Pesantren Sebagai Basis Perlawanan Kepada Penjajah

Sejak Maret 1602, pada saat Belanda mendirikan serikat dagang VOC (Verenigde Oostindische Compagnie), salah satu gerakanya yakni memonopoli perdagangan rempah-rempah di kawasan Nusantara pada kala itu berbuntut pada perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh kerajaan yang ada di Nusantara, misalnya Kerajaan Banten dan Kerajaan Mataram. Namun kiprah kerajaan tersebut tidak berlangsung lama. Pihak VOC berhasil mengajak ‘damai’ pihak kerajaan dalam upaya mengelola hasil bumi Nusantara. Sehingga kemelut VOC dengan pribumi khususnya di Jawa meletus ditandai dengan Perang Jawa yang dikomandoi oleh Pangeran Diponegoro salah satu anak dari Sultan Hamengkubuwono III yang keluar dari istana kerajaan untuk menghimpun kekuatan masyarakat di luar kerajaan.

Karenanya, upaya proses dan inisiatif perlawanan mulai di ambil alih oleh kalangan luar istana dengan subjek yang memiliki latar belakang sebagai pemuka lokal, orang biasa, dan para pemuka agama. Dengan adanya kecenderungan ini maka di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, beberapa kawasan Jawa Barat dan Batavia mulai bermunculan gerakan-gerakan tradisional yang berusaha untuk melakukan perubahan dan perlawanan.

Dalam konteks inilah, institusi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam di Jawa, memiliki peran yang sangat penting dalam membangun gerakan yang bersifat messianistik. Oleh karenanya, Belanda sangat mencurigai keberadaan pesantren dan tarekat sebagai tempat dalam mendukung dan melakukan pembentukan unitas kemasyarakatan dan tempat konsentrasi dalam menanamkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pesantren tidak hanya sekedar menjadi tempat pendidikan, melainkan juga menjadi tempat penanaman para kader dan pemimpin agama yang pada kelanjutannya sanggup mempengaruhi serta memimpin beberapa gerakan perlawanan terhadap kolonial (Zainul Milal Bizawie, 2014: 53-55).

Sebagai subjek vital dalam menjaga, mengembangkan dan melestarikan budaya lokal, pesantren mampu mendialogkan dengan ajaran Islam yang bertahan hingga dewasa ini, sehingga kreativitas ijtihad ala Islam (di) Nusantara tersebut tidak sebatas membangun romantisme agama dan budaya yang melahirkan gerakan perlawanan kultural, namun juga mengkristal menjadi spirit membela bangsa sebagaimana di tunjukan oleh ulama pesantren.

Ulama Garda Depan

Semenjak kolonial masuk pada akhir abad 16, sebagian besar wilayah Nusantara telah memeluk Islam berkat prestasi Wali Songo dengan metode dakwahnya yang persuasif. Usai periode Wali Songo berakhir, mulai bermunculan ulama yang bersamaan dengan dengan masuknya kolonialisme di Nusantara. Sehingga proses yang sebegitu panjang, ulama Nusantara bisa mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Timur Tengah pada abad 17-18 yang dipelopori oleh Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili dan Syekh Nuruddin A-Rairi (W. 1068/1658), Syekh Yusuf Al-Maqassari (W. 1111/1699), Syekh Abdus Shomad Al-Palimbani, Syekh Arsyad Al-Banjari, dan Ulama lainnya. Dakwah dan penyebaran ilmu oleh ulama ini sangat bernuansa Sufisme. Lebih hebatnya, mereka juga mengajarkan kepada murid beserta masyarakatnya untuk terlibat jihad melawan Belanda pada saat itu (Azyumardi Azra, 2004).

Para ulama pada abad 19 seperti Pangeran Diponegoro, Kiai Maja, Imam Bonjol, ulama-ulama gerakan Paderi, Syekh Nawawi Al-Bantani, dan lain-lain. Milal Bizawie (2014: 61) menyebutkan peranan ulama pada abad ini tidak bisa dilepas dalam upaya membebaskan negeri dari penjajahan. Para ulama memiliki minimal dua peran, yaitu sebagai pengajar, pemikir maupun pembaru, dan juga sebagai panglima atau pemimpin perang melawan imperialisme Barat. Peran-peran inilah menjadi ciri khas keberadaan jaringan ulama pada sekitar abad-19.

Perlawanan kultural dan peperangan yang dipimpin kiai-kiai pesantren juga masih konsisten pada abad 20 melawan Kolonialisme Belanda, juga saat Jepang masuk menggantikan Belanda. Terbukti terbentuknya Laskar Hizbullah pada tahun 1944 yang berisikan kiai dan santri yang bergabung sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air). Peran kiai dan sebagaimana di kutip Ali Maschan Moesa- dalam perang kemerdekaan tidak hanya dalam Laskar Hizbullah-Sabililah saja, tetapi banyak diantara mereka menjadi komandan dan anggota tentara PETA (Gugun Al-Guyanie, 2012: 35).

