Membela Negara: Atas Dasar Wajib atau Dasar Cinta?
Bagikan ini :

Masyarakat Indonesia saat masa penjajahan Belanda maupun Jepang mengalami pengalaman yang begitu pedih. Para penjajah memperlakukan masyarakat pribumi dengan semena-mena, entah itu perlakuan penganiayaan, maupun melalui kebijakan sosial, ekonomi, politik. Tanpa menunggu fatwa dan intruksi dari pemimpin tertinggi Indonesia lantaran belum terbentuk negara, kondisi seperti itu tentu mendorong rakyat untuk melakukan berbagai perlawanan di daerah-daerah.

Mungkin mereka tidak sempat berfikir secara serius, apakah pelawanan kepada penjajah dan pembelaan diri sebagai manusia itu hukumnya wajib atau tidak, namun yang jelas rakyat mempunyai perasaan yang sama yakni ingin ‘’merdeka’’, ingin mengangkat harkat, martabat, dan harga diri yang di injak-injak oleh para penjajah. Kehilangan harta benda dann nyawa sudah menjadi konsekuensi dari upaya perlawanan dan pembelaan ini.

Dalam catatan sejarah pasca kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pernah ada sebuah langkah dan sikap tentang ‘’Bela Negara’’ terutama tatkala ada agresi militer yang mencoba ingin merongrong Indonesia yang tidak lama merdeka. Salah satunya adalah ijtihad para kiai kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang mengeluarkan fatwa ‘’Resolusi Jihad’’ pada 22 Oktober 1945. Fatwa wajib ini ditunjukan kepada masyarakat terutama laki-laki dewasa untuk ikut jihad melawan Belanda dan Inggris yang hendak merebut kembali kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.

Dalam peristiwa peperangan besar yang terjadi di Surabaya dan sekitarnya itu, masyarakat yang didominasi ribuan kalangan santri dan kiai juga merelakan harta dan nyawanya demi membela negara.  Dan puncak dari peran Resolusi Jihad ini kita bisa lihat dengan ditetapkannya tanggal 10 November sebagai ‘’Hari Pahlawan’’.

Lalu bagaimana hukumnya membela negara untuk zaman sekarang? Apakah kondisinya sama ataukah berbeda? Untuk menjawab pertanyaan ini tampaknya mudah, sehingga kita akan cepat berpikir bahwa membela negara itu wajib. Kelihatannya memang tidak sesimpel itu untuk menguraikan relasi antar ‘’Masyarakat, Bela dan Negara’’.

Budayawan Emha Ainun Najib atau yang dikenal dengan Cak Nun pernah menjelaskan bahwa posisi warga negara dalam membela negara yang selama ini dianggap sebagai suatu ‘’kewajiban’’. Hal ini Cak Nun sampaikan saat mengisi acara di penerbit Mizan Bandung, pada Agustus tahun 2015.

Cak Nun saat itu mencoba menggiring pikiran orang-orang yang hadir di lokasi acara untuk memahami dasar dalam membela negara Indonesia. ‘’Membela Indonesia apa hukumnya?’’ tanya Cak Nun dalam acara yang bertajuk Medar Kadaulatan, Menemukan Kemerdekaan Sejati Manusia.

Pertanyaan yang familiar tersebut justru malah membuat hadirin mulai menampakan kebingungannya. Seperti biasa, terlebih dahulu Cak Nun mengurutkan alur berpikir. Kewajiban dalam Islam biasa dikenal istilah Fardhu ‘ain dan Fardhu Kifayah. Adapun fardhu ‘ain merupakan kewajiban yang dibebankan setiap orang, sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban bersama, asalkan ada yang mewakili semuanya bebas dari dosa.

‘’Contoh mengurusi jenazah hukumnya fardhu kifayah. Apabila ada jenazah, lalu tidak ada seorang pun yang mengurusi jenazah tersebut, maka semua orang berdosa. Tapi kalau ada tiga orang yang mau mengurusi memandikan, mengshalatkan hingga menguburkan, maka umat manusia bebas dari dosa,’’ kata pria kelahiran Jombang itu.

Dalam konteks masalah jenazah selama ini memang tidak ada yang dibayar untuk mengurusi, akan tetapi kalau dalam konteks ‘’negara’’ saat ini sudah diurusi oleh para pejabat-pejabat negara seperti Presiden dan menteri-menterinya. Sebagaimana Indonesia terdapat undang-undang menentukan pembentukan organisasi pemerintahan yang difasilitasi mahal-mahal untuk mengurusi negara.

Bagi Cak Nun, pemerintah lah yang wajib membela negara, sedangkan rakyat tidak wajib sama sekali. Kita (rakyat) sudah bebas kewajiban dong? Kita yang bayar kok kita yang bekewajiban?, ucap beliau.

Dalam kebingungan ini, Cak Nun mengarahkan bahwa jika warga negara mau untuk membela negaranya, itu dinamakan sedekah (shadaqah).  Sedekah itu karena cinta kita kepada negara. Sedekah tidak diwajibkan, tetapi ikhlas melakukan. Jadi, membela negara atas dasar cinta dan sedekah lebih mulia. Dan masalahnya sekarang anda mau sedekah apa tidak? Kamu berjuang akan diberi kemenangan oleh Allah asalkan berlandaskan membela dan mencintai orang kecil dan orang lemah (mustdh’af). Atas dasar cintamu kepada rakyat kecil itu luar biasa tinggi derajatmu. Demikian pernyataan Cak Nun.

Apa yang diuraikan Cak Nun memang sangat fundamen sekali. Cara berpikir seperti ini sangat penting untuk dipahami bersama oleh masyarakat, sebab hal ini untuk mengetahui tugas pokok negara Indonesia yang terdiri atas pemerintah dan rakyat. Negara dan Pemerintah itu dua hal yang berbeda. Pemerintah adalah orang-orang yang dibayar rakyat untuk mengurusi negara. Sehingga kedudukan rakyat sejatinya lebih tinggi dibanding pemerintah.

Terlepas dari perbedaan pemerintah dan rakyat di atas, kaitannya soal bela negara, selama ini kita mengenal slogan ‘’Hubbul Wathan Minal Iman’’, bahwa cinta negara sebagian dari Iman. Slogan tersebut selaras dengan apa yang dipaparkan oleh Cak Nun, bahwa dasar ‘’cinta’’ terhadap negara itu derajatnya lebih tinggi dibandingkan atas dasar kewajiban. Maka tidak heran apabila ulama Indonesia sering mengajak kepada masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara cinta kepada agama dan kepada tanah air, sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan.

Pewarta: Fachry Syahrul

Sumber: Menjadi Islam, Menjadi Indonesia   

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *