Pantaskah Kita Ber-Egoisme?
Bagikan ini :

Allah SWT. banyak memberikan keistimewaan, seperti contoh kecil, washilah yang bernama timbangan atau mizan yang kelak manusia akan menghadapinya. Mungkin kita bertanya, bukankah secara tauhid Allah SWT. mustahil bergantung kepada sesuatu? Namun mengapa dia memberikan timbangan atau mizan untuk menimbang amal seseorang? Bukankah itu berarti Allah tidak mengetahui amal-amal yang telah deperbuat oleh manusia?

 

Dalam dunia tasawuf kita diajarkan, bahwa sampai di akhirat pun maqamatil ananiyah (akuisme atau egoisme) manusia di hadapan Allah akan tetap ada. Yakni terlalu percaya diri bahwa ibadahnya sudah banyak, sehingga layak masuk surga. Agar tidak bersikap demikian, maka kemudian dilakukan penimbangan amal oleh Allah SWT. Supaya kita menyadari bahwa Allah SWT. Maha Mengetahui dan Maha Mengerti, tapi kita hamba-Nya tidak mengerti sedikit pun tentang hal-hal gaib seperti pahala dan dosa atau surga dan neraka.

 

Istilah “egoisme” berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti “Diri” atau “Saya”, dan -isme, yang digunakan untuk menunjukkan filsafat.

Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk orang yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah “egois”. Lawan dari egoisme adalah altruisme.

 

Terkadang kita sendiri lupa diri, karena merasa setiap malam sudah beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. atau ibadah lainnya, yang mana hal itu merupakan tarekat atau perjalanan untuk menuju dekat kepada Allah SWT. Kini lupa bahwa hakikatnya pendekatan diri kita kepada-Nya itu juga bisa terjadi karena fadhal-Nya. Hingga kemudian yang muncul adalah “aku”. Kita yang merasa mampu begini dan begitu, tanpa diiringi dengan pengakuan bahwa semua itu adalah fadhal dari Allah SWT.

 

Padahal kalau dalam Bahasa tasawuf, atau dalam Bahasa filosofi, akan dikatakan bahwa “aku dan kami semua tidak abadi”. Kalau orang itu sudah mati, “aku”-nya ke mana? Dengan keakuan yang menghilang di hadapan Allah SWT., orang itu akan merasa bahwa dirinya faqir. “Aku” yang abadi yaitu kembali pada La Ilaha illa Ana (tidak ada dzat yang wajib disembah kecuali Aku (Allah SWT.)) yang tidak pernah sedetik pun meluntur “Aku”-Nya.

 

Lain halnya seperti jika misalkan anak kita nakal, maka kita akan takut nama kita jelek. Lalu kita berperang dengan hawa nafsu diri sendiri. Terkadang kita malu kepada manusia tapi tidak malu kepada Allah SWT.

 

Lihat bagaimana perjuangan-perjuangan para Nabi terdahulu. Ketika Nabi Nuh a.s. menghadapi perjuangannya pada waktu itu, khususnya Ketika berhadapan dengan anaknya sendiri.

 

Apa yang dihadapi Nabi Nuh a.s. adalah percontohan yang luar biasa. Betapa Maha Lembut Allah kepada kekasih-Nya, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an surah Hud ayat 46, menggunakan kalimat yang luar biasa. Allah tetap menjaga kehormatan Nabi Nuh dengan menyebut putranya, “انه ليس من اهلك” (dia bukan termasuk keluargamu). Dengan sifat Kasih Sayang-Nya, Allah tidak mengatakan “انه ليس من ابنك” (dia bukan termasuk anakmu).

 

Begitu pula apa yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW. dalam menghadapi pamannya sendiri, Abu Lahab. Betapa Rasulullah menjaga akhlak dan adabnya menghadapi pamannya yang demikian dengan penuh kesabaran yang luar biasa. Rasulullah SAW. mengerti bahwa taufiq dan hidayah bukan di tangan para Nabi, Rasul, Wali, Malaikat, dan manusia. Akan tetapi mutlak kehendak Allah SWT.

betapa hebatnya Allah SWT. Ketika memberikan khabar tentang Abu Lahab dalam surah Al-Lahab sama sekali tidak ada dhamir (kata ganti) yang mengarah langsung kepada Nabi SAW. tetapi selalu mukhathab yang tertuju langsung kepada Abu Lahab. Karena Allah SWT. menjaga kehormatan kekasih-Nya. Walau bagaimana pun Abu Lahab tetap paman Rasulullah SAW.

 

Juga ketika Rasulullah berhadapan dengan penduduk Thaif yang melempari beliau dengan kotoran dan batu sampai giginya patah. Kalau Nabi mau, Malaikat Jibril sudah siap turun tangan untuk menimpakan gunung kepada penduduk Thaif tersebut. Hanya tinggal menunggu perintah Nabi. Tapi Nabi Muhammad SAW. tidak mempunyai sifat seperti itu. Malah penduduk Thaif dido’akan :

“اللهم اهدي قومي فانهم لايعلمون” (Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku karena sesungguhnya mereka belum mengetahui).

 

Momentum menghadapi timbangan Allah SWT. adalah agar kita membuka mata lebih jauh. Apakah yang sudah kamu perbuat di dunia ini? Yang kamu sudah merasa mampu? Tujuannya agar kita mengetahui keagungan dan qadar Allah SWT. yang diberikan kepada kita dengan muamalah yang kita amalkan. Agar kita bisa melihat bahwa amal shaleh yang kita lakukan ketika di dunia ini untuk menggapai rahmat Allah SWT., ternyata belum ada apa-apanya disbanding besarnya rahmat Allah yang diberikan kita.

 

penulis : Rahmi Rahmatussalamah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *