7 Sahabat Paling Banyak Meriwayatkan Hadits

Hadits adalah mutiara yang sangat penting bagi seorang muslim sebagaimana Al Qur’an. Fungsi

hadits adalah sebagai penjelas, penguat dan bahkan menjadi sumber syariat yang tidak tertera secara detail dalam Al Qur’an. Siapa sajakah sahabat paling banyak meriwayatkan hadits?

1. Abu Hurairah 5374 hadits

Sahabat asal Yaman ini hanya 4 tahun bersama Rasulullah, namun seluruh hidupnya ia wakafkan untuk mengabadikan semua perkataan Rasulullah dalam hafalannya yang sangat kuat. Tempat tinggalnya di Masjid Nabawi memungkinkan Abu Hurairah meriwayatkan sampai 5374 hadits. Beliau wafat di Madinah pada era Kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan.

2. Abdullah bin Umar 2630 hadits

Putra Umar bin Khattab ini memang istimewa dengan tekadnya untuk meniru segala hal tentang Rasulullah bahkan hingga cara berjalan dan tempat-tempat yang dikunjungi Rasulullah sehari-hari. Selain tangkas di bidang hadits, tafsir dan fiqh, Abdullah bin Umar juga handal di medan tempur bahkan mencapai penaklukan Afrika. Usianya yang muda dan intensitas pertemuan dengan Rasulullah membuat riwayat haditsnya banyak.

3. Anas bin Malik 2286 hadits

10 tahun lamanya Anas bin Malik menjadi asisten pribadi Rasulullah, dan itu jadi rahasia keberkahan hidup Anas. Sebab beliau diberi umur panjang dan anak yang banyak berjumlah 100 lebih. Dikenal pula sebagai pemanah ulung di peperangan melawan nabi palsu. Rasulullah menganggapnya seperti anak sendiri selama hidupnya. Sepeninggal Rasulullah, Anas bermukim di Kota Bushra hingga wafatnya.

4. Aisyah binti Abi Bakr 2210 hadits

Ibunda Aisyah menjadi sumber hadits yang langsung bersumber dari rumah tangganya dengan Baginda Rasulullah. Abu Musa Al Asy’ari berkata, “Jika ada hadits yang tidak kami tahu maknanya, maka kami datang kepada Aisyah dan mendapatkan ilmu darinya.” Beliau terhitung sebagai wanita paling paham tentang ajaran Islam di era sahabat. Pengetahuannya mencakup hadits, tafsir dan fiqh terlebih tentang rumah tangga dan wanita.

5. Abdullah bin Abbas 1660 hadits

“Tinta Umat”, begitulah para sahabat menggelari Abdullah bin Abbas. Sahabat ini termasuk junior di antara generasi sahabat lainnya, namun semuanya bersaksi bahwa Ibnu Abbas ini merupakan sumber ilmu yang sangat diperhitungkan. Umar bin Khattab sering menghadirkan Ibnu Abbas dalam musyawarah kenegaraan, karena ide-ide dan ilmu Ibnu Abbas memahamkan para sahabat. Beliau wafat di Kota Thaif di usia 71 tahun.

6. Jabir bin Abdillah 1540 hadits

Sahabat Anshar ini adalah pembela Rasulullah sejak langkah pertama Rasul di Kota Madinah. Seringnya beliau menghadiri majelis Rasulullah di Masjid Nabawi dengan ingatannya yang kuat membuat beliau meriwayatkan banyak hadits. Sepeninggal Rasulullah, Jabir meneruskan perjuangan dengan mengikuti Pembebasan Syam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid. Beliau wafat di Kota Madinah setelah menjadi Mufti kota tersebut.

7. Abu Said Al Khudri 1170 hadits

Beliau berusia 10 tahun ketika Rasulullah datang ke Madinah. Di usia 12 tahun, beliau ingin ikut dalam Perang Uhud, namun Rasulullah melarangnya karena usianya masih terlalu muda. Meskipun begitu, Abu Said Al Khudri kemudian mengikuti semua pertempuran yang dipimpin Rasulullah. Sahabat ini wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Baqi’ dekat Masjid Nabawi. []

Penulis : M Wildan Musyaffa

Kisah Nabi Ibrahim A.S. Lengkap

Daftar Isi

Nabi Ibrahim a.s adalah salah satu nabi yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah tauhid dan mengajak manusia untuk meninggalkan penyembahan berhala dan segala bentuk kesyirikan. Beliau adalah bapak para nabi dan rasul, dan juga nenek moyang dari Nabi Muhammad SAW. Kisah nabi Ibrahim a.s penuh dengan ujian, pengorbanan, dan keajaiban yang menunjukkan keimanan dan keteguhan hatinya dalam mengikuti perintah Allah SWT.

Kelahiran Nabi Ibrahim A.S

Nabi Ibrahim a.s dilahirkan pada tahun 2295 SM di negeri Mausul  , di tengah-tengah masyarakat jahiliyah yang menyembah berhala-berhala yang terbuat dari kayu dan batu. Ayah beliau bernama Azar  , yang merupakan seorang seniman yang ahli membuat patung-patung tersebut. Beliau juga masih keturunan dari Sam bin Nuh  , yang merupakan anak dari Nabi Nuh a.s.

Pada masa itu, negeri Mausul dikuasai oleh Raja Namrud  , yang sombong dan angkuh, bahkan mengaku sebagai tuhan. Raja Namrud mendapat mimpi buruk bahwa akan lahir seorang anak laki-laki yang akan meruntuhkan kerajaannya dan menghancurkan tuhan-tuhannya . Karena itu, ia memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki yang lahir di negerinya.

Allah SWT melindungi ibu nabi Ibrahim a.s dari kekejaman Raja Namrud, sehingga kehamilannya tidak diketahui oleh orang-orang . Beliau melahirkan nabi Ibrahim a.s di sebuah gua yang tersembunyi, dan menyusuinya di sana selama beberapa tahun. Kemudian, beliau membawanya pulang ke rumahnya dan menitipkannya kepada ayahnya.

Masa Kecil Nabi Ibrahim A.S

Nabi Ibrahim a.s adalah seorang anak yang cerdas dan berakal sehat sejak kecil. Beliau selalu bertanya-tanya tentang patung-patung yang dibuat oleh ayahnya dan disembah oleh kaumnya. Beliau tidak percaya bahwa patung-patung itu dapat memberi manfaat atau mudarat kepada manusia. Beliau juga tidak percaya bahwa Raja Namrud adalah tuhan, karena ia hanya seorang manusia biasa.

Beliau mulai mencari tahu tentang Tuhan yang sebenarnya, yang menciptakan langit dan bumi, matahari dan bulan, bintang-bintang dan segala makhluk. Beliau mengamati alam semesta dengan teliti dan mendapati bahwa semua ciptaan Allah SWT bersifat fana dan berubah-ubah. Beliau menyadari bahwa Tuhan yang haq adalah satu, yaitu Allah SWT, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Beliau mulai menyatakan kebenaran tauhidnya di hadapan ayahnya dan kaumnya. Beliau menasehati mereka agar meninggalkan penyembahan berhala-berhala yang tidak dapat mendengar, melihat, atau bergerak. Beliau juga menantang Raja Namrud untuk membuktikan kekuasaannya sebagai tuhan. Namun, ayahnya dan kaumnya tidak mau mendengarkan nasihat nabi Ibrahim a.s, bahkan marah dan mengancamnya.

Ujian Nabi Ibrahim A.S

Nabi Ibrahim a.s mendapat banyak ujian dari Allah SWT dalam perjuangannya menyebarkan risalah tauhid. Di antara ujian-ujian tersebut adalah:

  • Ujian api: Ketika nabi Ibrahim a.s menghancurkan semua patung-patung di kuil kaumnya kecuali patung terbesar, sebagai bukti bahwa patung-patung itu tidak berdaya . Kaumnya marah besar dan memutuskan untuk membakar nabi Ibrahim a.s hidup-hidup di dalam api yang besar   . Namun, Allah SWT menyelamatkan beliau dengan menjadikan api itu dingin dan damai bagi beliau   .
  • Ujian hijrah: Ketika nabi Ibrahim a.s tidak berhasil mengajak kaumnya beriman kepada Allah SWT, beliau memutuskan untuk hijrah meninggalkan negerinya bersama istrinya Sarah dan keponakannya Luth . Beliau berkelana ke berbagai negeri seperti Mesir, Palestina, Suriah, hingga Mekkah.
  • Ujian istri kedua: Ketika nabi Ibrahim a.s dan istrinya Sarah berada di Mesir, mereka bertemu dengan raja Fir’aun yang terpesona oleh kecantikan Sarah. Raja Fir’aun ingin mengambil Sarah sebagai malaikat Jibril yang menampar raja Fir’aun setiap kali ia mendekati Sarah . Akhirnya, raja Fir’aun melepaskan Sarah dan memberinya seorang budak perempuan bernama Hajar sebagai hadiah . Sarah kemudian menyerahkan Hajar kepada nabi Ibrahim a.s sebagai istri keduanya .
  • Ujian anak: Ketika nabi Ibrahim a.s sudah tua dan belum memiliki anak
    Dikisahkan dalam buku cerita nabi berjudul Kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam: Ayahanda Para Nabi karya Abu Haafizh Abdurrahman, saat itu Nabi Ibrahim AS sudah menikah dengan seorang perempuan bernama Sarah.Sarah adalah seorang wanita yang beriman kepada ajaran yang dibawanya dan turut mendukung perjuangan Nabi Ibrahim AS suaminya dalam menyebarkan kebenaran.Ketika Nabi Ibrahim AS melarikan diri dari kejaran Raja Namrud, Sarah dengan setia mengikuti ke mana pun suaminya pergi. Keduanya hidup dengan berpindah-pindah tempat sambil terus mengajak manusia kembali kepada ajaran Allah SWT dan meninggalkan kemusyrikan.Hingga akhirnya, Nabi Ibrahim AS dan Sarah menetap di Palestina atau daerah Baitul Maqdis. Keduanya tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama sampai usia yang sudah lanjut.

    Walaupun keadaan sudah lebih aman, namun ada sebuah pikiran yang terus mengganggu Nabi Ibrahim AS. Dirinya belum pernah dikaruniai satu keturunan pun dari istrinya, Sarah.

    Nabi Ibrahim AS belum juga diberikan keturunan oleh Allah SWT meskipun ia terus berusaha dan berdoa. Tak ada satu tanda pun yang menunjukkan bahwa Sarah hamil.

    Nabi Ibrahim AS Dikaruniai Keturunan Melalui Hajar
    Ibnu Katsir dalam bukunya yang berjudul Qashashul Anbiya menceritakan penantian panjang Nabi Ibrahim AS dan Sarah di daerah Baitul Maqdis itu berlangsung selama 20 tahun lamanya.

    Hingga pada akhirnya Sarah berkata kepada Nabi Ibrahim AS, “Sungguh, Rabb tidak memberiku anak. Silakan kau gauli budak milikku ini, mudah-mudahan Allah memberiku seorang anak darinya.”

    Atas seizin istrinya dan Allah SWT, Nabi Ibrahim AS pun menikahi budak milik Sarah yang bernama Hajar. Benar saja, Allah SWT mengaruniai Nabi Ibrahim AS dengan seorang anak melalui istrinya yang kedua tersebut.

    Melihat mantan budaknya yang berhasil memberikan keturunan kepada Nabi Ibrahim AS, Sarah menjadi cemburu. Sarah kemudian meminta Hajar untuk pergi dari hadapannya sehingga ia tidak lagi melihat wajahnya.

    Dengan hati yang amat berat, Nabi Ibrahim AS pun membawa Hajar bersama anaknya yang sudah lahir, Ismail, ke sebuah tempat sunyi dan terpencil. Ia meninggalkan anak dan istrinya di tempat itu sendirian.

    Saat Nabi Ibrahim AS beranjak pergi, Hajar membuntutinya dan mencengkram bajunya. Hajar berkata, “Hai Ibrahim! Hendak ke mana kau pergi dan meninggalkan kami di lembah tanpa teman atau apa pun di sini?”

    Hajar terus mengucapkan itu beberapa kali, namun Nabi Ibrahim AS tak juga menoleh maupun menjawab. Kemudian Hajar bertanya, “Allah kah yang menyuruhmu untuk melakukan hal ini?”

    “Ya”, jawab Ibrahim. Hajar akhirnya mengatakan, “Kalau begitu, Ia tidak akan menelantarkan kami.”

    Akhirnya Hajar melepaskan suaminya pergi untuk ditinggal sendirian bersama anaknya di tempat sunyi tersebut. Di tempat itulah yang kelak menjadi sebuah tempat bernama Makkah.

    Nabi Ibrahim AS pergi meninggalkan keduanya bukan dengan hati yang tenang. Sebaliknya, ia justru sedih dan khawatir. Anak yang telah lama dinantikannya dan istrinya itu malah harus ditinggalkan di tempat tanpa manusia dan tanpa tanaman. Namun jika Allah SWT sudah menghendaki sesuatu, maka Nabi Ibrahim AS akan selalu menaati-Nya.

    Setibanya di bukit Tsaniyah, tempat di mana Hajar dan Ismail sudah tidak melihatnya, Ibrahim AS memanjatkan doa dengan mengangkat kedua tangannya,

    “Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim: 38).

    Dan ketika Allah SWT mengaruniakan beliau seorang anak laki-laki dari istrinya Hajar, yang bernama Ismail . Nabi Ibrahim a.s sangat bahagia dan bersyukur atas nikmat Allah SWT. Namun, Allah SWT kemudian memerintahkan beliau untuk mengorbankan anaknya Ismail sebagai ujian bagi keimanannya . Nabi Ibrahim a.s dan Ismail pun bersedia menaati perintah Allah SWT dengan penuh kesabaran dan ketawakalan . Namun, ketika nabi Ibrahim a.s hendak menyembelih Ismail, Allah SWT menggantikan Ismail dengan seekor domba yang disembelih sebagai kurban . Allah SWT pun memuji keikhlasan dan ketaatan nabi Ibrahim a.s dan Ismail, dan memberikan beliau seorang anak laki-laki lagi dari istrinya Sarah, yang bernama Ishaq.

  • Ujian pembangunan Ka’bah: Ketika nabi Ibrahim a.s dan Ismail sudah dewasa, Allah SWT memerintahkan mereka untuk membangun Ka’bah di Mekkah sebagai rumah ibadah pertama bagi umat manusia . Nabi Ibrahim a.s dan Ismail pun bekerja keras untuk mengumpulkan batu-batu dan menempatkannya sesuai dengan petunjuk Allah SWT . Setelah Ka’bah selesai dibangun, Allah SWT memerintahkan nabi Ibrahim a.s untuk menyeru manusia untuk datang berhaji ke Ka’bah . Nabi Ibrahim a.s pun menaati perintah Allah SWT dengan mengumandangkan azan yang didengar oleh seluruh makhluk di bumi dan langit . Sejak saat itu, Ka’bah menjadi tempat suci bagi umat Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah haji .
  • Ujian debat dengan kaumnya: Ketika nabi Ibrahim a.s kembali ke negerinya setelah membangun Ka’bah, beliau masih berusaha mengajak kaumnya untuk beriman kepada Allah SWT dan meninggalkan penyembahan berhala-berhala. Namun, kaumnya tetap keras kepala dan tidak mau mendengarkan nasihat nabi Ibrahim a.s. Mereka bahkan mencela dan menghina nabi Ibrahim a.s dan Tuhan yang beliau sembah. Nabi Ibrahim a.s pun membantah mereka dengan argumentasi yang logis dan tegas. Beliau menunjukkan bahwa berhala-berhala itu tidak dapat memberi manfaat atau mudarat kepada siapa pun, sedangkan Allah SWT adalah pencipta dan pemberi rezeki bagi semua makhluk. Beliau juga menunjukkan bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang menguasai langit dan bumi, matahari dan bulan, bintang-bintang dan segala yang ada di antaranya. Beliau juga menantang mereka untuk membuktikan kekuatan tuhan-tuhan mereka jika mereka benar-benar yakin. Namun, kaumnya tidak dapat menjawab tantangan nabi Ibrahim a.s, bahkan mereka menjadi semakin marah dan sombong

Mukjizat Nabi Ibrahim A.S

  • ada beberapa mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim. Sebagai rasul Allah, Nabi Ibrahim bahkan sudah memiliki mukjizat yang tampak sejak ia masih bayi.Jari Nabi Ibrahim dapat mengeluarkan susu dan madu
    Nabi Ibrahim lahir saat pemerintahan Namrud bin Kan’an mengeluarkan kebijakan bahwa setiap bayi yang baru lahir harus dibunuh. Sehingga sang Ibu ketika Ibrahim lahir disembunyikan di sebuah gua dan ditinggal di sana agar tidak diketahui oleh tentara-tentara Namrud yang kejam.Saat tinggal sendiri itulah, Allah memberikan mukjizat kepada Nabi Ibrahim. Malaikat Jibril datang kepadanya kemudian mengangkat tangan bayi itu dan ketika bayi tersebut mengisap jarinya sendiri, Allah menghendaki madu dan susu keluar silih berganti dari jari-jari tersebut agar Nabi Ibrahim tidak kelaparan.2. Melihat burung mati yang dihidupkan lagi
    Nabi Ibrahim tumbuh dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Saat mulai tumbuh lebih dewasa, ia bermunajat kepada Allah agar diizinkan untuk melihat bagaimana Allah menghidupkan yang mati, menciptakan makhluk, dan mengetahui bagaimana proses penciptaan. Kemudian Allah mengabulkan doanya dengan memperlihatkan kepada Nabi Ibrahim empat ekor burung yang dihidupkan kembali.

    3. Selamat dari kobaran api
    Mukjizat lain adalah Nabi Ibrahim tidak terbakar oleh api. Hal ini terjadi ketika Raja Namrud menghukum Ibrahim karena dianggap sudah berbuat kurang ajar. Ibrahim dinilai melakukan pelecehan kepada agama kaum Namrud. Pada saat api berkobar dan membara, dan Nabi Ibrahim terikat di dalam gunungan kayu, Allah berfirman dalam surat Al Anbiya ayat 69:

    قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ۙ

    Artinya: “(Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!”

    4. Serangan nyamuk
    Kemudian mukjizat lain yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim adalah ketika ia meminta bantuan Allah dari langit untuk membinasakan Raja Namrud. Allah pun mengizinkannya dengan mengeluarkan nyamuk dalam jumlah yang sangat banyak. Nyamuk tersebut terus mengejar Raja Namrud sehingga membuatnya tidak dapat tidur dengan nyenyak.

    5. Pasir yang bisa berubah menjadi makanan
    Hal ini dikutip dari buku Sejarah Terlengkap 25 Nabi oleh Rizem Aizid, pada saat itu Raja Namrud memiliki berbagai makanan, sehingga orang-orang datang kepadanya untuk mendapat persediaan makanan termasuk Nabi Ibrahim.

    Namun, ia tidak diberi bahan makanan sehingga keluar tanpa mendapat makanan satupun. Ketika ia hampir sampai di rumahnya, ia menghampiri gundukan pasir dan memenuhi kantongnya dengan pasir tersebut dan berkata:

    “Bila aku telah sampai pada keluargaku, maka aku akan menyibukkan keluarga (dengan pasir ini).”

    Lalu sesampainya di rumah, istrinya membuka kantong yang dibawanya dan kantong tersebut ternyata berisi bahan makanan.

    Berdasarkan yang ditulis oleh M. Nawawi, mukjizat Nabi Ibrahim ini menjadi seuatu hal yang membantunya menunjukkan kebenaran akan seruannya. Tanpa adanya mukjizat tersebut, maka kebenaran Tuhan tidak akan pernah tersampaikan.

    Wafatnya Nabi Ibrahim A.S

Nabi Ibrahim a.s wafat pada usia 175 tahun di negeri Palestina . Beliau dimakamkan di samping istrinya Sarah di gua Makhpela di Hebron . Beliau meninggalkan keturunan yang mulia dari anak-anaknya Ismail dan Ishaq, yang menjadi nenek moyang para nabi dan rasul setelahnya. Di antara keturunan beliau adalah Nabi Musa a.s, Nabi Daud a.s, Nabi Sulaiman a.s, Nabi Isa a.s, dan Nabi Muhammad SAW.

Nabi Ibrahim a.s adalah teladan bagi umat Islam dalam hal keimanan, ketaatan, kesabaran, pengorbanan, dan keikhlasan dalam mengabdi kepada Allah SWT. Beliau juga disebut sebagai al-Khalil (kekasih) Allah SWT karena kedekatan dan kecintaannya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “Dan (jadikanlah imam) juga dari keturunanku”. Allah berfirman: “Perjanjian-Ku tidak akan sampai kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah: 124)

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya. (QS. An-Nisa’: 125)

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain dari Allah; kami ingkari kamu; dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian sampai selama-lamanya kamu beriman kepada Allah saja”. (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Pewarta: Alima Sri Sutami Mukti

Jejak Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari

Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.

Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu ‘Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibnu ‘Atha’illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”,

… dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:

Masa pertama Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.

Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya :

“apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah menceritakan :

“Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir.
Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”. Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.

Masa ketiga Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari

Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.

Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.

Ibnu Hajar berkata:

“Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”.

Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi :

“Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”.

Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.

Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.

Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibnu Atha’illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

 

Sumber: Semesta Hikmah Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah

Editor: Raisya Audyra

Biografi KH Ruhiat Cipasung

KH Ruhiat lahir pada 11 November 1911 dari pasangan Abdul Ghofur dan Umayah. Semasa kecil ia dikirim ke pesantren terkenal di Singaparna saat itu, Pesantren Cilenga, yang diasuh oleh Kiai Sobandi atau Syabandi, murid Syekh Mahfudz at-Tarmasi. Di Cilenga saat itu didirikan sekolah tingkat menengah Matla’ an-Najah. Ruhiat mengaji di Cilenga pada 1922-1926.

