Wisata Religi dengan Berziarah ke Makam Waliyullah

Pada hari Rabu 1 Maret 2023 M, tepatnya satu minggu setelah Haul Mama Syaikhuna KH. Ahmad Faqih Ke-23 Dan Para Masyayikh Al-Musri’ telah dilaksanakan ziarah ke beberapa makam Waliyullah dalam rangka Wisata Religi yang menjadi acara tahunan setiap satu minggu setelah acara Haul. Ziarah tahun ini diikuti oleh keluarga besar Miftahulhuda Al-Musri’ bersama santri putra yang berjumlah 5 bus. Adapun agenda dalam acara ziarah ini, yaitu:

  • Pada malam Rabu dilaksanakan ziarah ke maqbaroh yang dipimpin oleh Pangersa Ang Alwan Shofiyulloh, lalu do’a bersama yang dipimpin oleh KH. Mahmud Munawar, dan berangkat pada hari Rabu pukul 01.30 WIB menuju Panjalu
  • Melaksanakan solat Subuh di salah satu masjid Malangbong
  • Hari Rabu pukul 06.30 tiba di penzarahan Sayyid Ali Bin Muhammad Panjalu
  • Pukul 09.00 berangkat menuju makam Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dan tiba pukul 13.00
  • Pada pukul 16.00 berangkat menuju pantai Pangandaran dan tiba pukul 20.30, lalu check-in ke penginapan
  • Hari Kamis pukul 12.00 check-out dan melanjutkan perjalanan menuju makam Syeikh Ja’far Shodiq Haruman, Garut. Tiba pukul 19.00
  • Pukul 20.30 berangkat pulang menuju Miftahulhuda Al-Musri’ dan tiba pukul 23.30.

 

Dari agenda ziarah tersebut, acara ziarah tahun ini berkunjung ke tiga makam Waliyullah, yaitu:

  1. Eyang Haryang Kantjana bin Eyang Borosngora bin Eyang Tjakradewa

Kisah Prabu Sanghyang Borosngora Bin Sanghyang Cakradewa Dan Asal Usul Situ Lengkong Panjalu

Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.

Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.

Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.

  1. Syeikh Abdul Muhyi

Syekh Abdul Muhyi Pamijahan adalah seorang Waliyullah dan dihormati masyarakat pesantren. la merupakan mata rantai dan pembawa tarekat Syathariyah yang pertama ke pulau Jawa. Lebih dikenal dengari nama Haji Karang, karena pernah uzIah dan khalwat di Gua Karang. Di pintu gerbang makamnya yang terletak di Pamijahan Tasikmalaya.

Syeikh Abdul Muhyi dilahirkan tahun 1650 di Mataram. Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut Kerajaan Mataram Islam. Ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja Galuh Pajajaran yang saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa. lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syaikh Ainui Yaqin (Sunan Giri l).

Sebagai guru Rohani, Abdul Muhyi dihormati masyarakat dan Keraton Mataram. Desanya diakui sebagai desa perdikan, yang artinya berhak mengurus urusannya sendiri secara mandiri, meskipun ada di wilayah Mataram. Meski memiliki hubungan dengan Mataram, hubungan dengan Keraton Cirebon dan Banten juga dibangun, termasuk setuju sebagian anak-anaknya menikah dengan para bangsawan dari Cirebon.

Di samping sebagai pendidik, mujahid dalam menyebarkan Islam, seorang yang dikenal memiliki kemampuan linuwih, Syekh Abdul Muhyi juga seorang penulis. Dia menulis kitab dalam disiplin tarekat Syathariyah.  Tokoh ini meninggal pada 1730 M atau 1151 H dalam usia 80 tahun. Dia dimakamkan di Pamijahan, yaitu di Bantar Kalong, Tasikmalaya bagian selatan, Makamnya hingga saat ini menjadi makam yang sering diziarahi oleh masyarakat Islam pada umumnya.

Baca Juga>>Ziarah, Dewan kyai/Nyai dan Dewan Ampuh al-Musri’: Sah Ibadah

  1. Syeikh Ja’far Shodiq

Syekh Ja’far Shidiq asal Kec. Cibiuk yang juga dikenal dengan sebutan Mbah Wali Cibiuk. Ia hidup sezaman, bahkan dikenal bersahabat baik dengan penyebar Islam lainnya di daerah Tasikmalaya, Syekh Abdul Muhyi.

