Fakta Isu Zionisme Perspektif Islam (1)

Bangsa Yahudi di dalam Al-Qur’an cukup banyak disebut, antara lain bahwa Allah memang melebihkan kaum ini dibanding bangsa lain (QS 2 : 47 dan 122). Oleh karena karunia Tuhan menjadikan mereka nabi dan raja diantara umat (QS 5 : 20). Dalam kitab suci ini pula, sekurangnya ada 136 ayat menyinggung masalah Yahudi dan Bani Israil (Israel).

Diantaranya, juga berkisah tentang kecerewetan, kelicikan, kejelekan, pengkhianatan, sekaligus kutukan Tuhan terhadap mereka, misalnya mereka dilaknat Allah dan para nabi (QS 5 : 13, 14 dan 78, 79), kena kutukan Nabi Daud dan Nabi Isa (QS 5 : 78) karena mereka tak percaya dan membunuh nabi (QS 2 : 61), menulis (mengubah – ubah dan menambah) kitab (suci) sekehendak hatinya (QS 2 : 79), tidak menaati Nabi Musa untuk memasuki daerah Palestina (QS 5 : 20 – 24), melanggar peraturan (bekerja) pada hari Sabtu (QS 4 : 47 dan 7 : 163).

Kemudian manusia ini mengandalkan kultus berlebihan (rahbaniyah) dan menganggap rahibnya sebagai Tuhan (QS 57 : 27 dan 9 : 31), menyembah anak sapi (QS 2 : 51, 92, 93; 4:153; 7: 148; 20: 88) enggan memasuki Palestina (QS 5 : 20 – 26). Oleh karena itu, negeri Palestina diharamkan bagi Yahudi (QS 5 : 26). Akhirnya, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan pasti menyombongkan diri dengan kesombongan besar (QS 17 : 4), celaka bagi Yahudi (QS 2 : 79 – 80 dan 17 : 4 – 5), disambar halilintar lantaran minta akan menyaksikan Tuhan (QS 4 : 153).

Selanjutnya Bani Israil diberi giliran untuk mengalahkan dan dijadikan kelompok (punya pendukung) lebih lebih besar (QS 17 : 6). Mereka tidak akan senang kepada kaum Muslim (QS 2 : 120) karena Yahudi dan musyrik paling keras memusuhi islam (QS 5 : 82). Keimanan mereka susah diharapkan di zaman Nabi Muhammad (QS 2: 75 – 78). Kaum Yahudi banyak yang kafir (QS 5: 81), suka berkhianat, dan menipu Allah (QS 3 : 54). Yahudi yang beriman sedikit sekali, tetapi bagi yang beriman dan beramal saleh akan mendapat pahala (QS 2: 62 dan 5 : 69).

Jika mereka berbuat baik, berarti kebaikan itu bagi dirinya, dan bila berbuat kejahatan maka kejahatan itu (Kembali) bagi dirinya (QS 17 : 7). Sebaliknya bila mereka tetap ingkar dan kafir, maka Allah melaknat Yahudi karena kekafirannya (QS 3 : 112; 4: 146; 5: 64).

Israel asalnya ditakdirkan sebagai bangsa yang mulia. Dari keturunan Bani Israil lahir nabi dan rasul Allah. Sampai saat ini, keturunan Yahudi “mewarisi” keunggulan itu. Antara lain adalah kecerdasan dan kekayaannya. Karena kelebihan tersebutlah kiranya Israel menjadi amat congkak, dan kepongahannya telah menimbulkan ide untuk menguasai dunia di bawah kungkungannya, lewat organisasi yang disebut Zionisme Internasional.

Melalui jaringan ini Yahudi membutuk globar network untuk mengacau bangsa lain (non – israel) dengan sebutan goyim yang halal dieksploitasi bagi kepentingan Yahudi. Karena mereka merasa sebagai ‘anak tuhan’ dan kecintaan – Nya, Yahudi percaya hanya bangsa mereka sajalah yang masuk surga (QS 2 : 111). Sebab kepongahan inilah kewaspadaan harus ditingkatkan menghadapi Israel yang sewaktu – waktu tidak mustahil akan mekukan tipu daya dan pengkhianatan terhadap penjanjian yang walau disepakatinya sendiri – bila perlu.

Pada zaman Nabi, orang Israel membentuk jaringan komplotan untuk melawan Islam. Dalam batin, golongan ini menentang agama Ilahi. Rasul pun diberitahu Allah, bahwa mereka itu sebenarnya tak lain adalah segolongan munafiq (jamaknya : munafiqun).

