Konsistensi terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah
Bagikan ini :
  1. Konsistensi Terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah

Pertama, konsistensi terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-junaidi membangun mazhabnya di atas fondasi agama yang benar dan kokoh. Ia membangun tasawufnya diatas fondasi kaedah-kaedah al-Qur’an dan Sunnah, yang disepakati sebagai sumber primordial syari’at Islam. Hal ini sebagai pengaruh dari latar belakang almamaternya, di mana sebelum sebelum memasuki dunia sufi, al-Junaidi telah mendalami bidang studi ilmu fiqih dan lain-lain terutama dalam bidang  studi ilmu tafsir dan hadits. Ia belajar kepada Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Baghdadi (157-224 H/ 774-839 M), Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalbi (w. 240 H/854 M), dan pakar-pakar hadits lain, sehingga dalam usia dua puluh tahun ia telah mampu mengeluarkan fatwa.

Penguasaan di bidang studi ilmu al-Qur’an, hadits dan fikih membawa pengaruh fositif terhadap  al-Junaidi untuk membangun mazhabnya di atas fondasi al-Qur’an dan sunnah yang Shahih. Isyarat-isyaratnya dalam tasawuf kaya dengan dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah. Di antara perkataan al-Junaidi yang terkenal dan dijadikan kaidah kalangan sufi adalah kalimatnya yang berbunyi: “Ilmu kami  ini (tasawuf) dibangun dengan fondasi al-Kitab dan sunnah. Barangsiapa yang belum hafal al-Qur’an, belum menulis hadits dan belum belajar ilmu agama secara mendalam, maka ia tidak bisa dijadikan panutan dalam tasawuf.”

Dari waktu ke waktu, di kalangan sufi tidak jarang muncul kalangan yang meremehkan ilmu agama. Mereka tidak memiliki  kepedulian mempelajari ilmu agama. Mereka tidak menyukai aktifitas ibadah dan mujahadah tanpa ditopang dalam ilmu agama yang memadai, sehingga tidak sedikit dari mereka yang akhirnya terjerumus dalam kesesatan atau terperangkap dalam dalam tipu daya setan. Dalam hal ini, al-Junaidi telah berpesan kepada muridnya, Abdul Wahid bin ‘Ulwan:

“Jangan berhenti menekuni ilmu. Karena andaikan sekian banyak keadaan menimpamu, tetapi ilmu agama bersamamu, kamu akan dapat menghadapinya dengan benar. Karena Allah telah berfirman: “Dan orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari Tuhan kami.” (QS. Ali-Imran: 7).

  1. Konsisten Terhadap Syari’at

Kedua, konsistensi terhadap syariat. Al-Junaidi membangun tasawufnya di atas pondasi konsistensi terhadap syariat yang selalu dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari seorang sufi Ulama mengakui, belum pernah ditemukan diantara isyarat-isyarat al-Junaidi dalam bidang tasawuf yang bertentangan dengan syariat. Menurut Al-Junaidi, Sunnah Rasul SAW harus mengatur kehidupan seorang sufi dalam setiap saat. Orang melenceng dari Sunnah Rasul SAW, maka pintu kebaikan akan ditutup baginya. Dalam hal ini al-Junaidi berkata: “Semua jalan menuju Allah tertutup bagi mahkluk-Nya, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasul, mengikuti Sunnahnya dan menetap di jalannya. Karena semua jalan menuju kebaikan terbuka bagi Sunnahnya.”

 

Menurut al-Junaidi, tasawuf tidak bisa diikuti sebagian saja sementara sebagian lainnya ditinggalkan, atau diikuti sepotong-sepotong. Tasawuf harus diikuti secara paripurna dan komprehensif. “Tasawuf harus dibangun di atas fondasi delapan akhlak para nabi; yaitu kedermawanan Ibrahim AS, keridhaan Ishaq AS, kesabaran Ayyub AS, Isyarat Zakaria AS, keterasingan Yahya AS, pakaian wol Musa AS, pengembaraan Isa AS, dan kefakiran Muhammad SAW.”

Demikian pernyataan Al-Junaidi.

Menurut al-Junaidi, seseorang tidak dibenarkan mengikuti jejak seorang tokoh yang menyalahi Sunnah Rasul SAW, siapa pun tokoh itu, termasuk dirinya. Ketika menjelang wafat, al-Junaidi berwasiat supaya semua catatan dan uraiannya dalam bidang tasawuf dikubur bersamanya. Mengenai masalah ini, ia berkata:

“Saya berkeinginan, Allah tidak akan melihat saya meninggalkan ilmu pengetahuan yang dinisbahkan kepada saya, sedangkan ilmu Rasulullah SAW tersebar luas diantara manusia.” Ia merasa khawatir, orang-orang akan memilih isyarat-isyaratnya daripada Sunnah Rasul SAW.