Syekh Ja’far Shidiq tidak henti-hentinya mendorong umat untuk terus menggali serta mengembangkan ilmu dan kemajuan ekonomi, termasuk keahlian membuat makanan. Salah satu warisan dari Syekh Ja’far Shidiq yang hingga saat ini terus dikenal, yaitu “sambal cibiuk” yang dikembangkan putrinya, Nyimas Ayu Fatimah. Sambal cibiuk bahkan sudah menjadi trade mark di sejumlah restoran di beberapa kota besar seperti Bandung dan Jakarta.

Syekh Ja’far Shidiq juga meninggalkan warisan lain yang tak kalah pentingnya bagi pengembangan Islam, yaitu sebuah bangunan masjid yang hingga kini masih bisa dimanfaatkan umat Islam untuk berbagai kegiatan keagamaan. Masjid yang dibangunnya memiliki ciri dan corak khas bangunan masjid buatan para wali di Pulau Jawa, yaitu beratap kerucut dengan disangga oleh tiang-tiang kayu kokoh yang sambungannya tidak menggunakan paku.

Pada bagian atas atapnya dipasang sebuah benda berukir terbuat dari batu yang disebut masyarakat setempat sebagai “pataka”. Diperkirakan bangunan masjid tersebut sudah berusia lebih dari 460 tahun. Masjid yang dikenal dengan sebutan masjid Mbah Wali tersebut terletak di Kp. Pasantren Tengah, Desa Cibiuk Kidul, Kec. Cibiuk.

Karena jasanya yang besar dalam menyebarkan Islam serta perkembangan kehidupan masyarakat Garut, khususnya di Garut Utara, makamnya yang terletak di kaki Gunung Haruman Desa Cipareuan, Kec. Cibiuk tak pernah sepi dari para peziarah. Belakangan, makam Syekh Ja’far Shidiq ini dijadikan Pemkab Garut sebagai salah satu objek wisata ziarah, tergolong ke dalam atraksi budaya peninggalan sejarah dengan bentukan fisik (relik/artefak) berupa makam. Selain berdoa dan menafakuri kiprah perjuangan Syekh Ja’far Shidiq dalam menyebarkan Islam, para peziarah juga dapat mempelajari kebudayaan, khususnya sejarah dan kebudayaan Islam.

 

Pewarta: Rahmi Rahmatussalamah

Kisah Prabu Sanghyang Borosngora Bin Sanghyang Cakradewa Dan Asal Usul Situ Lengkong Panjalu

Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya pada hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.

Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari “Ilmu Sajati” yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.

Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata.

Baca Juga>>Ngalap Berkah Dengan Ziarah

Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.

Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu. Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.

Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.

Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cenderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna.

Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II.

Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.

Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.

 

Penulis: Rahmi Rahmatussalamah

Sekilas Sejarah “Shalawat Thariqiyyah” Menjadi Lagu Wajib Jam’iyyah Thariqah

Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (JATMAN) mempunyai bacaan shalawat yang khas. Mereka menyebutnya “Shalawat Thariqiyyah”. Dulu, dalam suatu acara thariqah yang dihadiri presiden, pihak protokoler presiden entah kenapa sempat melarang pembacaan shalawat ini, mungkin karena takut lantaran tidak paham arti bacaan shalawat itu. Namun karena pihak jam’iyyah thariqah mengatakan bahwa Shalawat Thariqiyyah itu adalah mars atau lagu wajib thariqah, maka protokoler pun tidak bisa melarang shalawat ini didendangkan di hadapan sang presiden.

Sebagai organisasi sosial keagamaan yang menjunjung semangat nasionalisme, Nahdlatul Ulama (NU) tak pernah luput menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam setiap acara formalnya. Namun ada 3 hal lagi yang selalu khas dan wajib mendapatkan porsi khusus dalam setiap acara NU, yakni pembacaan surat al-Fathihah untuk membuka acara, pembacaan ayat suci al-Quran dan pembacaan shalawat Nabi Muhamamad Saw.

Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah, salah satu badan otonom di bawah naungan NU mempunyai bacaan shalawat yang khusus, shalawat Thariqiyyah. “Allahummahdina thariqal mustaqim…” Shalawat ini juga dibaca dalam pembukaan Muktamar XI Jam’iyyah Thariqah di Pondok Pesantren Al-Munawwariyah, Bululawang, Malang, Rabu (11/1) yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ibu Negara Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Pembacaan shalawat dipimpin oleh qari’ internaional pemenang MTQ Turki, H. Saiful Munir.

