ISTIGHATSAH

 

Istighatsah berarti minta pertolongan. Di antara doa istigatsah yang sering dibaca Rasulullah Saw adalah:

(عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ, قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ: يَاحَىُّ يَاقَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ.(رواه الترمذيوالبزار

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Jika menemukan kesulitan , Rasulullah berdoa: Wahai Allah Yang Maha Hidup Wahai Allah Yang Maha Mengurus Segala Sesuatu, Dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan.” (HR al-Tirmidi dan al-Bazzar)

Selain doa tersebut, Bacaan yang ada dalam istighatsah adalah al-Asma’ al-Husna, istigfar, shalawat dan lainnya. Namun yang sering dipermasalahkan adalah redaksi shalawat:

اَللَّهُمَ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ قَدْ ضَاقَتْ حِيْلَتِي أَدْرِكْنِيْ يَا رَسُواللهِ.

“Ya Allah, Limpahkan shalawat dan keselamatan atas sayyidina Muhamad, Sungguh sangat terbatas kemampuanku, Karena itu temuilah aku (dengan pertolongan) wahai utusan Allah.”

Redaksi istighatsah ini tidak mengandung kesyirikan, Sebab hakikatnya dalam setiap doa umat Islam hanya meminta kepada Allah. Di masa khalifah Umar bin Khattab RA juga ada shahabat yang berdoa di dekat makam Nabi dan menyebut Rasulullah:

عَنْ مَالِكْ الدَّرِ, قَالَ: وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ، قَالَ: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِىِّ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَى الرَّجُلَ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: ائتِ عُمَرَ فَأَقْرِئهُ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ مُسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ: عَلَيْكَ الْكَيْسَ، عَلَيْكَ الْكَيْسَ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبِرْهُ فَبَكَى عُمَرَثُمَ قَالَ:َيَا رَبِّ لاَآلُوْإِلأَ مَاعَجَزْتُ عَنْهُ.

“Diriwayatkan dari Malik ad-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khatthab R.A, bahwa musim penceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani R.A) mendatangi makam Rasulullah SAW dan mengatakan: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Lalu orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya: “Bersungguh-sungguhlah melayani umatku”. Kemudian sahabat itu datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.

Pertanyan berikutnya, Apakah Rasulullah bisa mendoakan dari dalam kuburnya? Dan Dalilnya sebagai berikut:

عَنْ عَبْدُ اللهِ عَنْ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: حَيَاتِيْ خَبْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِي خَيْرٌلَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالَكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍحَمِدْتُ اللهَ عَلَيهِ، وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرِّ اِسْتِغْفَرْتُ لَك

“Diriwayatkan dari Abdullah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian. Saat aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan amal perbuatan kalian kepadaku. Jika aku melihat amal kalian baik kalian yang buruk, maka aku memohon ampun untuk kalian kepada Allah.” (HR al-Bazzar)

 

 

 

 

Pantaskah Kita Ber-Egoisme?

Allah SWT. banyak memberikan keistimewaan, seperti contoh kecil, washilah yang bernama timbangan atau mizan yang kelak manusia akan menghadapinya. Mungkin kita bertanya, bukankah secara tauhid Allah SWT. mustahil bergantung kepada sesuatu? Namun mengapa dia memberikan timbangan atau mizan untuk menimbang amal seseorang? Bukankah itu berarti Allah tidak mengetahui amal-amal yang telah deperbuat oleh manusia?

 

Dalam dunia tasawuf kita diajarkan, bahwa sampai di akhirat pun maqamatil ananiyah (akuisme atau egoisme) manusia di hadapan Allah akan tetap ada. Yakni terlalu percaya diri bahwa ibadahnya sudah banyak, sehingga layak masuk surga. Agar tidak bersikap demikian, maka kemudian dilakukan penimbangan amal oleh Allah SWT. Supaya kita menyadari bahwa Allah SWT. Maha Mengetahui dan Maha Mengerti, tapi kita hamba-Nya tidak mengerti sedikit pun tentang hal-hal gaib seperti pahala dan dosa atau surga dan neraka.

 

Istilah “egoisme” berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti “Diri” atau “Saya”, dan -isme, yang digunakan untuk menunjukkan filsafat.

Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk orang yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah “egois”. Lawan dari egoisme adalah altruisme.

 

Terkadang kita sendiri lupa diri, karena merasa setiap malam sudah beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. atau ibadah lainnya, yang mana hal itu merupakan tarekat atau perjalanan untuk menuju dekat kepada Allah SWT. Kini lupa bahwa hakikatnya pendekatan diri kita kepada-Nya itu juga bisa terjadi karena fadhal-Nya. Hingga kemudian yang muncul adalah “aku”. Kita yang merasa mampu begini dan begitu, tanpa diiringi dengan pengakuan bahwa semua itu adalah fadhal dari Allah SWT.

 

Padahal kalau dalam Bahasa tasawuf, atau dalam Bahasa filosofi, akan dikatakan bahwa “aku dan kami semua tidak abadi”. Kalau orang itu sudah mati, “aku”-nya ke mana? Dengan keakuan yang menghilang di hadapan Allah SWT., orang itu akan merasa bahwa dirinya faqir. “Aku” yang abadi yaitu kembali pada La Ilaha illa Ana (tidak ada dzat yang wajib disembah kecuali Aku (Allah SWT.)) yang tidak pernah sedetik pun meluntur “Aku”-Nya.

 

Lain halnya seperti jika misalkan anak kita nakal, maka kita akan takut nama kita jelek. Lalu kita berperang dengan hawa nafsu diri sendiri. Terkadang kita malu kepada manusia tapi tidak malu kepada Allah SWT.

 

Lihat bagaimana perjuangan-perjuangan para Nabi terdahulu. Ketika Nabi Nuh a.s. menghadapi perjuangannya pada waktu itu, khususnya Ketika berhadapan dengan anaknya sendiri.

 

Apa yang dihadapi Nabi Nuh a.s. adalah percontohan yang luar biasa. Betapa Maha Lembut Allah kepada kekasih-Nya, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an surah Hud ayat 46, menggunakan kalimat yang luar biasa. Allah tetap menjaga kehormatan Nabi Nuh dengan menyebut putranya, “انه ليس من اهلك” (dia bukan termasuk keluargamu). Dengan sifat Kasih Sayang-Nya, Allah tidak mengatakan “انه ليس من ابنك” (dia bukan termasuk anakmu).

 

Begitu pula apa yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW. dalam menghadapi pamannya sendiri, Abu Lahab. Betapa Rasulullah menjaga akhlak dan adabnya menghadapi pamannya yang demikian dengan penuh kesabaran yang luar biasa. Rasulullah SAW. mengerti bahwa taufiq dan hidayah bukan di tangan para Nabi, Rasul, Wali, Malaikat, dan manusia. Akan tetapi mutlak kehendak Allah SWT.

betapa hebatnya Allah SWT. Ketika memberikan khabar tentang Abu Lahab dalam surah Al-Lahab sama sekali tidak ada dhamir (kata ganti) yang mengarah langsung kepada Nabi SAW. tetapi selalu mukhathab yang tertuju langsung kepada Abu Lahab. Karena Allah SWT. menjaga kehormatan kekasih-Nya. Walau bagaimana pun Abu Lahab tetap paman Rasulullah SAW.

 

Juga ketika Rasulullah berhadapan dengan penduduk Thaif yang melempari beliau dengan kotoran dan batu sampai giginya patah. Kalau Nabi mau, Malaikat Jibril sudah siap turun tangan untuk menimpakan gunung kepada penduduk Thaif tersebut. Hanya tinggal menunggu perintah Nabi. Tapi Nabi Muhammad SAW. tidak mempunyai sifat seperti itu. Malah penduduk Thaif dido’akan :

“اللهم اهدي قومي فانهم لايعلمون” (Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku karena sesungguhnya mereka belum mengetahui).

