Dilema Nikel Raja Ampat: Menyelamatkan Alam atau Mengejar Tambang

Di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, keberadaan tambang nikel menimbulkan polemik serius. Menurut pegiat literasi lokal, Alan Ambrau, meskipun pemerintah pusat melalui Menteri ESDM telah menutup empat dari lima perusahaan tambang di daerah tersebut, satu perusahaan besar bernama PT Gag Nikel masih tetap beroperasi. Alan menilai bahwa perusahaan inilah yang paling berpotensi membahayakan ekosistem di sekitar.

Alan yang berdomisili di Distrik Kofiau menyampaikan bahwa masyarakat lokal kini terbagi menjadi dua kelompok: sebagian mendukung tambang karena alasan ekonomi, sementara sebagian lainnya menentang karena dampaknya terhadap lingkungan dan pariwisata. Mereka yang mendukung umumnya bekerja di perusahaan tambang dan merasa belum merasakan manfaat langsung dari industri pariwisata yang selama ini menjadi ikon Raja Ampat.

Di sisi lain, kelompok yang menolak tambang berasal dari kalangan pelaku wisata lokal. Mereka khawatir bahwa aktivitas tambang, khususnya di Pulau Gag yang dikenal sebagai lokasi menyelam (diving), akan merusak lingkungan laut dan mengganggu ekosistem yang menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Terkait izin usaha pertambangan (IUP), Alan mengungkapkan bahwa empat perusahaan telah dihentikan izinnya, yaitu PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham. Namun, PT Gag Nikel yang merupakan bagian dari anak usaha BUMN tetap mendapat izin operasi. Hal ini memunculkan dugaan ketimpangan dalam proses evaluasi perizinan.

Alan menyuarakan keprihatinannya atas keberlanjutan alam Raja Ampat. Ia memperkirakan bahwa tanpa pengawasan yang ketat, wilayah wisata dan pulau-pulau kecil di sana bisa mengalami kerusakan signifikan dalam kurun waktu 10 hingga 20 tahun ke depan. Ia juga menyoroti absennya skema alternatif bagi para pekerja tambang jika nantinya aktivitas pertambangan dihentikan sepenuhnya.

Kritik serupa juga disampaikan oleh Ketua PBNU, Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali), yang menegaskan bahwa eksploitasi sumber daya alam selama ini lebih menguntungkan segelintir elite tanpa memberikan dampak signifikan pada kesejahteraan rakyat. Ia mendorong pemerintah agar mulai beralih dari ketergantungan pada eksploitasi sumber daya alam menuju pembangunan sumber daya manusia.

Pemerintah melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia telah mengambil langkah untuk menghentikan empat IUP sebagai bagian dari arahan Presiden. Namun, keputusan untuk membiarkan PT Gag Nikel tetap beroperasi memunculkan pertanyaan besar dari masyarakat dan pegiat lingkungan mengenai arah kebijakan tambang di kawasan konservasi laut sekelas Raja Ampat.

Editor: M Wildan Musyaffa

Sumber: Nu.or.id

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat: Termasuk Pesantren?

Di sebuah desa yang tak tampak di peta wisata, berdiri bangunan bersahaja. Tak bertembok semen, hanya kayu tua yang menguap aroma tanah. Lantainya bukan ubin berkilau, melainkan bumi yang selalu jujur menampung telapak kaki. Atapnya seng berkarat yang bersuara saat hujan tiba. Tapi dari ruangan sederhana itulah—ilmu mengalir, adab ditanam, dan peradaban ditumbuhkan dalam diam.

Anak-anak duduk bersila, berselimut angin pagi yang mengigau. Di pangkuan mereka, kitab-kitab yang lebih berat dari tubuh mungil mereka. Di hadapan mereka, seorang guru berbaju lusuh tapi berhati luas, mengajarkan huruf demi huruf dengan suara yang lembut, meski mungkin perutnya belum sempat diisi sejak subuh.

Tempat sederhana itu dikenal orang sebagai madrasah—sebuah pesantren kecil yang menjadi pelita dalam sunyi, tempat ilmu dan adab disemai di antara dinding kayu dan lantai tanah, jauh dari gemerlap, namun dekat dengan langit.

Saya menulis ini bukan karena saya ahli dalam merumuskan keadilan, tapi karena saya resah. Resah yang lama bersembunyi di balik halaman-halaman laporan negara, tapi selalu terbangun

setiap kali mendengar kisah tentang guru madrasah yang digaji tak lebih dari harga satu kali makan siang di restoran ibu kota.

Resah karena negeri ini belum adil pada mereka yang diam-diam menjaga nyala moral bangsa.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, dalam rapat Komisi VIII DPR RI, pernah berkata dengan nada getir yang tenang:

“Lebih dari 90% sekolah di bawah Kementerian Agama adalah swasta. Negara tidak membeli tanahnya, tidak menggaji penuh gurunya. Bahkan banyak guru madrasah hanya menerima Rp100.000 per bulan.”

Saya membaca pernyataan itu perlahan. Bukan karena saya sulit memahami, tapi karena dada saya sesak menahannya. Saya bayangkan, apa jadinya bangsa ini jika para penjaga akhlaknya hanya dibayar sekadar sedekah?

Di sekolah negeri, guru berdiri di ruang berpendingin, berpapan tulis digital, dan digaji dengan nominal yang masuk akal. Tapi di madrasah? Mereka mengajar dengan suara yang dikalahkan hujan, dengan spidol yang telah kering separuh, dan penghasilan yang tak cukup untuk membeli tinta printer. Mereka tidak berteriak, tapi mereka tetap hadir. Setiap hari.

Apakah negara tidak melihat?

Apakah negara benar-benar buta, atau hanya rabun terhadap cahaya yang berasal dari ruang-ruang sunyi?

Anak-anak terbaik bangsa—yang menjadi sarjana teladan di kampus negeri ternama, yang hafal 30 juz Al-Qur’an sambil memegang gelar doktor—banyak lahir dari gubuk ilmu bernama madrasah. Bukan dari sekolah internasional, bukan dari gedung bertingkat, tapi dari bangku kayu dan tikar yang telah bertahun- tahun menyerap ilmu dan doa.

Saya merasa marah. Tapi ini bukan amarah yang membakar, melainkan cinta yang terlalu lama dipendam dalam ketimpangan. Karena saya tahu, madrasah tidak pernah meminta disanjung. Mereka hanya ingin diperlakukan adil.

Jauh sebelum Indonesia punya kementerian, pondok pesantren telah mengajarkan etika. Saat bangsa ini masih mengeja makna merdeka, pesantren telah selesai mengajarkan makna kemanusiaan. Kini, ketika negeri ini sudah mampu membangun gedung-gedung pencakar langit, mereka masih berdiri di pinggir, mengajarkan langit akhlak dari tanah yang tak pernah dilirik.

Jika negara ini jujur, maka ia akan mencium tangan guru madrasah seperti seorang santri mencium tangan kiainya. Tapi sayang, kenyataan tak seindah pidato. Negara lebih sibuk menyusun dokumen perencanaan, ketimbang menengok ruangan tanpa kipas di pelosok desa.

Guru madrasah bukan tidak tahu cara mogok. Mereka hanya terlalu cinta pada ilmu. Mereka tahu hukum, tapi lebih mengenal

adab. Mereka tahu jalan ke istana, tapi lebih memilih jalan menuju surga.

Lantas, mengapa kita diam?

Saya menulis ini bukan karena saya punya kuasa. Saya hanya seorang penulis yang amat sangat amatir, yang tak punya mikrofon, tapi percaya bahwa kata-kata bisa lebih lantang dari pengeras suara parlemen.

Wahai pemimpin, dengarlah.

Madrasah tidak butuh belas kasihanmu. Madrasah butuh pengakuan. Butuh keadilan.

Jangan nilai mereka dari megahnya bangunan. Lihat dari dalamnya pengabdian. Jangan ukur mereka dari jumlah honor, ukur dari keberanian mereka mengajar dalam keterbatasan. Jangan tanya di mana suara mereka, karena mereka tak teriak— mereka bekerja dalam diam.

Kita sering menyuarakan bahwa pendidikan karakter adalah penyelamat bangsa. Tapi karakter macam apa yang kita harapkan jika tempat paling karakteristik dalam mendidik justru ditelantarkan?

Di sana, di madrasah dan pesantren, anak-anak diajarkan berdoa sebelum membaca. Diajar minta maaf sebelum tidur. Diajak menangis dalam doa malam. Mereka tidak sekadar belajar— mereka ditempa.

Negara bangga punya universitas besar dengan anggaran besar. Tapi siapa yang berani menyebut bahwa moral anak negeri akan lahir dari anggaran semata?

Honor guru madrasah hanya sekitar Rp100.000 per bulan. Jauh dari layak. Tapi mereka tak pernah menjadikan angka sebagai alasan untuk absen. Mereka mengajar dengan tekad, bukan dengan tagihan.

Di antara debu, peluh, dan tikar yang sudah tua, mereka berdiri. Karena bagi mereka, mendidik bukan pekerjaan—melainkan jalan hidup. Jalan sunyi yang tak diberitakan, tapi ditulis malaikat. Apakah itu belum cukup jadi alasan bagi negara untuk berpihak? Saya menulis ini sebagai permohonan dan peringatan.

Permohonan:

Berikan madrasah dan pesantren anggaran yang layak. Berikan mereka perlakuan setara.

Berikan mereka kesempatan tumbuh, bukan dengan belas kasihan, tapi dengan keadilan yang jujur.

Peringatan:

Jangan biarkan mereka terus berdiri sendiri. Sebab jika madrasah tumbang,

bangsa ini kehilangan akarnya. Dan bangsa yang kehilangan akar adalah bangsa yang mudah roboh oleh angin.

Penutup

Saya menulis dengan penuh kesadaran bahwa mungkin tulisan ini hanya dibaca sedikit orang. Tapi saya percaya, satu hati yang tergugah lebih berarti daripada seribu yang diam.

Madrasah telah lama memberi tanpa syarat. Maka sudah saatnya negara memberi tanpa pamrih.

Karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat—juga berarti untuk pesantren.

Sebagai bagian dari keluarga besar Pondok Pesantren ini, kami bangga mempersembahkan tulisan dari salah satu alumni terbaik kami. Melalui pengalamannya yang berharga selama menuntut ilmu di pondok, ia kini berbagi pemikiran, pengetahuan, dan refleksi dalam bentuk artikel jurnal ini. Semoga apa yang disampaikannya menjadi inspirasi, menambah wawasan, serta menguatkan semangat kita semua untuk terus menebar manfaat, menuntut ilmu, dan meneladani nilai-nilai luhur pesantren. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Penulis: Munawar Hakimi Ahmad Q

Editor: M Wildan Musyaffa

Tantangan Internal Umat: Wahabi & Rafidi

            Sejarah pergerakan Islam pernah mencatat paham yang secara politik memosisikan diri sebagai oposisi secara ekstrem yang ditujukan pemerintahan (khalifah) Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mereka disebut Khawarij, karena memang sejatinya sudah keluar (Kharaja), memilih mufaraqah (menyempal dan lalu jadi firqah) Khalifah Ali dan mayoritas umat Islam yang Bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

            Mereka telah menafsirkan teks (ayat-ayat Al-Qur’an) dan hadis-hadis Nabi Muhammad sesuai Hasrat ideologi dan afiliasi politiknya. Sulit sekali untuk diajak kompromi, karena tujuannya memang secara ‘radikal’ untuk meruntuhkan pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah tersebut.

            Dalam periode yang sama muncul reaksi atas kemunculan Khawarij, Yakni Syiah, yang kemudian ‘membela’ Sayyidina Ali secara berlebihan (ghuluw), hingga Sayyidina Ali sendiri segera bersikap tatkala menghadapi fenomena perpecahan ini dengan kata-katanya, “Halaka fiyya isnan: muhibbun gal wa mubgidun qal” (celakalah dua kubu yang merespons diriku: mereka yang mencintaiku secara berlebihan dan yang membenci secara keterlaluan!). Yang membenci Ali secara keterlaluan adalah kaum Khawarij, hingga membunuhnya dengan alasan Ali tidak mengikuti salaf (sahabat terdahulu) dan malah dihukumi sebagai tagut hingga dihalalkan darahnya, dan memang akhirnya benar-benar dibunuh secara sadis orang seorang Khariji bernama Abdurrahman bin Muljam. Sementara Syiah Rafidah (fa’il-nya disebut Rafidi), kemudian berkembang tidak saja mengultuskan Ali, bahkan cenderung menolak Salaf (Syaikhain, yakni Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar, serta Sayyidina Utsman).