Baca Juga: Biografi Singkat Mama Syaikhuna

Menurut Ketua Komisi Bahtsul Masail Thariqiyyah Muktamar XI, KH. M. Adib Zaen, shalawat ini ‘diijazahkan’ oleh KH. Idham Chalid, Ketua Umum PBNU sebelum Gus Dur. “Saya tidak tahu apakah beliau yang menciptakan atau bukan, namun beliau (KH. Idham Chalid) yang menyampaikan shalawat ini kepada jam’iyyah thariqah,” katanya.

Kepastian bahwa shalawat ini bersal dari KH. Idham Chalid, kata KH. M. Adib Zaen, disampaikan oleh KH. Mudhoffar Fathurrahman yang pernah menjabat sekjen Majelis Ifta’ Jam’iyyah Thariqah selama tiga periode. KH. Idham Chalid juga sekaligus memberikan nama shalawat itu dengan “Shalawat Thariqiyyah”.

Menurut KH. M. Adib Zaen, shalawat ini sejak lama menjadi ciri khas Jam’iyyah Thariqah, namun baru secara formal menjadi semacam lagu wajib thariqah sejak Munas Jam’iyyah Thariqah di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, pada 2008 lalu. Waktu itu ia sendiri yang memimpin pembacaan shalawat itu di hadapan presiden.

Arti dari Shalawat Thariqiyah:

 

Allahumma shalli wasallim ‘ala ۞ Muhammadin wa alin washahbin ajma’in.

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqan minallahi Rabbil ‘alamin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan dari Allah Tuhan semesta alam)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqan min ruhi Jibrilal matin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan dari Malaikat Jibril al-Matin)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqal anbiya-i wal mursalin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan para nabi dan rasul)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqassyuhada-i wal mujahidin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan para pahlawan dan pejuang)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqal khulafa-i warrasyidin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan para Khulafaur Rasyidin)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqal ‘ulama-i wal ‘amilin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan para ulama dan pengamal)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqal auliya-i wal mukhlishin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan para wali dan orang-orang yang ikhlas)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqassu’ada-i wal fa-izin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang menang dan bahagia)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqal atqiya-i wasshalihin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang bertaqwa dan shaleh)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqal budala-i wal qanithin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan para wali abdal dan ahli ibadah)

Allahummahdina ath-thariqal mustaqim ۞ Thariqal ashfiya-i wadzdzakirin.

(Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, jalan para sufi dan  ahli dzikir)

 

 

Islam Di Nusantara

Islam (di) Nusantara

Tema Islam Nusantara yang diusung dalam muktamar NU ke-33, di Jombang, pada tanggal 1 agustus 2015, memicu maraknya perdebatan pro dan kontra. Hingga muncul asumsi dan tuduhan sebagai islam yang anti Arab, betentangan dengan syariat Islam, hanya milik satu golongan saja, identk dengan Islam Kejawen, dan bahkan ada yang menuduhnya sebagai kedok untuk merusak tatanan moral agama.

Maka Ketua PBNU K.H. Said Aqil Siradj membantahnya dengan tegas dan mengatakan bahwa Islam Nusantara bukanlah agama baru dan bukan pula aliran baru. Islam Nusantara adalah pemikiran yang berlandaskan pada sejarah Islam yang masuk ke Indonesia yang tidak melalui peperangan, tapi melalui kompromi terhadap budaya.

Demikian pula dengan Maulana Habib Luthfi bin Yahya yang menjabat sebagai ketua mustasyar PBNU, juga ikut angkat suara dan membantah fitnah dan tuduhan miring tersebut. Beliau mengatakan, Islam Nusantara adalah ajaran islam yang dibawa ke Nusantra oleh para ulama dari kalangan ahlulbait, keturuna Baginda Nabi SAW, yang berasal dari ajaran Imam Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa bin Muhammad bin ‘Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Sayyidina Husain r.a..

Imam Ahmad Al-Muhajir, semenjak abad ke tujuh hijriah di Hadramaut Yaman, menganut madzhab syafii. Dalam fiqih, Ahlussunah Waljamaah, dalam akidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan akhlak atau ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf mu’tabarah yang bermazhabkan Imam Mazhab yang empat.

