Jadikan Tahun Baru menjadi Acuan Untuk Perbaikan Diri

Baru saja kita meninggalkan bulan Desember dan memasuki bulan Januari. Bulan pertama yang mengawali tahun baru untuk tahun 2022. Meski tahun sebelumnya sudah lewat, suasana tahun baru masih sangat terasa. Sisa-sisa perayaan dan beragam selebrasi masih muncul dan tersebar di beberapa media, terlebih sosial media, seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter, dan lainnya.

Selain itu, beberapa orang masih berlomba-lomba menampilkan yang terbaik sebagai kenangan akhir dari tahun sebelumnya, sekaligus menjadi momentum paling awal dan berharga yang tidak bisa ditemukan selain di penghujung tahun. Akan tetapi, yang perlu dan penting untuk ditumbuhkan kembali, tahun baru tidak hanya berbicara tentang selamat datang era baru, namun juga mengajarkan selamat tinggal masa lalu.

Dengan hilangnya masa lalu dan datangnya tahun baru, menunjukkan bahwa umur manusia semakin bertambah, dengan bertambah artinya semakin mendekati kematian dan demikian seterusnya. Umur yang oleh Rasulullah diperkirakan antara enam puluh sampai tujuh puluh kian menghilang, dan akan terus menghilang.
Oleh karenanya, sebagai umat Islam, semangat merayakan tahun baru seperti saat ini, bukan sekadar dengan menggelar pesta kembang api, atau menghabiskan malam dengan gegap gempita trompet, namun sudah selayaknya, tahun baru memberikan semangat baru dalam mendekatkan diri kepada Allah swt, serta membuat amal ibadah dan karya nyata selama hidup di dunia.

Dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Surat Al-Hasyr ayat 18).

Segala perbuatan dan tindakan yang sebelumnya kurang baik dan tidak sempurna, saatnya untuk diperbaiki dan disempurnakan. Datangnya tahun baru menjadi ajang untuk menumbuhkan semangat baru. Hal itu dilakukan agar satu tahun ke depan tidak menjadi tahun yang memiliki nilai dan sejarah yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,

مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ

Artinya, “Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka).” (HR Al-Hakim).

Hadits ini secara umum mengajarkan kita tentang semangat baru dalam menjalani hari-hari baru hingga tahun baru. Jika hari ini menjadi lebih baik, tentu sangat beruntung, begitu juga sebaliknya, jika masih sama dengan hari sebelumnya, atau bahkan lebih buruk, maka tentunya akan menjadi hari-hari yang dilaknat bahkan tidak bisa mengambil manfaat dan keberkahan di dalamnya.

Alhamdulillah di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ di malam tahun baru ini para santri semangat merayakan dengan melaksanakan kegiatan / program belajar mengajar seperti di hari hari biasanya.

Sudah saatnya, semangat baru untuk menjadi pribadi yang lebih baik perlu ditingkatkan. Segala kekurangan dan kesalahan yang terjadi pada tahun sebelumnya sudah tiba untuk diubah menjadi kebaikan dan kelebihan di tahun berikutnya.

 

Sumber : Nuonline.com
Editor : Dimas Pamungkas

Al-Musri’ Pusat Raih Apresiasi Karya Ulama Pesantren

Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Barat H Ajam Mustajam mengatakan, tahun ini sudah terkumpul lebih dari 300 karya tulis para ulama dan santri di Jawa Barat. Hal tersebut diungkap saat memberikan sambutan pada kegiatan Apresiasi Karya Ulama Pesantren dan Istighasah Tingkat Jawa Barat di Hotel Grand Shunsine Soreang Kabupaten Bandung pada Selasa (27/12) malam dengan tema Dari Pesantren Untuk Bangsa Dan Jawa Barat Juara.

Ia berharap, hal tersebut bisa menginspirasi para santri, untuk tidak hanya pandai dakwah bil lisan tapi juga dakwah bil kitabah (tulisan), dan menambah kekayaan khazanah intelektual Islam khususnya di dunia pesantren.

H. Ajam juga mengungkapkan, kegiatan menulis adalah sunnah hasanah, melanjutkan tradisi ulama salaf, ulama Nusantara yang mendunia seperti Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Yasin Al Fadani, Sayyid Usman Al Batawi, Syekh KH. Hasyim Al-Asy’ari dan lainnya yang kaya dengan berbagai karya kitab yang mendunia.

“Mudah-mudahan kegiatan ini dapat berjalan lancar dan menjadi bukti bahwa Kementerian Agama konsisten untuk menjalankan fungsinya, yakni memberikan pelayanan dan khidmah terbaik bagi ulama dan  santri dan masyarakat khususnya pesantren,” ucapnya dilansir dari jabar.kemenag.or.id.

Ia menilai, salah satu peran dan fungsi Kanwil Kementerian Agama adalah memberikan pelayanan terhadap pelaksanaan pendidikan keagamaan dan pesantren, supaya bisa lebih optimal dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Hal itu merupakan amanah dalam UU no 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Berdasarkan catatan pesantren di Jawa Barat yang terdaftar di kemenag berjumlah 12.212 buah. Jabar merupakan provinsi yang paling banyak jumlah pesantrennya di banding provinsi lain. Dan Alhamdulillah Pondok tercinta Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat Termasuk Dalam pondok yang melahirkan para ahli agama. Oleh karena itu, pihaknya menyimpulkan bahwa Jawa Barat memberikan kontribusi besar kepada bangsa dalam melahirkan ahli-ahli agama.

“Mohon doanya mudah-mudahan kami sebagai pemerintah yang melayani umat bisa konsisten dan bekerja ikhlas turut serta membangun bangsa dan negara. Kami haturkan terimakasih dan penghormatan setinggi-tingginya kepada pesantren, para kyai dan santri,” pungkasnya.

 

Editor : Dimas Pamungkas

Setoran Hafalan Menjadi Langkah Utama Dalam Memahami Kitab Kuning

Khazanah ilmu pengetahuan Islam di dunia pesantren sangat kaya. Ada sekitar 200 judul kitab yang dipelajari di pesantren, menurut data yang pernah dikemukakan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Kalangan pesantren terus berupaya agar kebudayaan pesantren ini dapat eksis di tengah perubahan zaman dan globalisasi. Literasi kebudayaan salaf ini mampu menunjukkan kiprah para ulama sebagai warasatul anbiya’ (ahli waris para nabi).

Muhammad bin Sirin rahimahullah, beliau mengatakan:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Al Ilal, 1/355).

Diantara bentuk pertanggung jawaban dan ke hati-hatian dalam memberikan ilmu Agama agar tetap berada dalam jalur ahlu sunnah wal jamaah adalah dengan merujuk kepada kitab-kitab yang mengantarkan pemahaman yang benar dalam berbagai disiplin Ilmu. Adapun kitab-kitab yang dijadikan talaran setiap pertingkat kelas yang dikaji di Pondok Pesantren Miftahulhuda Almusri’:

  1.  Al-Jurumiyah

Pada tahun 672 H, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Daud ash-Shinhaji lahir di kota Fes, Maroko. Dia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Ajurum.  Kitab Jurumiyyah berisi teori-teori dasar ilmu nahwu, salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang membahas perubahan huruf akhir dari sebuah kata yang menjadi tanda kedudukan kata tersebut dalam sebuah kalimat, apakah kata itu berposisi sebagai subjek, predikat, objek, atau keterangan tambahan. Ilmu nahwu wajib dipelajari bagi orang-orang yang hendak mendalami ilmu-ilmu agama Islam yang sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan hadis yang menggunakan bahasa Arab, dan bahasa Arab tidak bisa dipahami dengan baik kecuali dengan mempelajari ilmu nahwu. Dan Ibnu Ajurum berhasil meringkas sekaligus mengurutkan bab-bab dan kaidah-kaidah ilmu nahwu yang terpenting di dalam Jurumiyyah dengan sangat baik, sehingga kitab ini masyhur sebagai kitab yang mudah dipahami dan dihafalkan bagi para mubtadi’ (pemula).

Di Indonesia, kitab Jurumiyyah masih menjadi kitab pelajaran yang dikaji hampir seluruh pesantren, baik yang berada di pelosok desa maupun di tengah-tengah kota. Padahal usia kitab ini sudah lewat dari tujuh abad dan sudah banyak karangan-karangan ilmu nahwu yang lebih baru yang disajikan tidak kalah apik dan telah disesuaikan dengan keadaan bahasa Arab kekinian. Kitab Jurumiyah ini juga menjadi dasar talaran kelas tingkat Ibtidaiyyah di Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ yang mana setiap minggu nya para santri harus menyetorkan talaran tersebut kepada guru shorogannya.

 

  1. Nadzmul Maqsud

Kitab kedua yang dihafal masing-masing 10 bait per minggunya oleh tingkat Ibtidaiyah yaitu Nadzmul Maqsud atau yang sering disebut Yaqulu. Adapun dalam syair atau Nadzam Maqshud karya Syaikh Ahmad bin Abdurrahim al-Thahthawi (1132-1302 H), memuat sekitar 113 syair. Isinya membahas mengenai perubahan bentuk kata atau kalimat didalam bahasa Arab.

Di pesantren-pesantren tradisional di Nusantara (NU), keberadaan teks nadzam “al-Maqshûd” tentu tidaklah asing. Teks ini banyak tersebar, dipelajari, dan dihafal oleh para pelajar di pesantren-pesantren tersebut. Dalam tradisi intelektual pesantren di Nusantara, morfologi Arab (ilmu sharaf) harus dikuasai oleh para pemula sebagai syarat mutlak untuk bisa membaca dan memahami teks-teks berbahasa Arab. Pembelajaran morfologi biasanya bersamaan dengan pembelajaran ilmu Sintaksis Arab (ilmu nahwu).

 

  1. Alfiyah Ibnu Malik

Alfiyah atau Al-Khulasa al-Alfiyah merupakan syair tentang tata bahasa Arab dari abad ke-13. Kitab ini ditulis oleh seorang ahli bahasa Arab kelahiran Jaen, Spanyol yang bernama lengkap, Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah Ibnu Malik al-Thay. Ibnu Malik.

Kitab ini berisi tentang kaedah bahasa arab yang bermuara seputar ilmu nahwu dan shorof yang banyak di-aji dan di-kaji di dunia pesantren-pesantren dan fakultas-fakultas pada umumnya, bahkan kitab ini dijadikan landasan pengajaran literature bahasa arab di universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Dinamakan Alfiyah karena syair ini berjumlah 1002 bait. Di Al-Musri’ juga kitab ini menjadi talaran yang wajib disetorkan oleh kelas tingkat Tsanawiyah dengan menyetorkan 28 bait setiap satu minggu.

 

  1. Sullamul Munauroq

Salah satu kitab yang dijadikan talaran di Al-Musri’ adalah Nadzom Sullamul Munauroq mempelajari tentang ilmu mantiq karangan Syekh Abdurrahman Al-Akhdhory dengan jumlah 144 bait.

Selain itu Imam al-Akhdhari di kenal sebagai seorang ulama sufi yang mustajabah doanya. Imam Ahmad Damanhuri dalam syarah beliau atas matan Sulam, Idhah Mubham mengatakan bahwa “guru beliau mengabarkan dari para guru-gurunya bahwa pengarang (Syeikh Abdur Rahman al-Akhdhari) adalah salah seorang pembesar ulama sufi dan mustajabah doa” .

seperti doa beliau pada muqaddimah Matan Sulam, supaya Allah menjadikan kitab beliau tersebut bermanfaat bagi para pelajar dan menjadi jalan untuk memahami kitab-kitab mantiq yang lebih tinggi. Imam Ahmad Damanhuri mengatakan “sungguh Allah telah mengabulkan permiantaan beliau, setiap orang yang membaca kitab beliau ini dengan sungguh-sungguh, Allah membukakan pemahamannya dalam ilmu ini (ilmu mantiq) dan sungguh kami telah menyaksikan demikian”.

Nadzom ini dihafal oleh santri kelas tingkat Aliyah dengan disetorkan 20 bait dalam satu minggunya.

 

  1. Jauharul Maknun

Kitab nadzoman kedua yang dihafal oleh tingkat Aliyah yaitu Jauharul Maknun yang mempelajari ilmu Ma’ani, Badi’, dan Bayan dengan jumlah 291 bait dan juga disetorkan 20 bait satu minggu sekali. Kitab Jauhar al-Maknun karya Syekh Abdurrahman al-Akhdhari adalah salah satu kitab yang membahas ilmu tata bahasa Arab. Di dalamnya terdapat sejumlah nazam yang berkaitan dengan tata bahasa dan sastra Arab.

Misalnya, dalam salah satu nazamnya, Syekh Abdurrahman al-Akhdhari mengatakan, Mawadatuhu taduumu likulli hawlin. Wa hal kullu mawadatuhu taduumu. (Cintanya akan abadi sepanjang masa. Lalu, apakah setiap cintanya akan abadi?). Inilah salah satu keindahan bahasa dalam tata bahasa Arab yang bernama balaghah. Begitu juga dalam syair-syair Barzanji, Diba’, Habsyi, dan lainnya. Karena itu, dengan menggunakan sastra Arab, sebuah kata atau kalimat akan menjadi sangat indah. Itulah keindahan bahasa sastra.

