Tradisi Seputar Kematian
Ada sekian banyak amaliah yang mentradisi di kalangan warga Nahdliyin terkait kematian, seperti membacakan Yasin, kesaksian, Tahlilan, baca al-Qur’an di makam, sedekah atas nama al-Marhum dan sebagainya. Tujuannya sangat sederhana, yaitu agar mayit mendapat ampunan dari Allah, sebab mayit sangat membutuhkan rahmat dari Allah. Terlebih lagi kuburan adalah ‘jalan penentu’ keselamatan seseorang ke alam Barzakh, seperti sabda Nabi Muhammad Saw:
إنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الآخِرَةِ فإنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ.
‘’Sesungguhnya kubur adalah tahap pertama menuju perjalanan akhirat. Jika selamat dari kubur, maka perjalanan berikutnya lebih mudah. Jika tidak selamat dari kubur, maka perjalanan berikutnya lebih berat.’’
a. Mengiringi jenazah dengan Bacaan Tahlil
Mengiringi jenazah dengan bacaan tahlil hukumnya boleh bahkan ada riwayat yang menyebutkan hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah Saw berdasarkan hadist
عَنُ ابْنِ عُمَرَ‘ قَالَ: لَمْ يَكُنْ يَسْمَعُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صل الله عليه وسلم، وَهُوَ يَمْشِي خَلَفَ الْجِنَازَةِ إِلّا قَوْلُ: لاَ إِلَهَ إِلَّا الله، مُبْدِيًا وَرَاجِعًا.
‘’Ibnu Umar berkata: ‘’Tidak pernah terdengar dari Rasulullah Saw ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La ilaaha Illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya.’’
b. Azan Saat Mengubur Jenazah
Pakar biografi tokoh, Khairuddin az-Zirikli, menyebutkan ulama yang pertama kali mengajurkan azan kubur
الْإصَابِيّ (577-657ه-1181-1257م) عَلِيُّ بْنِ الْحُسَيْنِ الْصَابِيِّ، أَبُوْ الْحُسَيْنِ: فَقِيْهٌ أُصُوْلِيٌّ، يُمَانِيُّ. وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْاَذَانَ لِمَنْ يَسَدُّ اللَّحْدَ عَلَى الْمَيِّتِ.
‘’Al-Ishabi (577-657H/ 1181-1257 M), Ali bin al-Husain ak-Ishabi, Abu al-Hasan, adalah ahli fikih, ahli ushul fikih, berkebangsaan yaman, Dia yang pertama kali mengajurkan azan terhadap orang yang memasukan mayit ke liang lahat.’’
Di masa berikutnya, ahli hadits al-Hafizh al-Hamawi selama hidupnya pernah menfatwakan azan di kubur saat pemakaman adalah sunnah. Sehingga ketika beliau wafat, ulama Damaskus mempraktikkan fatwanya:
وَلَمَّا أُنْزِلَ فِيْ قَبْرِهِ عَمِلَ الْمُؤَذّنُوْنَ بِبِدْعَتِهِ الَّتِي ابْتَدَعَهَا مُذَّةَ سَنَوَاتٍ بِدِ مَشْقَ مِنْ اِفَادَتِهِ إِيَّاهُمْ أَنَّ الْأذَانَ عِنْدَ دَفْنِ الْمَيّتِ سُنَةٌ وَهُوَ قَوْلٌ ضَعِيْفٌ ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْمُتَأَخِرِيْنَ وَرَدَّهُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ الْعُبَابِ وَغَيْرُهُ فَأَذَّنُوْاعَلَى قَبْرِهِ.