Di Hadramaut, akidah dan mazhab Imam Al-Muhajir yang Sunni Syafii, terus berkembang sampai sekarang. Dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena ke-mutawatir-an sanad serta kemurnian agama dan akidahnya. Dari Hadramaut Yaman, anak cucu Imam Al-Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam hingga sampai ke “Ufuk Timur”, seperti ke daratan India, kepulauan Melayu, dan termasuk juga Indonesia. Mereka berdakwah mengenalkan kalimat syahadah dengan pendeketan budaya, seperti pementesan wayang. Mereka berjuang dengan kelembutan tanpa mengangkat senjata, tanpa kekerasan, dan tanpa pasukan. Mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Ada juga diantara mereka yang menuju daerah Afrika seperti Ethopia hingga kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Jadi Islam Nusantara tak lain adalah Ahlussunah Waljamaah yang disingkat dengan Aswaja, yakni ajaran Islam sebagaimana yang dianut oleh Imam ahmad Al-Muhajir yang bermazhab Syafii dan yang dibawa oleh para Walisanga ke Nusantara. Tahlilan, ratiban, mauludan, ziarah kubur, haul, peringatan nisyfu Sya’ban, peringatan nuzulul Qur’an adalah termasuk di antara amaliah Ahlussunah Waljamaah khas Indoseia atau khas Nusantara yang dibawa oleh para habib serta ulama-ulama terdahulu seperti para Walisanga.

Namun demikian, ada pula kelompok-kelompok yang tidak menyukai amalan-amalan tersebut dan bahkan mem-bid’ah-kannya dengan dalih pemurnian akidah Islam, seperti di antaranya kelompok Wahabi yang berkembang subur di Arab Saudi, saat dipegang oleh ulama-ulama dan para habib Aswaja, semua amaliahnya sama persis dengan amaliah yang ada di Indonesia, yakni ada ratiban, mauludan, tahlilan, ziarah kubur, dan haul. Dengan dihabisinya para habib dan ulama Aswaja serta dihancurkannya makam-makam para wali dan juga situs-situs peninggalan peradaban Islam di sana, akhirnya amalan-amalan tersebut lama kelamaan terkikis dan akhirnya menjadi asing.

Tak hanya sampai disitu, bahkan makam Nabi SAW pun juga sempat akan dibongkar oleh mereka. Tapi, Alhamdulillah waktu itu ulama-ulama Nusantara yang dimotori oleh K.H. Abdul Wahab  Chasbullah membentuk sebuah komite yang dinamai Komite Hijaz yang tugasnya antara lain adalah melakukan diplomasi dengan Raja Saud atas rencana pembongkaran tersebut. Dan berkat kegigihan dan usaha keras mereka diterima oleh Raja Saud dan makam Nabi pun tidak jadi dibongkar.

Islam Nusantara, sebagaimana spirit Komite Hijaz -yang menjadi cikal bakal terbentuknya organisasi NU-, selalu siap mengawal keberlangsungan tradisi-tradisi Aswaja termasuk diantaranya menjaga makam-makam para Wali Allah dan juga situs-situs peninggalan peradaban Islam yang ada di Nusantara ini supaya tetap terjaga. Oleh karena itu jangan berprasangka buruk bahkan sampai berani memvonis sesat, menyesatkan, murtad, atau kafir terhadap para pendukung Islam Nusantara.

Semoga kita semua dibersihkan hatinya oleh Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta tidak ikut-ikutan untuk mengkafir-kafirkan atau menyesat-nyesatkan. [Wallahu a’lam]

Sejarah Singkat Kelahiran Nahdlatul Ulama
  1. Sejarah Singkat Kelahiran Nahdlatul Ulama

Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal jama’ah. Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir dimasa penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia islam umumnya.

A. Mempertahankan Ahlussunnah Wal Jama’ah

Sejarah dakwah Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kiprah Walisongo. Penyebaran Islam, khususnya di jawa oleh pendakwah, terutama Walisongo sukses besar. Di abad ke-7 dan terutama setelah abad ke-11 dan abad ke-12, Islam menggatikan Hinduisme dan Budhisme yang sebelumnya berjaya. Pengaruh Islam masuk hingga ke pusat kerjaan dan kepemimpinan rakyat. Runtuhnya Majapahit dan berdirinya Kerjaan Demak di akhir tahu jawa 1400 (1478 M), adalah bukti berubahnya kepercayaan masyarakat jawa dari Hinduisme dan Budhisme kepada Islam.