 

  1. Rohbiyah

Matan al-Rahbiyyah (متن الرحبية) atau judul asalnya Bughyah al-Bahits  ‘an  Jumal al-Mawarits (بغية الباحث عن جُمل الموارث) sebuah karya fiqh mengenai ilmu al-Faraid atau al-Mawaris (pusaka dalam Islam), yang disusun dalam bentuk nazam sebanyak 176 bait. Kitab ini disusun oleh al-‘Allamah Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Hasan al-Rahabiy al-Syafi’i (557H), yang terkenal dengan gelaran Ibn al-Mutqinah.

Kitab faraid yang disusun berdasarkan mazhab Syafi’i ini, mendapat perhatian yang besar di kalangan para ulama. Bukan saja di kalangan ulama mazhab Syafi’i, bahkan juga di kalangan para ulama mazhab yang lain seperti mazhab Maliki dan Hanbali. Kitab ini menjadi rujukan dan telah diberikan keterangan oleh para ulama melalui karya-karya mereka.

Nadzom yang mempelajari ilmu pembagian waris ini dihafal oleh tingkat Ma’had Aly dengan disetorkan 15 bait setiap minggunya.

 

  1. Baiquniyah

Salah satu kitab yang disusun dengan sangat sederhana untuk menjelaskan tentang ilmu hadis adalah al-Mandzumah al-Baiquniyyah, di dalamnya berisi syair yang terdiri dari 34 bait. Meskipun minim keterangan, namun hampir seluruh pembahasan mengenai ilmu hadis dibahas di dalamnya.

Kitab al-Mandzumah al-Baiquniyyah disusun oleh Thaha atau ‘Amr bin Muhammad bin Futuh al-Dimasyqi al-Syafi’i al-Baiquni. Beliau hidup sekitar tahun 1080 H. Keterangan terkait biografi al-Baiquni disebutkan dalam kitab al-I’lam karya al-Zirakli.

Kitab ini berisi sekitar 32 istilah hadits,  Mustahalah Hadits karena membahas tentang istilah-istilah hadits, menghimpun  34 bait syair yang mengagumkan tentang hadits shahih, hasan, dha’if, marfu’, maqthu’, musnad, muttashil, musalsal, ‘aziz, masyhur, mu’an’an, mubham, ‘ali, nazil, mauquf, mursal, gharib, munqathi’, mu’dhal, mudallas, syadz, maqlub, fard, mu’allal, mudhtharib, mudraj, mudabbaj, muttafiq-muftariq, mu`talif-mukhtalif, munkar, matruk, dan maudhu’.

Kitab ini pun menjadi syarat wajib setoran talaran perminggunya untuk tingkat Ma’had Aly dan disetorkan dengan sebanyak jumlah bait tersebut yaitu 34 bait.

 

Program setoran mingguan ini dilaksanakan setiap malam Rabu. Yang pada hari biasanya adalah jadwal sorogan, diganti dengan setoran hafalan kepada gurunya masing-masing. Begitu juga guru sorogan tingkat Aliyah dan Ma’had Aly akan menyetorkan hafalannya kepada Ustadzah atau tingkat Dirosatul Ulya.

Untuk kelas persiapan atau kelas i’dadiyah yaitu menyetorkan juz ‘amma dari mulai Surat Ad-Duha sampai Surat An-Nas.

Adapun program Evaluasi setiap satu bulan sekali, yaitu menyetorkan kembali hafalan yang sudah disetorkan dalam satu bulan terakhir.

Tidak hanya menghafal, para santri juga mempelajari atau mendalami materi dari kitab-kitab tersebut sesuai tahap kelasnya. Kitab-kitab yang dipelajari diantara lain akhlakul banat(i’dadiyah). Tingkat Ibtidaiyyah yaitu Jurumiyah, Yaqulu, Shorof Kaelani, Tasrifan, Safinnatunnaja, Sulamuttaufiq, Tijan Ad-Durory, Tajwid.

Lalu tingkat Tsanawiyyah meliputi Alfiyyah, Fathul Qoriib, Lamiyatul Af’al, Fathul Mu’in, Irsyadul ‘Ibad dan samarqondi.

Dilanjut dengan tingkat Aliyyah diantaranya Uqudul Juman, Fathul wahab, Jauhar Maknun, Jazariah.

Tingkat kelas terakhir adalah Ma’had aly, kitab yang dipelajari nya adalah Jam’ul Jawami’, Uqudul Juman, Tafsir Jalalen, Shoheh Muslim, Shoheh Bukhori, Rohbiyah, Baequniyah, Ilmu Ma’qulat, Falak Taqribulmaqsod, dan Falak Tashilul Amal.

ISTIGHATSAH

 

Istighatsah berarti minta pertolongan. Di antara doa istigatsah yang sering dibaca Rasulullah Saw adalah:

(عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ, قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ: يَاحَىُّ يَاقَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ.(رواه الترمذيوالبزار

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Jika menemukan kesulitan , Rasulullah berdoa: Wahai Allah Yang Maha Hidup Wahai Allah Yang Maha Mengurus Segala Sesuatu, Dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan.” (HR al-Tirmidi dan al-Bazzar)

Selain doa tersebut, Bacaan yang ada dalam istighatsah adalah al-Asma’ al-Husna, istigfar, shalawat dan lainnya. Namun yang sering dipermasalahkan adalah redaksi shalawat:

اَللَّهُمَ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ قَدْ ضَاقَتْ حِيْلَتِي أَدْرِكْنِيْ يَا رَسُواللهِ.

“Ya Allah, Limpahkan shalawat dan keselamatan atas sayyidina Muhamad, Sungguh sangat terbatas kemampuanku, Karena itu temuilah aku (dengan pertolongan) wahai utusan Allah.”

Redaksi istighatsah ini tidak mengandung kesyirikan, Sebab hakikatnya dalam setiap doa umat Islam hanya meminta kepada Allah. Di masa khalifah Umar bin Khattab RA juga ada shahabat yang berdoa di dekat makam Nabi dan menyebut Rasulullah:

عَنْ مَالِكْ الدَّرِ, قَالَ: وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ، قَالَ: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِىِّ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَى الرَّجُلَ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: ائتِ عُمَرَ فَأَقْرِئهُ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ مُسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ: عَلَيْكَ الْكَيْسَ، عَلَيْكَ الْكَيْسَ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبِرْهُ فَبَكَى عُمَرَثُمَ قَالَ:َيَا رَبِّ لاَآلُوْإِلأَ مَاعَجَزْتُ عَنْهُ.

“Diriwayatkan dari Malik ad-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khatthab R.A, bahwa musim penceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani R.A) mendatangi makam Rasulullah SAW dan mengatakan: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Lalu orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya: “Bersungguh-sungguhlah melayani umatku”. Kemudian sahabat itu datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.

Pertanyan berikutnya, Apakah Rasulullah bisa mendoakan dari dalam kuburnya? Dan Dalilnya sebagai berikut:

عَنْ عَبْدُ اللهِ عَنْ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: حَيَاتِيْ خَبْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِي خَيْرٌلَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالَكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍحَمِدْتُ اللهَ عَلَيهِ، وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرِّ اِسْتِغْفَرْتُ لَك

“Diriwayatkan dari Abdullah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian. Saat aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan amal perbuatan kalian kepadaku. Jika aku melihat amal kalian baik kalian yang buruk, maka aku memohon ampun untuk kalian kepada Allah.” (HR al-Bazzar)

 

 

 

 

Pantaskah Kita Ber-Egoisme?

Allah SWT. banyak memberikan keistimewaan, seperti contoh kecil, washilah yang bernama timbangan atau mizan yang kelak manusia akan menghadapinya. Mungkin kita bertanya, bukankah secara tauhid Allah SWT. mustahil bergantung kepada sesuatu? Namun mengapa dia memberikan timbangan atau mizan untuk menimbang amal seseorang? Bukankah itu berarti Allah tidak mengetahui amal-amal yang telah deperbuat oleh manusia?

 

Dalam dunia tasawuf kita diajarkan, bahwa sampai di akhirat pun maqamatil ananiyah (akuisme atau egoisme) manusia di hadapan Allah akan tetap ada. Yakni terlalu percaya diri bahwa ibadahnya sudah banyak, sehingga layak masuk surga. Agar tidak bersikap demikian, maka kemudian dilakukan penimbangan amal oleh Allah SWT. Supaya kita menyadari bahwa Allah SWT. Maha Mengetahui dan Maha Mengerti, tapi kita hamba-Nya tidak mengerti sedikit pun tentang hal-hal gaib seperti pahala dan dosa atau surga dan neraka.

 

Istilah “egoisme” berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti “Diri” atau “Saya”, dan -isme, yang digunakan untuk menunjukkan filsafat.

Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk orang yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah “egois”. Lawan dari egoisme adalah altruisme.

 

Terkadang kita sendiri lupa diri, karena merasa setiap malam sudah beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. atau ibadah lainnya, yang mana hal itu merupakan tarekat atau perjalanan untuk menuju dekat kepada Allah SWT. Kini lupa bahwa hakikatnya pendekatan diri kita kepada-Nya itu juga bisa terjadi karena fadhal-Nya. Hingga kemudian yang muncul adalah “aku”. Kita yang merasa mampu begini dan begitu, tanpa diiringi dengan pengakuan bahwa semua itu adalah fadhal dari Allah SWT.

 

Padahal kalau dalam Bahasa tasawuf, atau dalam Bahasa filosofi, akan dikatakan bahwa “aku dan kami semua tidak abadi”. Kalau orang itu sudah mati, “aku”-nya ke mana? Dengan keakuan yang menghilang di hadapan Allah SWT., orang itu akan merasa bahwa dirinya faqir. “Aku” yang abadi yaitu kembali pada La Ilaha illa Ana (tidak ada dzat yang wajib disembah kecuali Aku (Allah SWT.)) yang tidak pernah sedetik pun meluntur “Aku”-Nya.

 

Lain halnya seperti jika misalkan anak kita nakal, maka kita akan takut nama kita jelek. Lalu kita berperang dengan hawa nafsu diri sendiri. Terkadang kita malu kepada manusia tapi tidak malu kepada Allah SWT.

 

Lihat bagaimana perjuangan-perjuangan para Nabi terdahulu. Ketika Nabi Nuh a.s. menghadapi perjuangannya pada waktu itu, khususnya Ketika berhadapan dengan anaknya sendiri.

 

Apa yang dihadapi Nabi Nuh a.s. adalah percontohan yang luar biasa. Betapa Maha Lembut Allah kepada kekasih-Nya, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an surah Hud ayat 46, menggunakan kalimat yang luar biasa. Allah tetap menjaga kehormatan Nabi Nuh dengan menyebut putranya, “انه ليس من اهلك” (dia bukan termasuk keluargamu). Dengan sifat Kasih Sayang-Nya, Allah tidak mengatakan “انه ليس من ابنك” (dia bukan termasuk anakmu).

 

Begitu pula apa yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW. dalam menghadapi pamannya sendiri, Abu Lahab. Betapa Rasulullah menjaga akhlak dan adabnya menghadapi pamannya yang demikian dengan penuh kesabaran yang luar biasa. Rasulullah SAW. mengerti bahwa taufiq dan hidayah bukan di tangan para Nabi, Rasul, Wali, Malaikat, dan manusia. Akan tetapi mutlak kehendak Allah SWT.

betapa hebatnya Allah SWT. Ketika memberikan khabar tentang Abu Lahab dalam surah Al-Lahab sama sekali tidak ada dhamir (kata ganti) yang mengarah langsung kepada Nabi SAW. tetapi selalu mukhathab yang tertuju langsung kepada Abu Lahab. Karena Allah SWT. menjaga kehormatan kekasih-Nya. Walau bagaimana pun Abu Lahab tetap paman Rasulullah SAW.

 

Juga ketika Rasulullah berhadapan dengan penduduk Thaif yang melempari beliau dengan kotoran dan batu sampai giginya patah. Kalau Nabi mau, Malaikat Jibril sudah siap turun tangan untuk menimpakan gunung kepada penduduk Thaif tersebut. Hanya tinggal menunggu perintah Nabi. Tapi Nabi Muhammad SAW. tidak mempunyai sifat seperti itu. Malah penduduk Thaif dido’akan :

“اللهم اهدي قومي فانهم لايعلمون” (Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku karena sesungguhnya mereka belum mengetahui).

 

Momentum menghadapi timbangan Allah SWT. adalah agar kita membuka mata lebih jauh. Apakah yang sudah kamu perbuat di dunia ini? Yang kamu sudah merasa mampu? Tujuannya agar kita mengetahui keagungan dan qadar Allah SWT. yang diberikan kepada kita dengan muamalah yang kita amalkan. Agar kita bisa melihat bahwa amal shaleh yang kita lakukan ketika di dunia ini untuk menggapai rahmat Allah SWT., ternyata belum ada apa-apanya disbanding besarnya rahmat Allah yang diberikan kita.

 

penulis : Rahmi Rahmatussalamah