Laskar ulama-santri yang tergabung dalam tentara Hizbullah-Sabililah mengawal sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bahkan menjadi subjek utama dalam Resolusi Jihad yang difatwakan pada 22 Oktober 1945 guna mempertahankan Kemerdekaan Indonesia saat Belanda dan sekutunya melakukan agresi militer.

Inilah rangkaian bukti sejarah kiprah Islam Nusantara yang diwariskan oleh Wali Songo, lalu diteruskan oleh ulama dan melalui pesantren sebagai basisnya untuk ikut serta menyumbangkan kekuatan demi meraih kemerdekaan atas kolonialisme selama berabad-abad yang mendiami bumi pertiwi.

Mengawal Kemerdekaan

Selain mempertahankan kemerdekaan, Islam Nusantara yang juga relevan dengan kondisi geopolitik dan geokultural global, saat ini harus terus dilestarikan guna membentengi pengaruh asing maupun dalam negeri yang hendak memperkeruh suasana bahkan merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengawalan kemerdekaan tersebut tentu harus tetap menunjukan sikap berislam yang berbudaya luhur, ramah dan rukun antar sesame entis dan umat beragama. Juga, tidak berapi-api demi tegaknya simbol-simbol Islam yang tak bersubtansi kemaslahatannya.

Pekerjaan Rumah (PR) kita hari ini adalah bagaimana Islam Nusantara terus mewarnai kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sejati dengan berbagai khazanah yang diwariskan para pendahulu. Dari situ muncul pertanyaan, sejauh mana ‘kecanggihan’ Islam Nusantara, khususnya para pengiatnya untuk menjawab kebutuhan masyarakat global akan perdamaian, keadilan, kesejahteraan dan berbagai bidang lain yang menjadi tantangan ke depan?.

 

Pewarta: Fachry Syahrul

Sumber: Menjadi Islam, Menjadi Indonesia

 

Membela Negara: Atas Dasar Wajib atau Dasar Cinta?

Masyarakat Indonesia saat masa penjajahan Belanda maupun Jepang mengalami pengalaman yang begitu pedih. Para penjajah memperlakukan masyarakat pribumi dengan semena-mena, entah itu perlakuan penganiayaan, maupun melalui kebijakan sosial, ekonomi, politik. Tanpa menunggu fatwa dan intruksi dari pemimpin tertinggi Indonesia lantaran belum terbentuk negara, kondisi seperti itu tentu mendorong rakyat untuk melakukan berbagai perlawanan di daerah-daerah.

Mungkin mereka tidak sempat berfikir secara serius, apakah pelawanan kepada penjajah dan pembelaan diri sebagai manusia itu hukumnya wajib atau tidak, namun yang jelas rakyat mempunyai perasaan yang sama yakni ingin ‘’merdeka’’, ingin mengangkat harkat, martabat, dan harga diri yang di injak-injak oleh para penjajah. Kehilangan harta benda dann nyawa sudah menjadi konsekuensi dari upaya perlawanan dan pembelaan ini.

Dalam catatan sejarah pasca kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pernah ada sebuah langkah dan sikap tentang ‘’Bela Negara’’ terutama tatkala ada agresi militer yang mencoba ingin merongrong Indonesia yang tidak lama merdeka. Salah satunya adalah ijtihad para kiai kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang mengeluarkan fatwa ‘’Resolusi Jihad’’ pada 22 Oktober 1945. Fatwa wajib ini ditunjukan kepada masyarakat terutama laki-laki dewasa untuk ikut jihad melawan Belanda dan Inggris yang hendak merebut kembali kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.

Dalam peristiwa peperangan besar yang terjadi di Surabaya dan sekitarnya itu, masyarakat yang didominasi ribuan kalangan santri dan kiai juga merelakan harta dan nyawanya demi membela negara.  Dan puncak dari peran Resolusi Jihad ini kita bisa lihat dengan ditetapkannya tanggal 10 November sebagai ‘’Hari Pahlawan’’.

Lalu bagaimana hukumnya membela negara untuk zaman sekarang? Apakah kondisinya sama ataukah berbeda? Untuk menjawab pertanyaan ini tampaknya mudah, sehingga kita akan cepat berpikir bahwa membela negara itu wajib. Kelihatannya memang tidak sesimpel itu untuk menguraikan relasi antar ‘’Masyarakat, Bela dan Negara’’.

