Keterkaitan adzab kaum Nabi Luth di zaman sekarang

Diriwayatkan, suatu hari Nabi Luth menerima dua orang tamu laki-laki. Para tamu itu sangat tampan rupawan, wajahnya sangat mengesankan dan menarik untuk dipandang. Dua orang tamu Luth tersebut sesungguhnya para Malaikat yang menyerupai wujud dan wajah manusia. Datang sebagai utusan Allah untuk memberikan pelajaran kepada Nabi Luth dan kaum Sodom.

Umat Nabi Luth, yaitu kaum Sodom, sebagian mereka adalah kaum yang memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Lazimnya laki-laki menyukai perempuan dan sebaliknya, tetapi tidak dengan kaum Sodom, mereka penyuka sesama jenis. Atas informasi dari istri Luth bahwa di rumah mereka ada tamu dua orang laki-laki tampan, laki-laki kaum Sodom beramai-ramai “menggeruduk” rumah Luth. Sebagian mereka mengintip dari balik dinding dan pintu dengan penuh nafsu untuk melihat secara langsung tamu-tamu yang tampan itu.

Sebagian kamu Sodom bahkan memaksa masuk dengan mendorong paksa pintu rumah Luth demi bisa “berkenalan” dengan tamu-tamu istimewa ini. Berkenalan dalam istilah kaum Sodom adalah ingin mengambil dan memiliki serta mencumbui para tamu itu sebagai mana orang yang kasmaran ingin ber-asyik masyuk. Karena perilaku kaumnya itu, Nabi Luth merasa sangat malu dengan kedua tamunya. Apalagi Luth tahu yang bertamu ke rumahnya itu  bukanlah manusia biasa, tetapi para Malaikat utusan Allah SWT.

Melihat perilaku yang sangat kurang ajar dari kaum Sodom itu, maka para tamu yang sebenarnya malaika itu keluar rumah dan mengepakkan sayapnya yang membuat sebagian kaumuSodom itu menjadi buta, tidak bisa melihat dan mereka pulang dengan penuh kesakitan  serta hanya bisa meraba-raba sebatas yang bisa mereka lakukan.

Bahkan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 80-81, Nabi Luth mengatakan bahwa perbuatan keji yang dilakukan kaumnya itu merupakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun sebelum kaum lain di dunia ini. Dengan demikian kaum Sodom adalah pioneer atau kaum pemula yang memiliki perilaku menyimpang secara seksualitas. Dari perilaku kaum Sodom inilah perilaku homosesual mulai ada hingga sampai sekarang di zaman modern ini. Homoseksualitas adalah peccatum sodomiticum atau Sin of Sodom, dosa kaum Sodom.

Pada akhirya, atas perintah Allah SWT, Luth dan para pengikut yang beriman kepadanya, tidak termasuk istrinya yang telah berkhianat, diminta untuk meninggalkan tempat tinggal mereka dan meninggalkan kaum Sodom yang berperilaku menyimpang itu. Di kala waktu subuh tiba,  Allah mengazab dengan menjatuhkan batu-batu yang sangat panas membakar kepada kaum Sodom dan membalikkan bumi yang mereka tempati (lihat Al-Qur’an surat Al-Qamar: 33-39).

Dan dari kejadian di atas adzab yang menimpa kaum nabi Luth, mulai terjadi sedikit demi sedikit di zaman sekarang, seperti yang sedang populer yang terjadi di los Angeles, yang terjadinya kebakaran Tiupan angin yang kuat turut mendorong kobaran api kian menjadi. banyak penyebab yang menyebabkan kebakaran di los Angles salah satu nya di sebabkan banyak nya yang melakukan sexsual.

Pada masa sekarang ini, perilaku kaum Sodom itu bermetamorfosa menjadi LGBT (Lesbianisme, Gay, Biseksual dan Transgender). Perkembangannya sangat mengkhawatirkan, semakin lama semakin masif. Pergerakannya yang dahulu sembunyi-sembunyi sekarang ini semakin terang-terangan. Menuntut kesamaan dan persamaan hak dengan dalih kebebasan dan Hak Asasi Manusia.

Beberapa negara sudah memberikan kelonggaran kepada mereka, kaum LGBT tersebut. Salah satunya adalah membolehkan dan mengesahkan pernikahan sesama jenis. Banyak gereja di beberapa negara telah memberikan pemberkatan terhadap pernikahan sesama jenis. Kampanye secara terbuka di media sosial kaum ini sangat menarik dan tanpa henti. Pertemuan-pertemuan kelompok ini secara internasional maupun regional rutin dilakukan. Tujuannya, mendapatkan pengakuan dan legalisasi perilaku menyimpang ini dalam tatanan pemerintahan.

Hikmah di Balik Keputusan Rasulullah Memilih Hidup Sederhana

Rasulullah saw adalah makhluk terbaik sepanjang masa yang diciptakan dan diutus oleh Allah ke muka bumi. Perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan selalu menyisakan hikmah yang berharga untuk umatnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa Rasulullah adalah suri teladan yang baik. Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:
  لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ  
Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.”

Salah satu keteladanan Rasulullah yang dapat diikuti ialah beliau memilih hidup dalam kesederhanaan. Dalam sejarahnya, Rasulullah bukan terpaksa hidup sederhana, keputusan itu semata-mata karena pilihan hati dan supaya menjadi teladan bagi umatnya.   Disebutkan dalam sebuah riwayat, Allah swt pernah menawarkan kepada Rasulullah, padang pasir Makkah yang tandus akan diubah menjadi hamparan surga yang berisi emas gemerlapan dan diberikan kepada Rasulullah saw. Tetapi, Rasulullah memutuskan untuk menolak dan memohon agar diberi kecukupan dan hidup sederhana.   Hal ini disampaikan langsung oleh Rasulullah saw dalam hadistnya, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:

  عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” ‌عَرَضَ ‌عَلَيَّ ‌رَبِّي ‌لِيَجْعَلَ ‌لِي ‌بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا. فَقُلْتُ: لَا. يَا رَبِّ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وَأَجُوعُ يَوْمًا، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ، وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ وَشَكَرْتُكَ

Artinya: “Dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: ‘Tuhanku (Allah) telah menawarkan kepada diriku, bahwa Dia ingin menjadikan padang pasir Makkah sebagai emas. Kemudian aku menjawab: Jangan, wahai Tuhanku. Tetapi, aku hanya ingin kenyang untuk sehari dan lapar sehari di hari yang lain atau semacam keduanya. Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu dan mengingatmu. Begitu pun ketika aku kenyang, aku akan memujimu dan lalu bersyukur.” (HR. Tirmidzi)  

Baca Juga : Teladan Rosululah dalam Membangun Perekonomian yang Berkeadilan

Syekh Ali bin Sulthon Muhammad dalam kitab Mirqotul Mafatih menjelaskan hadits tersebut, bahwasanya Allah swt mengajak Rasulullah bermusyawarah sekaligus menawarkan pilihan kepadanya untuk memperoleh kemegahan hidup atau menjalani kehidupan yang sederhana dan serba cukup di dunia.   Allah hendak menjadikan padang pasir yang ada di Makkah untuk Rasulullah atau terkhusus bagi umatnya, yakni dengan mengubah batu dan pasirnya menjadi emas. Namun, tawaran tersebut ditolak langsung oleh Rasulullah karena ia memillih untuk kenyang dalam satu waktu, lalu dengan kenyang tersebut ia bisa bersyukur. Kemudian lapar di waktu yang lain, lalu dengan lapar ini ia bisa bersabar.   Selanjutnya, Syekh Ali menjelaskan dan menafsirkan alasan Nabi Muhammad saw memilih hidup cukup dan sederhana dalam haditsnya tersebut, ia mengungkapkan:

  فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ) أَيْ: بِعَرْضِ الِافْتِقَارِ عَلَيْكَ (وَذَكَرْتُكَ) أَيْ: بِسَبَبِهِ فَإِنَّ الْفَقْرَ يُورِثُ الذِّكْرَ، كَمَا فِي الْغِنَى يُوجِبُ الْكُفْرَ  وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ) أَيْ: بِمَا أَلْهَمَتْنِي مِنْ ثَنَائِكَ (وَشَكَرْتُكَ) : عَلَى إِشْبَاعِكَ وَسَائِرِ نَعْمَائِكَ

