MEMBEDAH DIKOTOMI SALAFI & SALAFIYAH (1)
Pemahaman istilah – istilah keagamaan acap kali mengalami reduksi (pengikisan makna) setelah di tafsirkan. Oleh karena itu, harus dibedakan, sesuatu yang merupakan genuine (asli) teks dan mana yang merupakan penafsiran pemuka agama. Penafsiran (interpretasi) seringkali dihasilkan untuk meneguhkan ideologi. Oleh sebab itu, biasanya kemudian penafsiran atas istilah – istilah ini jadi argumentasi bagi mereka yang melakukan klaim kebenaran atas tafsir agamanya (truth claim)
Fenomena yang terjadi akhir – akhir ini di lingkungan keberagamaan umat islam adalah semangat mengusung tafsir subjektif kelompoknya sebagai argument mutlak dengan mengesampingkan pendapat orang lain. Semua yang diyakini secara mtulak seakan sebagai dalil – dalil qat’i (aksiomatis) yang tak bisa dikompromikan, padahal sesungguhnya Sebagian besar yang dimutlakkan itu adalah persoalan – persoalan Fikih (masail fiqhiyyah) yang berada di wilayah zanniyyat (asumtif) belaka.
Ulama sepakat, akidah masuk wilayah qat’iyyat (argumentasi pasti) yang tidak bisa ditawar – tawar lagi karena menyangkut masalah fondasi keyakinan. Adapun persoalan Fikih (syariat) bisa saja kelompok islam yang satu dengan lainnya berbeda pendapat, sebab memiliki hujah sendiri – sendiri. Masalah furu’iyyat (hal – hal yang incidental dalam agama dan bersifat cabang) itu merupakan pilihan bagi masing – masing jamaah dalam kesatuan umat untuk merealisasikannya dalam kehidupan dan tidak perlu dipertentangkan, karena ini merupakan hikmah dan rahmah dari allah.
Oleh karena itu, dalam satu ungkapan hadis Nabi pernah dinyatakan bahwa perselisihan di antara para ulama itu (hendaklah) menjadi Rahmat (karunia yang indah) dalam mengembangkan keanekaragaman beda pendapat. Selama perbedaan pendapat itu dalam koridor persoalan furu’ alias cabang.
Sejak reformasi, aliran – aliran pemikiran dan Gerakan muslim di Indonesia tampak marak. Peluang kebebasan yang diberikan pemerintah pasca Orde Baru ini telah memungkinkan para pengusung berbagai ideologi “Islam” ditawarkan secara terbuka. Salah satunya dalah Gerakan Salafi. Secara harfiah makna Salafi ini adalah ortodoksi, yakni pemikiran ataupun sekaligus Gerakan yang pernah dikembangkan ulama terdahulu.
Gerakan Salafi yang ada mengartikulasikan makna ortodoksi sebagai kehidupan pada masa Rasulullah dan para Sahabat (terutama Khulafa’ur-Rasyidin). Dalam pemahaman Salafi (terutama yang dikembangkan oleh kelompok yang dikenal sebagai Wahabi) sekarang adalah praktik keagamaan yang didasarkan pada kehidupan persis seperti setting masa Nabi Muhammad Bersama para sahabat ataupun pada masa Khalifat Empat.
Ciri – Ciri fisik mereka adalah berjenggot dan menggunakan pakaian (umumnya jubah putih) yang dipingkis tinggi – tinggi di atas mata kaki. Mereka salat tepat waktu, berjamaah di masjid, dan mempunyai semangat kebersamaan yang tinggi. TV dan kamera diharamkan dengan alasan tak ada pada zaman Nabi. Mereka juga memiliki resistensi kuat dalam menolak tradisi local yang berkembang di Masyarakat. Tradisi seperti tahlil, salawatan, talkin, ziarah yang tumbuh sejak lama di lingkungan jamaah Nahdliyyin (NU) dikritik pedas sebagai amalan bid’ah dalalah (sesat), bahkan yang ekstrem mengatakan perbuatan itu sebagai syirik.
Mereka secara spekulatif dan pejorative menilai amalan orang NU dengan paradigma dan standar seperti ‘zaman Nabi’. Tentu saja hal ini sungguh tidak pas. Pertama, zamannya sudah berubah, tidak mungkin secara social, Masyarakat ini harus di setting-nya seperti pada masa Rasulullah. Dinamika kehidupan social mengalami perubahan seiring dengan perkembangan budaya manusia, termasuk budaya dan tradisi umat serta Masyarakat yang terus berkembang seiring perputaran waktu, sebab Islam itu sendiri juga lahir tidak di Tengah budaya yang vakum, tetapi berada dalam roda waktu yang dinamis. Karena itu, bangsa Arab disebut Arab (dibentuk dari akar kata ‘Araba, yang berputar alias dinamis).
Kedua, Islam sendiri mengizinkan umat untuk mengembangkan tradisi sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pengertian lain, fikih dakwah itu harus terus berkembang sesuai kondisi dan situasi Masyarakat yang dihadapi untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam di Tengah perubahan zaman, sehingga Islam dapat tumbuh sesuai paradigma salih li kulli zaman wa makan (selaras untuk setiap zaman dan tempat)
Untuk itu, ulama sendiri telah meneguhkan adagium yang berbunyi “al-muhafazah ‘alal-qadim as-salih wal-akhzu bil-jadid al-aslah” (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik), sehingga dengan demikian, maka idiom salaf dan khalaf tidak lagi relevan untuk didikotomikan, melainkan harus dikompromikan.
Sumber Buku : Problema Keumatan dan Kebangsaan (hlm. 196 – 200)
Penulis Buku : (Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.)
Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa