ مِنْكَ صَدَقَةٌ وَهُوَ مِثْلُ الْمَاءِ الْعِدِّ مَنْ وَرَدَهُ أَخَذَهُ

Artinya: “Dari Abyadh bin Hammal, ia pernah mengumpulkan garam yang disebut dengan garam bendungan Ma’rib, ia mengumpulkan untuk dirinya sendiri. Kemudian Al Aqra’ bin Habis At-Tamimi mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku pernah melewati (kumpulan) garam di masa jahiliyah, ia terdapat di suatu daerah yang tidak berair. Siapa saja yang mendatanginya ia bebas untuk mengambilnya, ia seperti air yang mengalir.” Maka Rasulullah meminta pembatalan Abyadh dari [kepemilikan tambang] garam yang dikumpulkan, Abyadh pun berkata, “Aku telah merelakan pembatalan itu dengan syarat engkau jadikan [tambang itu yang dimanfaatkan banyak orang] sebagai (pahala) sedekah dariku.” Rasulullah menjawab: “[Tambang itu] adalah sedekah darimu, ia seperti air yang mengalir. Siapa pun yang mendatangi tambang tersebut, maka ia bebas mengambilnya.” (HR Ibnu Majah).

At-Tirmidzi mengomentari hadits tersebut adalah hadits gharib dan menjadi pedoman dalam praktik penetapan tanah. Berdasarkan hadits ini, at-Tirmidzi menyimpulkan kebolehan pemimpin negara untuk menetapkan bagian tanah seseorang asal bukan tanah lindung. (Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, jilid VIII, hal. 161). Berdasarkan hadits ini, Mula al-Qari memandang bahwa wilayah tambang sumber daya alam yang dapat diperoleh dengan mudah tanpa perlu fasilitas alat apapun untuk mengambil, seperti air, rumput, dan lain-lain semacamnya maka tidak boleh dimiliki atas nama pribadi. Alasannya ia merupakan sumber alam yang menjadi kebutuhan umum manusia. Selain itu, sumber alam di wilayah tersebut juga tidak terbatas, bahkan bisa diambil manfaatnya secara terus menerus. Apabila dimiliki secara individual, maka akan merepotkan banyak orang dan menjadi keuntungan pribadi semata. (Al-Azhim Abadi, ‘Awnul Ma’bud, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995], jilid XIII, hal. 250). Imam an-Nawawi juga sempat mengomentari hadits ini dalam al-Majmu’ jilid VII halaman 69, bahwa pelarangan Rasul atas kepemilikan individual pada lahan tersebut disebabkan ia merupakan lahan tambang sumber alam yang diperoleh secara mudah tanpa adanya proses penggalian tambang yang membutuhkan fasilitas dan biaya yang besar. Demikianlah riwayat mengenai anulir Nabi terhadap hak paten tanah secara individual disebabkan lahan tersebut harusnya dapat diakses oleh publik secara gratis karena mengandung sumber daya alam yang dapat diperoleh dengan mudah. Dalam konteks Indonesia, proses penetapan tanah melalui redistribusi lahan dapat mengikuti langkah Rasulullah sebagai inspirasi awal dalam menentukan kebijakan.

Penulis: Alima Sri Sutami Mukti

Editor: Nida Millatissaniyah

Persiapan Menyambut Ramadhan

Bulan Ramadan menjadi bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh umat Muslim. Ramadan bukan sekadar sebulan yang penuh dengan tantangan berpuasa, melainkan sebuah perjalanan ruhani yang memerlukan kesiapan sepenuh hati. 

Pada bulan penuh berkah ini juga mengajarkan umat Muslim untuk melatih kesabaran dan menahan berbagai godaan. Hal ini dilakukan untuk menjadi hamba yang takwa di hadapan Allah SWT. Tak heran, jika banyak orang yang mempersiapkan banyak hal untuk menyambut bulan Ramadan.

Menjelang datangnya bulan penuh berkah ini, mari merenung tentang bagaimana kita dapat mempersiapkan diri secara holistik, mulai dari niat yang tulus, kepersiapannya dalam aspek spiritual, hingga kesiapan fisik dan sosial. Berikut ini beberapa persiapan menyambut Ramadan yang dapat kamu siapkan!

Persiapan Dalam Menyambut Bulan Ramadan

Sebagai umat muslim, dalam menyambut bulan Ramadan pastinya banyak beberapa hal yang dipersiapkan. Berikut adalah hal-hal yang biasa dan bisa disiapkan dalam menyambut bulan Suci Ramadan.

1. Perkuat Iman

Persiapan Ramadan yang paling dasar adalah mempersiapkan iman. Persiapan secara keimanan bisa Toppers lakukan dengan mulai melatih pengendalian dari kebiasaan-kebiasaan buruk sehari-hari. 

Hal ini bisa dilakukan dengan cara sesederhana memastikan Shalat Lima Waktu yang tidak pernah bolong, atau menghentikan kebiasaan merokok.

2. Persiapan Fisik untuk Puasa

Bulan Ramadan adalah bulan di mana Toppers sangat dianjurkan untuk berbuat kebaikan dan mengumpulkan pahala. Ditambah dengan ibadah Puasa, sudah pasti Toppers memerlukan kondisi fisik dan jasmani yang prima. Jika sampai kamu jatuh sakit, tentu ibadah nggak akan jadi maksimal. 

Jaga kondisi fisik dan jasmani mulai dari sekarang dengan mengurangi kebiasaan tidak sehat seperti bergadang dan mengonsumsi makanan tidak sehat. Mulailah lebih rutin berolahraga dan bila perlu konsumsi vitamin atau suplemen kesehatan. Dengan mengonsumsi multivitamin, tubuh Toppers jadi tahan banting memasuki bulan Ramadan dan tidak gampang sakit. Sehingga tak ada halangan untuk berpuasa hingga akhir.

3. Perdalam Ilmu dan Pengetahuan Agama

Persiapan Bulan Ramadan selanjutnya adalah memperdalam ilmu dan pengetahuan Toppers mengenai agama. Pelajarilah mengenai hal-hal apa saja yang seharusnya dak tidak seharusnya dilakukan oleh umat Muslim di Bulan Ramadan. Pelajari juga mengenai tata cara ibadah yang baik dan benar.

Sebelum memasuki Bulan Ramadan, nggak ada salahnya Toppers perbanyak bacaan-bacaan mengenai agama dan lebih sering mengikuti forum-forum agama untuk memperdalam pengetahuan dan ilmu keagamaan agar bisa menunaikan ibadah di bulan Ramadan dengan lebih afdal.

4. Persiapan Amal dan Materi

Memasuki bulan Ramadan, persiapan materi adalah persiapan menyambut Ramadan selanjutnya yang jangan boleh terlewatkan. Selain karena kebutuhan menjelang bulan Ramadan yang meningkat serta harga-harga barang yang melonjak, Toppers tentu ingin meningkatkan amal dengan berzakat dan bersedekah di bulan Ramadan, bukan?

Mumpung masih memiliki waktu, mulailah kelola keuangan dengan hidup lebih hemat agar tabunganmu cukup untuk memenuhi kebutuhan dan juga amal di Bulan Ramadan.

5. Persiapan Kebutuhan Ramadan Sehari-hari

Persiapan menyambut bulan Ramadan yang terakhir adalah mempersiapkan ketersediaan kebutuhan sehari-hari. Mulai dari perlengkapan ibadah hingga keperluan dapur.

Mulai dari sembako dan bumbu masak yang memadai. Agar menjalankan ibadah bisa maksimal dengan santapan sahur dan buka puasa bergizi.

6. Membersihkan Lingkungan Sekitar

Toppers masih ingat bukan kebersihan sebagian dari iman? Yak slogan tersebut ternyata benar adanya. Dengan kamu membersihkan rumah, lingkungan sekitar, sampai jika bisa ikut serta membersihkan masjid dan musholla akan lebih baik. 

Jika kamu pergi ke desa saat bulan ramadan pasti desa-desa tersebut penuh dengan hiasan untuk menyambut bulan Ramadan bukan? Kamu juga harusnya jangan kalah ya, karena bulan puasa bulan yang penuh berkah sehingga pantas untuk dirayakan. Jika lingkungan kamu bersih pastinya kamu juga nyaman untuk beribadah, bukan?