Konsistensi pada syari’at juga dicontohkan sendiri oleh al-Junaidi.Abu Bakar al-Athawi berkata:

“Al-Junaidi tidaklah berhenti shalat dan membaca al-Qur’an, sedang beliau dalam keadaan sakit keras, hingga pada waktu beliau menghembuskan nafas terakhir telah membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah sebagai ulangan membaca al-Qur’an kesekian kalinya dalam keadaan sakit.”

Dari masa ke masa, di antara mereka yang mengafiliasikan dirinya kepada aliran sufi tidak jarang muncul kelompok yang berpandangan bahwa apabila seseorang telah menggapai derajat ma’rifat kepada Allah, maka tidak diperlukan lagi memelihara rutinitas aurad (dzikir) dan ibadah, apalagi setelah dirinya merasa menjadi kekasih Allah dengan kekeramatan yang diterimanya. Dalam hal ini, Abi al-Husain bin al-Darraj berkata: “Al-Junaidi pernah menguraikan sikap para sufi yang telah mencapai derajat ma’rifat kepada Allah serta amal ibadah dan aurad yang selalu  mereka pelihara, meski mereka telah memperoleh anugerah sekian banyak kekeramatan dari Allah.”  Lalu al-Junaidi berkata: “Ibadah bagi seorang ‘arif, lebih indah daripada mahkota di kepala seorang raja.” Dari pernyataan al-Junaidi  ini dapat disimpulkan, tercapai nya karomah bukanlah tujuan seorang sufi atau ‘arif, yang akan menurunkan rutinitas ibadah dan aurad yang telah dijalaninya. Karena bagi seorang sufi, karomah tidak layak menjadi perhatian dirinya apalagi menjadi tipu daya bagi dirinya yang akan menurunkan ke-Istiqamahan-an dalam bermujahadah di jalan Allah.

  1. Kebersihan Akidah

Ketiga, kebersihan Akidah. Al-Junaidi membangun Mazhabnya di atas fondasi akidah yang bersih yakni akidah ahlussunah wal Jama’ah. Pada masa al-Junaidi, tidak sedikit dari          kalangan sufi terjerumus dalam akidah tercela, seperti akidah hululiyyah yang beranggapan tuhan menempati makhluk-nya, akidah mubahiyyah (libertinisme) yang membolehkan semua larangan syari’at, dan akidah kebatinan, yang luarnya Islam tapi batinnya penuh dengan penyimpangan dari pokok-pokok agama. Bagi mereka, tasawuf hanya topeng untuk menjustifikasi dan melegitimasi penyebarluasan ajaran sesatnya. Agaknya, faktor almamater al-Junaidi berpengaruh positif terhadap akidah yang menjadi landasan tasawufnya, akidah Ahlussunnah wal Jama’ah sesuai Mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi.

Bila kita memperhatikan akidah yang diajarkan dalam tasawuf al-Junaidi, kita mendapati akidah yang simpel, mudah dicerna, bersih dari akidah tajsim, tasybih, hulul dan ibahi, serta sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam hal ini al-Junaidi misalnya mengatakan:

“Pertama kali yang dibutuhkan oleh seseorang yang mendalami agama adalah mengenalkan pencipta kepada makhluk, mengenalkan kepada yang baru bagaimana dia menciptakannya, bagaimana permulaan dirinya dan bagaimana pula pasca kematiannya, sehingga ia dapat membedakan antara sifat Sang Khalik dari sifat makhluk-Nya, sifat dzat yang Qadim dari sifat makhluk yang hadits (baru), orang yang dimiliki Rab-nya, hamba yang lemah mengenal Tuan-Nya, sehingga menyembah-Nya, mengesakan-Nya, mentakzimkan-Nya,  menjadi petunjuk kepada ajakan agama-Nga dan mengakui akan kewajiban menaati-Nya.”

Salah satu pernyataan al-Junaidi yang populer dalam soal akidah adalah saat ditanya tentang tauhid, ia menjawab: “Tauhid ialah membedakan Dzat yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya yang baru (al-tauhid ifrad al-qadim ‘an al-muhdats)”.  Jawaban ini mengisyaratkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dalam hal tanzih (menyucikan tuhan dari menyerupai makhluk-Nya), dan jauh dari akidah tajsim dan tasybih.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *