Pesantren Sebagai Basis Perlawanan Kepada Penjajah
Sejak Maret 1602, pada saat Belanda mendirikan serikat dagang VOC (Verenigde Oostindische Compagnie), salah satu gerakanya yakni memonopoli perdagangan rempah-rempah di kawasan Nusantara pada kala itu berbuntut pada perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh kerajaan yang ada di Nusantara, misalnya Kerajaan Banten dan Kerajaan Mataram. Namun kiprah kerajaan tersebut tidak berlangsung lama. Pihak VOC berhasil mengajak ‘damai’ pihak kerajaan dalam upaya mengelola hasil bumi Nusantara. Sehingga kemelut VOC dengan pribumi khususnya di Jawa meletus ditandai dengan Perang Jawa yang dikomandoi oleh Pangeran Diponegoro salah satu anak dari Sultan Hamengkubuwono III yang keluar dari istana kerajaan untuk menghimpun kekuatan masyarakat di luar kerajaan.
Karenanya, upaya proses dan inisiatif perlawanan mulai di ambil alih oleh kalangan luar istana dengan subjek yang memiliki latar belakang sebagai pemuka lokal, orang biasa, dan para pemuka agama. Dengan adanya kecenderungan ini maka di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, beberapa kawasan Jawa Barat dan Batavia mulai bermunculan gerakan-gerakan tradisional yang berusaha untuk melakukan perubahan dan perlawanan.
Dalam konteks inilah, institusi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam di Jawa, memiliki peran yang sangat penting dalam membangun gerakan yang bersifat messianistik. Oleh karenanya, Belanda sangat mencurigai keberadaan pesantren dan tarekat sebagai tempat dalam mendukung dan melakukan pembentukan unitas kemasyarakatan dan tempat konsentrasi dalam menanamkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pesantren tidak hanya sekedar menjadi tempat pendidikan, melainkan juga menjadi tempat penanaman para kader dan pemimpin agama yang pada kelanjutannya sanggup mempengaruhi serta memimpin beberapa gerakan perlawanan terhadap kolonial (Zainul Milal Bizawie, 2014: 53-55).
Sebagai subjek vital dalam menjaga, mengembangkan dan melestarikan budaya lokal, pesantren mampu mendialogkan dengan ajaran Islam yang bertahan hingga dewasa ini, sehingga kreativitas ijtihad ala Islam (di) Nusantara tersebut tidak sebatas membangun romantisme agama dan budaya yang melahirkan gerakan perlawanan kultural, namun juga mengkristal menjadi spirit membela bangsa sebagaimana di tunjukan oleh ulama pesantren.
Ulama Garda Depan
Semenjak kolonial masuk pada akhir abad 16, sebagian besar wilayah Nusantara telah memeluk Islam berkat prestasi Wali Songo dengan metode dakwahnya yang persuasif. Usai periode Wali Songo berakhir, mulai bermunculan ulama yang bersamaan dengan dengan masuknya kolonialisme di Nusantara. Sehingga proses yang sebegitu panjang, ulama Nusantara bisa mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Timur Tengah pada abad 17-18 yang dipelopori oleh Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili dan Syekh Nuruddin A-Rairi (W. 1068/1658), Syekh Yusuf Al-Maqassari (W. 1111/1699), Syekh Abdus Shomad Al-Palimbani, Syekh Arsyad Al-Banjari, dan Ulama lainnya. Dakwah dan penyebaran ilmu oleh ulama ini sangat bernuansa Sufisme. Lebih hebatnya, mereka juga mengajarkan kepada murid beserta masyarakatnya untuk terlibat jihad melawan Belanda pada saat itu (Azyumardi Azra, 2004).
Para ulama pada abad 19 seperti Pangeran Diponegoro, Kiai Maja, Imam Bonjol, ulama-ulama gerakan Paderi, Syekh Nawawi Al-Bantani, dan lain-lain. Milal Bizawie (2014: 61) menyebutkan peranan ulama pada abad ini tidak bisa dilepas dalam upaya membebaskan negeri dari penjajahan. Para ulama memiliki minimal dua peran, yaitu sebagai pengajar, pemikir maupun pembaru, dan juga sebagai panglima atau pemimpin perang melawan imperialisme Barat. Peran-peran inilah menjadi ciri khas keberadaan jaringan ulama pada sekitar abad-19.
Perlawanan kultural dan peperangan yang dipimpin kiai-kiai pesantren juga masih konsisten pada abad 20 melawan Kolonialisme Belanda, juga saat Jepang masuk menggantikan Belanda. Terbukti terbentuknya Laskar Hizbullah pada tahun 1944 yang berisikan kiai dan santri yang bergabung sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air). Peran kiai dan sebagaimana di kutip Ali Maschan Moesa- dalam perang kemerdekaan tidak hanya dalam Laskar Hizbullah-Sabililah saja, tetapi banyak diantara mereka menjadi komandan dan anggota tentara PETA (Gugun Al-Guyanie, 2012: 35).
Laskar ulama-santri yang tergabung dalam tentara Hizbullah-Sabililah mengawal sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bahkan menjadi subjek utama dalam Resolusi Jihad yang difatwakan pada 22 Oktober 1945 guna mempertahankan Kemerdekaan Indonesia saat Belanda dan sekutunya melakukan agresi militer.
Inilah rangkaian bukti sejarah kiprah Islam Nusantara yang diwariskan oleh Wali Songo, lalu diteruskan oleh ulama dan melalui pesantren sebagai basisnya untuk ikut serta menyumbangkan kekuatan demi meraih kemerdekaan atas kolonialisme selama berabad-abad yang mendiami bumi pertiwi.
Mengawal Kemerdekaan
Selain mempertahankan kemerdekaan, Islam Nusantara yang juga relevan dengan kondisi geopolitik dan geokultural global, saat ini harus terus dilestarikan guna membentengi pengaruh asing maupun dalam negeri yang hendak memperkeruh suasana bahkan merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengawalan kemerdekaan tersebut tentu harus tetap menunjukan sikap berislam yang berbudaya luhur, ramah dan rukun antar sesame entis dan umat beragama. Juga, tidak berapi-api demi tegaknya simbol-simbol Islam yang tak bersubtansi kemaslahatannya.
Pekerjaan Rumah (PR) kita hari ini adalah bagaimana Islam Nusantara terus mewarnai kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sejati dengan berbagai khazanah yang diwariskan para pendahulu. Dari situ muncul pertanyaan, sejauh mana ‘kecanggihan’ Islam Nusantara, khususnya para pengiatnya untuk menjawab kebutuhan masyarakat global akan perdamaian, keadilan, kesejahteraan dan berbagai bidang lain yang menjadi tantangan ke depan?.
Pewarta: Fachry Syahrul
Sumber: Menjadi Islam, Menjadi Indonesia