Tokoh munafiqun adalah Abdullah bin Ubay. Ia terkenal sangat licin dan licik. Lelaki inilah yang menjadi man behind the screen untuk melakukan pengacauan yang sistemik dan terstruktur terhadap umat Islam di Madinah kala itu. Dia dan teman – temannya, dalam peperangan memang ikut, tetapi dengan terpaksa. Lantas membelot dari medan pertempuran, malah ‘menohok kawan seiring’ bak kata pepatah juga ‘menggunting dalam lipatan’ dengan cara menyingkap rahasia pasukan Muslimin.

Dimana – mana mereka menyebarkan fitnah, adu domba, dan pecah – belah. Secara diam – diam, mereka bekerja untuk kepentingan kuffar Quraisy dalam setiap menjelang peperangan.

Pada zaman Khalifah Abu Bakar as – Siddiq dan Khalifah Umar bin al – Khattab kaum Yahudi ini terbukti tak berkutik. Meman gada intrik – intrik yang mencoba secara provokatif disebar di Tengah umat Islam. Toh, kandas karena ketakutan pada sikap Sayyidina Abu Bakar maupun Sayyidina Umar bin al – Khattab yang terkenal tegas dan keras.

Pada masa Khalifah Ustman bin al – Affan yang terasa agak kendor, muncullah sosok tokoh Yahudi dengan misi yang sama : memorak – porandakan umat dalam skala lebih besar. Dialah Abdullah bin Saba. Seorang Yahudi yang cerdas, tetapi licik dan culas. Dari Yaman ia memainkan sandiwara duka – cerita ‘kegagalan’ pemerintah Islam saat itu.

Sebelumnya, dia tinggal di ibukota pemerintah Khalifah Ustman (Madinah) hanya beberapa bulan saja. Di sana ia sempat mempelajari situasi dan kondisi objektif untuk menerapkan rencana – rencana fitnah, ‘black campaign’ dan pecah belah. Barangkali Abdullah bin Saba inilah perintis permulaan doktrin Zionisme. Ia menjalankan politik belah bambu, seperti ditulis Prof. Fazi Ahmad, M.A., Guru besar Tarikh Islami dalam bukunya, Othman The Third Calliph (1996). Saba mengarang Riwayat palsu yang mempertentangkan Ali bin Abi Talib dengan umat Islam.

Dengan siasat adu domba, dan di lain pihak bermain di belakang layer, berusaha mempropagandakan usahanya sembari menjelek – jelekan Khalifah Ustman bin Affan. Celah – celah kelemahan Khalifah dan para pembantunya disorot tajam untuk diekspos pada khalayak ramai. Abdullah bin Saba, menurut Prof Fazi telah menjadikan Mesir sebagai basis untuk segala aktifitas oposisi dan manuver jahatnya.

Adapun upaya – upaya yang ditempuh Gerakan Saba ini antara lain : para anggotanya (Sebagian sahabat terpengaruh) menunjukan sikap akhlak yang tinggi di depan umat, Ikhlas dan berjiwa social, juga harus taat melebihi para pendukung Usman. Di sela – sela itu, pengikut Saba diminta tidak berdiam diri terhadap keadaan yang dilukiskan sudah bobrok dan diharuskan untuk mengadakan ‘revolusi’.

Di samping secara rahasia, biro khusus dibentuk untuk menyebarkan surat – surat ‘kaleng’ guna memperkuat bahwa memang kesenjangan itu ada. Dalam salah satu surat kaleng sempat disiarkan juga isu bohong bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib mendukung Gerakan Saba.

Sejak saat itu kekacauan terjadi. Agen – agen Saba tak saja menguasai Mesir, melainkan juga Basrah. Lantas terjadilah terror yang brutal itu : Sayyidina Usman bin Affan dibunuh secara sadis tatkala menantu kinasih Nabi yang berjasa pula dalam menghimpun mushaf ini sedang membaca Al-Qur’an.

Pada zanab kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, provokasi Saba tidak berhenti. Ia memunculkan isu nasional “Qamis Usman” yang terkenal itu, yakni tuntutan agar pembunuh Usman bin Affan diadili. Sesuatu yang sebenarnya tak mudah karena terror itu dilakukan oleh gerombolan liar secara keroyokan.

Untuk sementara agar terkesan netral, memang Gerakan Saba kali ini tidak berpihak ke Ali (Bani Hasyim) dan Usman (Bani Ummayah) yang sudah diamati oleh Saba sejak lama, dan memang biasanya, pertentangan etnik dan fanatisme kesukuan itu mudah tersulut. Dari situ Saba memulai manuver pecah belah itu.

