Arti Pernikahan Dalam Islam

A. Pengertian Nikah

Kata nikah menurut bahasa al-jam’u dan aldhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. juga bisa diartikan (wath’u alzaujah) bermakna menyetubuhi istrinya. Devinisi di atas juga hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikāhun” yang merupakan masdar atau dari kata kerja (fiil madhi) “nakaha” sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.

B. Hukum Pernikahan

     Pernikahan merupakan perkara yang diperintahkan syari’at Islam, demi terwujudnya kebahagiaan dunia akhirat. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An- Nisa: 3).

Rasulullah bersabda:

Artinya: “Dari Anas bin Malik ra. bahwasanya Nabi SAW memuji Allah dan menyanjungnya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku makan, dan aku mengawini perampuan, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku (HR. al-Bukhari Muslim)

     Jumhur ulama menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu:

1. Mubah

Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.

2. Sunnah

Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk hidup berkeluarga, mampu secara jasmani dan rohani untuk menyongsong kehidupan berumah tangga dan dirinya tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan atau muqaddimahnya (hubungan lawan jenis dalam bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik perzinaan). Sabda Rasululloh:

“Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, maka kawinlah, Sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barangsiapa tidak kuasa hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya (HR. Al- Bukhari dan muslim)

3. Wajib

Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan khawatir dirinya akan terjerumus dalam pebuatan keji zina jika hasrat kuatnya untuk menikah tak diwujudkan.

4. Makruh

Hukum ini berlaku bagi seseorang yang belum mempunyai bekal untuk menafkahi keluarganya, walaupun dirinya telah siap secara fisik untuk menyongsong kehidupan berumah tangga, dan ia tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan hingga datang waktu yang paling tepat untuknya. Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makruh untuknya, disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak syahwatnya. Kala dirinya telah memiliki bekal untuk menafkahi keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera menikah.

5. Haram

Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan menyakiti istrinya, mempermainkannya serta memeras hartanya.

Baca Juga: Dzulqa’dah: Asyhurul Hurum, Keutamaan, Dan Ragam Peristiwa Yang Terjadi Pada Bulan Tersebut.

C. Rukun dan Syarat Pernikahan

Rukun dalam pernikahan adalah:

  1. Calon mempelai laki-laki.
  2. Calon mempelai perempuan.
  3. Wali dari perempuan yang akan mengakadkan pernikahan.
  4. Dua orang saksi.
  5. Ijab yang akan dilakukan wali dan qabul yang akan dilakukan oleh suami.

D.Tujuan Pernikahan

  1. Sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt
  2. Memperbanyak umat Nabi Muhammad Saw.
  3. Menyempurnakan agama.

Dan masih banyak lagi tujuan-tujuan pernikahan, selain dari yang telah disebutkan diatas.

Penulis: Eka Nurlela

 

Konsistensi terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah
  1. Konsistensi Terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah

Pertama, konsistensi terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-junaidi membangun mazhabnya di atas fondasi agama yang benar dan kokoh. Ia membangun tasawufnya diatas fondasi kaedah-kaedah al-Qur’an dan Sunnah, yang disepakati sebagai sumber primordial syari’at Islam. Hal ini sebagai pengaruh dari latar belakang almamaternya, di mana sebelum sebelum memasuki dunia sufi, al-Junaidi telah mendalami bidang studi ilmu fiqih dan lain-lain terutama dalam bidang  studi ilmu tafsir dan hadits. Ia belajar kepada Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Baghdadi (157-224 H/ 774-839 M), Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalbi (w. 240 H/854 M), dan pakar-pakar hadits lain, sehingga dalam usia dua puluh tahun ia telah mampu mengeluarkan fatwa.