            Begitulah paham yang mengklaim sebagai Gerakan “Puritanisme Islam” (Salafi dan atau Rafidi). Lantas belakangan muncul dalam bentuk yang hamper sama, bahkan beberapa hal lebih ekstrem dari genre aslinya, ditandai dengan dua persoalan pokok, yaitu Tahrif dan Takfir. Mula-mula memang karena factor problem tafsir, tetapi berikutnya berkembang menjadi tradisi Tahrif (distorsi teks) dan Takfir atau pengafiran terhadap mereka yang tidak sepaham dengan ideologi versi mereka itu.

            Fenomena “Salafi” (Baca: Wahabi, yang selalu mengklaim sebagai Ahlusunnah Wal Jama’ah dalam mazhab empat) dan “Rafidi” (Baca: Syiah Isna ‘Asyariah), yang mengklaim sebagai mazhab Ahlul Bait) terasa marak semenjak digulirkannya reformasi tahun 1998. Mereka diuntungkan dengan isu kebebasan dan HAM (hak asasi manusia) yang telah menjadi semacam ikon reformasi mulai saat itu.

            Oleh karena itu, semenjak itulah melalui kaderisasi, pembukaan Yayasan, pembentukan opini via media online, cetak, radio, TV, dan penyebaran kader di pemerintahan dan parpol, mereka meluaskan pengaruh pada Masyarakat. Sementara resistensi umat mayoritas terhadap agresivitas mereka ini belum cukup memadai. Sejumlahb uku yang disebarkan Cuma-Cuma telah sempat meracuni akidah dan melukai keyakinan mayoritas umat, yang selama itu hidup secara kondusif dalam mengamalkan ajaran agama.

            Meman gada beberapa bantahan buku dan counter ceramah dari Aswaja, tetapi respons ini tidak sebanding dengan “serangan” dahsyat yang mereka lakukan melalui jaringan yang cukup luas, bahkan yang memprihatinkan adalah beberapa masjid NU sudah dikuasai, sehingga hilanglah karakteristik ke-NU-an yang selama ini dipertahankan.

            Dalam kondisi objektif seperti ini rasanya sulit sekali bila kita mau berupaya untuk merajut ukhuwah dengan mereka, karena dalam kenyataannya pengaruh ‘radikal’ mereka kini sudah sangat sistemik di Tengah Masyarakat, hingga timbul kekhawatiran: hal itu tidak saja telah merusak solidaritas persaudaraan di Tengah umat yang sudah terajut selama ini, malah dapat mengancam keamanan nasional dan keutuhan NKRI.

            Oleh karena itu, melalui catatan sederhana ini, saya menyampaikan beberapa hal yang perlu diprioritaskan dalam rangka menghentikan radikalisme aliran-aliran ekstrem yang mengancam ukhuwah umat Indonesia, khususnya bagi kalangan Nahdliyyin:

            Pertama, harus ada respons terhadap buku-buku dan ceramah yang diterbitkan mereka untuk meluruskan segala Upaya Tahrif, baik oleh Rafidi yang menyatakan bahwa Al-Qur’an mushaf Utsman itu berkurang/diselewengkan seperti keyakinan mereka, juga termasuk Takfir terhadap para pembesar sahabat dan istri Nabi Muhammad, maupun atas Tahrif yang dilakukan oleh Salafi/Wahabi terhadap kitab-kitab Ahlusunnah Wal Jamaah yang secara sengaja mereka pelintir dan ditulis ulang dengan dusta untuk kepentingan ideologi merekan dan Takfir atas ulama Sunni (NU) yang tidak sealiran dengan mereka. Jaringan para penerbit Aswaja harus lebih solid dalam melakukan radd (bantahan) terhadap manuver mereka ini, karena konspirasi ideologi yang memiliki akses luas dan sumber-sumber finansial yang besar itu sudah sangat mengancam eksistensi Aswaja.

            Kedua, membangun jaringan (networking) yang lebih luas untuk mengembangkan pengaruh Aswaja dalam rangka revivalisme Ahlusunnah Wal Jamaah di Tengah generasi muda yang kini Sebagian mulai merasa goyah dengan aksi aliran-aliran sesat-menyesatkan itu.

            Ketiga, mewaspadai adanya konspirasi anti Pancasila dan NKRI yang berbungkus agama, sehingga memengaruhi Sebagian umat, terutama remaja dan mahasiswa yang dapat ditunggangi untuk kepentingan politik praktis mereka. Kepentingan asing juga ikut berpengaruh dalam aktivisme ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari proses ‘radikalisme’ yang ekstrem mereka lakukan terhadap remaja dan mahasiswanya.

            Keempat, melalui RMI semua pondok pesantren se-Indonesia merapkan kurikulum Aswaja, yang harus diajarkan sejak dini kepada para santri. Pemahaman Aswaja tidak dibatasi pada kajian furu’ (perkara-perkara incidental) dalam syariat, tetapi juga hendaknya dimulai dari tekaah usul (pokok-pokok yang principal) dalam akidah.

            Kelima, NU harus mengusulkan agar manhaj Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang sudah berakar diamalkan oleh umat NU, Muhammadiyyah, Tarbiyyah Islamiyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Rabithah ‘Alawiyah, dan Al-Irsyad ini dikukuhkan pemerintah sebagai manhaj atau paham resmi negara yang sudah dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia sejak ratusan tahun.

            Keenam, ukhuwwah yang sejati dan sungguh-sungguh harus dimulai secara internal antarkalangan Nahdliyyin dan intra antara ormas Islam yang ada dalam koridor Aswaja secara umum.

            Demikian catatan kecil sepercik pendapat ini semoga ada mamfaatnya. Wallahu A’lam Bissawab. Wallahul-Muwaffiq Ilaaqwamit-tariq.

(*) Catatan ini disusun untuk Halaqah Nasional Kiai Ponpes Ahlusunnah Wal Jamaah dalam rangka Mubahasah Tentang Paham Radikalisme yang merupakan ancaman serius bagi keberadaan NKRI (Makalah Seminar Nasional di Ponpes Al-Falah, Bandung, 2012)

Referensi Buku: Problema Ke-Umatan & Ke-Bangsaan | Pandangan Sosiolog Agama | Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A. | Cetakan Pertama: November 2022 | hlm. 189 s/d 195 |

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Apakah Tawasul Itu Syirik? Baca Ini Terlebih Dahulu !

Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam terbanyak di dunia. Mayoritas aliran yang dianut warga muslim Indonesia adalah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).  Selain Ahlussunnah wal Jama’ah, ada aliran lain yang diikuti sebagian kecil masyarakat Indonesia, seperti aliran Wahabi, LDII, dan Ahmadiyah.

Mirisnya, sejumlah aliran selain Aswaja ini berkampanye untuk menyalahkan amalan-amalan yang dibolehkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antaranya adalah ziarah, merayakan maulid Nabi, tahlilan, tawasul, dan sebagainya.

Apa itu Tawasul menurut Aswaja?

Berdoa kepada Allah dengan perantara amal saleh atau sosok mulia (seperti Nabi Muhammad), bukan menyembah perantaranya.

Dan, Apakah Tawasul Boleh?

Boleh, bahkan disepakati kebolehannya jika menggunakan amal saleh.
➡️ Tawasul melalui Nabi atau orang saleh juga boleh selama diyakini hanya sebagai wasilah, bukan yang mengabulkan doa.

Kenapa Ada Yang Bilang Tawasul Syirik?

Kelompok seperti Wahabi salah paham, mengira kita menyembah perantara. Padahal, menurut Aswaja, kita tetap berdoa kepada Allah — perantara hanya bentuk cinta dan penghormatan.

Oleh karena itu, kita sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, kita harus mengetahui pola pikir ulama kita mengenai amalan-amalan yang dibolehkan. Agar keyakinan kita tidak mudah goyah ketika didebat oleh kelompok lain. Dan yuk fokus pembahasan kita kali ini adalah tawasul. Penasaran? Mari kita ulas hingga tuntas!