  Artinya: “Sabda Nabi (Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu) artinya, akan menampakkan kerendahan diriku terhadap-Mu (Allah). (lalu aku akan mengingat-Mu) yaitu, mengingat Allah sebab lapar. Sungguh, karena kefakiran itu bisa mewariskan dzikrullah. Sebagaimana halnya merasa kaya yang mewariskan kepada kufur nikmat. Kemudian sabda Nabi, (Apabila aku kenyang, aku akan memuji-Mu) maksudnya adalah memuji dengan apa yang telah dianugerahkan kepadaku dari kemahakuasaan-Mu, (Maka, aku akan bersyukur kepada-Mu) yakni, dengan kenyang yang Engkau berikan dan seluruh nikmat-Mu yang lain.” (Ali bin Sulthon Muhammad, Mirqotul Mafatih, [Beirut: Darul Fikr, 2003] jilid VIII, halaman 3249-3250)
  Hikmah Rasulullah Pilih Hidup Sederhana Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib menjelaskan, ada seseorang bertanya terkait hikmah di balik keputusan Nabi Muhammad saat diberi tawaran kemewahan hidup, sebagaimana penjelasan hadits tersebut. Syekh Hasan menyebutkan beberapa hikmah sekaligus menjawab pertanyaan tersebut, yaitu sebagaimana berikut:   Jika Nabi Muhammad hidup dalam kekayaan dan kemegahan, maka kaumnya akan menuduh bahwa dia adalah orang yang gila harta dan tamak. Untuk itu, Rasulullah memilih tetap hidup sederhana. Allah-lah yang menjadikan Nabi Muhammad memilih tetap dalam kesederhanaan. Supaya hati orang fakir merasa ikut bahagia dengan kesederhanaan hidup (karena merasa senasib). Sebagaimana para orang kaya bergembira dengan harta. Harta adalah benda yang tidak akan terlepas dari ikatan hukum halal dan haram. Keharamannya akan membawa kepada azab (siksaan), sedangkan halalnya akan dihisab (diminta pertanggungjawaban). Sehingga hisabnya akan menyibukkan Rasulullah di hari kiamat nanti. Hal ini bisa menyebabkan waktu beliau terkuras dan terganggu untuk memberikan syafaat kepada umatnya. Karena inilah, Rasulullah memilih hidup sederhana. Kesederhanaan Rasulullah menjadi bukti bahwa kehidupan dunia bagi Allah swt itu tidak ada artinya. Sebagaimana sabda Rasul dalam hadisnya yang lain, “Seandainya dunia ini ditimbang di sisi Allah, niscaya beratnya bagaikan sayap nyamuk. Seakan-akan (dunia) itu hanya menjadi tempat peruntungan hidup orang-orang kafir.” (HR. Ibnu Majah) Kesederhanaan yang dipilih oleh Rasulullah saw menjadi bukti, bahwa sederhana itu lebih berharga dibandingkan dengan kaya. Karena Rasulullah sebagai makhluk terbaik, justru memilih hidup sederhana. (Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri, Fathul Qarib al-Mujib, [Riyadh, Maktabah Darussalam, 2018] halaman 4948, jilid 13)
Demikianlah hikmah di balik pilihan Rasulullah hidup dalam kesederhanaan. Beliau rela memilih makan sehari dan lapar di hari yang lain ketika ditawarkan hidup yang penuh dengan kemewahan. Hal ini menjelaskan bahwa hidup sederhana itu adalah sebuah keistimewaan. Namun yang perlu ditekankan adalah kita perlu bersyukur dan bersabar dalam menjalani dinamika kehidupan ini, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Wallahu a’lam.

Sumber: nu.online

Teladan Rasulullah dalam Membangun Perekonomian yang Berkeadilan

Allah SWT mengutus para Rasul ketika nilai-nilai kemanusiaan mengalami kemerosotan. Manusia memiliki peran untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat dengan menyembah Allah SWT serta menjaga hubungan baik antarsesama. Salah satu nilai kemanusiaan yang rusak saat itu adalah ketidakadilan dalam transaksi jual beli. Para Rasul diutus untuk memperbaiki akhlak yang merosot ini. Ada di antara umat yang beriman, namun ada juga yang tetap tenggelam dalam kekufuran, sehingga Allah SWT menurunkan azab kepada umat-umat terdahulu.   Contohnya adalah umat Nabi Syu’aib yang mengurangi timbangan dalam berdagang. Perintah untuk berlaku adil dan tidak menzalimi sesama manusia telah dijelaskan dalam Al-Quran, sebagaimana firman Allah SWT:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Al-Quran, Surah An-Nisaa : 29).  Dalam Islam, kesejahteraan merupakan unsur penting dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Kepemilikan harta oleh orang beriman memfasilitasi terciptanya kesejahteraan melalui praktik sedekah dan wakaf. Sedekah dan wakaf ini menjadi salah satu upaya kaum muslimin dalam ihyaul ummah, yakni menghidupkan kesejahteraan di tengah umat Islam.