Penguasaan di bidang studi ilmu al-Qur’an, hadits dan fikih membawa pengaruh fositif terhadap  al-Junaidi untuk membangun mazhabnya di atas fondasi al-Qur’an dan sunnah yang Shahih. Isyarat-isyaratnya dalam tasawuf kaya dengan dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah. Di antara perkataan al-Junaidi yang terkenal dan dijadikan kaidah kalangan sufi adalah kalimatnya yang berbunyi: “Ilmu kami  ini (tasawuf) dibangun dengan fondasi al-Kitab dan sunnah. Barangsiapa yang belum hafal al-Qur’an, belum menulis hadits dan belum belajar ilmu agama secara mendalam, maka ia tidak bisa dijadikan panutan dalam tasawuf.”

Dari waktu ke waktu, di kalangan sufi tidak jarang muncul kalangan yang meremehkan ilmu agama. Mereka tidak memiliki  kepedulian mempelajari ilmu agama. Mereka tidak menyukai aktifitas ibadah dan mujahadah tanpa ditopang dalam ilmu agama yang memadai, sehingga tidak sedikit dari mereka yang akhirnya terjerumus dalam kesesatan atau terperangkap dalam dalam tipu daya setan. Dalam hal ini, al-Junaidi telah berpesan kepada muridnya, Abdul Wahid bin ‘Ulwan:

“Jangan berhenti menekuni ilmu. Karena andaikan sekian banyak keadaan menimpamu, tetapi ilmu agama bersamamu, kamu akan dapat menghadapinya dengan benar. Karena Allah telah berfirman: “Dan orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari Tuhan kami.” (QS. Ali-Imran: 7).

  1. Konsisten Terhadap Syari’at

Kedua, konsistensi terhadap syariat. Al-Junaidi membangun tasawufnya di atas pondasi konsistensi terhadap syariat yang selalu dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari seorang sufi Ulama mengakui, belum pernah ditemukan diantara isyarat-isyarat al-Junaidi dalam bidang tasawuf yang bertentangan dengan syariat. Menurut Al-Junaidi, Sunnah Rasul SAW harus mengatur kehidupan seorang sufi dalam setiap saat. Orang melenceng dari Sunnah Rasul SAW, maka pintu kebaikan akan ditutup baginya. Dalam hal ini al-Junaidi berkata: “Semua jalan menuju Allah tertutup bagi mahkluk-Nya, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasul, mengikuti Sunnahnya dan menetap di jalannya. Karena semua jalan menuju kebaikan terbuka bagi Sunnahnya.”

 

Menurut al-Junaidi, tasawuf tidak bisa diikuti sebagian saja sementara sebagian lainnya ditinggalkan, atau diikuti sepotong-sepotong. Tasawuf harus diikuti secara paripurna dan komprehensif. “Tasawuf harus dibangun di atas fondasi delapan akhlak para nabi; yaitu kedermawanan Ibrahim AS, keridhaan Ishaq AS, kesabaran Ayyub AS, Isyarat Zakaria AS, keterasingan Yahya AS, pakaian wol Musa AS, pengembaraan Isa AS, dan kefakiran Muhammad SAW.”

Demikian pernyataan Al-Junaidi.

Menurut al-Junaidi, seseorang tidak dibenarkan mengikuti jejak seorang tokoh yang menyalahi Sunnah Rasul SAW, siapa pun tokoh itu, termasuk dirinya. Ketika menjelang wafat, al-Junaidi berwasiat supaya semua catatan dan uraiannya dalam bidang tasawuf dikubur bersamanya. Mengenai masalah ini, ia berkata:

“Saya berkeinginan, Allah tidak akan melihat saya meninggalkan ilmu pengetahuan yang dinisbahkan kepada saya, sedangkan ilmu Rasulullah SAW tersebar luas diantara manusia.” Ia merasa khawatir, orang-orang akan memilih isyarat-isyaratnya daripada Sunnah Rasul SAW.

Konsistensi pada syari’at juga dicontohkan sendiri oleh al-Junaidi.Abu Bakar al-Athawi berkata:

“Al-Junaidi tidaklah berhenti shalat dan membaca al-Qur’an, sedang beliau dalam keadaan sakit keras, hingga pada waktu beliau menghembuskan nafas terakhir telah membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah sebagai ulangan membaca al-Qur’an kesekian kalinya dalam keadaan sakit.”

