Setoran Hafalan Menjadi Langkah Utama Dalam Memahami Kitab Kuning

Khazanah ilmu pengetahuan Islam di dunia pesantren sangat kaya. Ada sekitar 200 judul kitab yang dipelajari di pesantren, menurut data yang pernah dikemukakan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Kalangan pesantren terus berupaya agar kebudayaan pesantren ini dapat eksis di tengah perubahan zaman dan globalisasi. Literasi kebudayaan salaf ini mampu menunjukkan kiprah para ulama sebagai warasatul anbiya’ (ahli waris para nabi).

Muhammad bin Sirin rahimahullah, beliau mengatakan:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Al Ilal, 1/355).

Diantara bentuk pertanggung jawaban dan ke hati-hatian dalam memberikan ilmu Agama agar tetap berada dalam jalur ahlu sunnah wal jamaah adalah dengan merujuk kepada kitab-kitab yang mengantarkan pemahaman yang benar dalam berbagai disiplin Ilmu. Adapun kitab-kitab yang dijadikan talaran setiap pertingkat kelas yang dikaji di Pondok Pesantren Miftahulhuda Almusri’:

  1.  Al-Jurumiyah

Pada tahun 672 H, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Daud ash-Shinhaji lahir di kota Fes, Maroko. Dia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Ajurum.  Kitab Jurumiyyah berisi teori-teori dasar ilmu nahwu, salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang membahas perubahan huruf akhir dari sebuah kata yang menjadi tanda kedudukan kata tersebut dalam sebuah kalimat, apakah kata itu berposisi sebagai subjek, predikat, objek, atau keterangan tambahan. Ilmu nahwu wajib dipelajari bagi orang-orang yang hendak mendalami ilmu-ilmu agama Islam yang sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan hadis yang menggunakan bahasa Arab, dan bahasa Arab tidak bisa dipahami dengan baik kecuali dengan mempelajari ilmu nahwu. Dan Ibnu Ajurum berhasil meringkas sekaligus mengurutkan bab-bab dan kaidah-kaidah ilmu nahwu yang terpenting di dalam Jurumiyyah dengan sangat baik, sehingga kitab ini masyhur sebagai kitab yang mudah dipahami dan dihafalkan bagi para mubtadi’ (pemula).

Di Indonesia, kitab Jurumiyyah masih menjadi kitab pelajaran yang dikaji hampir seluruh pesantren, baik yang berada di pelosok desa maupun di tengah-tengah kota. Padahal usia kitab ini sudah lewat dari tujuh abad dan sudah banyak karangan-karangan ilmu nahwu yang lebih baru yang disajikan tidak kalah apik dan telah disesuaikan dengan keadaan bahasa Arab kekinian. Kitab Jurumiyah ini juga menjadi dasar talaran kelas tingkat Ibtidaiyyah di Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ yang mana setiap minggu nya para santri harus menyetorkan talaran tersebut kepada guru shorogannya.

 

  1. Nadzmul Maqsud

Kitab kedua yang dihafal masing-masing 10 bait per minggunya oleh tingkat Ibtidaiyah yaitu Nadzmul Maqsud atau yang sering disebut Yaqulu. Adapun dalam syair atau Nadzam Maqshud karya Syaikh Ahmad bin Abdurrahim al-Thahthawi (1132-1302 H), memuat sekitar 113 syair. Isinya membahas mengenai perubahan bentuk kata atau kalimat didalam bahasa Arab.

Di pesantren-pesantren tradisional di Nusantara (NU), keberadaan teks nadzam “al-Maqshûd” tentu tidaklah asing. Teks ini banyak tersebar, dipelajari, dan dihafal oleh para pelajar di pesantren-pesantren tersebut. Dalam tradisi intelektual pesantren di Nusantara, morfologi Arab (ilmu sharaf) harus dikuasai oleh para pemula sebagai syarat mutlak untuk bisa membaca dan memahami teks-teks berbahasa Arab. Pembelajaran morfologi biasanya bersamaan dengan pembelajaran ilmu Sintaksis Arab (ilmu nahwu).