 

Momentum menghadapi timbangan Allah SWT. adalah agar kita membuka mata lebih jauh. Apakah yang sudah kamu perbuat di dunia ini? Yang kamu sudah merasa mampu? Tujuannya agar kita mengetahui keagungan dan qadar Allah SWT. yang diberikan kepada kita dengan muamalah yang kita amalkan. Agar kita bisa melihat bahwa amal shaleh yang kita lakukan ketika di dunia ini untuk menggapai rahmat Allah SWT., ternyata belum ada apa-apanya disbanding besarnya rahmat Allah yang diberikan kita.

 

penulis : Rahmi Rahmatussalamah

Shalawatan

 

Membaca shalawatan bersama-sama merupakan pengamalan hadits berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَا قَعَدَ قَوْمٌ مَقْعَدً لَا يَذْ كُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَيَصْلُّونَ عَلى النَّبِىّ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ دَخَلُوا الْجَنَّةُ لِلثَّوْابِ(رواه أحمد)

“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Tidak ada satu kaum yang duduk, yang tidak berdzikir kepada Allah dan tidak membaca shalawat kepada Nabi , kecuali menjadi penyeselan baginya di hari kiamat, meski mereka masuk surga karena pahala.” (HR Ahmad)

Begitu pula hadits berikut:

وَعَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّ الِلّهِ سَيَّارَةً الْمَلَا ئِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حِلَقَ الذِّكْرِ, فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ وَحَفُّوْا بِهِمْ, ثُمَّ بَعَثُوْا راَئِدَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ رَبِّ الْعِزَّةِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى, فَيَقُوْلُوْنَ: رَبَّنَا أَتَيَنَا عَلَى عِبَادٍ مِنْ عِبَادِكَ يُعَظِّمُوْنَ آلَاءَكَ وَيَتْلُوْنَ كِتَابَكَ, وَيُصَلُّونَ عَلَى نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم, وَيَسْأَلُوْنَكَ لِآخِرَتِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ, فَيَقُوْلُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: غُشُّوْهُمْ رَحْمَتِى.

“ Dari Anas, Nabi Saw bersabda: “Sungguh Allah punya malaikat yang mencari perkumpulan zikir. Jika malaikat telah mendatangi mereka yang menyelimutinya, maka malaikat mengutus pemimpinnya ke langit, kepada Allah Ta’ala. Malaikat berkata: “Kami telah mendatangi hamba-hamba-Mu, yang mengagungkan nikmat-Mu, membaca kitab-Mu, bershalawat kepada Nabi-Mu dan meminta untuk urusan akhirat dan dunia mereka.” Allah berfirman: “Selimuti mereka dengan rahmat-Ku.”

dilakukan oleh orang-orang Habasyah di hadapannya.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَتِ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُوْنَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُول اللهِ صل الله عليه وسلم, وَيَرْقُصُوْنَ وَيَقُوْلُونَ مُحَمَّدٌ عَبْدُ صَالَحٌ. فَقَالَ رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَا يَقُولُونَ؟ قَالُوا: يَقُولُوْنَ مُحَمَّدٌ عَبْدُ صَالَحٌ. (رواه أحمد على شرط مسلم)

“Dari Anas, bahwa orang-orang Habasyah (Etyophia) menari di depan Rasulullah dan mereka mengatakan. “Muhammad hamba yang shaleh”. Nabi bertanya: “Apa yang mereka katakan?” Mereka menjawab bahwa orang Habasyah mengatakan: “Muhammad hamba yang shaleh”. (HR Ahmad, sanad-nya sesuai kriteria Muslim)

Adapun shalawat disertai terbangan selaras dengan riwayat:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِيْنَةِ فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ وَيَتَغَنِّيْنَ وَيَقُلُنَ:

نَحْنُ جَوَارٍمِنْ بَنِى النَّجَّارِ # يَاحَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ.

 فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: يَعْلَمُ اللهُ أَنِّى لَأُ حِبُّكُنَّ.

“Diriwayatkan dari Anas, Nabi Saw melewati sebagai Madinah, lalu berjumpa dengan anak-anak perempuan yang menabuh terbang, bernyanyi dan bersyair: “Kami adalah anak-anak  dari bani Najjar. Aduhai indahnya Muhammad sebagai tetangga.” Kemudian Nabi bersabda: “Allah tau sungguh aku mencintai kalian.”

Tradisi Seputar Kematian

Ada sekian banyak amaliah yang mentradisi di kalangan warga Nahdliyin terkait kematian, seperti membacakan Yasin, kesaksian, Tahlilan, baca al-Qur’an di makam, sedekah atas nama al-Marhum dan sebagainya. Tujuannya sangat sederhana, yaitu agar mayit mendapat ampunan dari Allah, sebab mayit sangat membutuhkan rahmat dari Allah. Terlebih lagi kuburan adalah ‘jalan penentu’ keselamatan seseorang ke alam Barzakh, seperti sabda Nabi Muhammad Saw:

إنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الآخِرَةِ فإنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ.

‘’Sesungguhnya kubur adalah tahap pertama menuju perjalanan akhirat. Jika selamat dari kubur, maka perjalanan berikutnya lebih mudah. Jika tidak selamat dari kubur, maka perjalanan berikutnya lebih berat.’’

a. Mengiringi jenazah dengan Bacaan Tahlil

Mengiringi jenazah dengan bacaan tahlil hukumnya boleh bahkan ada riwayat yang menyebutkan hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah Saw berdasarkan hadist

عَنُ ابْنِ عُمَرَ‘ قَالَ: لَمْ يَكُنْ يَسْمَعُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صل الله عليه وسلم، وَهُوَ يَمْشِي خَلَفَ الْجِنَازَةِ إِلّا قَوْلُ: لاَ إِلَهَ إِلَّا الله، مُبْدِيًا وَرَاجِعًا.

‘’Ibnu Umar berkata: ‘’Tidak pernah terdengar dari Rasulullah Saw ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La ilaaha Illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya.’’

b. Azan Saat Mengubur Jenazah

Pakar biografi tokoh, Khairuddin az-Zirikli, menyebutkan ulama yang pertama kali mengajurkan azan kubur

الْإصَابِيّ (577-657ه-1181-1257م) عَلِيُّ بْنِ الْحُسَيْنِ    الْصَابِيِّ، أَبُوْ الْحُسَيْنِ: فَقِيْهٌ أُصُوْلِيٌّ، يُمَانِيُّ. وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْاَذَانَ لِمَنْ يَسَدُّ اللَّحْدَ عَلَى الْمَيِّتِ.

‘’Al-Ishabi (577-657H/ 1181-1257 M), Ali bin al-Husain ak-Ishabi, Abu al-Hasan, adalah ahli fikih, ahli ushul fikih, berkebangsaan yaman, Dia yang pertama kali mengajurkan azan terhadap orang yang memasukan mayit ke liang lahat.’’

Di masa berikutnya, ahli hadits al-Hafizh al-Hamawi selama hidupnya pernah menfatwakan azan di kubur saat pemakaman adalah sunnah. Sehingga ketika beliau wafat, ulama Damaskus mempraktikkan fatwanya:

وَلَمَّا أُنْزِلَ فِيْ قَبْرِهِ عَمِلَ الْمُؤَذّنُوْنَ بِبِدْعَتِهِ الَّتِي ابْتَدَعَهَا مُذَّةَ سَنَوَاتٍ بِدِ مَشْقَ مِنْ اِفَادَتِهِ إِيَّاهُمْ أَنَّ الْأذَانَ عِنْدَ دَفْنِ الْمَيّتِ سُنَةٌ وَهُوَ قَوْلٌ ضَعِيْفٌ ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْمُتَأَخِرِيْنَ وَرَدَّهُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ  الْعُبَابِ وَغَيْرُهُ فَأَذَّنُوْاعَلَى قَبْرِهِ.