Dari masa ke masa, di antara mereka yang mengafiliasikan dirinya kepada aliran sufi tidak jarang muncul kelompok yang berpandangan bahwa apabila seseorang telah menggapai derajat ma’rifat kepada Allah, maka tidak diperlukan lagi memelihara rutinitas aurad (dzikir) dan ibadah, apalagi setelah dirinya merasa menjadi kekasih Allah dengan kekeramatan yang diterimanya. Dalam hal ini, Abi al-Husain bin al-Darraj berkata: “Al-Junaidi pernah menguraikan sikap para sufi yang telah mencapai derajat ma’rifat kepada Allah serta amal ibadah dan aurad yang selalu  mereka pelihara, meski mereka telah memperoleh anugerah sekian banyak kekeramatan dari Allah.”  Lalu al-Junaidi berkata: “Ibadah bagi seorang ‘arif, lebih indah daripada mahkota di kepala seorang raja.” Dari pernyataan al-Junaidi  ini dapat disimpulkan, tercapai nya karomah bukanlah tujuan seorang sufi atau ‘arif, yang akan menurunkan rutinitas ibadah dan aurad yang telah dijalaninya. Karena bagi seorang sufi, karomah tidak layak menjadi perhatian dirinya apalagi menjadi tipu daya bagi dirinya yang akan menurunkan ke-Istiqamahan-an dalam bermujahadah di jalan Allah.

  1. Kebersihan Akidah

Ketiga, kebersihan Akidah. Al-Junaidi membangun Mazhabnya di atas fondasi akidah yang bersih yakni akidah ahlussunah wal Jama’ah. Pada masa al-Junaidi, tidak sedikit dari          kalangan sufi terjerumus dalam akidah tercela, seperti akidah hululiyyah yang beranggapan tuhan menempati makhluk-nya, akidah mubahiyyah (libertinisme) yang membolehkan semua larangan syari’at, dan akidah kebatinan, yang luarnya Islam tapi batinnya penuh dengan penyimpangan dari pokok-pokok agama. Bagi mereka, tasawuf hanya topeng untuk menjustifikasi dan melegitimasi penyebarluasan ajaran sesatnya. Agaknya, faktor almamater al-Junaidi berpengaruh positif terhadap akidah yang menjadi landasan tasawufnya, akidah Ahlussunnah wal Jama’ah sesuai Mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi.

Bila kita memperhatikan akidah yang diajarkan dalam tasawuf al-Junaidi, kita mendapati akidah yang simpel, mudah dicerna, bersih dari akidah tajsim, tasybih, hulul dan ibahi, serta sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam hal ini al-Junaidi misalnya mengatakan:

“Pertama kali yang dibutuhkan oleh seseorang yang mendalami agama adalah mengenalkan pencipta kepada makhluk, mengenalkan kepada yang baru bagaimana dia menciptakannya, bagaimana permulaan dirinya dan bagaimana pula pasca kematiannya, sehingga ia dapat membedakan antara sifat Sang Khalik dari sifat makhluk-Nya, sifat dzat yang Qadim dari sifat makhluk yang hadits (baru), orang yang dimiliki Rab-nya, hamba yang lemah mengenal Tuan-Nya, sehingga menyembah-Nya, mengesakan-Nya, mentakzimkan-Nya,  menjadi petunjuk kepada ajakan agama-Nga dan mengakui akan kewajiban menaati-Nya.”

Salah satu pernyataan al-Junaidi yang populer dalam soal akidah adalah saat ditanya tentang tauhid, ia menjawab: “Tauhid ialah membedakan Dzat yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya yang baru (al-tauhid ifrad al-qadim ‘an al-muhdats)”.  Jawaban ini mengisyaratkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dalam hal tanzih (menyucikan tuhan dari menyerupai makhluk-Nya), dan jauh dari akidah tajsim dan tasybih.

 

 

Malam Lailatul Qodar

Di antara keistimewaan yang Allah berikan pada umat Islam di bulan Ramadhan adalah lailatul (malam) qadar. Malam istimewa dan agung yang tidak pernah dirasakan oleh selain umat Nabi Muhammad ﷺ. Balasan pahala berlipat ganda bagi yang melakukan amal kebajikan, bahkan melebihi hitungan ibadah dalam jangka seribu bulan. Keberadaannya dirahasiakan, dan tidak semua orang bisa menemukan. Semua itu telah diafirmasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala  dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam surat Al-Qadr Allah berfirman:

نَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (٢) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (٣)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS Al-Qadr: 1-3).

Keutamaan lainnya adalah diampuninya dosa-dosa terdahulu ketika melakukan shalat malam di saat lailatul qadar. Rasulullah bersabda (HR. Imam Bukhari):

 مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharapkan pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.”

 

Meski demikian, Rasulullah meninggalkan clue (petunjuk) bagi orang yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkannya. Beliau bersabda (HR. Imam Bukhari):

 تحروا ليلة  القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان

“Carilah malam lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan.” 

Dalam riwayat lain dikatakan “(HR. Imam Ahmad):

 هي في شهر رمضان في العشر الأواخر, ليلة إحدي وعشرين, أو ثلاث وعشرين, أو خمس وعشرين, أو سبع وعشرين, أو تسع وعشرين, أو آخر ليلة من رمضان, من قامها إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر

“Lailatul Qadar berada di bulan Ramadhan pada sepuluh hari terakhirnya, yaitu malam kedua puluh satu, atau kedua puluh tiga, atau kedua puluh lima, atau kedua puluh tujuh, atau kedua puluh sembilan, atau di akhir malam Ramadhan. Barangsiapa shalat malam karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lampau dan dosa yang kemudian.”

Termasuk sederet keistimewaan itu adalah malam Lailatul Qadar. Malam yang menurut Muhyiddin Ibnu Arabi dalam Ahkamul Qur’an-nya, sebagai kado istimewa bagi umat Nabi Muhammad yang nilainya tidak tertandingi oleh apapun (Lihat Ahkamul Qur’an li Ibni ‘Arabi, juz 4, hal. 428)
Dalam satu hadits terkait malam Lailatul Qadar, Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلاَّ

“Sesungguhnya bulan ini (Ramadhan) telah datang kepada kalian. Padanya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang terhalangi darinya, sungguh ia telah terhalangi dari semua kebaikan. Dan tidak ada yang terhalangi (darinya), kecuali orang yang memang terhalangi dari kebaikan).”

Dalam penjelasan lain, Syekh Nidzamuddin an-Nasibasuri dalam tafsirnya, Graraib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, sebagai berikut,

 الحكمة في إخفاء ليلة القدر في الليالي كالحكمة في إخفاء وقت الوفاة ويوم القيامة حتى يرغب المكلف في الطاعات ويزيد في الاجتهاد ولا يتغافل ولا يتكاسل ولا يتكل.

“Hikmah dirahasiakannya malam Lailatul Qadar di antara malam-malam bulan Ramadhan adalah seperti dirahasiakannya kematian dan hari kiamat. Sehingga manusia dengan penuh suka cita menjalankan ibadah, lebih bersungguh-sungguh, tidak lalai, dan tidak bermalas-malasan.” (lihat Graraib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, juz 6, hal 537)

Menurut perhitungan Syekh Abdul Halim Mahmud, seribu bulan (alfu syahrin) setara dengan 83 tahun 4 bulan yang merupakan umur standar manusia (dzalika ‘âdah ‘umril insân). Beliau menulis:

والألف شهر هي ثلاث وثمانون سنة وأربعة أشهر, وذلك عادة عمر الإنسان, فهي خير من عمر الإنسان, من عمر كل إنسان: من عمر كل إنسان في الماضي وفي المستقبل, أي أنها خير من الدهر

“Seribu bulan adalah delapan puluh tiga tahun empat bulan. Itu merupakan standar umum umur manusia. Lailatul qadr (alfu syahrin) lebih baik dari umur manusia; dari umur setiap manusia, baik umur manusia di masa lalu maupun umur manusia di masa mendatang. Intinya, lailatul qadr lebih baik dari (usia) zaman.” (Syekh Abdul Halim Mahmud, Syahr Ramadhân, h. 21)

Waktu lailatul qadr juga tidak pasti. Allah sengaja menyembunyikannya agar manusia mencarinya dengan sungguh-sungguh. Jika waktu lailatul qadr dipastikan, bisa jadi manusia akan menyepelekan qiyamul lail dan i’tikaf di separuh akhir bulan Ramadhan. Mereka cukup menunggu waktu tersebut tanpa pencarian. Andaipun gagal mendapatkannya karena tidak mengisi semua tanggal ganjil di separuh akhir Ramadhan, mereka tetap mendapatkan ampunan Allah. Karena Nabi Muhammad bersabda (HR. Imam al-Bukhari):

 وَمَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا واحتسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Syekh Muhammad Nawawi Banten yang wafat pada 1314 Hijriah (Kitab Nihayatuz Zain, Surabaya, al-Hidayah, halaman 198) ketika menyebutkan menghidupkan lailatul qadar menyebut ada ada tiga strata:

وَمَرَاتِبُ إِحْيَائِهَا ثَلَاثَةٌ عُلْيَا وَهِيَ إِحْيَاءُ لَيْلَتِهَا بِالصَّلَاةِ وَوُسْطَى وَهِيَ إِحَيَاءُ مُعْظَمِهَا بِالذِّكْرِ وَدُنْيَا وَهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ وَالصُّبْحِ فِي جَمَاعَةٍ

“Tingkatan menghidupkan lailatul qadar ada tiga. Yang tertinggi adalah menghidupkan lailatul qadar dengan shalat. Sedang tingkatan yang sedang adalah menghidupkan lailatul qadar dengan zikir. Tingkatan terendah adalah menjalankan shalat Isya Senada, tentang kaum muslimin yang beribadah pada lailatul qadar tapi belum merasai suatu fenomena khusus, Syekh Nawawi menyatakan,

Senada, tentang kaum muslimin yang beribadah pada lailatul qadar tapi belum merasai suatu fenomena khusus, Syekh Nawawi menyatakan,

ويَنال العامِل فضلَها وإِنْ لمْ يطلّع عليهَا عَلى المُعتمد

“Yang beribadah pada malam lailatul qadar tetap memperoleh keutamaannya, walaupun tidak melihatnya, menurut pendapat yang muktamad.”

 

 

Pengertian Nisfu Sya’ban Dan Keistimewaannya

Sya’ban adalah istilah bahasa Arab yang berasal dari kata syi’ab yang artinya jalan di atas gunung. Islam kemudian memanfaatkan bulan Sya’ban sebagai waktu untuk menemukan banyak jalan, demi mencapai kebaikan. Bulan Sya’ban terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan. Karena diapit oleh dua bulan mulia ini, maka Sya’ban seringkali dilupakan. Padahal semestinya tidaklah demikian. Dalam bulan Sya’ban terdapat berbagai keutamaan yang menyangkut peningkatan kualitas kehidupan umat Islam, baik sebagai individu maupun dalam lingkup kemasyarakatan.

Keistimewaan bulan ini terletak pada pertengahannya yang biasanya disebut sebagai Nisfu Sya’ban. Secara harfiyah istilah Nisfu Sya’ban berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau tanggal 15 Sya’ban. Pada malam ini, dua malaikat pencatat amal manusia, yakni Raqib dan Atid, menyerahkan catatan amalan manusia kepada Allah SWT. dan pada malam itu pula buku catatan-catatan amal yang digunakan setiap tahun diganti dengan yang baru.

Baca Juga>>Akhlak Menduduki Tingkat Paling Atas Untuk Dipelajari

Imam Ghazali mengistilahkan malam Nisfu Sya’ban sebagai malam yang penuh dengan syafaat (pertolongan). Menurut al-Ghazali, pada malam ke-13 bulan Sya’ban Allah SWT memberikan seperti tiga syafaat kepada hambanya. Sedangkan pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Dengan demikian, pada malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai penutup catatan amalnya selama satu tahun. Karena pada malam ke-15 bulan Sya’ban inilah, catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke hadapan Allah SWT.