 

  1. Alfiyah Ibnu Malik

Alfiyah atau Al-Khulasa al-Alfiyah merupakan syair tentang tata bahasa Arab dari abad ke-13. Kitab ini ditulis oleh seorang ahli bahasa Arab kelahiran Jaen, Spanyol yang bernama lengkap, Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah Ibnu Malik al-Thay. Ibnu Malik.

Kitab ini berisi tentang kaedah bahasa arab yang bermuara seputar ilmu nahwu dan shorof yang banyak di-aji dan di-kaji di dunia pesantren-pesantren dan fakultas-fakultas pada umumnya, bahkan kitab ini dijadikan landasan pengajaran literature bahasa arab di universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Dinamakan Alfiyah karena syair ini berjumlah 1002 bait. Di Al-Musri’ juga kitab ini menjadi talaran yang wajib disetorkan oleh kelas tingkat Tsanawiyah dengan menyetorkan 28 bait setiap satu minggu.

 

  1. Sullamul Munauroq

Salah satu kitab yang dijadikan talaran di Al-Musri’ adalah Nadzom Sullamul Munauroq mempelajari tentang ilmu mantiq karangan Syekh Abdurrahman Al-Akhdhory dengan jumlah 144 bait.

Selain itu Imam al-Akhdhari di kenal sebagai seorang ulama sufi yang mustajabah doanya. Imam Ahmad Damanhuri dalam syarah beliau atas matan Sulam, Idhah Mubham mengatakan bahwa “guru beliau mengabarkan dari para guru-gurunya bahwa pengarang (Syeikh Abdur Rahman al-Akhdhari) adalah salah seorang pembesar ulama sufi dan mustajabah doa” .

seperti doa beliau pada muqaddimah Matan Sulam, supaya Allah menjadikan kitab beliau tersebut bermanfaat bagi para pelajar dan menjadi jalan untuk memahami kitab-kitab mantiq yang lebih tinggi. Imam Ahmad Damanhuri mengatakan “sungguh Allah telah mengabulkan permiantaan beliau, setiap orang yang membaca kitab beliau ini dengan sungguh-sungguh, Allah membukakan pemahamannya dalam ilmu ini (ilmu mantiq) dan sungguh kami telah menyaksikan demikian”.

Nadzom ini dihafal oleh santri kelas tingkat Aliyah dengan disetorkan 20 bait dalam satu minggunya.

 

  1. Jauharul Maknun

Kitab nadzoman kedua yang dihafal oleh tingkat Aliyah yaitu Jauharul Maknun yang mempelajari ilmu Ma’ani, Badi’, dan Bayan dengan jumlah 291 bait dan juga disetorkan 20 bait satu minggu sekali. Kitab Jauhar al-Maknun karya Syekh Abdurrahman al-Akhdhari adalah salah satu kitab yang membahas ilmu tata bahasa Arab. Di dalamnya terdapat sejumlah nazam yang berkaitan dengan tata bahasa dan sastra Arab.

Misalnya, dalam salah satu nazamnya, Syekh Abdurrahman al-Akhdhari mengatakan, Mawadatuhu taduumu likulli hawlin. Wa hal kullu mawadatuhu taduumu. (Cintanya akan abadi sepanjang masa. Lalu, apakah setiap cintanya akan abadi?). Inilah salah satu keindahan bahasa dalam tata bahasa Arab yang bernama balaghah. Begitu juga dalam syair-syair Barzanji, Diba’, Habsyi, dan lainnya. Karena itu, dengan menggunakan sastra Arab, sebuah kata atau kalimat akan menjadi sangat indah. Itulah keindahan bahasa sastra.

 

  1. Rohbiyah

Matan al-Rahbiyyah (متن الرحبية) atau judul asalnya Bughyah al-Bahits  ‘an  Jumal al-Mawarits (بغية الباحث عن جُمل الموارث) sebuah karya fiqh mengenai ilmu al-Faraid atau al-Mawaris (pusaka dalam Islam), yang disusun dalam bentuk nazam sebanyak 176 bait. Kitab ini disusun oleh al-‘Allamah Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Hasan al-Rahabiy al-Syafi’i (557H), yang terkenal dengan gelaran Ibn al-Mutqinah.

Kitab faraid yang disusun berdasarkan mazhab Syafi’i ini, mendapat perhatian yang besar di kalangan para ulama. Bukan saja di kalangan ulama mazhab Syafi’i, bahkan juga di kalangan para ulama mazhab yang lain seperti mazhab Maliki dan Hanbali. Kitab ini menjadi rujukan dan telah diberikan keterangan oleh para ulama melalui karya-karya mereka.

Nadzom yang mempelajari ilmu pembagian waris ini dihafal oleh tingkat Ma’had Aly dengan disetorkan 15 bait setiap minggunya.

 

  1. Baiquniyah

Salah satu kitab yang disusun dengan sangat sederhana untuk menjelaskan tentang ilmu hadis adalah al-Mandzumah al-Baiquniyyah, di dalamnya berisi syair yang terdiri dari 34 bait. Meskipun minim keterangan, namun hampir seluruh pembahasan mengenai ilmu hadis dibahas di dalamnya.

Kitab al-Mandzumah al-Baiquniyyah disusun oleh Thaha atau ‘Amr bin Muhammad bin Futuh al-Dimasyqi al-Syafi’i al-Baiquni. Beliau hidup sekitar tahun 1080 H. Keterangan terkait biografi al-Baiquni disebutkan dalam kitab al-I’lam karya al-Zirakli.

Kitab ini berisi sekitar 32 istilah hadits,  Mustahalah Hadits karena membahas tentang istilah-istilah hadits, menghimpun  34 bait syair yang mengagumkan tentang hadits shahih, hasan, dha’if, marfu’, maqthu’, musnad, muttashil, musalsal, ‘aziz, masyhur, mu’an’an, mubham, ‘ali, nazil, mauquf, mursal, gharib, munqathi’, mu’dhal, mudallas, syadz, maqlub, fard, mu’allal, mudhtharib, mudraj, mudabbaj, muttafiq-muftariq, mu`talif-mukhtalif, munkar, matruk, dan maudhu’.

Kitab ini pun menjadi syarat wajib setoran talaran perminggunya untuk tingkat Ma’had Aly dan disetorkan dengan sebanyak jumlah bait tersebut yaitu 34 bait.

 

Program setoran mingguan ini dilaksanakan setiap malam Rabu. Yang pada hari biasanya adalah jadwal sorogan, diganti dengan setoran hafalan kepada gurunya masing-masing. Begitu juga guru sorogan tingkat Aliyah dan Ma’had Aly akan menyetorkan hafalannya kepada Ustadzah atau tingkat Dirosatul Ulya.

Untuk kelas persiapan atau kelas i’dadiyah yaitu menyetorkan juz ‘amma dari mulai Surat Ad-Duha sampai Surat An-Nas.

Adapun program Evaluasi setiap satu bulan sekali, yaitu menyetorkan kembali hafalan yang sudah disetorkan dalam satu bulan terakhir.

Tidak hanya menghafal, para santri juga mempelajari atau mendalami materi dari kitab-kitab tersebut sesuai tahap kelasnya. Kitab-kitab yang dipelajari diantara lain akhlakul banat(i’dadiyah). Tingkat Ibtidaiyyah yaitu Jurumiyah, Yaqulu, Shorof Kaelani, Tasrifan, Safinnatunnaja, Sulamuttaufiq, Tijan Ad-Durory, Tajwid.

Lalu tingkat Tsanawiyyah meliputi Alfiyyah, Fathul Qoriib, Lamiyatul Af’al, Fathul Mu’in, Irsyadul ‘Ibad dan samarqondi.