7. Persiapan Jiwa dan Mental

Sambutlah bulan Ramadan dengan jiwa yang bersih dan rasa ketulusan hati. Alangkah lebih baik jika kamu bertaubat dengan semua kesalahan yang pernah kamu lakukan agar semua ibadah puasa lebih khusyuk dan fokus. Selain itu mental kamu juga harus dipersiapkan karena pada bulan ini kita akan beribadah puasa dan lainnya dengan optimal selama sebulan penuh. 

Jiwa dan mental kita harus dipersiapkan dengan penuh keimanan dan ketulusan hati atau ikhlas dalam beribadah. Dengan demikian, maka kesulitan dan sikap malas dalam ibadah bisa diatasi dan dihilangkan. Ibadah pun menjadi terasa mudah dan menyenangkan.

8. Berharap Dosa Diampuni

Bersyukurlah dan memuji Allah atas kedatangan bulan yang berkah ini. Jika semua sudah dilakukan, kita tinggal pasrah berharap dan berdoa kepada Allah SWT agar dosa yang sudah dilakukan dapat dimaafkan dan kita memasuki Ramadan dengan keadaan suci.

9. Siapkan Perlengkapan Ibadah

Hal yang sangat penting untuk mendukung Toppers dalam mempertebal iman di bulan Ramadan adalah dengan adanya perlengkapan ibadah yang terpenuhi. Siapkan sajadah, sarung, peci hingga mukena agar aktivitas beribadah bisa dilakukan secara maksimal.

10. Banyak Berbuat Baik

Memang tidak ada manusia yang sempurna, tapi di bulan yang penuh berkah ini kamu bisa memulai banyak perbuatan baik terhadap sesama dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk. Agar di bulan Ramadan kali ini dan seterusnya, Toppers bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

11. Melunasi Utang Puasa Tahun Lalu

Sebelum menyambut bulan Ramadan, jangan lupa untuk melunasi hutang puasa di tahun lalu. Karena, ada beberapa kondisi yang memperbolehkan umat Muslim untuk tidak menjalani ibadah puasa. Seperti saat sedang sakit, hamil, dan datang bulan.

Jadi, jika Toppers masih punya hutang puasa karena beberapa kondisi tersebut jangan lupa untuk melunasinya terlebih dulu sebelum memasuki bulan Ramadan ini, ya!

Itulah berbagai persiapan bulan Ramadan yang harus masuk dalam daftar checklist para Toppers yang akan menunaikan ibadah puasa di bulan yang suci ini agar dapat menjalaninya dengan lebih maksimal!

Ramadhan tahun ini, 1444 Hijriyah hanya tinggal menghitung hari. Tidak lama lagi akan tiba. Bulan Sya’ban sudah harus segera berakhir. Itu artinya, kalau Allah swt dengan qudrah-Nya masih memberikan usia panjang, maka kita, umat Islam kembali akan mendapati bulan yang sangat istimewa tersebut.


Pertanyaan sederhananya adalah “sudahkah kita, sebagai Muslim mempersiapkan diri menyambut datangnya bulan Ramadhan ini?”. Masyarakat Indonesia khususnya, biasanya cukup sibuk mempersiapkan segala sesuatunya tatkala harus kedatangan atau menyambut tamu agung nan terhormat. Tuan rumah juga dapat mengukur kepantasannya untuk penghormatan yang telah dilakukan.


Demikian pula dengan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan dan sarat keistimewaan, serta sangat dimuliakan Allah swt. Karenanya, umat Islam seyogyanya harus lebih mempersiapkan diri dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan yang hanya bisa didapati dalam setahun sekali.


Ada beberapa hal yang dapat dilakukan umat Islam (Muslim) sebelum Ramadhan tiba. Pertama, mengucapkan selamat atau tahni’ah atas datangnya bulan Ramadhan. Tahni’ah sebagai tanda atas kegembiraan menyambut bulan Ramadhan lantaran rahmat Allah akan dibuka lebar untuk umat Islam. Rasa gembira ini perlu ditularkan kepada sesama Muslim dengan cara mengingatkan bahwa di bulan Ramadhan terdapat banyak momentum berharga yang tak boleh disita-siakan begitu saja. Di antaranya Allah swt membuka pintu-pintu ampunan bagi hamba-hamba-Nya, bahkan pahala amal umat Islam akan dilipatgandakan.