Tawasul yang Disepakati Kebolehannya

Meskipun ada kelompok yang menyalahkan tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah (akan dijelaskan nanti), ada satu cara tawasul yang disepakati semua ulama atas kebolehannya. Yaitu tawasul menggunakan amal saleh yang kita miliki.

📚 Kebolehan tawasul ini berlandaskan hadis yang mengisahkan tiga orang sedang terjebak di dalam satu gua. Orang pertama berdoa kepada Allah dan menjadikan amal baiknya kepada orang tua sebagai wasilah. Orang kedua menggunakan usahanya menjauhi maksiat ketika hendak melakukannya sebagai wasilah. Sedangkan orang ketiga menggunakan perilaku amanah dan menjaga diri dari harta orang lain kemudian menyerahkan semua kepada pemiliknya sebagai wasilah. Kemudian Allah mengeluarkan mereka dari gua tersebut sebab doa dan tawasul yang mereka lakukan.

Tawasul yang Diperdebatkan

Pandangan kelompok lain menganggap tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah seperti melakukan tawasul dengan zat atau manusia merupakan tindakan syirik. Contohnya seperti kita berdoa dan mengucapkan:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawasul kepada-Mu melalui nabi-Mu (Muhammad Saw).”

Menurut Sayyid Alwi Al-Maliki, sebenarnya tidak ada masalah ketika menggunakan tawasul semacam ini. Karena dengan mengucapkan tawasul di atas sama halnya kita mengatakan:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِمَحَبَّتِيْ لِنَبِيِّكَ

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan rasa cintaku kepada Nabi-Mu sebagai wasilah kepada-Mu.”

Jika tawasul yang disepakati kebolehannya adalah tawasul dengan amal saleh, secara tidak langsung juga membolehkan tawasul ala Ahlussunnah wal Jama’ah. Sekilas tawasul yang kita lakukan memang tertuju pada orang. Tetapi, jika kita renungi lebih dalam, yang kita jadikan tawasul bukan orangnya. Melainkan rasa cinta kita terhadap orang yang dijadikan wasilah. Ini termasuk tawasul dengan amal saleh!

Pengertian Tawasul Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah

Mengutip dari kbbi.kemdikbud.go.id, tawasul berarti memohon atau berdoa kepada Allah Swt. dengan perantara nama seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Allah. Ini jika kita tinjau dari bahasa Indonesia. Bagaimana menurut Ahlussunnah wal Jama’ah?

Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Husaini, dalam kitabnya yang bernama Mafahim Yajibu an Tushahah, beliau mencantumkan empat poin yang harus diketahui untuk memahami hakikat tawasul menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.

Pertama. Tawasul hanya sekadar perantara atau wasilah untuk membantu kita mendekatkan diri kepada Allah. Dan ini adalah salah satu cara berdoa. Tidak lebih dari itu.

أَوَّلًا: أَنَّ التَّوَسُلَ هُوَ أَحَدُ طُرُقِ الدُّعَاءِ وَبَابٌ مِنْ أَبْوَابِ التَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، فَالْمَقْصُوْدُ الْأَصْلِيُّ الْحَقِيْقِيُّ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَالْمُتَوَسَّلُ بِهِ إِنَّمَا هِيَ وَاسِطَةٌ وَوَسِيْلَةٌ لِلتَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَمَنْ اِعْتَقَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَقَدْ أَشْرَكَ.

Artinya: “Pertama. Tawasul adalah salah satu dari cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap Allah. Dan inti dari doa tersebut adalah Allah Swt. Dan orang yang dijadikan wasilah hanyalah sebagai perantara belaka untuk mendekatkan diri kepada Allah. Barang siapa yang meyakini selain keterangan ini, maka dia menjadi syirik.”

Kedua. Orang yang melakukan tawasul, itu hanya karena kecintaannya terhadap orang yang dijadikan wasilah dan meyakini bahwa Allah mencintai orang tersebut.

ثَانِيًا: أَنَّ المُتَوَسِّلَ مَا تَوَسَّلَ بِهَذِهِ الوَاسِطَةِ إِلَّا لِمَحَبَّتِهِ لَهَا وَاعْتِقَادِهِ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يُحِبُّهُ، وَلَوْ ظَهَرَ خِلَافَ ذَلِكَ لَكَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ عَنْهَا وَأَشَدَّ النَّاسِ كَرَاهَةً لَهَا.