Budayawan Emha Ainun Najib atau yang dikenal dengan Cak Nun pernah menjelaskan bahwa posisi warga negara dalam membela negara yang selama ini dianggap sebagai suatu ‘’kewajiban’’. Hal ini Cak Nun sampaikan saat mengisi acara di penerbit Mizan Bandung, pada Agustus tahun 2015.

Cak Nun saat itu mencoba menggiring pikiran orang-orang yang hadir di lokasi acara untuk memahami dasar dalam membela negara Indonesia. ‘’Membela Indonesia apa hukumnya?’’ tanya Cak Nun dalam acara yang bertajuk Medar Kadaulatan, Menemukan Kemerdekaan Sejati Manusia.

Pertanyaan yang familiar tersebut justru malah membuat hadirin mulai menampakan kebingungannya. Seperti biasa, terlebih dahulu Cak Nun mengurutkan alur berpikir. Kewajiban dalam Islam biasa dikenal istilah Fardhu ‘ain dan Fardhu Kifayah. Adapun fardhu ‘ain merupakan kewajiban yang dibebankan setiap orang, sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban bersama, asalkan ada yang mewakili semuanya bebas dari dosa.

‘’Contoh mengurusi jenazah hukumnya fardhu kifayah. Apabila ada jenazah, lalu tidak ada seorang pun yang mengurusi jenazah tersebut, maka semua orang berdosa. Tapi kalau ada tiga orang yang mau mengurusi memandikan, mengshalatkan hingga menguburkan, maka umat manusia bebas dari dosa,’’ kata pria kelahiran Jombang itu.

Dalam konteks masalah jenazah selama ini memang tidak ada yang dibayar untuk mengurusi, akan tetapi kalau dalam konteks ‘’negara’’ saat ini sudah diurusi oleh para pejabat-pejabat negara seperti Presiden dan menteri-menterinya. Sebagaimana Indonesia terdapat undang-undang menentukan pembentukan organisasi pemerintahan yang difasilitasi mahal-mahal untuk mengurusi negara.

Bagi Cak Nun, pemerintah lah yang wajib membela negara, sedangkan rakyat tidak wajib sama sekali. Kita (rakyat) sudah bebas kewajiban dong? Kita yang bayar kok kita yang bekewajiban?, ucap beliau.

Dalam kebingungan ini, Cak Nun mengarahkan bahwa jika warga negara mau untuk membela negaranya, itu dinamakan sedekah (shadaqah).  Sedekah itu karena cinta kita kepada negara. Sedekah tidak diwajibkan, tetapi ikhlas melakukan. Jadi, membela negara atas dasar cinta dan sedekah lebih mulia. Dan masalahnya sekarang anda mau sedekah apa tidak? Kamu berjuang akan diberi kemenangan oleh Allah asalkan berlandaskan membela dan mencintai orang kecil dan orang lemah (mustdh’af). Atas dasar cintamu kepada rakyat kecil itu luar biasa tinggi derajatmu. Demikian pernyataan Cak Nun.

Apa yang diuraikan Cak Nun memang sangat fundamen sekali. Cara berpikir seperti ini sangat penting untuk dipahami bersama oleh masyarakat, sebab hal ini untuk mengetahui tugas pokok negara Indonesia yang terdiri atas pemerintah dan rakyat. Negara dan Pemerintah itu dua hal yang berbeda. Pemerintah adalah orang-orang yang dibayar rakyat untuk mengurusi negara. Sehingga kedudukan rakyat sejatinya lebih tinggi dibanding pemerintah.

Terlepas dari perbedaan pemerintah dan rakyat di atas, kaitannya soal bela negara, selama ini kita mengenal slogan ‘’Hubbul Wathan Minal Iman’’, bahwa cinta negara sebagian dari Iman. Slogan tersebut selaras dengan apa yang dipaparkan oleh Cak Nun, bahwa dasar ‘’cinta’’ terhadap negara itu derajatnya lebih tinggi dibandingkan atas dasar kewajiban. Maka tidak heran apabila ulama Indonesia sering mengajak kepada masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara cinta kepada agama dan kepada tanah air, sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan.

Pewarta: Fachry Syahrul

Sumber: Menjadi Islam, Menjadi Indonesia   

Keutamaan Sedekah

Amalan bulan Muharram yang tidak boleh tertinggal yakni sedekah. Keutamaan bersedekah tidak main-main, bahkan Allah SWt berjanji akan mengganti setiap sedekah baik di dunia maupun akhirat.  Bahkan malaikat berdoa untuk orang yang bersedekah. Tidaklah ada suatu hari pun di mana hamba-hamba Allah masuk pada waktu pagi harinya, kecuali ada dua malaikat yang turun. Maka salah satu di antara mereka berdoa, “Ya Allah berikanlah ganti kepada orang-orang yang berinfak.” Dan malaikat yang lainnya berdoa, “Ya Allah berikanlah kerugian kepada orang-orang yang menahan hartanya” (HR. Bukhari dan Muslim). Juga diriwayatkan Dari Al Harits bin Suwaid, Abdullah berkata bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلاَّ مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ . قَالَ فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ ، وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ

“Siapakah di antara kalian yang harta warisnya lebih dicintainya daripada hartanya sendiri?” Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, tidak ada seorang pun di antara kami melainkan hartanya lebih dicintainya.” Beliau lantas bersabda, “Sesungguhnya hartanya adalah sesuatu yang telah disedekahkan, dan harta ahli warisnya adalah sesuatu yang ditinggalkannya” (HR. Bukhari).

Diantara keutaman-keutamaan bersedekah itu ialah:

1.Pasti diganti dan dibalas

Keutamaan sedekah yang pertama, ia pasti akan diganti dan dibalas oleh Allah Swt. Allah akan mengganti sedekah itu segera di dunia. Dan Allah akan memberikan balasan dan ganjaran di akhirat kelak.

مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS. Saba’: 39).

2.Dilipatgandakan

Allah memberikan perumpamaan yang sangat indah

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah: 261).

Perumpamaan kedua kepada orang yang sedekah adalah

مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَه لَه اَضْعَافًا كَثِيْرَةً وَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصطُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

“Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan” (QS. Al-Baqarah: 245).

Allah sebut meminjami padahal semua yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Allah menghargai pengorbanan kita saat memberikan sebagian dari harta kita di jalan Allah.

Allah melipatgandakan pemberian hamba-Nya

أَيُّمَا مُؤْمِنٍ أَطْعَمَ مُؤْمِنًا عَلَى جُوعٍ أَطْعَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ ثِمَارِ الجَنَّةِ، وَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ سَقَى مُؤْمِنًا عَلَى ظَمَإٍ سَقَاهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنَ الرَّحِيقِ المَخْتُومِ، وَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ كَسَا مُؤْمِنًا عَلَى عُرْيٍ كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ خُضْرِ الجَنَّةِ

“Siapa pun orang mukmin yang memberi makan mukmin lain saat lapar, Allah akan memberinya makan dari buah surga, siapa pun mukmin yang memberi minum mukmin lain saat dahaga, Allah akan memberinya minum pada hari kiamat dengan minuman yang penghabisannya adalah beraroma wangi kasturi, siapa pun mukmin yang memberi pakaian mukmin lain saat telanjang, Allah akan memberi pakaian dari sutera surga” (HR. At-Tirmizi No. 2449).

Dalam hadis lain Rasulullah memberi perumpamaan

مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ، وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَلِ

“Barang siapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung” (HR. Al-Bukhari No. 1410).

Bahkan orang yang menahan harta padahal dia mampu membantu orang yang kesusahan diancam oleh Rasulullah

لاَ تُوكِي فَيُوكى عَلَيْكِ

“Janganlah engkau menyimpan harta (tanpa menyedekahkannya). Jika tidak, maka Allah akan menahan rezeki untukmu” (HR. Bukhari).

Kecuali menyimpan untuk keperluan

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ، وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ، وَلَا تُلَامُ عَلَى كَفَافٍ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

“Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika kamu menyedekahkan kelebihan hartamu, itu lebih baik bagimu daripada kamu simpan, karena hal itu akan lebih berbahaya bagimu. Dan kamu tidak akan dicela jika menyimpan sekedar untuk keperluan. Dahulukanlah memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggunganmu. Tangan yang di atas adalah lebih baik, daripada tangan yang di bawah” (HR. Muslim No. 1036).

3.Diberkahi Allah

Orang yang gemar bersedekah, hartanya akan barakah. Yakni menambah kebaikannya. Menambah ketaatannya kepada Allah.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS. Al Baqarah: 276).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda,

يَدُ اللَّهِ مَلْأَى لَا يَغِيضُهَا نَفَقَةٌ، سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Tangan Allah selalu penuh, tidak kurang karena memberi nafkah, dan selalu dermawan baik siang maupun malam.”

Jangan dipahami bahwa Allah memiliki tangan seperti kita. Tangan Allah selalu penuh itu adalah majaz yang bermakna Allah tidak pernah kekurangan, Allah selalu memiliki sesuatu untuk diberikan kepada hamba-Nya.

4.Sedekah memadamkan kesalahan dan menghapusnya, serta memadamkan murka Allah

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ المَاءُ النَّارَ

“Dan sedekah akan memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api” (HR. At-Tirmizi No. 613; HR. Ahmad , No. 15284).