 

Para ulama menyatakan bahwa Nisfu Sya’ban juga dinamakan sebagai malam pengampunan atau malam maghfirah, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hamba-Nya yang shaleh. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Thabrani, yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah bersabda:

يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Allah swt melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada seluruh makhluk-Nya kecuali kepada orang yang menyekutukan Allah atau orang yang bermusuhan.”

Sesungguhnya bulan Sya’ban merupakan bulan persiapan untuk memasuki bulan suci Ramadhan. Dari sini, umat Islam dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan mempertebal keimanan dan memanjatkan do’a dengan penuh kekhusyukan.

Baca Juga>>Nikmat Tuhan Mana Lagi Yang Akan Kita Dustakan?

Malam Nisfu Sya’ban juga adalah malam diterima segala permintaan (lailatul ijabah). Nisfu Sya’ban termasuk dalam malam yang penuh dengan kucuran kebaikan dari Allah. Selain mendapatkan ampunan, seseorang yang menghidupkan malam Nisfu Sya’ban juga akan mendapatkan kemuliaan, berupa dikabulkan permintaannya.  Berdasarkan hal tersebut, sudah sepatutnya pada malam tersebut, seorang muslim meminta kepada Tuhannya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah menjelaskan kemuliaan dari malam Nisfu Sya’ban yang dimanfaatkan oleh kalangan sahabat untuk berdoa dan meminta ampunan pada Allah. Sebab karena kesucian malam nisfu Sya’ban tersebut, Allah menurunkan rahmatnya pada orang yang memohon ampunan pada-Nya.

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا، فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ، أَلَا مِنْ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ، أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطَّلِعَ الْفَجْرَ

“Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman: “Ingatlah orang yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada-Ku maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada-Ku, maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba.” (HR. Ibnu Majah)

Nishfu Sya’ban juga telah dikenal di antara para Sahabat. Berikut ini riwayatnya:

وَكَانَ فِيْ هَذِهِ السَّرِيَّةِ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ وَاثِلَةُ بْنُ الْأَ سْقَعِ وَكَانَ خُرُوْجُهُمْ مِنْ أَرْضِ الشَّامِ وَهِيَ دِمَشْقَ إِلَى دَيْرِ أَبِيْ الْقُدْسِ فِيْ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَكَانَ  الْقَمَرُ زَائِدَ النُّوْرِ. وَقَالَ وَأَنَا إِلَى جَانِبِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ. فَقَالَ لِيْ: يَا ابْنَ الْأَ سْقَعِ مَا أَحْسَنَ قَمَرَ هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَهِيَ لَيْلةٌ مُبَارَكَةٌ عَظِيْمَةٌ. وَفِيْ هَذِهِ تُكْتَبُ الْأَرْزَاقَ وَالْآجَالُ وَتُغْفَرُ فِيْهَا الذُنُوْبُ وَالسَّيِّئَاتُ وَكُنْتُ أَرَدْتُ أَنْ أَقُوْمَهَا. فَقُلْتُ: إِنَّ سَيْرَنَ فِيْ سُبُلِ اللهِ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِهَا وَاللهُ جَزِيْلُ الْعَطَاءِ. فَقَالَ: صَدَقْتَ.

“Dalam pasukan perang bersama Abdullah bin Ja’far ini ada Watsilah bin al-Aqsa. Keluarganya dari tanah Syam yaitu Damaskus ke Dair Abi al-Quds pada malam Nishfu Sya’ban, saat bulan bertambah cerah. Watsilah berkata: “Saya berada di dekat Abdullah bin Ja’far. Ia berkata kepada saya: “Wahai putra al-Aqsa’ betapa indah dan cerahnya bulan malam ini.” Saya jawab: “Wahai sepupu Anak paman Rasulullah SAW, ini adalah malam Nishfu Sya’ban, malam yang diberkahi yang agung. Di malam inilah rezeki dan ajal akan di catat. Di malam ini pula dosa dan kejelekan kita akan diampuni. Saya ingin beribadah di malam ini.” Saya berkata: “Perjalanan kita di jalan Allah (perang) lebih baik daripada beribadah di malamnya. Allah maha agung pemberiannya”. Abdullah bin Jafar berkata: “Kamu benar.”   