Dalam sirah Rasulullah, kemerosotan akhlak terjadi pada masyarakat jahiliah. Pada masa itu, kehidupan masyarakat sangat timpang; yang kaya semakin kaya dan menindas yang miskin, sementara yang miskin terus diperlakukan secara tidak manusiawi. Kehadiran Rasulullah SAW bersama para sahabatnya kemudian berhasil memulihkan peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan. (Safiyurrahman Al-Mubarakfuri, Rahiqul Makhtum, [Iskandariah: Dar Ibn Khaldun, t.t., hal. 33). Sejak awal kehidupannya di Mekkah, Rasulullah SAW sudah terlibat dalam aktivitas perdagangan. Beliau mengikuti pamannya dalam kafilah dagang ke negeri Syam, dan kemudian menjalin hubungan bisnis dengan Sayyidah Khadijah. (Muhammad Said Ramadan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Damaskus: Darul Fikri, 2005], hal. 52). Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah cukup memahami seluk-beluk dunia perniagaan. Dalam berniaga, beliau selalu menekankan pentingnya amanah dan kejujuran dalam setiap aktivitas bisnis. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ الأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَلصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ Artinya: “Dari Abi Sa’id, dari Nabi saw bersabda: ‘Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada’.”  (Al-Munawi, Faidhul Kabir, [Beirut, Darul Ma’rifah, tt], jilid III, halaman 278). Di Madinah, Rasulullah SAW memakmurkan masjid (imaratul masjid) dan memperkuat persaudaraan di antara umat Islam, serta membangun hubungan dengan seluruh elemen suku yang ada di Madinah melalui Piagam Madinah. (Muhammad Said Ramadan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, Damaskus, Darul Fikri, 2005, hal. 142). Langkah ini kemudian memudahkan Rasulullah bersama kaum muslimin untuk membangun pasar dengan menguatkan perekonomian umat Islam. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan Al-Hisbah, lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pasar. Rasulullah SAW juga membentuk Baitul Mal, lembaga yang bertugas mengelola keuangan. Melalui sistem ini, khususnya dengan keberadaan Baitul Mal, tujuan Ihyaul Ummah (mewujudkan kesejahteraan masyarakat) melalui perekonomian Islam dapat tercapai.

فقد كان النبي يعين أمراء وعمال الأقاليم، وكانت مهمة كل أمير أن يقوم بجمع الصدقات . والجرية وأخماس الغنائم والخراج، وأحيانا كان رسول الله  يرسل عاملاً مختصا بالنواحي المالية، لتحصر مهمته بجمع مستحقات الدولة من الأموال الخراج والجزية، والعشور، والصدقات ويدفعها إلى بيت مال المسلمين، كما فعل رسول الله ٢ مع معاذ بن جبل  حينما بعثه إلى اليمن القبض الصدقات من عمالها، ومع أبي عبيدة بن الجراح : حينما أرسله إلى البحرين ليأتيه بجزيتها

Artinya, “Nabi SAW mengangkat para pemimpin dan pekerja di berbagai wilayah, dan tugas setiap pemimpin adalah mengumpulkan sedekah, pajak, seperlima dari rampasan perang, dan hasil dari pajak tanah. Terkadang, Rasulullah SAW mengutus seorang pekerja yang khusus menangani masalah keuangan, yang tugas utamanya adalah mengumpulkan pendapatan negara dari pajak tanah, upeti, zakat, dan sedekah, lalu menyetorkannya ke Baitul Mal. Seperti yang dilakukan Rasulullah ketika mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman untuk mengumpulkan sedekah dari para pekerjanya, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika beliau mengutusnya ke Bahrain untuk membawa upeti..” (Abi Ubaid Bin Qasim, Kitabul Amwal, [Beirut: Darusy Syuruq, 1989], halaman 41). Setahun setelah berada di Madinah, kaum muslimin berhasil membangun pasar yang kuat dan berperan penting dalam perekonomian kota. Keterkaitan antara iman dan akhlak yang amanah menjadi kunci utama dalam kesuksesan perekonomian umat Islam. Rasulullah SAW bersabda: حدثنا عفان حدثنا حماد حدثنا المغيرة بن زياد الثقفي سمع أنس بن مالك يقول إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا إيمان لمن لا أمانة له ولا دين لمن لا عهد له   Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki kejujuran, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki perjanjian.” (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, [Beirut: Dar Ihya at-Turats Al-Arabiy, 1993], jilid III, halaman 251, No. 13225). Di Madinah, sahabat Abdurrahman bin Auf awalnya tidak memiliki modal untuk berdagang. Namun, melalui strategi yang tepat, ia berhasil kembali menjadi salah satu sahabat terkaya. Selain itu, Sayyidina Utsman bin Affan juga dikenal sebagai salah satu sahabat terkaya di Madinah.   Setelah satu abad wafatnya Rasulullah, Islam hadir dengan perekonomian yang stabil, yang kemudian mencapai puncak kejayaan pada masa Kekhalifahan Turki Utsmani, dengan banyaknya tanah wakaf produktif. Dari sini, pemberdayaan ekonomi melalui konsep ihyaul ummah menjadi teladan yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Sebagai penutup, pemberdayaan ekonomi dalam Islam tidak hanya tentang pengelolaan harta, tetapi juga mencakup nilai-nilai keadilan, amanah, dan kesejahteraan bagi seluruh umat. Rasulullah SAW telah memberikan teladan yang nyata dalam membangun fondasi perekonomian yang berlandaskan keimanan dan akhlak yang mulia.  Dari masa beliau hingga masa kejayaan peradaban Islam, prinsip-prinsip ini terus dijaga dan diterapkan oleh para sahabat dan generasi sesudahnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari warisan ini dan menerapkannya dalam kehidupan ekonomi yang berkeadilan dan penuh keberkahan, demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Wallahu a’lam

Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/teladan-rasulullah-dalam-membangun-perekonomian-yang-berkeadilan-ydznI

Jihad Utama Mengatakan Kebenaran di depan Penguasa Zalim

Pemimpin yang lalim dan tidak adil akan menimbulkan kerusakan di wilayah yang dipimpinnya. Mereka sering kali membuat keputusan yang merugikan dan mengikis hak-hak rakyat.   Lebih ironis lagi, mereka cenderung menggunakan kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi, sementara kebutuhan dan kesejahteraan rakyat diabaikan. Padahal, seorang pemimpin sejatinya hadir untuk membawa kemaslahatan dan melindungi kedaulatan rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat tidak boleh tinggal diam ketika melihat seorang pemimpin berbuat zalim. Mereka memiliki hak dan kewajiban untuk menyuarakan kebenaran dan menentang segala bentuk tindakan yang menyimpang dari keadilan dan kebenaran.

Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw menyebutkan, di antara jihad yang paling utama adalah suara keadilan yang diucapkan di hadapan pemimpin yang lalim dan tidak adil. Rasulullah saw bersabda: أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Artinya, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Merujuk pada pendapat ‘Abdurrahman al-Mubarakfuri, maksud dari “penguasa yang zalim” adalah pemimpin yang berbuat kezaliman menggunakan kekuasaannya. Sementara maksud dari “kalimat” dalam hadits tersebut adalah seruan kepada pemimpin untuk menegakkan kebenaran dan menghentikan tindak kezaliman yang mereka lakukan. Seruan ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik ucapan, tulisan, dan lain semacamnya. Al-Mubarakfuri menyebut:

وَالْمُرَادُ بِالْكَلِمَةِ مَا أَفَادَ أَمْرًا بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيًا عَنْ مُنْكَرٍ مِنْ لَفْظٍ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ كَكِتَابَةٍ وَنَحْوِهَا

Artinya, “Yang dimaksud dengan kalimat adalah ucapan yang mengandung perintah melakukan kebenaran atau larangan melakukan kemungkaran, melalui ucapan atau tulisan, dan juga media lainnya yang memiliki fungsi serupa.” (Tuhfatul Ahwadzi, [Beirut: Darul kutub Ilmiyah, t.t.], jilid XI, halaman 330).

Para ulama ahli hadits memiliki interpretasi yang beragam terkait alasan Rasulullah saw menyebut seruan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim dan tidak adil sebagai jihad yang paling utama. Di sini penulis berupaya mengutip beberapa pendapat ulama beserta argumentasinya.  

Menurut Imam al-Khattabi, sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam Mirqatush Shu’ud Ila Sunani Abi Dawud, Rasulullah saw menyebut seruan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim sebagai jihad yang paling utama karena menegakkan kebenaran di hadapan pemimpin yang lalim lebih sulit dan menantang dibandingkan dengan jihad melawan musuh-musuh Islam [dalam konteks perang].

Pemimpin yang zalim biasanya akan mengancam siapa pun yang berani menentang, terutama rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Oleh karena itu, menurut al-Khattabi, seorang rakyat yang berani menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim menunjukkan keberanian yang luar biasa dan tidak mengenal rasa takut. Inilah alasan mengapa jihad melawan pemimpin yang zalim dianggap sebagai jihad yang paling utama. Ia menyebutkan:

وصاحب السُّلطان مقهور في يده فهو إذا قال الحق وأمره بالمعروف فقد تعرَّض للتلف وأهدف نفسه للهلاك، فصار ذلك أفضل أنواع الجهاد من أجل غلبة الخوف.

Artinya, “Seseorang yang berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin otomatis berada dalam kendali pemimpin tersebut. Maka, jika ia menyampaikan kebenaran dan memerintahkan pemimpinnya untuk berbuat kebaikan, otomatis ia telah menempatkan dirinya dalam bahaya dan menghadapkan dirinya pada kehancuran.  

Oleh karena itu, tindakan ini menjadi jenis jihad yang paling utama karena dirinya harus melawan rasa takut yang mendalam.” (Imam Suyuthi, Mirqatush Shu’ud Ila Sunan Abi Dawud, [Beirut: Darul Ibnu Hazm, 2012], jilid III, halaman 106).

Penafsiran lain mengenai alasan menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim disebut sebagai jihad yang paling utama, menurut Imam al-Muzhir, adalah karena ketika seorang pemimpin berbuat zalim, seluruh rakyatnya yang akan menderita akibat tindakan dan kebijakannya.  

Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang berani menyuarakan kebenaran untuk menghentikan kezaliman tersebut, ia telah berjuang demi kepentingan rakyat. (Mula al-Qari, Mirqatul Mafatih, [Beirut: Darul Fikr, 2002], jilid VI, halaman 412).

Di sisi lain, Syekh Muhammad bin ‘Alan  menegaskan bahwa menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim dianggap jihad yang paling utama karena tindakan tersebut mencerminkan kekuatan iman dan keberanian yang luar biasa dari orang yang melakukannya. (Dalilul Falihin, [Beirut, Darul Ma’rifah: 2004], jilid II, halaman 484).   Menyuarakan kebenaran kepada pemimpin yang zalim merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Artinya, setiap anggota masyarakat berhak dan berkewajiban untuk melakukannya, namun jika sudah ada sebagian yang menunaikannya, maka kewajiban ini gugur bagi yang lainnya.  

Menyuarakan kebenaran kepada pemimpin yang zalim menjadi sangat penting agar mereka menghentikan segala tindakan yang merugikan rakyat dan menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran.   Namun, penting untuk diingat bahwa amar ma’ruf, atau menyuarakan kebenaran kepada pemerintah, harus dilakukan dengan cara yang bijaksana.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan bahwa amar ma’ruf kepada pemerintah sebaiknya dilakukan melalui nasihat yang baik dan penyampaian kebenaran dengan cara yang santun. Amar ma’ruf kepada pemerintah tidak boleh dilakukan dengan cara pemberontakan (bughat), karena menyampaikan kebenaran melalui pemberontakan hanya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Imam Al-Ghazali menyatakan:    

وَأَمَّا الْمَنْعُ بِالْقَهْرِ ; فَلَيْسَ ذَلِكَ لِآحَادِ الرَّعِيَّةِ ; لِأَنَّ ذَلِكَ يُحَرِّكُ الْفِتْنَةَ، وَيُهَيِّجُ الشَّرَّ، وَيَكُونُ مَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ مِنَ الْمَحْذُورِ أَكْثَرَ Artinya, “Adapun mencegah (kezaliman) dengan kekerasan, maka hal ini bukanlah kewenangan individu dari rakyat, karena tindakan tersebut dapat memicu fitnah, mengobarkan kejahatan, dan menyebabkan kerusakan yang timbul darinya menjadi lebih besar.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: t.t.], jilid II, halaman 343)