Ajaran Walisongo adalah Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang juga disebut Sunni. Sedangkan Sunni di Indonesia dalam ajaran fikih mayoritas mengikuti mazhab Imam as-Syafi’i, dalam bidang tasawuf mengikuti Imam al-Junaidi dan Imam al-Ghazali, serta mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur al-Maturidi di dalam bidang akidah. Selain ciri-ciri di atas, muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia berpegang teguh pada ulama salaf dengan mengikuti Mazhab tertentu, serta berpegangan pada kitab-kitab mu’tabarah, pecinta ahlul bait, wali dan para shalihin. Muslim Sunni di Indonesia ahli tabarrukan (mencari barokah) baik kepada orang yang masih hidup maupun sudah mati, menyukai ziarah kubur, mentradisikan talqin mayit, sedekah untuk mayit, berkeyakinan adanya syafaat, kemanfaatan doa serta tawassul, dan lain sebagainya.

Setelah sekian lama Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah ditanamkan Walisongo sampai mengakar di bumi jawa (Indonesia), pada 1330 H, umat Islam di guncang dengan munculnya berbagai kelompok yang mengusung paham yang saling bertentangan.

Pada kurun tersebut muncul kelompok Islam modernis pengikut Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, yang mengikuti bid’ah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan pengikut setia ajaran Ibn Taimiyyah dan kedua muridnya, yakni Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan Ibn Abdul Hadi. Kelompok ini mengklaim sebagai pemurni akidah dan berslogan kembali pada al-Qur’an dan al-Hadist. Mereka sering menuduh bid’ah, khurafat dan tahayul pada ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Selain itu muncul Syiah Rafidhah yang biasa menghujat para shabat Nabi SAW, khususnya Khalifah Abu Bakar, Usman bin Affan, Umar bin Khattab, Siti Aisyah dan shabat lainnya, Rafidhah berlebihan dalam mengkultuskan Sayyidina Ali RA, dan Ahlul Bait.

Kelompok selanjutnya Aliran kebatinan, yang mengajarkan terbebasnya umat Islam dari menjalankan Syariat, serta tidak wajib menghindari larangan syariat bagi umat Islam yang telah beriman dan mencapai puncak mahabbah dan kesuciaan hati. Mereka menggugurkan ibadah lahiriah dengan mencukupkan diri dengan beribadah secara tafakkur dan memperbaiki akhlak batin. Selain golongan tersebut, ada juga kelompok yang meyakini tamasukh (reinkarnasi ruh manusia). Selanjutnya muncul kelompok tasawuf yang berlebihan dengan meyakini hulul dan ittihad.

Tumbuhnya aliran-aliran menyimpang ini menimbulkan keprihatinan Ulama Nusantara penganut Ahlussunnah Waljama’ah, khususnya menyikapi gerakan pemurnian syariat Islam yang dimotori kaum modernis secara massif dan sistematis, baik melalui propaganda dalam forum-forum kajian Islam, media masa, maupun melalui gerakan organisasi. Kekhawatiran para Ulama Nusantara tersebut tidak berlebihan sebab gerakan kaum modernis seringkali menyerang praktek pribadatan pengikut Ahlussunnah Waljama’ah, seperti tahlilan, istighatsah, tawasul, tabarruk, yasinan, talqin, ziarah qubur, peringatan maulid nabi SAW, dan selainnya yang di anggap sesat.

Ulama Nusantara sebagai benteng Ahlussunnah Waljama’ah kebanyakan adalah kyai pengasuh pondok pesantren dan para kyai yang selalu istiqomah berjuang di tengah-tengah masyarakat serta menjadi panutan umat. Dengan adanya seragam kelompok modernis, mereka berupaya melakukan gerakan bersama untuk membendung penyebarannya.

Keresahan Ulama pesantren memuncak ketika ada berita Gubernur Hijaz, Sayyid Syarif Husein dikalahkan oleh Abdul Aziz Ibn Saud yang berkerja sama dengan Muhammad Abdul Wahab. Penguasa baru Hijaz ini melakukan pembersihan terhadap praktek keagamaan Madzhab empat, pemaksaan ajaran wahabi kepada umat Islam di Hijaz dan pengusiran Ulama Ahlussunnah Wal jama’ah yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah baru. Kemenangan Ibn Saud menimbulkan polarisasi orientasi baru Islam di Indonesia, khususnya di jawa. Kalangan pesantren menganggap kemenangan Ibn Saud akan membawa dampak perubahan tradisi keagamaan menurut empat mazhab, sebab Ibn Saud dikenal beraliran Wahabi. Sementara sayap Islam modernis menyambut positif atas kemengan Ibn Saud.