Dilanjut dengan tingkat Aliyyah diantaranya Uqudul Juman, Fathul wahab, Jauhar Maknun, Jazariah.

Tingkat kelas terakhir adalah Ma’had aly, kitab yang dipelajari nya adalah Jam’ul Jawami’, Uqudul Juman, Tafsir Jalalen, Shoheh Muslim, Shoheh Bukhori, Rohbiyah, Baequniyah, Ilmu Ma’qulat, Falak Taqribulmaqsod, dan Falak Tashilul Amal.

ISTIGHATSAH

 

Istighatsah berarti minta pertolongan. Di antara doa istigatsah yang sering dibaca Rasulullah Saw adalah:

(عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ, قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ: يَاحَىُّ يَاقَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ.(رواه الترمذيوالبزار

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Jika menemukan kesulitan , Rasulullah berdoa: Wahai Allah Yang Maha Hidup Wahai Allah Yang Maha Mengurus Segala Sesuatu, Dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan.” (HR al-Tirmidi dan al-Bazzar)

Selain doa tersebut, Bacaan yang ada dalam istighatsah adalah al-Asma’ al-Husna, istigfar, shalawat dan lainnya. Namun yang sering dipermasalahkan adalah redaksi shalawat:

اَللَّهُمَ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ قَدْ ضَاقَتْ حِيْلَتِي أَدْرِكْنِيْ يَا رَسُواللهِ.

“Ya Allah, Limpahkan shalawat dan keselamatan atas sayyidina Muhamad, Sungguh sangat terbatas kemampuanku, Karena itu temuilah aku (dengan pertolongan) wahai utusan Allah.”

Redaksi istighatsah ini tidak mengandung kesyirikan, Sebab hakikatnya dalam setiap doa umat Islam hanya meminta kepada Allah. Di masa khalifah Umar bin Khattab RA juga ada shahabat yang berdoa di dekat makam Nabi dan menyebut Rasulullah:

عَنْ مَالِكْ الدَّرِ, قَالَ: وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ، قَالَ: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِىِّ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَى الرَّجُلَ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: ائتِ عُمَرَ فَأَقْرِئهُ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ مُسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ: عَلَيْكَ الْكَيْسَ، عَلَيْكَ الْكَيْسَ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبِرْهُ فَبَكَى عُمَرَثُمَ قَالَ:َيَا رَبِّ لاَآلُوْإِلأَ مَاعَجَزْتُ عَنْهُ.

“Diriwayatkan dari Malik ad-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khatthab R.A, bahwa musim penceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani R.A) mendatangi makam Rasulullah SAW dan mengatakan: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Lalu orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya: “Bersungguh-sungguhlah melayani umatku”. Kemudian sahabat itu datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.

Pertanyan berikutnya, Apakah Rasulullah bisa mendoakan dari dalam kuburnya? Dan Dalilnya sebagai berikut:

عَنْ عَبْدُ اللهِ عَنْ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: حَيَاتِيْ خَبْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِي خَيْرٌلَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالَكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍحَمِدْتُ اللهَ عَلَيهِ، وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرِّ اِسْتِغْفَرْتُ لَك

“Diriwayatkan dari Abdullah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian. Saat aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan amal perbuatan kalian kepadaku. Jika aku melihat amal kalian baik kalian yang buruk, maka aku memohon ampun untuk kalian kepada Allah.” (HR al-Bazzar)

 

 

 

 

Pantaskah Kita Ber-Egoisme?

Allah SWT. banyak memberikan keistimewaan, seperti contoh kecil, washilah yang bernama timbangan atau mizan yang kelak manusia akan menghadapinya. Mungkin kita bertanya, bukankah secara tauhid Allah SWT. mustahil bergantung kepada sesuatu? Namun mengapa dia memberikan timbangan atau mizan untuk menimbang amal seseorang? Bukankah itu berarti Allah tidak mengetahui amal-amal yang telah deperbuat oleh manusia?