Artinya: “Kedua. Orang yang melakukan tawasul tidak menjadikan orang sebagai wasilah kecuali karena kecintaannya terhadap orang tersebut dan meyakini bahwa Allah juga mencintainya. Jika zahirnya tidak demikian, maka dia adalah orang yang paling jauh dan benci kepada orang yang dijadikan wasilah.”

Ketiga. Ketika orang yang memahami bahwa orang yang dijadikan wasilah bisa memberi manfaat dan mafsadat seperti Allah atau hampir setara dengan Allah, maka termasuk orang yang syirik.

ثَالِثًا: أَنَّ المُتَوَسِّلَ لَوْ اعْتَقَدَ أَنَّ مَنْ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى اللهِ يَنْفَعُ وَيَضُرُّ بِنَفْسِهِ مِثْلَ اللهِ أِو دُوْنَهُ فَقَدْ أَشْرَكَ

Artinya: “Ketiga. Seandainya orang yang melakukan tawasul meyakini bahwa orang yang dijadikan wasilah bisa memberikan manfaat dan mafsadat seperti Allah atau hampir setara dengan Allah maka dia menjadi syirik.”

Keempat. Dikabulkan atau tidaknya doa, tidak bergantung pada tawasul.

رَابِعًا: أَنَّ التَّوَسُّلَ لَيْسَ أَمْرًا لَازِمًا أَوْ ضَرُوْرِيًّا وَلَيْسَتْ الإِجَابَةُ مُتَوَقِّفَةً عَلَيْهِ، بَلِ الْأَصْلُ دُعَاءُ اللهِ تَعَالَى مُطْلَقًا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ وَكَمَا قَالَ تَعَالَى قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

Artinya: “Keempat. Sesungguhnya tawasul itu bukan hal yang harus dilakukan. Dan tawasul tidak menjamin atas dikabulkan atau tidaknya sebuah doa, tetapi secara mutlak yang dilakukan adalah berharap kepada Allah. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 186, “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat” atau dalam surat Al-Isra’ ayat 110 “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Serulah ‘Allah’ atau serulah ‘Ar-Rahman’! Nama mana saja yang kamu seru, (maka itu baik) karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaulhusna).”

Dalil Kebolehan Tawasul Ala Ahlussunnah wal Jama’ah

Dari penjelasan di atas, jika masih ada saja kelompok yang tidak terima dan tetap menyalahkan tawasul ala Ahlussunnah wal Jama’ah, tenang saja. Sayyid Alwi Al-Maliki menjelaskan bahwa tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah ini memiliki landasan langsung dari Al-Quran. Yaitu surat 📖 Al-Ma’idah ayat 35 yang berbunyi,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya.”

Beliau menjelaskan bahwa lafaz الْوَسِيْلَةَ memiliki makna umum. Dalam arti kita bebas berwasilah baik menggunakan zat yang mulia seperti para nabi dan orang-orang saleh baik dalam kondisi hidup atau sudah mati, maupun berwasilah dengan menggunakan amal saleh.

Kesimpulan

Tawasul dibolehkan dalam Islam, terutama menurut Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), baik melalui amal saleh maupun melalui kecintaan kepada Nabi dan orang saleh. Tuduhan syirik oleh kelompok lain (seperti Wahabi) muncul dari kesalahpahaman, padahal tawasul bukan menyembah perantara, tapi menjadikannya wasilah menuju Allah. Al-Qur’an dan hadis mendukung kebolehan tawasul.

Saya rasa dalil ini sudah cukup untuk meyakinkan kita bahwa tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah adalah tindakan yang diperbolehkan. Sekian dari penulis, Terima kasih.

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Idul Adha Jatuh pada Hari Jumat, Apakah Masih Wajib Shalat Jumat?