Hadist lain menyatakan bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يَذْهَبُ الْجَلِيدُ عَلَى الصَّفَا

“Sedekah itu dapat memadamkan kesalahan, sebagaimana sebongkah es yang meleleh di atas batu karang” (HR. Ibnu Hibban No. 5567. Hadis sahih).

Dalam hadts Hudzaifah pun disebutkan, Rasulullah sallallahu‘alaihi wasallam pernah bersabda,

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ، تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Fitnah seseorang di keluarganya, hartanya, dan anaknya serta tetangganya bisa terhapus oleh salat, sedekah, dan amar makruf nahi mungkar” (HR. Al-Bukhari No. 1435; HR. Ibnu Majah No. 3955).

Fitnah dalam Al-Qur’an dan hadis maknanya adalah musibah dan ujian yang berkaitan dengan agama. Bukan fitnah seperti yang dipahami dalam bahasa Indonesia.

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda,

صَنَائِعُ الْمَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السُّوءِ، وَصَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيدُ فِي الْعُمُرِ

“Perbuatan kebaikan menahan kejadian buruk dan sedekah yang tersembunyi memadamkan kemurkaan Rabb serta menyambung hubungan rahim menambah umur” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir No. 8014, jilid 8/26).

Bukan berarti sedekah yang ditampakkan itu dosa. Jika menampakkan sedekah dengan maksud untuk memberi keteladanan dan memotivasi orang lain untuk sedekah maka itu justru dipuji Allah

إِن تُبۡدُواْ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۖ وَإِن تُخۡفُوهَا وَتُؤۡتُوهَا ٱلۡفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمۡۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ

Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu,maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha Teliti atas apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Baqarah, 2: 271).

5.Masuk surga dan selamat dari neraka

Rasulullah memberikan informasi cara agar bisa masuk surga dengan penuh keselamatan

أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

“Sebarkan salam/kedamaian, berilah makanan, sambunglah silaturahim, salatlah di malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian masuk surga dengan penuh keselamatan” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Wajib surga bagi orang yg bersedekah dalam keadaan sulit.

جَاءَتْنِي مِسْكِينَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا، فَأَطْعَمْتُهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ، فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً، وَرَفَعَتْ إِلَى فِيهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا، فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ، الَّتِي كَانَتْ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا، فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ، أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ

“Telah datang kepadaku seorang wanita miskin yang membawa dua anak perempuan, lalu saya memberinya makan dengan tiga buah kurma, wanita tersebut memberikan kurmanya satu persatu kepada kedua anaknya, kemudian wanita tersebut mengangkat satu kurma ke mulutnya untuk dia makan. Tapi, kedua anaknya meminta kurma tersebut, akhirnya dia pun memberikan (kurma) yang ingin ia makan kepada anaknya dengan membelahnya menjadi dua. Saya sangat kagum dengan kepribadiannya. Lalu saya menceritakan apa yang diperbuat oleh wanita tersebut kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya untuk masuk surga atau membebaskannya dari neraka’” (HR. Muslim No. 2630).

Dalam redaksi lain dengan cerita yang sama bersedekah dalam kondisi yang sulit menyebabkan pelakunya terhindar dari api neraka.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

دَخَلَتِ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ، فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ، فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا، فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا، وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا، ثُمَّ قَامَتْ، فَخَرَجَتْ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا، فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ: مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ البَنَاتِ بِشَيْءٍ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

“Telah datang seorang wanita bersama dua putrinya menemuiku untuk meminta sesuatu namun aku tidak mempunyai apa-apa selain sebutir kurma lalu aku berikan kepadanya. Lalu wanita itu membagi kurma itu menjadi dua bagian yang diberikannya untuk kedua putrinya sedangkan dia tidak memakan sedikit pun. Lalu wanita itu berdiri untuk segera pergi. Saat itulah Nabi sallallahu alaihi wasallam datang kepada kami, lalu aku kabarkan masalah itu, maka Beliau bersabda: ‘Siapa yang memberikan sesuatu kepada anak-anak ini, maka mereka akan menjadi pelindung dari api neraka baginya’” (HR. Al-Bukhari No. 1418).

Bahkan, orang yang ahli sedekah akan dipanggil untuk masuk surga dari pintu khusus. Yakni Baab Ash Shadaqah. Pintu sedekah.

وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ

“Barangsiapa yang termasuk ahli sedekah, niscaya ia dipanggil (masuk surga) dari pintu sedekah” (HR. Bukhari).

Sedekah sekecil apa pun dapat melindungi kita dari api neraka.

اِتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

“Berlindunglah kalian dari api neraka walaupun dengan separuh kurma” (Muttafaq ‘Alaih).

Bayangkan betapa luar biasanya perkataan Rasulullah. Beliau mengatakannya di Madinah, kotanya kurma dimana semua manusia bahkan unta pun memakan kurma saking banyaknya, namun Rasulullah mengatakan “walau dengan setengah butir kurma”. Menggambarkan bahwa sesuatu yang kita pandang kecil, remeh, ringan, bahkan tak berharga bisa jadi sangat berharga bagi orang lain.Bukan besar kecilnya sedekah, tapi semangat untuk berbagi itu yang ingin selalu ditanamkan.

6.Tidak mengurangi harta

Rasulullah berjanji dan Rasulullah tidak pernah ingkar janji

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ، إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ

“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya” (HR. Muslim No. 2588).

Justru menjadi sebab pertolongan Allah dan datangnya rezeki

هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ

“Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki melainkan karena adanya (doa) orang-orang yang lemah (di antara) kalian” (HR. Al-Bukhari No. 2896).

7.Menjadi obat bagi orang yang sakit

وَدَاوُوا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةَ

“Obatilah orang sakit kalian dengan sedekah” (HR. Abu Daud dalam kitab Marasil Abi Daud No. 105.).

Perlu dipahami secara utuh bahwa sakit adalah bagian dari takdir Allah. Kewajiban pertama saat sakit adalah sabar menerima takdir Allah. Pada saat yang sama melakukan ikhtiar untuk mencapai kesembuhan. Dan di antara ikhtiar itu adalah dengan sedekah.

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan hadis ini,

فإن للصدقة تأثيرًا عجيبًا في دفع أنواع البلاء ولو كانت من فاجر أو من ظالم بل من كافر فإن الله تعالى يدفع بها عنه أنواعا من البلاء وهذا أمر معلوم عند الناس خاصتهم وعامتهم وأهل الأرض كلهم مقرون به لأنهم جربوه

“Sedekah memiliki khasiat yang kuat menolak berbagai macam bala (termasuk penyakit). Bahkan, sekalipun itu dari orang yang ahli maksiat, zalim, maupun orang kafir. Melalui sedekah yang mereka lakukan, Allah angkat bala. Khasiat sedekah seperti ini disaksikan oleh banyak orang, orang-orang berilmu, atau kaum awam umumnya, bahkan seluruh penduduk bumi mengakuinya karena mereka telah merasakan sendiri” (Jami’ Al-Fiqh, 3: 7).

8.Menjadi Naungan di akhirat

Sedekah akan menjadi naungan pada yaumul mahsyar kelak. Di saat semua orang kepanasan karena demikian dekatnya matahari hingga banyak yang tenggelam dengan keringatnya sendiri, orang yang bersedekah akan mendapat naungan dari sedekahnya. Apalagi jika sedekahnya secara sembunyi-sembunyi.

إِنَّ ظِلَّ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَدَقَتُهُ

“Sesungguhnya naungan seorang mukmin pada hari kiamat adalah sedekahnya” (HR. Ahmad No. 18043. Hadis sahih). Wallahu a’lam bisshowwab

 

 

Penulis: Eka Nurlela

 

 

Kiprah Islam Indonesia dalam Kemerdekaan Indonesia

Dari hari ke hari, wacana Islam Nusantara yang telah diangkat menjadi tema Mukhtamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung pada awal Agustus 2015 terus mendapat perhatian berbagai kalangan, mulai diskusi kecil di warung kopi, ruang akademis hingga pejabat pemerintahan pun tak mau ketinggalan. Islam Nusantara bak artis sedang naik daun lantaran pemberitaannya di berbagai media menarik perhatian terutama bagi kalangan yang gemar dengan isu-isu atau kajian keislaman. Tulisan ini bukan untuk memperuncing perdebatan, namun hendak menyampaikan suatu gagasan yang berangkat fakta sejarah bagaimana Kiprah Islam Nusantara ikut serta dalam meraih kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Kini sudah 77 tahun masyarakat Indonesia merayakan kemerdekaannya. Tiada kekuatan tunggal dalam merebut kemerdekaan tersebut. Segenap masyarakat pribumi saling kerja sama berjibaku melawan kolonialisme. Dari sekian kekuatan, gerakan Islam Nusantara pada waktu itu menjadi salah satu entitas yang tidak bisa dianggap sepele, dan sangat disayangkan apabila sampai tidak tercatat di dalam sejarah Nusantara yang kini sebagian besar wilayahnya dikenal Indonesia.

Produk Baru dalam Fakta Sejarah

Istilah ‘Islam Nusantara’ diakui ataupun tidak merupakan produk baru namun subtansinya sudah ada sejak masuk ke Nusantara. Dalam konteks ini, Islam Nusantara mempunyai mata rantai sebagaimana hasil riset KH Hasyim Asyari yang kemudian mencetuskan terma ‘muslimul aqtharil Jawiyyah’ (masyarakat Islam Jawa dan sekitarnya) pada tahun 1912 M. Memilih terma  ’Islam Nusantara’ barangkali agar masyarakat muslim Indonesia lebih nyaman dan mudah memahami dibanding  menyebut ’Islam Nusantara Jawa’. Meskipun di era lampau penyebutan kata ’Jawa’ itu bermaksud menunjuk teritorial Asia Tenggara di era kini, namun faktanya hanya segelintir orang yang mengetahui hal tersebut.

Kalimat ’muslimul aqtharil Jawiyyah’ yang dipopulerkan KH Hasyim Asyari lebih dari seratus tahun lalu adalah gambaran mayoritas muslim dalam berfikir dan bertindak (manhajan wa ibadatan). Istilah ’muslimul aqtharil Jawiyyah’ menembus 14 abad. Sebab kalimat ’muslimul aqtharil Jawiyyah’ itu implementasi dari nash (teks) syariah, ’sawadul a’dhom’ (corak muslim mayoritas) yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.

 

   إن لله لا يجمع أمتى على ضلا لة ويد الله مع الجماعة من شذ شذ فى النار فإذا وقع الإ ختلا ف

فعليك بالسواد الأ  عظم مع الحق وأهله

“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan umatku bersepakat pada kesesatan, adapun kekuasaan Allah menyertai kelompok. Barang siapa yang menyimpang maka ia menyimpang neraka. Ketika terjadi perbedaan (pendapat), maka berpeganglah bersama kelompok mayoritas yang benar beserta para pengikutnya.” 

Begitu juga terma ‘muslimul aqtharil Jawiyyah’ sebagai  implementasi atas teks suci tersebut yang di kreasi oleh KH Hasyim Asyari 14 abad setelah terma ‘sawadul a’dhom’. Sedangkan NU memperkenalkan ‘Islam Nusantara’ seratus tahun setelah KH Hasyim Asyari memperkenalkan terma ‘muslimul aqtharil Jawiyyah’. Semua itu dirancang, dikreasikan, diwujudkan, diciptakan dan bukan tumbuh secara spontan (Sultan Fathoni, 2015:88).

Dari situ dapat dipahami bahwa bahwa Islam Nusantara dalam masa kolonial saat itu merupakan mayoritas umat islam di Nusantara dengan berbagai macam elemen yang bersatu padu untuk meraih kemerdekaan. Fakta sejarah Islam Nusantara dalam tulisan ini diharapkan sedikit atau banyak dapat diaktualisasikan dalam konteks kekinian, dimana bangsa ini sedang membutuhkan ‘angin segar’ untuk mengarungi masa-masa kemerdekaanya.

 

Islam Nusantara dan Nasionalisme

Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa konsep Islam Nusantara merupakan karakteristik Wali Songo dalam membumikan Islam di kepulauan Nusantara. Wali Songo sebagai aktor utama yang hingga kini diteruskan oleh ulama Nusantara telah berhasil melakukan dialetika antara teks ajaran Islam dan realitas budaya lokal setempat. Tentu hadirnya Islam Nusantara tidak berniat untuk menggerogoti supaya Islam menjadi rapuh, justru Islam Nusantara hendak melahirkan, membentuk hingga menguatkan kebali masyarakat agar tetap berbudaya, disamping juga taat beragama.

 

Sebagai mana kajian Islam Nusantara yang dikaji oleh Kiai Said Aqil Siraj (2015) menyebutkan bahwa Islam yang dikembangkan di Nusantara ini mempunyai tiga pilar; (1) Ukhuwah Islamiyah; landasan teologis dalam menjalin persaudaraan tidak hanya dengan sesama Islam, juga agama atau kepercayaan lain; (2) Ukhuwah Wathaniyah; landasan persaudaraan antar bangsa sebagai dimensi nasionalisme religius-bermula dari doktrin hubbul wathan minal iman (cinta bangsa sebagian dari iman)-yakni nasionalisme yang disinari dan disemangati agama. Selain itu, sikap nasionalisme yang muncul menjadi sebuah gerakan lantaran masyarakat mengalami nasib serupa dalam upaya meraih kehidupan yang sejahtera, bebas dan aman dari pengaruh kolonialisme; lebih lanjut, kedua pilar tersebut dapat ditingkatkan sampai pada (3) Ukhuwah Insaniyah; sebagai dimensi paling tinggi yang menjalin persaudaraan kemanusiaan universal.