‘’Ketika jenazah al-Hafizh al-Hamawi diturnkan ke kubur, para muadzin melakukan bid’ah yang mereka lakukan selama beberapa tahun di Damaskus, yang disampaikan oleh beliau (al-Hafidz al-Hamawi) kepada mereka, bahwa azan ketika pemakaman adalah sunnah’. Ini pendapat lemah yang dipilih sebagian ulama generasi akhir. Pendapat ini ditolak oleh Ibn Hajar dalam kitab al-Ubab dan lainnya Karena pendapat al-Hamawi maka mereka tetap melakukan azan di kuburnya.’’

c. Talqin dan Ziarah Makam Kerabat

Kedua masalah ini dijelaskan oleh Ibn Taimiyah:

وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ الْمَقْبُورَ يَسْأَلُ وَيُمْتَحَنُ وَأَنَّهُ يُوْمَرُ بِالدُّعَاءِ لَهُ. فَلِهَذَا قِيْلَ: إِنَّ التَلْقِيْنَ يَنْفَعُهُ فَإنَّ الْمَيّْتَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ، كما ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحِ عَنْ النَّبْيّ صّل الله عليه وسلم أنّه قال: أَنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، وَأَنَّهُ قالَ: مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُوْلُ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُ أَمَرَنَا بِالسَّلاَمِ عَلَى المَوْتِى، فَقَالَ: مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبرِ الرَّجُلِ كاَنَ يَعْرِفُهُ فِي الدُنْيَا فَيُسَلَّمُ عَلَيْهِ إلَّا رَدَّ اللهُ رُوحةِ حَتَّى يَرُدَّ عَلَيْهِ وَسَلَمَ

‘’Dijelaskan dalam riwayat shahih bahwa mayit akan ditanya dan mendapat ujian dikubur, serta dianjurkan berdoa untuknya. Sebab itu dikatakan, talqin berguna untuk mayit. Sebab mayit mendengar seruan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist shahih bahwa Nabi bersabda: “Mayit mendengar bunyi langkah kaki mereka”. Sabda Nabi: Kalian tidak lebih mendengar daripada mereka terhadap perkataanku.” Nabi mengajurkan mengucapkan salam kepada orang-orang mati. Nabi bersabda: “Tak seorangpun yang melewati kuburan seseorang yang ia kenal selama di dunia, Lalu mengucapkan salam kepadanya, Kecuali Allah mengembalikan ruh kepadanya hingga ia menjawab selamanya.”

d. Qadha’ Shalat bagi mayit

Menurut madzhab Syafi’i tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengqadha’ shalat dari mayit yang ditinggalkan selama masa sakitnya atau hidupnya, yang ada hanyalah puasa dan haji yang berdasarkan hadits-hadits shahih. Namun, dikalangan NU sering mengamalkan qadha’ shalat ini dan bersumber dari ijtihad Imam as-Subki, seperti disampaikan Syaikh Ibn Hajar al-Haitami:

قَالَ ابْنُ أَبِيْ عَصْرُونَ: لَيْسَ فِيْ الْحَدِيْثِ وَلاَ الْقِيَاسِ مَا يَمْنَعُ وُصُوْلَ ثَوَابِ الصَّلَاةِ لِلْمَيّتِ وَرُوِيَ فِيْهَا أَخْبَارٌ غَيْرُ مَشْهُوْرَةٍ وَاسْتَظْهَرَ السُّبْكِيُّ مَا قَالَهُ لِحَدِيْثٍ مُرْسَلٍ: مِنْ بِرّالِدَيْنِ أَنْ تُصَلِّيْ لَهُمَا مَعَ صَلَا تِك. قِيْلَ تَدعُو لَهُمَا وَلَا مَانَعَ مِنْ حَمْلِهِ عَلَى ظَاهِرِهِ قَالَ وَمَاتَ لِي قَرْيْبٌ عَلَيْهِ خَمْسٌ صَلَوَاتٍ فَفَعَلْهُتهَا عَنْهُ قِيَاسًا عَلَى الصَّوْمِا ها

“Ibn Abi ‘Ishrum berkata: “Tidak hadits atau qiyas yang mencegah sampainya pahala shalat untuk mayit. Dalam masalah ini telah diriwayatkan beberapa hadits yang tidak masyhur. As-Subki menjelaskan apa yang telah di sampaikan dengan hadits mursal: “Di antara berbakti kepada orang tua adalah melakukan shalat doa untuk kepada orang tuamu bersama shalatmu.” (HR Muslim). Dikatakan, makna shalat disini adalah doa. Tetapi tidak ada halangan untuk memaknai sesuai teksnya (shalat). As-Subki berkata: “Kerabat saya meninggal dan punya hutang lima shalat, Lalu saya lakukan shalat untuknya karena mengqiyaskan pada puasa.”

Keutamaan, tata cara puasa syawal dan hukum membatalkan puasa sunnah.

Keutamaan, tata cara puasa syawal dan hukum membatalkan puasa sunnah

Salah puasa sunnah yang dianjurkan dalam Islam adalah puasa enam hari pada bulan Syawwal, lebih tepatnya bisa diamalkan sejak tanggal 2 Syawwal atau setelah Idul Fitri. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam haditsnya bahwa orang yang berpuasa Ramadhan kemudian disambung dengan puasa enam hari Syawwal, maka akan memperoleh pahala senilai puasa satu tahun.

Rasulullah saw bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتَّاً مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Artinya, “Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun.” (HR Muslim)

Penjelasan Puasa 6 Hari Syawal dan Pahala Setara Puasa Setahun   Perhitungan pahala puasa satu tahun itu berdasarkan firman Allah swt berikut,

مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشۡرُ أَمۡثَالِهَاۖ

Artinya, “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al-An’am [6]: 160)

Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap satu amal kebaikan akan mendapat balasan sepuluh kali lipat. Mengacu pada penjelasan tersebut, jika dikalkulasikan maka satu bulan puasa Ramadhan dikali 10 sama dengan 10 bulan, kemudian 6 hari puasa Syawwal dikali 10 sama dengan 2 bulan. Jadi 10 bulan ditambah 2 bulan sama dengan 12 bulan atau satu tahun.

Tata cara puasa sunnah Syawwal sama seperti puasa pada umumnya, yaitu dengan menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Berikut adalah lafal niatnya yang dibaca pada malam hari,

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Artinya, “Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah ta’ala.”, maka jika lupa niat pada malam hari boleh niat pada siang harinya.

Berikut adalah niat puasa Syawwal jika dibaca di siang hari,

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Artinya, “Aku berniat puasa sunnah Syawal hari ini karena Allah ta’ala.”

Dalam kondisi seperti ini, menarik sekali pilihan sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunnah di tengah jamuan makanan

ia bersabda:

يَتَكَلَّفُ لَكَ أَخُوكَ الْمُسْلِمُ وَتَقُولُ إنِّي صَائِمٌ، أَفْطِرْ ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ

Artinya, “Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha’lah pada hari lain sebagai gantinya,” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

Kemudian dari sinilah para ulama merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi SAW dalam hadits tersebut.

Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa. (Lihat Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 36).

Dalam konteks ini Ibnu ‘Abbas RA mengatakan:

مِنْ أَفْضَلِ الْحَسَنَاتِ إِكْرَامُ الْجُلَسَاءِ بِالْإِفْطَارِ

Artinya, “Di antara kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman semajelis dengan membatalkan puasa (sunnah),” (Lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 14). Dengan demikian kita ketahui, untuk menjalankan puasa sunnah bulan Syawal saat silaturahmi lebaran hendaknya diketahui, apakah tuan rumah berkeberatan atau tidak dengan puasa kita. Kalau ia tidak berkeberatan maka kita tetap berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya.

penulis: Rifky Aulia