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengikhbarkan Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1446 H jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025. Hal ini menyusul laporan rukyatul hilal Lembaga Falakiyah (LF) PBNU yang berhasil melihat hilal. Karenanya, awal Dzulhijjah 1446 H jatuh pada, Rabu, 28 Maret 2025. Sering menjadi pembicaraan mengenai lebaran yang jatuh pada hari Jum’at bahwa ketika kita sudah melaksanakan shalat id, tidak perlu melaksanakan shalat Jum’at karena mendapatkan rukshah. Seperti hadist mengenai rukhsah yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam sebagai berikut: قال: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَصَ فِي الْجُمْعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ “Rasulullah menjalankan shalat Id kemudian memberikan rukhshah untuk tidak menjalankan shalat Jumat, kemudian beliau bersabda,” Siapa ingin shalat Jumat, Silakan!” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Darami serta Ibnu Khazimah dan Al-Hakim).

Tidak ada diskusi secara khusus tentang pembahasan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, yang jatuh pada hari Jumat. Hari raya adalah sesuatu yang berbeda dari hari Jumat. Namun, jika kita berbicara tentang seseorang yang rumahnya jauh dari masjid, apakah ia harus kembali ke masjid untuk shalat Jumat setelah melaksanakan shalat hari raya di pagi hari? Ustadz A Khoirul Anam dalam artikel berjudul Ketika Idul Fitri dan Idul Adha Jatuh dihari Jumat yang dikutip oleh NU Online Jateng, Selasa (28/05/2025) menjelaskan bahwa, ada kisah sahabat yang rumahnya jauh dari Madinah, sejauh 4 km atau mungkin lebih, dan harus ditempuh dengan jalan kaki melalui padang pasir, seperti di zaman awal Islam.

Apakah ia harus membawa kendaraannya kembali ke Madinah untuk shalat Jumat? Sungguh dirasa melelahkan jika ia harus kembali menempuh perjalanan dari rumah ke masjid dan sebaliknya. Selanjutnya, apakah Islam tidak menawarkan solusi?

Di sinilah perselisihan muncul. Ustadz Khoirul Anam menjelaskan dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa orang dapat melakukan shalat Jumat di rumah dan menggantinya dengan shalat Dzuhur tanpa harus kembali ke masjid. Rukhshah, atau keringanan agama, adalah salah satunya. Pendapat kedua mengatakan bahwa kasus di Madinah pada awal Islam dapat diterima, tetapi apakah kita di Indonesia benar-benar mengalami hal yang sama? Bagi masyarakat di Indonesia, yang mayoritas adalah kaum warga NU, hampir disetiap dusun memiliki masjid, yang biasanya hanya berjarak kurang dari 1 km dan tidak melewati padang pasir.

Karena itu, orang Muslim harus kembali ke masjid untuk mengerjakan shalat Jumat setelah shalat hari raya atau shalat Id di pagi hari, pendapat kedua itulah yang dipilih sebagian besar orang NU di Indonesia khususnya. Meskipun demikian, banyak yang mengikuti jejak orang-orang dari golongan pertama. Tidak harus ada alasan, seperti perbedaan geografis dan cuaca, untuk mengajukan kasus di Madinah. Rukhshah jelas harus disambut. Shalat hari raya atau shalat Id yang jatuh dihari jumat memiliki landasan masing-masing dalam melaksanakannya, Imam Syafii seperti dikutip dalam kitab Al-Mizan lis Sya’rani Juz I mengatakan, jika kebetulan hari raya jatuh pada hari Jumat maka bagi masyarakat yang tinggal didaerah perkotaan kewajiban menjalankan shalat Jumat tidak gugur dikarenakan telah menjalankan shalat Id. Lain halnya dengan masyarakat pedesaan (yang amat jauh), kewajibannya mengerjakan shalat Jumat gugur, mereka diperbolehkan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat di siang harinya. Didalam kitab yang sama, pendapat Imam Syafii dan Abu Hanifah sama. Menurut Imam Ahmad, orang-orang di desa dan kota tidak perlu melakukan shalat Jumatan karena mereka telah melakukan shalat Id; namun, beda halnya menurut Imam Atha’, ia mengatakan bahwa kewajiban shalat dzuhur juga ikut gugur seperti halnya shalat jumat, dan pada hari itu tidak ada shalat setelah shalat Id kecuali shalat ashar.

Sumber: Idul Adha Jatuh pada Hari Jumat, Apakah Masih Wajib Shalat Jumat?

Pewarta: M Wildan Musyaffa