 

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam ‘’Pribumi Islam’’ yang ia populerkan juga menekankan nilai dasar ajaran Islam (Weltanschauung Islam) dalam tiga bagian; persamaan, keadilan dan demokrasi. Ketiga ini diejawantahkan dalam sikap keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Itulah kenapa ada agenda prioritas dimana Gus Dur mengajak untuk menciptakan kesadaran masyarakat tentang apa yang harus dilakukan umat Islam dalam bangsa Indonesia yang majmuk ini. Dengan kata lain, nasionalisme umat Islam di Indonesia harus beriringan dengan menjalin dan menjaga hubungan dengan setiap unsur bangsa. Bukan malah mengaktualisasikan spirit Islam guna mengagendakan pertumpahan darah seperti yang kini dialami oleh sebagian negara-negara Timur Tengah.

 

Pewarta: Fachry Syahrul

6 Adab Yang Perlu Diperhatikan Orang yang Berpuasa

Paling tidak ada 6 adab puasa menurut Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi dalam kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz. Dan bagi orang yang berpuasa hendaknya memperhatikan adab tersebut. Adab-adab puasa itu antara lain:

1.Makan sahur. Ini berdasar hadis yang diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً.

“Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.”[Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/139, no. 1923), Shahiih Muslim (II/770, no. 1095), Sunan at-Tirmidzi (II/106, no. 703), Sunan an-Nasa-i (IV/141), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1692)]Dan telah terhitung makan sahur walaupun hanya dengan seteguk air, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةِ مَاءٍ.

“Makan sahurlah kalian meski hanya dengan seteguk air.” [Shahih: (Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2945)], Shahiih Ibni Hibban (no. 223, 884)].

Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur, sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu beliau langsung berangkat shalat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?’ Dia menjawab, ‘Kira-kira sama seperti bacaan 50 ayat.’” Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/138, no. 1921), Shahiih Muslim (II/771, no. 1097), Sunan at-Tirmidzi (II/104, no. 699), Sunan an-Nasa-i (IV/143), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1694).

Jika azan telah terdengar dan makanan atau minuman masih di tangannya, maka boleh ia memakan atau meminumnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ.

“Barangsiapa di antara kalian yang mendengar adzan (Shubuh) dan bejana (makanan) masih di tangannya, maka janganlah ia menaruhnya sebelum ia menyelesaikan makannya.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 607)], Sunan Abi Dawud (VI/475, no. 2333), Mustadrak al-Hakim (I/426)]

2.Menahan diri dari pembicaraan yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor, atau yang semisal dengannya dari hal-hal yang bertentangan dengan tujuan puasa.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ, فَإِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَليَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ.

“Jika pada hari salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan dan tidak juga melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (Penggalan dari hadits: “Setiap amal anak Adam adalah untuknya sendiri…” dan telah berlalu takhrijnya).

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya, maka Allah tidak memerlukan orang itu untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” [Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 921)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/116, no. 1903), Sunan Abi Dawud (VI/488, no. 2345), Sunan at-Tirmidzi (II/105, no. 702)].

3.sifat dermawan dan memperbanyak bacaan al-Qur-anDiriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dan beliau akan lebih dermawan (dari hari-hari biasanya) pada bulan Ramadhan, ketika Jibril datang menemuinya dan adalah Jibril selalu datang menemuinya setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan, hingga Ramadhan selesai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan al-Qur-an kepada Jibril. Dan di saat ia bertemu Jibril beliau lebih pemurah (lembut) dari angin yang berhembus dengan lembut.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari I/30, no. 6), Shahiih Muslim (IV/1803, no. 2308)].

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلِيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيِ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

4.menyegerakan berbuka.

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزَالُ النّاَسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ.

“Umat manusia akan tetap baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/198, no. 1957), Shahiih Muslim (II/771, no. 1098), Sunan at-Tirmidzi (II/103, no. 695)’.

5.berbuka puasa dengan apa yang mudah didapatkan baginya.

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Nabi biasa berbuka dengan ruthab (kurma segar) sebelum mengerjakan shalat. Jika beliau tidak mendapatkan ruthab, maka beliau berbuka dengan beberapa buah tamr (kurma masak yang sudah lama dipetik) dan jika tidak mendapatkan tamr, maka beliau meminum air.” [ Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 2065)], Sunan Abi Dawud (VI/ 481, no. 2339), Sunan at-Tirmidzi (II/102, no. 692)].

6.berdo’a ketika berbuka puasa.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berbuka puasa selalu membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.

“Telah hilang rasa haus dan telah basah urat-urat, serta telah ditetapkan pahala, insya Allah.” [Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2066)]

 

Penulis: Eka Nurlela