Senada dengan Imam Ghazali, Imam ar-Ramli berpendapat bahwa memberontak kepada pemimpin hukumnya haram sekalipun pemimpin itu zalim, karena melihat dampak yang akan ditimbulkan seperti fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan yang nyata pada suatu negara. Ia berkata:

يحرم الخروج على ولي الأمر وقتاله بإجماع المسلمين لما يترتب على ذلك من الفتن وإراقة الدماء وفساد ذات البين فتكون المفسدة فى عزله أكثر منها في بقائه ولأننا تحت طاعته في أمره ونحوه مالم يخالف الشرع وإن كان جائرا Artinya, “Diharamkan untuk memberontak terhadap penguasa dan memeranginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin, karena hal tersebut akan menimbulkan fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan hubungan di antara umat. Kerusakan yang terjadi akibat menggulingkannya lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan karena tetap mempertahankannya.   Selain itu, ketidakbolehan memberontak dikarenakan kita harus taat pada pemimpin selama perintahnya tidak bertentangan dengan syariat, meskipun penguasa tersebut zalim.” (Syamsuddin ar-Ramli, Ghayatul Bayan, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t.], halaman 15).

Pada kesimpulannya, kita akan sadar betapa pentingnya menyuarakan kebenaran kepada pemimpin yang zalim agar ketidakadilan yang mereka lakukan dapat dihentikan. Terlebih dalam konteks negara demokrasi, menyampaikan aspirasi dan pendapat di muka umum merupakan hak asasi manusia yang legal dan konstitusional. Meskipun demikian, menyuarakan kebenaran harus dilakukan dengan cara yang baik sesuai norma-norma syariat maupun aturan dalam undang-undang, tujuannya agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Wallahu A’lam

Pandangan Intelektual Muslim Terhadap Demokrasi Di Indonesia

Islam merupakan agama yang adil. Mengutamakan suatu
keputusan akhir untuk diambil secara bersama-sama. Dalam Islam
juga sudah mengajarkan arti pentingnya hak bersama seperti hak
bersuara, mengutarakan pendapat, dan hak kebebasan dalam memilih.
Di Indonesia dikenal dengan Istilah Demokrasi. Demokrasi adalah
suatu sistem yang dianut oleh Indonesia. Rakyat diberi prioritas dalam
sistem pemerintahan ini ketika membuat keputusan. karena rakyat
juga menguasai kedaulatan tertinggi.
Dalam Islam, sistem demokrasi Indonesia memiliki kelebihan
dan kekurangan. Ada yang sependapat dan ada yang tidak. Sudah
menjadi hal biasa jika ada perbedaan dalam berpendapat ketika
mengarah suatu pandangan antara pemerintahan dan Islam. Bukan
berarti ada banyak pertikaian dikarenakan pendapat akan tetapi hanya
untuk mengarahkan bagaimana seseorang untuk memilih apalagi kita
sebagai umat Islam tentu saja berlandaskan dengan syari’at Islam.
Ada beberapa pendapat yang Intelektual muslim tentang
Demokrasi di Indonesia. Ada pandangan yang bisa menerima
demokrasi Indonesia karena Demokrasi itu mengutamakan
keadilanDemokrasi bukan pemikiran dari Islam melainkan dari Barat.
Mengikuti demokrasi berarti seseorang tersebut mengikuti kafir hal
ini di haramkan atau sangat tegas tidak di perbolehkan karena
menyerupai orang-orang kafir. Pada intinya Demokrasi ini
mengutamakan suara bersama yang di ambil dari mana suara
terbanyak berarti bukan di lihat dari kebenaran. Mengikuti demokrasi
berarti seseorang tersebut mengikuti kafir hal ini di haramkan atau
sangat tegas tidak di perbolehkan karena menyerupai orang-orang
kafir. Pada intinya Demokrasi ini mengutamakan suara bersama yang
di ambil dari mana suara terbanyak berarti bukan di lihat dari
kebenaran.
Kebenaran hanya milik Allah SWT dan kedaulatan yang
tertinggi juga hanya kepada Allah SWT. Adapun kita sebagai umat
muslim yang hidup di negara menganut sistem Demokrasi tentu saja
menjalankan sistem tersebut akan tetapi dengan catatan jangan
sampai melanggar hukum atau syari’at Islam.