‘’Ketika jenazah al-Hafizh al-Hamawi diturnkan ke kubur, para muadzin melakukan bid’ah yang mereka lakukan selama beberapa tahun di Damaskus, yang disampaikan oleh beliau (al-Hafidz al-Hamawi) kepada mereka, bahwa azan ketika pemakaman adalah sunnah’. Ini pendapat lemah yang dipilih sebagian ulama generasi akhir. Pendapat ini ditolak oleh Ibn Hajar dalam kitab al-Ubab dan lainnya Karena pendapat al-Hamawi maka mereka tetap melakukan azan di kuburnya.’’
c. Talqin dan Ziarah Makam Kerabat
Kedua masalah ini dijelaskan oleh Ibn Taimiyah:
وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ الْمَقْبُورَ يَسْأَلُ وَيُمْتَحَنُ وَأَنَّهُ يُوْمَرُ بِالدُّعَاءِ لَهُ. فَلِهَذَا قِيْلَ: إِنَّ التَلْقِيْنَ يَنْفَعُهُ فَإنَّ الْمَيّْتَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ، كما ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحِ عَنْ النَّبْيّ صّل الله عليه وسلم أنّه قال: أَنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، وَأَنَّهُ قالَ: مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُوْلُ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُ أَمَرَنَا بِالسَّلاَمِ عَلَى المَوْتِى، فَقَالَ: مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبرِ الرَّجُلِ كاَنَ يَعْرِفُهُ فِي الدُنْيَا فَيُسَلَّمُ عَلَيْهِ إلَّا رَدَّ اللهُ رُوحةِ حَتَّى يَرُدَّ عَلَيْهِ وَسَلَمَ
‘’Dijelaskan dalam riwayat shahih bahwa mayit akan ditanya dan mendapat ujian dikubur, serta dianjurkan berdoa untuknya. Sebab itu dikatakan, talqin berguna untuk mayit. Sebab mayit mendengar seruan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist shahih bahwa Nabi bersabda: “Mayit mendengar bunyi langkah kaki mereka”. Sabda Nabi: Kalian tidak lebih mendengar daripada mereka terhadap perkataanku.” Nabi mengajurkan mengucapkan salam kepada orang-orang mati. Nabi bersabda: “Tak seorangpun yang melewati kuburan seseorang yang ia kenal selama di dunia, Lalu mengucapkan salam kepadanya, Kecuali Allah mengembalikan ruh kepadanya hingga ia menjawab selamanya.”
d. Qadha’ Shalat bagi mayit
Menurut madzhab Syafi’i tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengqadha’ shalat dari mayit yang ditinggalkan selama masa sakitnya atau hidupnya, yang ada hanyalah puasa dan haji yang berdasarkan hadits-hadits shahih. Namun, dikalangan NU sering mengamalkan qadha’ shalat ini dan bersumber dari ijtihad Imam as-Subki, seperti disampaikan Syaikh Ibn Hajar al-Haitami:
قَالَ ابْنُ أَبِيْ عَصْرُونَ: لَيْسَ فِيْ الْحَدِيْثِ وَلاَ الْقِيَاسِ مَا يَمْنَعُ وُصُوْلَ ثَوَابِ الصَّلَاةِ لِلْمَيّتِ وَرُوِيَ فِيْهَا أَخْبَارٌ غَيْرُ مَشْهُوْرَةٍ وَاسْتَظْهَرَ السُّبْكِيُّ مَا قَالَهُ لِحَدِيْثٍ مُرْسَلٍ: مِنْ بِرّالِدَيْنِ أَنْ تُصَلِّيْ لَهُمَا مَعَ صَلَا تِك. قِيْلَ تَدعُو لَهُمَا وَلَا مَانَعَ مِنْ حَمْلِهِ عَلَى ظَاهِرِهِ قَالَ وَمَاتَ لِي قَرْيْبٌ عَلَيْهِ خَمْسٌ صَلَوَاتٍ فَفَعَلْهُتهَا عَنْهُ قِيَاسًا عَلَى الصَّوْمِا ها
“Ibn Abi ‘Ishrum berkata: “Tidak hadits atau qiyas yang mencegah sampainya pahala shalat untuk mayit. Dalam masalah ini telah diriwayatkan beberapa hadits yang tidak masyhur. As-Subki menjelaskan apa yang telah di sampaikan dengan hadits mursal: “Di antara berbakti kepada orang tua adalah melakukan shalat doa untuk kepada orang tuamu bersama shalatmu.” (HR Muslim). Dikatakan, makna shalat disini adalah doa. Tetapi tidak ada halangan untuk memaknai sesuai teksnya (shalat). As-Subki berkata: “Kerabat saya meninggal dan punya hutang lima shalat, Lalu saya lakukan shalat untuknya karena mengqiyaskan pada puasa.”