Dalam sebuah Hadits, Rasulullah ber-tahni’ah menyambut bulan Ramadhan dengan sabdanya: 
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu. Dalam bulan itu dibukalah pintu-pintu langit, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebajikan di malam itu, maka ia tidak memperoleh kebajikan apapun.” (Hadits Shahih, Riwayat al-Nasa`i: 2079 dan Ahmad: 8631. dengan redaksi hadits dari al-Nasa’i).

Allah swt mensyariatkan hamba-hamba-Nya yang Muslim di bulan Ramadhan untuk berpuasa. Puasa adalah di antara ibadah yang sangat disukai Allah dan istimewa. Puasa tidak seperti dengan amal-amal yang lain, karena puasa adalah milik Allah, bukan milik siapa yang mengerjakan. Karena itu, Allah yang akan membalasnya langsung kepada hamba-Nya yang berpuasa.


Demikian ini dapat dimaknai bahwa umat Islam dalam berpuasa harus betul-betul karena Allah, bukan karena yang lainnya. Pada waktu yang sama, Muslim harus menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Disebutkan dalam hadits Qudsi:

 كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ 

“Allah Azza wa Jalla berfirman: “Setiap amal seorang manusia adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberikan balasan kepadanya. Puasa itu adalah perisai, karena itu apabila salah seorang di antaramu berpuasa, janganlah mengucapkan perkataan yang buruk dan keji, jangan membangkitkan syahwat dan jangan pula mendatangkan kekacauan. Apabila ia dimaki atau ditantang seseorang, maka katakanlah: Aku sedang berpuasa,..”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1771).


Kedua, umat Islam mempersiapkan menyambut bulan Ramadhan dengan memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban. Salah satu riwayat yang masyhur diceritakan Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha, bahwa Nabi Muhammad saw mengisi bulan Sya’ban dengan memperbanyak berpuasa:


مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ


“Tidaklah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan dan aku tidak melihat beliau berpuasa sebanyak pada bulan Sya’ban” (H.R. al-Bukhari dan Muslim). 


Ketiga, hal yang dapat dipersiapkan menyambut Ramadhan yaitu intens memberikan pemahaman tentang tuntunan syariat menjalankan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan kepada sesama Muslim. Hal ini bisa ditempuh dengan cara memperbanyak tausiyah atau ceramah. Bisa dilakukan dengan memanfaatkan majelis-majelis taklim, forum musyawarah, dan forum-forum yang lainnya. Tentu saja, di lingkungan keluarga tidak boleh terlewatkan.


Tausiyah singkat dalam rangka menyambut bulan Ramadhan ini pernah dilakukan Nabi di depan para sahabatnya. Berikut ceramah lengkap Nabi:


 أَيُّهَا الَّناسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُباَرَكٌ، شَهْرٌ فِـيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِياَمَهُ فَرِيْضَةً وَ قِياَمَ لَيْلَهُ تَطَـوُّعاً مَنْ تَقَرَّبَ فِـيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ اْلخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِـيْماَ سِوَاهُ وَمَنْ أَدَّى فِـيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِـيْمَا سِواَهُ وَهُوَ شَهْرُ الصَّـبْرِ وَالصَّـبْرُ ثَـوَابُهُ الْجَنَّةُ وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ وَ شَهْرٌ يَزْدَادُ فِـيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِـيْهِ صَائِماً كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ وَ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقُصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ قَالُوْا لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ، فَقَالَ : يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَن فَطَّرَ صَائِماً عَلىَ تَمْرَةٍ أَوْ شُرْبَةِ مَاءٍ أَوْ مذَقَّةِ لَبَنٍ وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتــْقٌ مِنَ النَّارِ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوْكِهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ وَاسْتَكْثَرُوْا فِـيْهِ مِن أَرْبَـعِ خِصَالٍ : خَصْلَتَيْنِ تُرْضُوْنَ بِهِمَا ربَّكُمْ وَخَصْلَتَيْنِ لاَ غِنىَ بِكُمْ عَنْهُمَا فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتاَنِ تُرْضُوْنَ بِهِمَا ربَّكُمْ فَشَهَادَةُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ تَسْتَغْفِرُوْنَهُ وَأَمَّا اللَّتاَنِ لاَ غِنىَ بِكُمْ عَنْهُمَا فَـتَسْأَلُوْنَ اللهَ الْجَنَّةَ وَ تَـعُوْذُوْنَ بِهِ مِنَ النَّارِ وَ مَنْ أَشْبَعَ فِـيْهِ صَائِماً سَقَاهُ اللهُ مِنْ حَوْضِيْ شُرْبَةً لاَ يَظْمَأُ حَتَى يَدْخُلَ اْلجَنَّةَ 


