Malam Lailatul Qodar
Di antara keistimewaan yang Allah berikan pada umat Islam di bulan Ramadhan adalah lailatul (malam) qadar. Malam istimewa dan agung yang tidak pernah dirasakan oleh selain umat Nabi Muhammad ﷺ. Balasan pahala berlipat ganda bagi yang melakukan amal kebajikan, bahkan melebihi hitungan ibadah dalam jangka seribu bulan. Keberadaannya dirahasiakan, dan tidak semua orang bisa menemukan. Semua itu telah diafirmasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam surat Al-Qadr Allah berfirman:
نَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (٢) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (٣)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS Al-Qadr: 1-3).
Keutamaan lainnya adalah diampuninya dosa-dosa terdahulu ketika melakukan shalat malam di saat lailatul qadar. Rasulullah bersabda (HR. Imam Bukhari):
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharapkan pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.”
Meski demikian, Rasulullah meninggalkan clue (petunjuk) bagi orang yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkannya. Beliau bersabda (HR. Imam Bukhari):
تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان
“Carilah malam lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan.”
Dalam riwayat lain dikatakan “(HR. Imam Ahmad):
هي في شهر رمضان في العشر الأواخر, ليلة إحدي وعشرين, أو ثلاث وعشرين, أو خمس وعشرين, أو سبع وعشرين, أو تسع وعشرين, أو آخر ليلة من رمضان, من قامها إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر
“Lailatul Qadar berada di bulan Ramadhan pada sepuluh hari terakhirnya, yaitu malam kedua puluh satu, atau kedua puluh tiga, atau kedua puluh lima, atau kedua puluh tujuh, atau kedua puluh sembilan, atau di akhir malam Ramadhan. Barangsiapa shalat malam karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lampau dan dosa yang kemudian.”
Termasuk sederet keistimewaan itu adalah malam Lailatul Qadar. Malam yang menurut Muhyiddin Ibnu Arabi dalam Ahkamul Qur’an-nya, sebagai kado istimewa bagi umat Nabi Muhammad yang nilainya tidak tertandingi oleh apapun (Lihat Ahkamul Qur’an li Ibni ‘Arabi, juz 4, hal. 428)
Dalam satu hadits terkait malam Lailatul Qadar, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلاَّ
“Sesungguhnya bulan ini (Ramadhan) telah datang kepada kalian. Padanya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang terhalangi darinya, sungguh ia telah terhalangi dari semua kebaikan. Dan tidak ada yang terhalangi (darinya), kecuali orang yang memang terhalangi dari kebaikan).”
Dalam penjelasan lain, Syekh Nidzamuddin an-Nasibasuri dalam tafsirnya, Graraib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, sebagai berikut,
الحكمة في إخفاء ليلة القدر في الليالي كالحكمة في إخفاء وقت الوفاة ويوم القيامة حتى يرغب المكلف في الطاعات ويزيد في الاجتهاد ولا يتغافل ولا يتكاسل ولا يتكل.
“Hikmah dirahasiakannya malam Lailatul Qadar di antara malam-malam bulan Ramadhan adalah seperti dirahasiakannya kematian dan hari kiamat. Sehingga manusia dengan penuh suka cita menjalankan ibadah, lebih bersungguh-sungguh, tidak lalai, dan tidak bermalas-malasan.” (lihat Graraib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, juz 6, hal 537)
Menurut perhitungan Syekh Abdul Halim Mahmud, seribu bulan (alfu syahrin) setara dengan 83 tahun 4 bulan yang merupakan umur standar manusia (dzalika ‘âdah ‘umril insân). Beliau menulis:
والألف شهر هي ثلاث وثمانون سنة وأربعة أشهر, وذلك عادة عمر الإنسان, فهي خير من عمر الإنسان, من عمر كل إنسان: من عمر كل إنسان في الماضي وفي المستقبل, أي أنها خير من الدهر
“Seribu bulan adalah delapan puluh tiga tahun empat bulan. Itu merupakan standar umum umur manusia. Lailatul qadr (alfu syahrin) lebih baik dari umur manusia; dari umur setiap manusia, baik umur manusia di masa lalu maupun umur manusia di masa mendatang. Intinya, lailatul qadr lebih baik dari (usia) zaman.” (Syekh Abdul Halim Mahmud, Syahr Ramadhân, h. 21)
Waktu lailatul qadr juga tidak pasti. Allah sengaja menyembunyikannya agar manusia mencarinya dengan sungguh-sungguh. Jika waktu lailatul qadr dipastikan, bisa jadi manusia akan menyepelekan qiyamul lail dan i’tikaf di separuh akhir bulan Ramadhan. Mereka cukup menunggu waktu tersebut tanpa pencarian. Andaipun gagal mendapatkannya karena tidak mengisi semua tanggal ganjil di separuh akhir Ramadhan, mereka tetap mendapatkan ampunan Allah. Karena Nabi Muhammad bersabda (HR. Imam al-Bukhari):
وَمَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا واحتسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Syekh Muhammad Nawawi Banten yang wafat pada 1314 Hijriah (Kitab Nihayatuz Zain, Surabaya, al-Hidayah, halaman 198) ketika menyebutkan menghidupkan lailatul qadar menyebut ada ada tiga strata:
وَمَرَاتِبُ إِحْيَائِهَا ثَلَاثَةٌ عُلْيَا وَهِيَ إِحْيَاءُ لَيْلَتِهَا بِالصَّلَاةِ وَوُسْطَى وَهِيَ إِحَيَاءُ مُعْظَمِهَا بِالذِّكْرِ وَدُنْيَا وَهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ وَالصُّبْحِ فِي جَمَاعَةٍ
“Tingkatan menghidupkan lailatul qadar ada tiga. Yang tertinggi adalah menghidupkan lailatul qadar dengan shalat. Sedang tingkatan yang sedang adalah menghidupkan lailatul qadar dengan zikir. Tingkatan terendah adalah menjalankan shalat Isya Senada, tentang kaum muslimin yang beribadah pada lailatul qadar tapi belum merasai suatu fenomena khusus, Syekh Nawawi menyatakan,
Senada, tentang kaum muslimin yang beribadah pada lailatul qadar tapi belum merasai suatu fenomena khusus, Syekh Nawawi menyatakan,
ويَنال العامِل فضلَها وإِنْ لمْ يطلّع عليهَا عَلى المُعتمد
“Yang beribadah pada malam lailatul qadar tetap memperoleh keutamaannya, walaupun tidak melihatnya, menurut pendapat yang muktamad.”