Kemudian ia menjadi santri kelana pada masa 1927-1928, berguru ke beberapa pesantren, di antaranya Pesantren Sukaraja (Garut) asuhan Kiai Emed, Pesantren Kubang Cigalontang (Tasikmalaya) asuhan Kiai Abbas Nawawi, dan Pesantren Cintawana (Singaparna) asuhan Kiai Toha yang pernah pula menjadi santri Syaikh Mahfudz at-Tarmasi. Melalui Ajengan Sobandi dan Ajengan Toha, silsilah keilmuan Ruhiat sampai pada Syaikh Mahfudz Tremas.

Dengan demikian, ia terhubung dengan silsilah keilmuan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan murid dari Syekh Mahfudz at-Tarmisi.

KH Ruhiat mendirikan mendirikan Pesantren Cipasung pada 1932. Dalam mengajar santri ia menggunakan sistem ngalogat Sunda agar mereka lebih mudah memahami teks Arab kuning. Santri angkatan pertamanya berjumlah 40 orang, sebagian besar santri yang dibawanya dari Cilenga dan selebihnya warga sekitar Cipasung.

Kemudian ia mendirikan Madrasayah Diniyah pada 1935, mendirikan Sekolah Pendidikan Islam mendirikan pada 1949, mendirikan Sekolah Rendah yang kemudian berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah pada 1953, mendirikan Sekolah Menengah Pertama Islam dan ditambah Sekolah Menengah Atas Islam pada 1959, mendirikan Sekolah Persiapan IAIN yang kemudian berubah menjadi MAN pada 1969.

Selain sebagai seorang kiai pendidik, KH Ruhiat adalah seorang pejuang gerakan kebangsaan yang melawan penjajahan Belanda. Ia pernah ditangkap Belanda dan dipenjara di Sukamiskin Bandung (1941) dan di Ciamis (1942). Pada masa penjajahan Jepang, ia tersangkut pemberontakan yang dilakukan sahabatnya, KH Zainal Mustofa sehingga ia kembali dipenjara di Tasikmalaya (1944). Pada masa Revolusi kemerdekaan lagi-lagi ia dipenjara Belanda (1949).


Sang Propagandis NU Tasikmalaya

Pada Februrai 1936, untuk memperkuat dan memperluas dakwah Islam, NU Tasikmalaya membentuk beberapa komite khusus, yaitu Komite Zakat, Komite Adegan, Komite Pangadjaran, Komite Batjaan Lid (anggota), dan Komite Propaganda. Komite yang disebut terakhir sepertinya sama dengan Lajnatun Nashihin yang dibentuk HBNO (PBNU) pada muktamar ke-3 di Surabaya pada 1928.

KH Ruhiat tercatat di dua komite yaitu pada Komite Batjaan Lid (anggota) dan pemimpin pada Komite Propaganda. Keberadaannya di 2 komite tersebut menunjukkan ia terampil dalam kedua bidang tersebut.

Dalam akhir tulisan ini, akan lebih fokus pada bagian kedua, yaitu Komite Propaganda.   Secara bahasa, menurut KBBI daring, propaganda berarti:

  1. n penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu: — biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk.
  2. n cak reklame (seperti menawarkan obat, barang dagangan, dan sebagainya): perusahaan itu giat melakukan — produknya.

Sementara pelaksana propaganda adalah propagandis. Berdasarkan KBBI juga, propagandis berarti; juru kampanye; negosiator.

 

Berdasarkan pengertian tersebut bisa dipahami tugas Komite Propaganda kemungkinan adalah memperkenalkan cita-cita perkumpulan NU kepada khalayak luas mempercepat beridinya ranting di Tasikmalaya. Hal ini hampir sama dengan tugas Lajnatun Nashihin yang dibentuk PBNU yaitu mempercepat berdirinya cabang-cabang di berbagai wilayah.

Sebagai pemimpin di Komite Propaganda, aktivitas KH banyak terdokumentasi pada tabligh-tabligh NU di Tasikmalaya yang didokumentasikan Al-Mawaidz, Sipatahoenan, dan Pemandangan.

Satamatna A. Abas, jung Ajengan Ruhiat ti Cipasung nangtung unggah kana mimbar, néma A. Abas. Ieu ogé ngadadar rupa-rupa naséhat.

Sanajan pangpandeuri parhatian hadirin taya cocéngna ti nu tiheula-tiheula, kadangkala tambah dilantaran ku sowara agem sarta marunel anu didadarkeunana, dibarengan ku conto-conto anu matak kaharti, ogé dalil-dalil teu kalarung.