“Wahai manusia, sesungguhnya telah menaungi kamu bulan yang agung dan penuh berkah. Bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Pada bulan itu, Allah menjadikan puasanya sebagai suatu kewajiban dan qiyam atau shalat di malam harinya sebagai ibadah sunnah. Siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu kebajikan, maka nilainya sama dengan mengerjakan kewajiban di bulan lain. Siapa yang mengerjakan suatu kewajiban dalam bulan Ramadhan tersebut, maka sama dengan menjalankan tujuh puluh kewajiban di bulan lain. Ramadhan itu adalah bulan kesabaran; sedangkan ketabahan dan kesabaran, balasannya adalah surga. Ramadhan adalah bulan pertolongan, pada bulan itu rezeki orang-orang Mukmin ditambah. Siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa di bulan itu, maka ia akan diampuni dosanya, dibebaskan dari api neraka. Orang itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tersebut. Sedangkan pahala puasa bagi orang yang melakukannya, tidak berkurang sedikitpun. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami tidak semua memiliki makanan untuk berbuka bagi orang lain”. Bersabda Rasulullah : “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberikan sebutir kurma, atau seteguk air, atau seteguk susu”. Dialah Ramadhan, bulan yang permulaannya dipenuhi dengan rahmat, periode pertengahannya dipenuhi dengan ampunan dan maghfirah, pada periode terakhirnya merupakan pembebasan manusia dari azab neraka. Barang siapa yang meringankan beban pekerjaan pembantu-pembantu rumah tangganya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan membebaskannya dari api neraka. Oleh karena itu dalam bulan Ramadhan ini, hendaklah kamu sekalian dapat meraih empat bagian. Dua bagian pertama untuk memperoleh ridha Tuhanmu dan dua bagian lain adalah sesuatu yang kamu dambakan. Dua bagian yang pertama ialah bersaksi dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan hendaklah memohon ampunan kepada-Nya. Dua bagian yang kedua yaitu kamu memohon (dimasukkan ke dalam) surga dan berlindung dari api neraka. Siapa yang memberi minuman kepada orang yang berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari telagaku, suatu minuman yang seseorang tidak akan merasa haus dan dahaga lagi sesudahnya, sehingga ia masuk ke dalam surga”. (Hadits Dhaif, Riwayat Ibnu Khuzaimah: 1780, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman: 3455. redaksi hadits di atas riwayat Ibn Khuzaimah). 

​​Sebagian ahli menyebut Hadits di atas dhaif (lemah). Kendati demikian masih ditoleransi atau masih bisa dipakai karena berkaitan dengan fadhailul a’mal (keutamaan amal). Apalagi sebagian keterangan dalam Hadits ada persamaan dengan yang disebutkan pada Hadits yang lebih sahih.


Imam Ahmad bin Hambal menyampaikan pernyataan mengenai hadits dhaif:


 الْحَدِيْث الضَعِيْفُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ الرَأْيِ 


“Hadits yang dhaif lebih aku cintai dari al-Ra’yu (pendapat akal seseorang)”. Dalam kalimat yang lain, beliau berpendapat:


 الْعَمَلُ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ أَوْلَى مِنَ الْقِيَاسِ


“Beramal dengan hadits yang dhaif lebih utama dari menggunakan qiyas (analogi)”.

Pewarta: Alima Sri Sutami Mukti