Agen – agen Saba memfitnah orang – orang dekat Ummul – Mu’minin Aisyah. Maka pascawafat Usman bin Affan keadaan jadi chaos hingga terjadilah peristiwa Jamal (Unta). Setelah disadari kedua belah pihak bahwa hal itu akibat kesalahpahaman dan adanya fitnah yang tak ketahuan juntrungnya, maka perdamaian disusun. Namun, seperti dituturkan Fazl berikutnya, Saba tak puas mencium gelagat pendekatan ini. Tengah malam menjelang disepakatinya “perjanjian damai” antara Khalifah Ali dan Ummul – Mu’minin, ia menyebarkan kasak – kusuk di Tengah rombongan Aisyah bahwa pasukan Ali akan berkhianat.

Demikian pula di Tengah pasukan Ali, mereka menyebarkan fitnah yang sama, bahwa pasukan Ummul – Mu’minin akan menyerbu kubu Ali. Karuan saja tragedy lantas berlanjut. Untung tak berlangsung lama. Tatkala kaki unta Ummul – Mu’minin terpancung, Sayyidina Ali mendekat dan memperlakukannya dengan baik. Aisyah pun akhirnya berkhotbah, bahwa sebenarnya pertentangannya dengan Ali ini soal keluarga (antara ibu tiri Fatimah dengan suaminya, yakni Ali yang menantu Nabi). Sayyidina Ali membenarkan dan menimpalinya dengan ungkapan sama, bahkan rombongan Ummul – Mu’minin diantar Khalifah Ali dengan rasa haru mendalam sampai ke perbatasan kota.

Zubair, sahabat Nabi yang mendukung Sayidah Aisyah, pulang bersamanya, tetapi ia sungguh dulu ke Makkah. Di sini ia dibunuh Amir bin Jarmuz tatkala sedan salat. Tiba di Kufah, Jarmuz mempersembahkan sebelah tangan dan pedang Zubair kepada Ali sebagai bukti ia telah membunuh Zubair. Dikiranya Sayyidina Ali menyetujui sikap ini, justru sebaliknya, ia mendapat caci – maki keras, “Aku tahu siapa pemilik pedang ini. Dialah pejuang di samping Rasulullah. Engkau telah membunuhnya. Celakalah kau!” katanya dan kemudian menghukum pembunuh Zubair itu.

Sudah terlalu banyak darah kaum muslim tumpah akibat intrik dan fitnah adu domba Yahudi, Akankah darah itu terus mengalir karena fitnah mereka? Sampai kini pun setiap muslim harus waspada, sebab ingatlah bahwa dusta, khianat, fitnah, adu domba, dan pecah belah adalah sifat – sifat kaum Yahudi yang memusuhi Allah.

Referensi Buku : Problema Keumatan & Kebangsaan Pandangan Sosiolog Agama (hlm. 116 – 125)

Sumber foto : https://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/11/bani-israil-dalam-al-quran.html

Penulis Buku : Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

MEMBEDAH DIKOTOMI SALAFI & SALAFIYAH (2)

Bagi kalagan Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja) yang saat ini berkembang di kalangan NU maupun Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah Aswaja yang bukan Salafi, tetapi Salafiyah.

Mereka mengartikulasikan istilah Salaf itu tidak secara sempit hanya dalam setting zaman nabi dan sahabat saja, tetapi periode yang datang berikutnya pun, seperti para tabiin dan tabiut – tabi’in juga dijadikan acuan dalam praktik keagamaan, sehingga Khazanah keilmuan mereka ini terasa berlimpah dan mempunyai banyak perbandingan dan pilihan setiap kali menetapkan dasar – dasar hukum yang akan ditetapkan. Para ulama Salafiyah ini tidak sempit dalam menggariskan kaidah – kaidah fikih karena memiliki banyak pilihan, sehingga tampak luas. Sebaliknya yang membatasi pengertian Salaf hanya di zaman klasik (permulaan) ternyata telah terjebak dalam pemahaman yang dapat memasukkan mereka ke lorong buntu, sehingga bila tak ada jalan keluar, maka yang bisa dilakukan adalah menyalahkan, menyesatkan, bahkan mengafirkan pihak lain yang tidak sama (secara fikih) dengan pandangannya.

Mengapa timbul pemahaman sempit seperti itu? Yang pokok adalah karena pemahaman hadisnya tidak dilandasi dengan Ilmu Hadis yang memadai. Pertama : pengertian hadis tidak dipilah berdasarkan peran dan fungsi Nabi sebagai Rasul/Nabi, pemimpin umat, dan Mufti/Qadi yang secara mutlak harus ditaati. Kedua : sebagai hakim yang menetapkan hukum sesuai dengan pengakuan zahiriyah yang diadili (al-islam yahkum biz-zawahir) yang relative secara formal. Ketiga : tidak semua yang disebut “la” itu sebagai larangan (nahiyah) karena harus ditilik konteksnya. Keempat : selaku pribadi, yang secara individual punya hak memberikan apresiasi kepada salah satu atau semua sahabat dengan ketetapan yang mungkin sama dan biasanya berlaku khusus.

Oleh sebab itu, misalnya, Pertama : bagi penganut Salafiyah mencukur jenggot itu bukanlah larangan. Hadis ini bersifat local kondisional, lantaran Masyarakat Arab pada zaman nabi rata – rata memelihara jenggot, maka diberi pilihan untuk melestarikannya sesuai konteks budaya yang berkembang kala itu. Artinya jelas, bahwa hadis ini tidak bersifat mutlak dan universal. Demikian pula memingkis jubah di atas mata kaki. Teksnya benar (sahih), tetapi konteksnya bukan merupakan keharusan, karena ‘illat (sebab) nya adalah kesombongan.

Latar belakang historis hadis ini adalah tradisi orang Quraisy pra – islam yang kaya karena sombong (ini ‘illat-nya) memakai kain jubah mereka dibawah mata kaki secara berlebihan. Jika hilang ‘illat-nya, maka larangannya pun juga hilang dengan sendirinya. (Baca: Syarh Sahih Muslim dalam kitab al-libas waz-zinah, hlm. 190 -191). Kedua : adalah sikap fanatisme berlebihan sehingga masa’il fiqhiyyah seolah perbedaan akidah yang tak bisa ditoleransi.

Baca juga : https://almusripusat.com/membedah-dikotomi-salafi-salafiyah-1/

Para salaf seperti Imam Ahmad bin Hanbal tidak pernah mengkafirkan kelompok sempalan dalam Islam semacam Khawarij, Jahmiyah, Murji’ah, Mu’tazilah, dan seterusnya. Bagaimana mereka mengufurkan (secara general) para peziarah kubur, sementara Nabi membolehkan ziarah kubur dan berdoa untuk orang yang sudah meninggal?

 Memang tidak mustahil ada orang – orang (bodoh) yang terpeleset kedalam Tindakan syirik jika mereka tidak memahami etika ziarah kubur yang benar. Jika seseorang sudah tidak lagi memohon kepada Allah, tetapi kepada obyek lain yang diyakini bisa memberi manfaat atau bahaya, maka yang demikian ini tidak mustahil bisa mengarah pada Tindakan syirik. Jika seseorang berdoa kepada Allah agar ia dijadikan baik sebagaimana orang yang meninggal ini, atau diberikan berkah sebagaimana Allah memberikan berkah kepada orang meninggal ini, maka dari mana Tindakan itu bisa dikategorikan syirik oleh kelompok itu?

 Kelompok yang kita kenal mengabaikan pendekatan – pendekatan ulama salaf ini menamakan diri sebagai “Al-Muwahhidun” (orang – orang ahli tauhid atau anti syirik). Kelompok yang muncul dari pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini pengaruhnya tersebar melalui kekasaan Muhammad bin Saud (Penguasa Nejd) yang mengondisikan (baca: memaksa) penduduk Nejd untuk mengikuti paham Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut. Mereka tidak segan – segan mengeksekusi Masyarakat tak berdosa jika didapati bersebrangan dengan mereka.

Kelompok ini pada mulanya mengaku berafiliasi pada mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, tetapi praktik keyakinan dan amaliah yang mereka tunjukan justru jauh dari pemikiran dan amaliah yang mereka tunjukkan justru jauh dari pemikirian dan amaliah sang Imam Salaf tersebut, bahkan pemikiran Muhammad tersebut malah dibantah habis – habisan oleh saudaranya sendiri, Yaitu Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab sengaja mengarahkan ayat – ayat yang sebenarnya ditujukan kepada orang – orang kafir untuk umat Islam. Generalisasi dalil yang dia suguhkan jauh bertentangan dengan pekem – pakem yang dibangun dan dipraktikkan oleh para sahabat Nabi dan ulama salaf pada umumnya.            

Sebagai penutup, kita harus mewaspadai virus ideologi yang mereka tebarkan. Kita harus memberikan informasi berimbang kepada umat agar tidak mudah terpengaruh oleh paham – paham mengatasnamakan salaf, tetapi jauh dari pola piker ulama salaf, dan disisi lain tidak bijak kiranya bila kita terjebak ikut – ikutan sikap mereka yang radikal dengan mengafirkan mereka, sebab para salaf tidak gampang – gampang mengafirkan kelompok (sekte) lain yang bersebrangan dengan mereka. Jika kita ikut – ikutan dengan mereka yang gampang mengafirkan kelompok lain itu dengan car akita mengafirkan mereka, maka apa bedanya kita dengan mereka?

Wallahu a’lam bis-sawab.

Sumber Buku : Problema Keumatan dan Kebangsaan (hlm. 200-205)

Penulis Buku : (Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.)

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

MEMBEDAH DIKOTOMI SALAFI & SALAFIYAH (1)

Pemahaman istilah – istilah keagamaan acap kali mengalami reduksi (pengikisan makna) setelah di tafsirkan. Oleh karena itu, harus dibedakan, sesuatu yang merupakan genuine (asli) teks dan mana yang merupakan penafsiran pemuka agama. Penafsiran (interpretasi) seringkali dihasilkan untuk meneguhkan ideologi. Oleh sebab itu, biasanya kemudian penafsiran atas istilah – istilah ini jadi argumentasi bagi mereka yang melakukan klaim kebenaran atas tafsir agamanya (truth claim)

Fenomena yang terjadi akhir – akhir ini di lingkungan keberagamaan umat islam adalah semangat mengusung tafsir subjektif kelompoknya sebagai argument mutlak dengan mengesampingkan pendapat orang lain. Semua yang diyakini secara mtulak seakan sebagai dalil – dalil qat’i (aksiomatis) yang tak bisa dikompromikan, padahal sesungguhnya Sebagian besar yang dimutlakkan itu adalah persoalan – persoalan Fikih (masail fiqhiyyah) yang berada di wilayah zanniyyat (asumtif) belaka.

Ulama sepakat, akidah masuk wilayah qat’iyyat (argumentasi pasti) yang tidak bisa ditawar  – tawar lagi karena menyangkut masalah fondasi keyakinan. Adapun persoalan Fikih (syariat) bisa saja kelompok islam yang satu dengan lainnya berbeda pendapat, sebab memiliki hujah sendiri – sendiri. Masalah furu’iyyat (hal – hal yang incidental dalam agama dan bersifat cabang) itu merupakan pilihan bagi masing – masing jamaah dalam kesatuan umat untuk merealisasikannya dalam kehidupan dan tidak perlu dipertentangkan, karena ini merupakan hikmah dan rahmah dari allah.

Oleh karena itu, dalam satu ungkapan hadis Nabi pernah dinyatakan bahwa perselisihan di antara para ulama itu (hendaklah) menjadi Rahmat (karunia yang indah) dalam mengembangkan keanekaragaman beda pendapat. Selama perbedaan pendapat itu dalam koridor persoalan furu’ alias cabang.

Sejak reformasi, aliran – aliran pemikiran dan Gerakan muslim di Indonesia tampak marak. Peluang kebebasan yang diberikan pemerintah pasca Orde Baru ini telah memungkinkan para pengusung berbagai ideologi “Islam” ditawarkan secara terbuka. Salah satunya dalah Gerakan Salafi. Secara harfiah makna Salafi ini adalah ortodoksi, yakni pemikiran ataupun sekaligus Gerakan yang pernah dikembangkan ulama terdahulu.

Gerakan Salafi yang ada mengartikulasikan makna ortodoksi sebagai kehidupan pada masa Rasulullah dan para Sahabat (terutama Khulafa’ur-Rasyidin). Dalam pemahaman Salafi (terutama yang dikembangkan oleh kelompok yang dikenal sebagai Wahabi) sekarang adalah praktik keagamaan yang didasarkan pada kehidupan persis seperti setting masa Nabi Muhammad Bersama para sahabat ataupun pada masa Khalifat Empat.

Ciri – Ciri fisik mereka adalah berjenggot dan menggunakan pakaian (umumnya jubah putih) yang dipingkis tinggi – tinggi di atas mata kaki. Mereka salat tepat waktu, berjamaah di masjid, dan mempunyai semangat kebersamaan yang tinggi. TV dan kamera diharamkan dengan alasan tak ada pada zaman Nabi. Mereka juga memiliki resistensi kuat dalam menolak tradisi local yang berkembang di Masyarakat. Tradisi seperti tahlil, salawatan, talkin, ziarah yang tumbuh sejak lama di lingkungan jamaah Nahdliyyin (NU) dikritik pedas sebagai amalan bid’ah dalalah (sesat), bahkan yang ekstrem mengatakan perbuatan itu sebagai syirik.

Mereka secara spekulatif dan pejorative menilai amalan orang NU dengan paradigma dan standar seperti ‘zaman Nabi’. Tentu saja hal ini sungguh tidak pas. Pertama, zamannya sudah berubah, tidak mungkin secara social, Masyarakat ini harus di setting-nya seperti pada masa Rasulullah. Dinamika kehidupan social mengalami perubahan seiring dengan perkembangan budaya manusia, termasuk budaya dan tradisi umat serta Masyarakat yang terus berkembang seiring perputaran waktu, sebab Islam itu sendiri juga lahir tidak di Tengah budaya yang vakum, tetapi berada dalam roda waktu yang dinamis. Karena itu, bangsa Arab disebut Arab (dibentuk dari akar kata ‘Araba, yang berputar alias dinamis).

Kedua, Islam sendiri mengizinkan umat untuk mengembangkan tradisi sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pengertian lain, fikih dakwah itu harus terus berkembang sesuai kondisi dan situasi Masyarakat yang dihadapi untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam di Tengah perubahan zaman, sehingga Islam dapat tumbuh sesuai paradigma salih li kulli zaman wa makan (selaras untuk setiap zaman dan tempat)

Untuk itu, ulama sendiri telah meneguhkan adagium yang berbunyi “al-muhafazah ‘alal-qadim as-salih wal-akhzu bil-jadid al-aslah” (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik), sehingga dengan demikian, maka idiom salaf dan khalaf tidak lagi relevan untuk didikotomikan, melainkan harus dikompromikan.

Sumber Buku : Problema Keumatan dan Kebangsaan (hlm. 196 – 200)

Penulis Buku : (Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.)

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

Keterkaitan adzab kaum Nabi Luth di zaman sekarang

Diriwayatkan, suatu hari Nabi Luth menerima dua orang tamu laki-laki. Para tamu itu sangat tampan rupawan, wajahnya sangat mengesankan dan menarik untuk dipandang. Dua orang tamu Luth tersebut sesungguhnya para Malaikat yang menyerupai wujud dan wajah manusia. Datang sebagai utusan Allah untuk memberikan pelajaran kepada Nabi Luth dan kaum Sodom.

Umat Nabi Luth, yaitu kaum Sodom, sebagian mereka adalah kaum yang memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Lazimnya laki-laki menyukai perempuan dan sebaliknya, tetapi tidak dengan kaum Sodom, mereka penyuka sesama jenis. Atas informasi dari istri Luth bahwa di rumah mereka ada tamu dua orang laki-laki tampan, laki-laki kaum Sodom beramai-ramai “menggeruduk” rumah Luth. Sebagian mereka mengintip dari balik dinding dan pintu dengan penuh nafsu untuk melihat secara langsung tamu-tamu yang tampan itu.

Sebagian kamu Sodom bahkan memaksa masuk dengan mendorong paksa pintu rumah Luth demi bisa “berkenalan” dengan tamu-tamu istimewa ini. Berkenalan dalam istilah kaum Sodom adalah ingin mengambil dan memiliki serta mencumbui para tamu itu sebagai mana orang yang kasmaran ingin ber-asyik masyuk. Karena perilaku kaumnya itu, Nabi Luth merasa sangat malu dengan kedua tamunya. Apalagi Luth tahu yang bertamu ke rumahnya itu  bukanlah manusia biasa, tetapi para Malaikat utusan Allah SWT.

Melihat perilaku yang sangat kurang ajar dari kaum Sodom itu, maka para tamu yang sebenarnya malaika itu keluar rumah dan mengepakkan sayapnya yang membuat sebagian kaumuSodom itu menjadi buta, tidak bisa melihat dan mereka pulang dengan penuh kesakitan  serta hanya bisa meraba-raba sebatas yang bisa mereka lakukan.

Bahkan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 80-81, Nabi Luth mengatakan bahwa perbuatan keji yang dilakukan kaumnya itu merupakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun sebelum kaum lain di dunia ini. Dengan demikian kaum Sodom adalah pioneer atau kaum pemula yang memiliki perilaku menyimpang secara seksualitas. Dari perilaku kaum Sodom inilah perilaku homosesual mulai ada hingga sampai sekarang di zaman modern ini. Homoseksualitas adalah peccatum sodomiticum atau Sin of Sodom, dosa kaum Sodom.

Pada akhirya, atas perintah Allah SWT, Luth dan para pengikut yang beriman kepadanya, tidak termasuk istrinya yang telah berkhianat, diminta untuk meninggalkan tempat tinggal mereka dan meninggalkan kaum Sodom yang berperilaku menyimpang itu. Di kala waktu subuh tiba,  Allah mengazab dengan menjatuhkan batu-batu yang sangat panas membakar kepada kaum Sodom dan membalikkan bumi yang mereka tempati (lihat Al-Qur’an surat Al-Qamar: 33-39).

Dan dari kejadian di atas adzab yang menimpa kaum nabi Luth, mulai terjadi sedikit demi sedikit di zaman sekarang, seperti yang sedang populer yang terjadi di los Angeles, yang terjadinya kebakaran Tiupan angin yang kuat turut mendorong kobaran api kian menjadi. banyak penyebab yang menyebabkan kebakaran di los Angles salah satu nya di sebabkan banyak nya yang melakukan sexsual.

Pada masa sekarang ini, perilaku kaum Sodom itu bermetamorfosa menjadi LGBT (Lesbianisme, Gay, Biseksual dan Transgender). Perkembangannya sangat mengkhawatirkan, semakin lama semakin masif. Pergerakannya yang dahulu sembunyi-sembunyi sekarang ini semakin terang-terangan. Menuntut kesamaan dan persamaan hak dengan dalih kebebasan dan Hak Asasi Manusia.

Beberapa negara sudah memberikan kelonggaran kepada mereka, kaum LGBT tersebut. Salah satunya adalah membolehkan dan mengesahkan pernikahan sesama jenis. Banyak gereja di beberapa negara telah memberikan pemberkatan terhadap pernikahan sesama jenis. Kampanye secara terbuka di media sosial kaum ini sangat menarik dan tanpa henti. Pertemuan-pertemuan kelompok ini secara internasional maupun regional rutin dilakukan. Tujuannya, mendapatkan pengakuan dan legalisasi perilaku menyimpang ini dalam tatanan pemerintahan.

Hikmah di Balik Keputusan Rasulullah Memilih Hidup Sederhana

Rasulullah saw adalah makhluk terbaik sepanjang masa yang diciptakan dan diutus oleh Allah ke muka bumi. Perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan selalu menyisakan hikmah yang berharga untuk umatnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa Rasulullah adalah suri teladan yang baik. Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:
  لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ  
Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.”

Salah satu keteladanan Rasulullah yang dapat diikuti ialah beliau memilih hidup dalam kesederhanaan. Dalam sejarahnya, Rasulullah bukan terpaksa hidup sederhana, keputusan itu semata-mata karena pilihan hati dan supaya menjadi teladan bagi umatnya.   Disebutkan dalam sebuah riwayat, Allah swt pernah menawarkan kepada Rasulullah, padang pasir Makkah yang tandus akan diubah menjadi hamparan surga yang berisi emas gemerlapan dan diberikan kepada Rasulullah saw. Tetapi, Rasulullah memutuskan untuk menolak dan memohon agar diberi kecukupan dan hidup sederhana.   Hal ini disampaikan langsung oleh Rasulullah saw dalam hadistnya, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:

  عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” ‌عَرَضَ ‌عَلَيَّ ‌رَبِّي ‌لِيَجْعَلَ ‌لِي ‌بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا. فَقُلْتُ: لَا. يَا رَبِّ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وَأَجُوعُ يَوْمًا، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ، وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ وَشَكَرْتُكَ

Artinya: “Dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: ‘Tuhanku (Allah) telah menawarkan kepada diriku, bahwa Dia ingin menjadikan padang pasir Makkah sebagai emas. Kemudian aku menjawab: Jangan, wahai Tuhanku. Tetapi, aku hanya ingin kenyang untuk sehari dan lapar sehari di hari yang lain atau semacam keduanya. Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu dan mengingatmu. Begitu pun ketika aku kenyang, aku akan memujimu dan lalu bersyukur.” (HR. Tirmidzi)  

Baca Juga : Teladan Rosululah dalam Membangun Perekonomian yang Berkeadilan

Syekh Ali bin Sulthon Muhammad dalam kitab Mirqotul Mafatih menjelaskan hadits tersebut, bahwasanya Allah swt mengajak Rasulullah bermusyawarah sekaligus menawarkan pilihan kepadanya untuk memperoleh kemegahan hidup atau menjalani kehidupan yang sederhana dan serba cukup di dunia.   Allah hendak menjadikan padang pasir yang ada di Makkah untuk Rasulullah atau terkhusus bagi umatnya, yakni dengan mengubah batu dan pasirnya menjadi emas. Namun, tawaran tersebut ditolak langsung oleh Rasulullah karena ia memillih untuk kenyang dalam satu waktu, lalu dengan kenyang tersebut ia bisa bersyukur. Kemudian lapar di waktu yang lain, lalu dengan lapar ini ia bisa bersabar.   Selanjutnya, Syekh Ali menjelaskan dan menafsirkan alasan Nabi Muhammad saw memilih hidup cukup dan sederhana dalam haditsnya tersebut, ia mengungkapkan:

  فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ) أَيْ: بِعَرْضِ الِافْتِقَارِ عَلَيْكَ (وَذَكَرْتُكَ) أَيْ: بِسَبَبِهِ فَإِنَّ الْفَقْرَ يُورِثُ الذِّكْرَ، كَمَا فِي الْغِنَى يُوجِبُ الْكُفْرَ  وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ) أَيْ: بِمَا أَلْهَمَتْنِي مِنْ ثَنَائِكَ (وَشَكَرْتُكَ) : عَلَى إِشْبَاعِكَ وَسَائِرِ نَعْمَائِكَ

  Artinya: “Sabda Nabi (Apabila aku lapar, aku akan memohon kepadamu) artinya, akan menampakkan kerendahan diriku terhadap-Mu (Allah). (lalu aku akan mengingat-Mu) yaitu, mengingat Allah sebab lapar. Sungguh, karena kefakiran itu bisa mewariskan dzikrullah. Sebagaimana halnya merasa kaya yang mewariskan kepada kufur nikmat. Kemudian sabda Nabi, (Apabila aku kenyang, aku akan memuji-Mu) maksudnya adalah memuji dengan apa yang telah dianugerahkan kepadaku dari kemahakuasaan-Mu, (Maka, aku akan bersyukur kepada-Mu) yakni, dengan kenyang yang Engkau berikan dan seluruh nikmat-Mu yang lain.” (Ali bin Sulthon Muhammad, Mirqotul Mafatih, [Beirut: Darul Fikr, 2003] jilid VIII, halaman 3249-3250)
  Hikmah Rasulullah Pilih Hidup Sederhana Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib menjelaskan, ada seseorang bertanya terkait hikmah di balik keputusan Nabi Muhammad saat diberi tawaran kemewahan hidup, sebagaimana penjelasan hadits tersebut. Syekh Hasan menyebutkan beberapa hikmah sekaligus menjawab pertanyaan tersebut, yaitu sebagaimana berikut:   Jika Nabi Muhammad hidup dalam kekayaan dan kemegahan, maka kaumnya akan menuduh bahwa dia adalah orang yang gila harta dan tamak. Untuk itu, Rasulullah memilih tetap hidup sederhana. Allah-lah yang menjadikan Nabi Muhammad memilih tetap dalam kesederhanaan. Supaya hati orang fakir merasa ikut bahagia dengan kesederhanaan hidup (karena merasa senasib). Sebagaimana para orang kaya bergembira dengan harta. Harta adalah benda yang tidak akan terlepas dari ikatan hukum halal dan haram. Keharamannya akan membawa kepada azab (siksaan), sedangkan halalnya akan dihisab (diminta pertanggungjawaban). Sehingga hisabnya akan menyibukkan Rasulullah di hari kiamat nanti. Hal ini bisa menyebabkan waktu beliau terkuras dan terganggu untuk memberikan syafaat kepada umatnya. Karena inilah, Rasulullah memilih hidup sederhana. Kesederhanaan Rasulullah menjadi bukti bahwa kehidupan dunia bagi Allah swt itu tidak ada artinya. Sebagaimana sabda Rasul dalam hadisnya yang lain, “Seandainya dunia ini ditimbang di sisi Allah, niscaya beratnya bagaikan sayap nyamuk. Seakan-akan (dunia) itu hanya menjadi tempat peruntungan hidup orang-orang kafir.” (HR. Ibnu Majah) Kesederhanaan yang dipilih oleh Rasulullah saw menjadi bukti, bahwa sederhana itu lebih berharga dibandingkan dengan kaya. Karena Rasulullah sebagai makhluk terbaik, justru memilih hidup sederhana. (Syekh Hasan bin Ali Al-Qahiri, Fathul Qarib al-Mujib, [Riyadh, Maktabah Darussalam, 2018] halaman 4948, jilid 13)
Demikianlah hikmah di balik pilihan Rasulullah hidup dalam kesederhanaan. Beliau rela memilih makan sehari dan lapar di hari yang lain ketika ditawarkan hidup yang penuh dengan kemewahan. Hal ini menjelaskan bahwa hidup sederhana itu adalah sebuah keistimewaan. Namun yang perlu ditekankan adalah kita perlu bersyukur dan bersabar dalam menjalani dinamika kehidupan ini, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Wallahu a’lam.

Sumber: nu.online