Moal boa anu ngadarangukeun téh sumpingna ka bumi rébo ku rupa-rupa naséhat lenyepaneun sabumina-sabumina. Kira-kira satengah satu, pasamoan ditutup ku A. Dahlan kalawan ditungtungan ku Al-Fatihah. (Al-Mawaidz, April 1935).

Koran Al-Mawaidz edisi lain menggambarkan KH Ruhiat melaksanakan tabligh ke suatu daerah yang melewati hutan belantara dan tebing terjal.

Minggoe anoe anjar kaliwat para moeballig A. Roehijat Tjipasoeng, A. Damini Kebon Kalapa, A. H. Moenir Tjitjaroelang djeung A. Hidajat Tjipasoeng geus ngajakeun tabligh di Gorowong alas Soekaradja kalawan pamoendoetna sawatara doeloer di eta tempat.

Oepama nendjo kana perdjalanana nya eta ngaliwatan leuweung loewang liwoeng gawir noe loengkawing, asa ti mana pidjelemaeunana noe baris ngahadiran kana tablig. Tapi barang geus deukeut kana waktoena tablig diboeka, djelema pohara nojekna, teu beda djeung di tempat-tempat sedjen. (Al-Mawaidz, Agustus 1936).


Buah Perjuangan

Pada medio 1930-an NU Cabang Tasikmalaya merupakan salah satu cabang dinamis, meskipun banyak tantangan dan stigma dari berbagai pihak, tetap menuai banyak perkembangan, bahkan kemajuan; baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Di antara kesuksesan cabang ini adalah dalam pengelolaan zakat baik maal maupun fitrah yang dikelola secara transparan dan dilaporkan ke publik melalui majalah Al-Mawaidz dan koran Sipatahoenan. Pernah dalam setahun, cabang NU Tasikmalaya menyalurkan zakat kepada 10.000 orang mustahiq. (Al-Mawaidz, 1936)

Sementara melalui Komite Propaganda, KH Ruhiat menanamkan NU mulai dari kota hingga ke kampung-kampung. Tak heran dalam berita di Sipatahoenan akan ditemukan berita Nahdoh Migoenoengan (NU Tasikmalaya mengadakan tabligh di pemukiman yang terletak di gunung), Nahdoh Mikampoengan (NU Tasikmalaya mengadakan tabligh di kampung), Nahdoh ka Pasisian (NU Tasikmalaya mengadakan tabligh di kampung terpencil), atau Nahdoh ka Alas Tjikatomas (NU Tasikmalaya mengadakan tabligh di pemukiman yang berada di hutan Cikatomas).

Ketika anggota NU tersebar di berbagai tempat, mereka berkeinginan kampung atau daerahnya menjadi tuan rumah penyelenggaraan tabligh agar tetangga-tetangganya juga mengetahui cita-cita NU. Tak heran intensitas tabligh NU Tasikmalaya, menurut Sipatahoenan dan Al-Mawaidz hampir tiap minggu. Tak heran pula para pengurus sering kesusahan membagi waktu untuk memenuhinya.

Upaya-upaya pengurus NU Tasikmalaya yang demikian itu membuahkan hasil di hati masyarakat. Tak heran, Sipatahoenan menyebut Nahdoh saat itu sangat seungit (harum) di Tasikmalaya.

Sumber: NU ONLINE

Pewarta: Fachry Syahrul

 

Syair Syekh Ibnu Rajab tentang Bulan Safar
Nama Ibnu Rajab al-Hanbali sudah tak asing lagi di kalangan pengaji kitab hadits maupun fiqih. Di antara karangan yang ditulisnya adalah Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi, Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘ala al-Khalaf, al-Qawâ’id al-Kubra, Lathâif al-Ma’ârif, dan masih banyak lagi.
Ulama kelahiran Baghdad (736 H) ini lahir di keluarga yang saleh dan berilmu. Nama Rajab dinisbahkan kepada kakeknya, Abu Ahmad Rajab. Disebut Rajab sebab beliau lahir di bulan Rajab. Konon kakeknya adalah seorang yang ahli dalam bidang fiqih. Adapun ayahnya adalah Ahmad bin Rajab al-Hanbali, lahir di Baghdad dan tumbuh di sana.
Al-‘Alîmi menyebut Ibnu Rajab al-Hanbali sebagai seorang yang berilmu, mengamalkan ilmunya, zuhud, memiliki keteladanan, al-hafidh yang tsiqah (penghafal hadits yang terpercaya), penasihatnya kaum Muslimin, orang yang memberi faedah kepada para ahli hadits, orang yang karangannya sangat indah. (Ibnu Rajab al-Hanbali ad-Dimasqi, Lathâif al-Ma’ârif fîmâ li Mawâsim al-‘Am min al-Wadhâif, Dar Ibn Katsir, Damaskus, halaman 11)
Dalam kitabnya , Lathâif al-Ma’ârif, Ibnu Rajab dalam bab Wadhâif Syahri Shafar menyebutkan syair di bulan Safar:
وَغَيْرُ تَقِيٍّ يَأْمُرُ النَّاسَ بِالتُّقَى … طَبِيْبٌ يُدَاوِي النَّاسَ وَهُوَ سَقِيْم
Orang yang tidak bertakwa memerintahkan orang-orang untuk bertakwa, (ia seperti) seorang dokter yang mengobati manusia sedangkan dirinya sedang sakit.
يَا أَيُّهَا الرَّجُلُ الْمُقَوِّمُ غَيْرَهُ. … هَلَّا لِنَفْسِكَ كَانَ ذَا التَّقْوِيْم
Wahai seorang yang suka menilai orang lain, bukankah dirimu yang lebih berhak dievaluasi.
اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَأَنْهِهَا عَنْ غَيِّهَا … فَإِذَا انْتَهَتْ عَنْهُ فَأَنْتَ حَكِيْم
Mulailah dari dirimu, kemudian cegahlah ia dari kesesatan. Apabila kesesatan telah sirna dari dirimu, maka engkau adalah orang yang bijaksana.
فَهُنَاكَ يَقْبَلُ مَا تَقُوْلُ وَيَقْتَدِى … بِالْقَوْلِ مِنْكَ وَيَنْفَعُ التَّعْلِيْم
Maka nasihatmu akan diterima, ucapanmu akan dituruti, tutur katamu akan jadi pengajaran.
لَا تَنْهَ عَنْ خَلْقٍ وَتَأْتِي مِثْلَهُ … عَارٌ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْم
Janganlah engkau melarang suatu tingkah laku sedangkan engkau melakukanya, sebuah aib besar jika engkau melakukannya
كَمْ ذَا التَّمَادِي فَهَا قَدْ جَاءَنَا صَفَرُ … شَهْرٌ بِهِ الْفَوْزُ وَالتَّوْفِيْقُ وَالظَّفَرُ
Berapa banyak orang yang memiliki tuntutan, maka ini telah datang bulan Safar kepada kita. Bulan yang disertai dengan kemenangan, taufik, dan keberhasilan.
فَابْدَأْ بِمَا شِئْتَ مِنْ فِعْلٍ تَسُرُّ بِهِ … يَوْمَ الْمَعَادِ فَفِيْهِ الْخَيْرُ يَنْتَظِرُ
Maka mulailah berbuat sesuatu yang akan membuatmu senang di hari kembali (hari kiamat), maka di sana engkau akan melihat kebaikan.
تُوْبُوا إِلَى اللهِ فِيْهِ مِنْ ذُنُوْبِكُمْ … مِنْ قَبْلُ يَبْلُغُ فِيْكُمْ حَدُّهُ الْعُمْرُ
Bertaubatlah kepada Allah di bulan Safar dari dosa-dosa, sebelum batas akhir usia menghampiri pada kalian.
(Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâif al-Ma’ârif fîmâ li Mawâsim al-‘Am min al-Wadhâif, Dar el-Ibn Hazm, juz 1 halaman 79)
Bait-bait di atas mengingatkan kita untuk senantiasa memerhatikan keadaan diri kita sendiri sebelum menasihati orang lain. Jika kita telah mengoreksi diri kita dan membenahinya, maka akan timbul teladan dalam diri, sehingga ucapan dan perilaku baik kita akan diikuti oleh orang lain.
Juga di bait-bait selanjutnya, Ibnu Rajab al-Hanbali mengingatkan kita bahwa bulan Safar telah datang, bulan yang mana di dalamnya terdapat banyak kebaikan. Beliau mengimbau kita untuk bertobat, memperbarui hubungan vertikal antara kita dan Allah ﷻ sebelum ajal menjemput.
Semoga kita diberikan anugerah untuk selalu ingat kepada Allah SWT di sepanjang waktu dan sisa umur yang kita miliki. Terkhusus di bulan Safar ini. Âmîn..
Sumber: NuOnline
Pewarta: Raisya Audyra