 

Dalam dunia tasawuf kita diajarkan, bahwa sampai di akhirat pun maqamatil ananiyah (akuisme atau egoisme) manusia di hadapan Allah akan tetap ada. Yakni terlalu percaya diri bahwa ibadahnya sudah banyak, sehingga layak masuk surga. Agar tidak bersikap demikian, maka kemudian dilakukan penimbangan amal oleh Allah SWT. Supaya kita menyadari bahwa Allah SWT. Maha Mengetahui dan Maha Mengerti, tapi kita hamba-Nya tidak mengerti sedikit pun tentang hal-hal gaib seperti pahala dan dosa atau surga dan neraka.

 

Istilah “egoisme” berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti “Diri” atau “Saya”, dan -isme, yang digunakan untuk menunjukkan filsafat.

Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk orang yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah “egois”. Lawan dari egoisme adalah altruisme.

 

Terkadang kita sendiri lupa diri, karena merasa setiap malam sudah beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. atau ibadah lainnya, yang mana hal itu merupakan tarekat atau perjalanan untuk menuju dekat kepada Allah SWT. Kini lupa bahwa hakikatnya pendekatan diri kita kepada-Nya itu juga bisa terjadi karena fadhal-Nya. Hingga kemudian yang muncul adalah “aku”. Kita yang merasa mampu begini dan begitu, tanpa diiringi dengan pengakuan bahwa semua itu adalah fadhal dari Allah SWT.

 

Padahal kalau dalam Bahasa tasawuf, atau dalam Bahasa filosofi, akan dikatakan bahwa “aku dan kami semua tidak abadi”. Kalau orang itu sudah mati, “aku”-nya ke mana? Dengan keakuan yang menghilang di hadapan Allah SWT., orang itu akan merasa bahwa dirinya faqir. “Aku” yang abadi yaitu kembali pada La Ilaha illa Ana (tidak ada dzat yang wajib disembah kecuali Aku (Allah SWT.)) yang tidak pernah sedetik pun meluntur “Aku”-Nya.

 

Lain halnya seperti jika misalkan anak kita nakal, maka kita akan takut nama kita jelek. Lalu kita berperang dengan hawa nafsu diri sendiri. Terkadang kita malu kepada manusia tapi tidak malu kepada Allah SWT.

 

Lihat bagaimana perjuangan-perjuangan para Nabi terdahulu. Ketika Nabi Nuh a.s. menghadapi perjuangannya pada waktu itu, khususnya Ketika berhadapan dengan anaknya sendiri.

 

Apa yang dihadapi Nabi Nuh a.s. adalah percontohan yang luar biasa. Betapa Maha Lembut Allah kepada kekasih-Nya, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an surah Hud ayat 46, menggunakan kalimat yang luar biasa. Allah tetap menjaga kehormatan Nabi Nuh dengan menyebut putranya, “انه ليس من اهلك” (dia bukan termasuk keluargamu). Dengan sifat Kasih Sayang-Nya, Allah tidak mengatakan “انه ليس من ابنك” (dia bukan termasuk anakmu).

 

Begitu pula apa yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW. dalam menghadapi pamannya sendiri, Abu Lahab. Betapa Rasulullah menjaga akhlak dan adabnya menghadapi pamannya yang demikian dengan penuh kesabaran yang luar biasa. Rasulullah SAW. mengerti bahwa taufiq dan hidayah bukan di tangan para Nabi, Rasul, Wali, Malaikat, dan manusia. Akan tetapi mutlak kehendak Allah SWT.

betapa hebatnya Allah SWT. Ketika memberikan khabar tentang Abu Lahab dalam surah Al-Lahab sama sekali tidak ada dhamir (kata ganti) yang mengarah langsung kepada Nabi SAW. tetapi selalu mukhathab yang tertuju langsung kepada Abu Lahab. Karena Allah SWT. menjaga kehormatan kekasih-Nya. Walau bagaimana pun Abu Lahab tetap paman Rasulullah SAW.

 

Juga ketika Rasulullah berhadapan dengan penduduk Thaif yang melempari beliau dengan kotoran dan batu sampai giginya patah. Kalau Nabi mau, Malaikat Jibril sudah siap turun tangan untuk menimpakan gunung kepada penduduk Thaif tersebut. Hanya tinggal menunggu perintah Nabi. Tapi Nabi Muhammad SAW. tidak mempunyai sifat seperti itu. Malah penduduk Thaif dido’akan :

“اللهم اهدي قومي فانهم لايعلمون” (Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku karena sesungguhnya mereka belum mengetahui).

 

Momentum menghadapi timbangan Allah SWT. adalah agar kita membuka mata lebih jauh. Apakah yang sudah kamu perbuat di dunia ini? Yang kamu sudah merasa mampu? Tujuannya agar kita mengetahui keagungan dan qadar Allah SWT. yang diberikan kepada kita dengan muamalah yang kita amalkan. Agar kita bisa melihat bahwa amal shaleh yang kita lakukan ketika di dunia ini untuk menggapai rahmat Allah SWT., ternyata belum ada apa-apanya disbanding besarnya rahmat Allah yang diberikan kita.

 

penulis : Rahmi Rahmatussalamah

Shalawatan

 

Membaca shalawatan bersama-sama merupakan pengamalan hadits berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَا قَعَدَ قَوْمٌ مَقْعَدً لَا يَذْ كُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَيَصْلُّونَ عَلى النَّبِىّ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ دَخَلُوا الْجَنَّةُ لِلثَّوْابِ(رواه أحمد)

“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Tidak ada satu kaum yang duduk, yang tidak berdzikir kepada Allah dan tidak membaca shalawat kepada Nabi , kecuali menjadi penyeselan baginya di hari kiamat, meski mereka masuk surga karena pahala.” (HR Ahmad)

Begitu pula hadits berikut:

وَعَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّ الِلّهِ سَيَّارَةً الْمَلَا ئِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حِلَقَ الذِّكْرِ, فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ وَحَفُّوْا بِهِمْ, ثُمَّ بَعَثُوْا راَئِدَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ رَبِّ الْعِزَّةِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى, فَيَقُوْلُوْنَ: رَبَّنَا أَتَيَنَا عَلَى عِبَادٍ مِنْ عِبَادِكَ يُعَظِّمُوْنَ آلَاءَكَ وَيَتْلُوْنَ كِتَابَكَ, وَيُصَلُّونَ عَلَى نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم, وَيَسْأَلُوْنَكَ لِآخِرَتِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ, فَيَقُوْلُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: غُشُّوْهُمْ رَحْمَتِى.

“ Dari Anas, Nabi Saw bersabda: “Sungguh Allah punya malaikat yang mencari perkumpulan zikir. Jika malaikat telah mendatangi mereka yang menyelimutinya, maka malaikat mengutus pemimpinnya ke langit, kepada Allah Ta’ala. Malaikat berkata: “Kami telah mendatangi hamba-hamba-Mu, yang mengagungkan nikmat-Mu, membaca kitab-Mu, bershalawat kepada Nabi-Mu dan meminta untuk urusan akhirat dan dunia mereka.” Allah berfirman: “Selimuti mereka dengan rahmat-Ku.”

dilakukan oleh orang-orang Habasyah di hadapannya.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَتِ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُوْنَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُول اللهِ صل الله عليه وسلم, وَيَرْقُصُوْنَ وَيَقُوْلُونَ مُحَمَّدٌ عَبْدُ صَالَحٌ. فَقَالَ رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَا يَقُولُونَ؟ قَالُوا: يَقُولُوْنَ مُحَمَّدٌ عَبْدُ صَالَحٌ. (رواه أحمد على شرط مسلم)