Melalui Kiai Wahab, kalangan pesantren mencemaskan kekhawatiran itu dalam sidang-sidang Komite Khalifah. Sementara kalangan modernis menghendaki agenda lama dipertahankan dibawa ke Makkah. Menurut mereka, penyerbuan Ibn Saud atas Syarif Husain bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku Arab yang melarikan diri.

Kekecewaan Ulama pesantren memuncak ketika Konggres Al-Islam di Yogyakarta 1925, pada delegasi pesantren sangat kecewa pada sikap kaum modernis yang menolak usulan KH. Wahab Hasbullah agar Ibn Saud menjamin kebebasan bermazhab untuk semua muslim di Makkah. Bahkan awal Januari 1926 para pimpinan kalangan Islam modernis mengadakan konferensi di cianjur tanpa melibatkan Ulama Pesantren, kemudian mereka memutuskan memilih perwakilan mereka sebagai delegasi ke pertemuan di Makkah. Peristiwa ini meyakinkan para kyai akan perlunya inisiatif-inisiatif sendiri yang terpisah dari kalangan modernis untuk menjamin pandangan dan kepentingan keagamaan mereka bisa terwakili.

Pertengahan Januari 1926, KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan restu KH. Hasyim Asy’ari mengundang Ulama Pesantren terkemuka untuk mendukung pendirian panitia yang disebut komite Hijaz yang akan mengutus delegasi ke Makkah untuk mewakili kepentingan kelompok Islam kalangan Pesantren. Akhirnya, 31 Januari 1926 M/ 16 Rajab 1344 H, 15 Ulama berkumpul di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah di surabaya dan mengesahkan bentuk kepanitiaan. Pertemuaan ini selanjutnya memutuskan dua hal penting yakni: pertama, mengirim utusan Indonesia ke Muktamar Dunia Islam di Makkah, dengan tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadah empat mazhab, kedua, membentuk suatu organisasi atau jam’iyyah yang akan mengirim utusan tersebut. Atas usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz organisasi itu diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Struktur Pengurus NU Pertama Kali

Syuriyah

Rais Akbar

KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)

Wakil Rais

KH. Ahmad Dahlan (Surabaya)

Katib Awal

KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)

Katib Tsani

KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon)

A’wan

KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)

KH. Ridwan (Surabaya)

KH. Said (Surabaya)

KH. Bisri Sansuri (Jombang)

KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)

KH. Nachrawi (Malang)

KH. Amin (Surabaya)

KH. Masyhuri (Lasem, Rembang)

KH. Nachrawi (Surabaya)

Mutasyar

KH. R. Asnawi (Kudus)

Penasehat

KH. Ridwan (Semarang)
KH. Mas Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)
Syeikh Ahmad Ghanaim (Mesir)
KH. R. Hambali (Kudus)

Tanfidziah

Sekretaris

H. Sidiq (Sugeng Judodiwiryo) (Palembang)

Bendahara

H. Burhan (Surabaya)
H. Saleh Syamil ( Surabaya)
H. Ichsan (Surabaya)
H. Djafar Aiwan (Surabaya)
H. Usman (Surabaya)
H. Achzab (Surabaya)
H. Nawawi (Surabaya)
H. Dahlan (Surabaya)
H. Mangun ( Surabaya)

Setelah kepengurusan NU terbentuk, diputuskan mengirim KH. R. Asnawi Kudus sebagai delegasi NU ke muktamar Dunia Islam di Makkah. Namun karena suatu hal, KH. Raden Asnawi  gagal berangkat ke Makkah. Namun kegagalan ini tidak menyurutkan niat para ulama NU untuk mengutus wakilnya menghadap Raja Ibn Saud. Kemudian pada 29 Maret 1928 M/ 7 Syawal 1346 H, NU mewakilkan kepada KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghanaim al-Mishri berangkat ke Makkah untuk menghadap Raja Ibn Saud untuk memperjuangkan kepentingan Islam Ahlussunnah Wa Jama’ah. Hasil pertemuan dengan Raja Ibn Saud, pengajian di Masjidil Haram oleh para guru empat mazhab tidak dilarang. Pertemuan itu juga berhasil mencegah perusakan makam keluarga Nabi SAW dan para Imam mazhab di sekitar area Ka’bah.

Sumber : Khazanah Aswaja

Editor : Hasbi Sayyid