 

Penulis: Rahmi Rahmatussalamah

 

Akhlak Menduduki Tingkat Paling Atas Untuk Dipelajari

 

Akhlak berasal dari bahasa Arab dari kata khuluk yang berarti tingkah laku, tabiat atau peragai. Secara istilah, akhlak yaitu sifat yang dimiliki seseorang, telah melakat dan biasanya akan tercermin dari perilaku orang tersebut.

Kata akhlak telah disebutkan dalam al-Qur’an  (QS.Shad:46) berikut ini:

إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS Shad : 46).

Kitab yang menjelaskan tentang akhlak sangat cocok untuk masa sekarang, karena banyaknya orang yang sudah tidak memperhatikan moral dan akhlaknya. Itupun santri, maupun mahasiswa, tidak besar, tidak kecil. Mereka lebih mementingkan ilmu tapi tanpa melengkapinya dengan akhlak, padahal ternilai seorang yang berilmu itu dengan akhlaknya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

مَنْ لَاأَدَبَ لَهُ لَا عِلْمَ لَهُ

Artinya: “Seseorang tidak beradab berarti tidak berilmu”

Dan tujuan paling utama dalam menuntut ilmu adalah menjadikan kita manusia yang berakhlakul karimah. Alangkah baiknya kita sudah menanamkan akhlak yang baik kepada adik kita ataupun anak kita, supaya ia terbiasa untuk melakukan hal-hal yang baik.

Dan juga masih banyak orang-orang yang meremehkan adab dan sopan santun, di dalam sarah kitab Ta’lim Mutaalim di jelaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

(فينبغي لطالب العلم أن لايتهاون) أي لايتساكل (بالآداب والسّنن فإن من تهاون بالآداب حرم) بشآمته (السّنن) أي من السّنن (ومن تهاون بالسّنن حرم الفرئض) أي من أداء الفرئض (ومن تهاون بالفرائض حرم الآخرة) أي من ثواب الآخراة الموعود لأهل الفرائض (وبعضهم قال هذا حديث عن رسوالله صلى الله تعالى عليه وسلّم)

Artinya: “Pelajar hendaknya tidak mengabikan adab kesopanan, dan amal-amal sunnah. Sebab barang siapa yang mengabaikan adab maka akan terhalang untuk melakukan kesunahannya, dan barang siapa mengabaikan sunnah maka akan terhalang dari melakukan hal-hal wajib/fardhu, dan barang siapa yang mengabaikan fardhu maka akan terhalang dari pahala akhirat yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang melakukan hal-hal wajib/fardhu”.

Dalam kitab Ta’lim Mutaalim banyak sekali menerangkan perihal akhlak, terutama akhlak kepada guru dan orang tua. Kita tahu kunci utama untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan barokah adalah menghormati guru dan orang tua, dengan menghormati kepadanya kita akan mendapat ridhonya, setelah kita dapat ridhonya maka kita akan sangat mudah untuk meraih ilmunya. Sebagaimana dalam hadits Rasulullahﷺ  :

إِنَّمَا بُعِيْثُ لِآُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus karena untuk menyempurnakan akhlak”.

Dari situ kita mendapatkan Suri Tauladan yang baik, juga terdapat di dalam al-Qur’an di jelaskan:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا (21)

Artinya:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-Ahzab: 21)

Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa akhlak adalah salah satu sifat yang tertanam di dalam jiwa manusia yang dapat menimbulkan suatu perbuatan yang mudah dilakukan tanpa adanya pertimbangan pemikiran lagi.

 

Penulis: Hasbi Sayyid