Demokrasi adalah suatu sistem yang dianut oleh Indonesia.
Sistem pemerintahan ini mengutamakan rakyatnya untuk
pengambilan keputusan. Dalam implementasinya di Indonesia
contohnya pemilu. Dimana dapat dilihat pentingnya suara rakyat.
Indonesia berprinsipkan dengan ideologi Pancasila yang menuntut
kedamaian, kebersamaan, keadilan, serta keselarasan dalam hal
bersuara.
Jika dilihat dari sistem bagaimana demokrasi itu berjalan
dapat dilihat sangat adil apabila diterapkan dengan baik oleh
pemerintah. Karena didalam suatu negara khususnya Indonesia
demokrasi ini hak bersama, maksudnya adalah mengutamakan
musyawarah bersama. Dan yang paling terpenting adalah mengambil
suatu keputusan juga tidak memberatkan dari sisi rakyatnya. Akan
tetapi apakah Demokrasi di Indonesia sudah sesuai dengan apa yang
telah dianut oleh Indonesia sendiri? Hal ini menjadi pertanyaan
banyaknya masyarakat yang merasa tidak adil. Contoh kasusnya
seperti disaat pemilu itulah kesempatan dari orang yang mencalonkan
dirinya untuk menggunakan masyarakat yang memiliki ekonomi yang
rendah, mereka membayar masyarakat tersebut untuk memilih dirinya
agar menjadi pemegang kekuasaan sesuai keinginannya. Selain itu
juga ada kasus dimana intimidasi terjadi oleh masyarakat dimana
pihak mencalonkan diri mengancam agar tidak memilih orang lain
selain dirinya.
Dari beberapa contoh diatas apakah dapat dikatakan Indonesia
sudah sesuai dengan sistem demokrasi tersebut. Hal ini kembali lagi
kepada kesadaran manusia masing-masing karena sesungguhnya itu
bisa dinilai mana yang baik dan mana yang buruk.

Jika demokrasi suatu sistem yang didukung oleh demokrasi nasional,
maka akan kuat kokoh apabila disokong oleh demokrsi. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang demokratis. Pemahaman demokrasi Indonesia saat ini antara lain dipengaruhi oleh
konsep demokrasi modern. Terjadi pergeseran dan pola yang berbeda
sejak kemerdekaan hingga masa reformasi demokrasi. Gagasan
demokrasi ini dipraktikkan dengan cara yang berbeda di berbagai
negara di seluruh dunia. Dalam 16 tahun sejak era reformasi Indonesia dimulai, topik
ini, apalagi soal demokrasi disana, publik sangat tertarik. Hal ini
dikarenakan masyarakat Indonesia sangat memperhatikan masa
transisi menuju kehidupan politik yang lebih baik. Perkembangan
demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut. Sejarah Indonesia
dapat dibagi menjadi empat periode sesuai dengan perkembangan
demokrasi: 1) Periode I Republik Indonesia, juga dikenal sebagai
demokrasi konstitusional, yang menekankan peran parlemen dan
partai dan disebut sebagai “Demokrasi Parlementer .” 2) Masa Republik Indonesia, juga dikenal sebagai demokrasi terpimpin, menunjukkan “beberapa aspek demokrasi rakyat” dan menyimpang
dari demokrasi konstitusional dalam banyak hal. 3) Masa Republik
Indonesia Ketiga: Khususnya masa Demokrasi Pancasila, demokrasi
konstitusional dengan sistem presidensial. (badan presidensial sangat
dominan, parlemen dibuat tidak berdaya, dan kekuasaan presiden
menjadi tidak terkendali), 4) Periode Republik Indonesia Keempat:
yaitu periode Demokrasi Pancasila setelah reformasi MPR melakukan
empat kali amandemen UUD 1945 antara tahun 1999 dan 2002,
sehingga mengurangi kewenangan lembaga presiden dan
meningkatkan kewenangan DPR. Sifat demokrasi adalah berkembang
seiring dengan perubahan sosial. Sebagai sistem politik, demokrasi mencakup pembagian
kekuasaan (kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif),
pemerintahan konstitusional, perlindungan hak asasi manusia,
pengawasan administrasi negara, pemilihan umum yang bebas, dan
supremasi hukum. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi di
Indonesia yang mengutamakan kepentingan seluruh masyarakat
melalui musyawarah dan mufakat. Hal itu didasarkan pada nilai-nilai
sosial budaya bangsa.