“Dari Anas, bahwa orang-orang Habasyah (Etyophia) menari di depan Rasulullah dan mereka mengatakan. “Muhammad hamba yang shaleh”. Nabi bertanya: “Apa yang mereka katakan?” Mereka menjawab bahwa orang Habasyah mengatakan: “Muhammad hamba yang shaleh”. (HR Ahmad, sanad-nya sesuai kriteria Muslim)

Adapun shalawat disertai terbangan selaras dengan riwayat:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِيْنَةِ فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ وَيَتَغَنِّيْنَ وَيَقُلُنَ:

نَحْنُ جَوَارٍمِنْ بَنِى النَّجَّارِ # يَاحَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ.

 فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: يَعْلَمُ اللهُ أَنِّى لَأُ حِبُّكُنَّ.

“Diriwayatkan dari Anas, Nabi Saw melewati sebagai Madinah, lalu berjumpa dengan anak-anak perempuan yang menabuh terbang, bernyanyi dan bersyair: “Kami adalah anak-anak  dari bani Najjar. Aduhai indahnya Muhammad sebagai tetangga.” Kemudian Nabi bersabda: “Allah tau sungguh aku mencintai kalian.”

Program Sorogan Menjadi Tahap Awal Santri Belajar Mengamalkan

Secara Bahasa, sorogan berasal dari bahasa Jawa Sorog, yang artinya menyodorkan. Dengan metode ini, berarti santri dapat menyodorkan materi yang ingin dipelajarinya sehingga mendapatkan bimbingan secara individual atau secara khusus. Begitupun seorang guru dapat membimbing, mengawasi, dan menilai kemampuan santri secara langsung.

Metode ini tentu sangat efektif untuk mendorong peningkatan kualitas santri tersebut.

Metode ini juga pernah diilustrasikan oleh Abu Bakar Aceh sebagaimana dikutip Ridwan Nasir dalam buku Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan. Dalam mengadakan pengajian sorogan, guru atau kiai biasanya duduk di atas sepotong sajadah atau sepotong kulit kambing atau biri-biri, dengan sebuah atau dua buah bantal dan beberapa jilid kitab di sampingnya yang diperlukan. Sementara, murid-muridnya duduk mengelilinginya mendengarkan sambil melihat lembaran kitab yang dibacakan gurunya.

Sorogan merupakan metode pembelajaran yang diterapkan pesantren hingga kini, terutama di pesantren-pesantren salaf. Usia dari metode ini diperkirakan lebih tua dari pesantren itu sendiri.

Di Yayasan Pondok pesantren Miftahulhuda Al-Musri, ada berbagai pembelajaran sorogan dengan fan ilmu yang berbeda-beda. Namun yang akan dibahas di sini adalah sorogan harian yang menjadi salah satu program unggulan. Dilaksanakan setelah waktu magrib dan subuh dengan metode individual atau diatur khusus untuk setiap santri mempunyai satu orang guru yang akan mengajarkan bagaimana cara membaca logatan kitab kuning mulai dari kitab Safinatunnaja, Tijanuddarori, Sulamuttaufiq pada kelas tingkat Ibtidaiyah sampai kitab Irsyadul Ibad untuk tingkat Tsanawiyah.

Selain belajar membaca logatan kitab, saat sorogan waktu subuh para santri juga akan belajar membaca Al-Qur’an terlebih dahulu beserta Tajwid dan Makhraj-Makhrajnya, dilanjut dengan pembelajaran kitab, dan setelah itu akan ada Mufradat bahasa Arab yang diberikan oleh biro Pengembangan Bahasa untuk digunakan para santri sebagai bahasa sehari-hari.

Sementara pada waktu magrib pada minggu pertama akan menghafal buku Tamhidlul Ibadah, dan pada minggu kedua akan dijelaskan tentang terjemah kitab Bidayatul Hidayah.

Tahap sistem pembelajarannya pun berbeda antara tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Dikarenakan masih tahap awal, maka metode pada tingkat Ibtidaiyah adalah dengan cara dibacakan terlebih dahulu oleh gurunya bagaimana cara membaca logatan atau penerjemahan kitab yang benar sesuai dengan kemampuan murid sampai ia bisa menangkap dan meniru apa yang gurunya bacakan.

Dan untuk tingkat Tsanawiyah, karena sudah masuk tahap kelas menengah, maka metodenya yaitu dengan murid itu sendiri yang membaca terlebih dahulu, lalu gurunya akan mengoreksi jika ada pembacaan lafad yang keliru.

Sistem penerjemahan disampaikan sedemikian rupa sehingga para santri mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimat dalam kitab kuning tersebut.

Pada setiap pergantian semester, akan ada juga pergantian antara guru dan murid. Sehingga setiap semesternya akan mendapat satu orang guru yang berbeda-beda, begitupun sebaliknya. Selain untuk menambah wawasan, juga dengan begitu akan semakin mempererat tali persaudaraan antar santri.

Pada program sorogan ini, santri tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah sebagai muridnya. Lalu di samping itu, siapa yang menjadi gurunya? Nah, dari mulai kelas Aliyah, Ma’had Aly sampai Dirosatul Ulya lah yang akan menjadi guru sorogan tersebut.

Dengan begitu, santri dari mulai tingkat Aliyah bisa mengulang kembali bahkan belajar mengamalkan pengetahuannya dari masa kelas Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.

Di antara adab menuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diketahui. Karena ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diiringi dengan amal. Orang yang berilmu memang banyak memiliki keutamaan. Namun jika ilmu tersebut tidak diamalkan, maka ia tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya. Ia bagaikan pohon tanpa buah yang tidak menghasilkan apa-apa.

Fudhail bin Iyadh berkata:

عَلَى النَّاسِ أَنْ يَتَعَلَّمُوْا فَإِذَا عَلِمُوْا فَعَلَيْهِمُ الْعَمَلُ

“Wajib bagi manusia untuk belajar. Jika telah berilmu maka wajib bagi mereka untuk mengamalkannya.” (Al-Khatib Al-Baghdadi, Iqtidhaul Ilmi Al-Amal, hal. 37)

Para salaf sekalipun enggan menambah ilmu sampai mereka betul-betul telah mengamalkannya. Diriwayatkan dari Ibnu Masud beliau berkata:

كُنَّا إِذَا تَعَلَّمْنَا مِنَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَشْرَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ لَمْ نَتَعَلَّمْ مِنَ الْعَشْرِ الَّتِى نَزَلَتْ بَعْدَهَا حَتَّى نَعْلَمَ مَا فِيهِ. قِيلَ لَهُ: مِنَ الْعَمَلِ قَالَ نَعَمْ.

“Kami jika belajar sepuluh ayat Al-Qur’an dari Nabi, kami tidak akan belajar sepuluh ayat yang turun berikutnya hingga kami mengetahui isinya. Kemudian ditanyakan, ‘Maksudnya mengamalkannya?’ Ia menjawab, ‘Iya.’” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Hakim).

Ubai bin Kaab juga berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW. membaca Al-Qur’an kepada mereka (para sahabat) sepuluh ayat dari Al-Qur’an. Beliau tidak akan menambah sepuluh ayat yang lain hingga mereka benar-benar belajar untuk mengamalkannya. Para sahabat berkata, ‘Kami belajar Al-Quran dan mengamalkannya secara bersamaan.’” (Syarh Al Mukhalilat, I/22)

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad, berkata: “Sekira engkau membaca ilmu seratus tahun dan engkau kumpulukan seribu kitab, semua itu tidak akan membantumu berhak mendapat rahmat Allah hingga engkau mengamalkannya.”

Oleh karena itu, program sorogan ini sangat bermanfaat bagi para santri untuk belajar pengamalan ilmu tersebut.

 

Penulis : Rahmi Rahmatussalamah