Kiprah Islam Indonesia dalam Kemerdekaan Indonesia
Bagikan ini :

Dari hari ke hari, wacana Islam Nusantara yang telah diangkat menjadi tema Mukhtamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung pada awal Agustus 2015 terus mendapat perhatian berbagai kalangan, mulai diskusi kecil di warung kopi, ruang akademis hingga pejabat pemerintahan pun tak mau ketinggalan. Islam Nusantara bak artis sedang naik daun lantaran pemberitaannya di berbagai media menarik perhatian terutama bagi kalangan yang gemar dengan isu-isu atau kajian keislaman. Tulisan ini bukan untuk memperuncing perdebatan, namun hendak menyampaikan suatu gagasan yang berangkat fakta sejarah bagaimana Kiprah Islam Nusantara ikut serta dalam meraih kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Kini sudah 77 tahun masyarakat Indonesia merayakan kemerdekaannya. Tiada kekuatan tunggal dalam merebut kemerdekaan tersebut. Segenap masyarakat pribumi saling kerja sama berjibaku melawan kolonialisme. Dari sekian kekuatan, gerakan Islam Nusantara pada waktu itu menjadi salah satu entitas yang tidak bisa dianggap sepele, dan sangat disayangkan apabila sampai tidak tercatat di dalam sejarah Nusantara yang kini sebagian besar wilayahnya dikenal Indonesia.

Produk Baru dalam Fakta Sejarah

Istilah ‘Islam Nusantara’ diakui ataupun tidak merupakan produk baru namun subtansinya sudah ada sejak masuk ke Nusantara. Dalam konteks ini, Islam Nusantara mempunyai mata rantai sebagaimana hasil riset KH Hasyim Asyari yang kemudian mencetuskan terma ‘muslimul aqtharil Jawiyyah’ (masyarakat Islam Jawa dan sekitarnya) pada tahun 1912 M. Memilih terma  ’Islam Nusantara’ barangkali agar masyarakat muslim Indonesia lebih nyaman dan mudah memahami dibanding  menyebut ’Islam Nusantara Jawa’. Meskipun di era lampau penyebutan kata ’Jawa’ itu bermaksud menunjuk teritorial Asia Tenggara di era kini, namun faktanya hanya segelintir orang yang mengetahui hal tersebut.

Kalimat ’muslimul aqtharil Jawiyyah’ yang dipopulerkan KH Hasyim Asyari lebih dari seratus tahun lalu adalah gambaran mayoritas muslim dalam berfikir dan bertindak (manhajan wa ibadatan). Istilah ’muslimul aqtharil Jawiyyah’ menembus 14 abad. Sebab kalimat ’muslimul aqtharil Jawiyyah’ itu implementasi dari nash (teks) syariah, ’sawadul a’dhom’ (corak muslim mayoritas) yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.

 

   إن لله لا يجمع أمتى على ضلا لة ويد الله مع الجماعة من شذ شذ فى النار فإذا وقع الإ ختلا ف

فعليك بالسواد الأ  عظم مع الحق وأهله

“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan umatku bersepakat pada kesesatan, adapun kekuasaan Allah menyertai kelompok. Barang siapa yang menyimpang maka ia menyimpang neraka. Ketika terjadi perbedaan (pendapat), maka berpeganglah bersama kelompok mayoritas yang benar beserta para pengikutnya.” 

Begitu juga terma ‘muslimul aqtharil Jawiyyah’ sebagai  implementasi atas teks suci tersebut yang di kreasi oleh KH Hasyim Asyari 14 abad setelah terma ‘sawadul a’dhom’. Sedangkan NU memperkenalkan ‘Islam Nusantara’ seratus tahun setelah KH Hasyim Asyari memperkenalkan terma ‘muslimul aqtharil Jawiyyah’. Semua itu dirancang, dikreasikan, diwujudkan, diciptakan dan bukan tumbuh secara spontan (Sultan Fathoni, 2015:88).

Dari situ dapat dipahami bahwa bahwa Islam Nusantara dalam masa kolonial saat itu merupakan mayoritas umat islam di Nusantara dengan berbagai macam elemen yang bersatu padu untuk meraih kemerdekaan. Fakta sejarah Islam Nusantara dalam tulisan ini diharapkan sedikit atau banyak dapat diaktualisasikan dalam konteks kekinian, dimana bangsa ini sedang membutuhkan ‘angin segar’ untuk mengarungi masa-masa kemerdekaanya.

 

Islam Nusantara dan Nasionalisme

Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa konsep Islam Nusantara merupakan karakteristik Wali Songo dalam membumikan Islam di kepulauan Nusantara. Wali Songo sebagai aktor utama yang hingga kini diteruskan oleh ulama Nusantara telah berhasil melakukan dialetika antara teks ajaran Islam dan realitas budaya lokal setempat. Tentu hadirnya Islam Nusantara tidak berniat untuk menggerogoti supaya Islam menjadi rapuh, justru Islam Nusantara hendak melahirkan, membentuk hingga menguatkan kebali masyarakat agar tetap berbudaya, disamping juga taat beragama.

 

Sebagai mana kajian Islam Nusantara yang dikaji oleh Kiai Said Aqil Siraj (2015) menyebutkan bahwa Islam yang dikembangkan di Nusantara ini mempunyai tiga pilar; (1) Ukhuwah Islamiyah; landasan teologis dalam menjalin persaudaraan tidak hanya dengan sesama Islam, juga agama atau kepercayaan lain; (2) Ukhuwah Wathaniyah; landasan persaudaraan antar bangsa sebagai dimensi nasionalisme religius-bermula dari doktrin hubbul wathan minal iman (cinta bangsa sebagian dari iman)-yakni nasionalisme yang disinari dan disemangati agama. Selain itu, sikap nasionalisme yang muncul menjadi sebuah gerakan lantaran masyarakat mengalami nasib serupa dalam upaya meraih kehidupan yang sejahtera, bebas dan aman dari pengaruh kolonialisme; lebih lanjut, kedua pilar tersebut dapat ditingkatkan sampai pada (3) Ukhuwah Insaniyah; sebagai dimensi paling tinggi yang menjalin persaudaraan kemanusiaan universal.

 

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam ‘’Pribumi Islam’’ yang ia populerkan juga menekankan nilai dasar ajaran Islam (Weltanschauung Islam) dalam tiga bagian; persamaan, keadilan dan demokrasi. Ketiga ini diejawantahkan dalam sikap keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Itulah kenapa ada agenda prioritas dimana Gus Dur mengajak untuk menciptakan kesadaran masyarakat tentang apa yang harus dilakukan umat Islam dalam bangsa Indonesia yang majmuk ini. Dengan kata lain, nasionalisme umat Islam di Indonesia harus beriringan dengan menjalin dan menjaga hubungan dengan setiap unsur bangsa. Bukan malah mengaktualisasikan spirit Islam guna mengagendakan pertumpahan darah seperti yang kini dialami oleh sebagian negara-negara Timur Tengah.

 

Pewarta: Fachry Syahrul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *