MEMBEDAH DIKOTOMI SALAFI & SALAFIYAH (2)
Bagi kalagan Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja) yang saat ini berkembang di kalangan NU maupun Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah Aswaja yang bukan Salafi, tetapi Salafiyah.
Mereka mengartikulasikan istilah Salaf itu tidak secara sempit hanya dalam setting zaman nabi dan sahabat saja, tetapi periode yang datang berikutnya pun, seperti para tabiin dan tabiut – tabi’in juga dijadikan acuan dalam praktik keagamaan, sehingga Khazanah keilmuan mereka ini terasa berlimpah dan mempunyai banyak perbandingan dan pilihan setiap kali menetapkan dasar – dasar hukum yang akan ditetapkan. Para ulama Salafiyah ini tidak sempit dalam menggariskan kaidah – kaidah fikih karena memiliki banyak pilihan, sehingga tampak luas. Sebaliknya yang membatasi pengertian Salaf hanya di zaman klasik (permulaan) ternyata telah terjebak dalam pemahaman yang dapat memasukkan mereka ke lorong buntu, sehingga bila tak ada jalan keluar, maka yang bisa dilakukan adalah menyalahkan, menyesatkan, bahkan mengafirkan pihak lain yang tidak sama (secara fikih) dengan pandangannya.
Mengapa timbul pemahaman sempit seperti itu? Yang pokok adalah karena pemahaman hadisnya tidak dilandasi dengan Ilmu Hadis yang memadai. Pertama : pengertian hadis tidak dipilah berdasarkan peran dan fungsi Nabi sebagai Rasul/Nabi, pemimpin umat, dan Mufti/Qadi yang secara mutlak harus ditaati. Kedua : sebagai hakim yang menetapkan hukum sesuai dengan pengakuan zahiriyah yang diadili (al-islam yahkum biz-zawahir) yang relative secara formal. Ketiga : tidak semua yang disebut “la” itu sebagai larangan (nahiyah) karena harus ditilik konteksnya. Keempat : selaku pribadi, yang secara individual punya hak memberikan apresiasi kepada salah satu atau semua sahabat dengan ketetapan yang mungkin sama dan biasanya berlaku khusus.
Oleh sebab itu, misalnya, Pertama : bagi penganut Salafiyah mencukur jenggot itu bukanlah larangan. Hadis ini bersifat local kondisional, lantaran Masyarakat Arab pada zaman nabi rata – rata memelihara jenggot, maka diberi pilihan untuk melestarikannya sesuai konteks budaya yang berkembang kala itu. Artinya jelas, bahwa hadis ini tidak bersifat mutlak dan universal. Demikian pula memingkis jubah di atas mata kaki. Teksnya benar (sahih), tetapi konteksnya bukan merupakan keharusan, karena ‘illat (sebab) nya adalah kesombongan.
Latar belakang historis hadis ini adalah tradisi orang Quraisy pra – islam yang kaya karena sombong (ini ‘illat-nya) memakai kain jubah mereka dibawah mata kaki secara berlebihan. Jika hilang ‘illat-nya, maka larangannya pun juga hilang dengan sendirinya. (Baca: Syarh Sahih Muslim dalam kitab al-libas waz-zinah, hlm. 190 -191). Kedua : adalah sikap fanatisme berlebihan sehingga masa’il fiqhiyyah seolah perbedaan akidah yang tak bisa ditoleransi.
Baca juga : https://almusripusat.com/membedah-dikotomi-salafi-salafiyah-1/
Para salaf seperti Imam Ahmad bin Hanbal tidak pernah mengkafirkan kelompok sempalan dalam Islam semacam Khawarij, Jahmiyah, Murji’ah, Mu’tazilah, dan seterusnya. Bagaimana mereka mengufurkan (secara general) para peziarah kubur, sementara Nabi membolehkan ziarah kubur dan berdoa untuk orang yang sudah meninggal?
Memang tidak mustahil ada orang – orang (bodoh) yang terpeleset kedalam Tindakan syirik jika mereka tidak memahami etika ziarah kubur yang benar. Jika seseorang sudah tidak lagi memohon kepada Allah, tetapi kepada obyek lain yang diyakini bisa memberi manfaat atau bahaya, maka yang demikian ini tidak mustahil bisa mengarah pada Tindakan syirik. Jika seseorang berdoa kepada Allah agar ia dijadikan baik sebagaimana orang yang meninggal ini, atau diberikan berkah sebagaimana Allah memberikan berkah kepada orang meninggal ini, maka dari mana Tindakan itu bisa dikategorikan syirik oleh kelompok itu?
Kelompok yang kita kenal mengabaikan pendekatan – pendekatan ulama salaf ini menamakan diri sebagai “Al-Muwahhidun” (orang – orang ahli tauhid atau anti syirik). Kelompok yang muncul dari pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini pengaruhnya tersebar melalui kekasaan Muhammad bin Saud (Penguasa Nejd) yang mengondisikan (baca: memaksa) penduduk Nejd untuk mengikuti paham Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut. Mereka tidak segan – segan mengeksekusi Masyarakat tak berdosa jika didapati bersebrangan dengan mereka.
Kelompok ini pada mulanya mengaku berafiliasi pada mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, tetapi praktik keyakinan dan amaliah yang mereka tunjukan justru jauh dari pemikiran dan amaliah yang mereka tunjukkan justru jauh dari pemikirian dan amaliah sang Imam Salaf tersebut, bahkan pemikiran Muhammad tersebut malah dibantah habis – habisan oleh saudaranya sendiri, Yaitu Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab sengaja mengarahkan ayat – ayat yang sebenarnya ditujukan kepada orang – orang kafir untuk umat Islam. Generalisasi dalil yang dia suguhkan jauh bertentangan dengan pekem – pakem yang dibangun dan dipraktikkan oleh para sahabat Nabi dan ulama salaf pada umumnya.
Sebagai penutup, kita harus mewaspadai virus ideologi yang mereka tebarkan. Kita harus memberikan informasi berimbang kepada umat agar tidak mudah terpengaruh oleh paham – paham mengatasnamakan salaf, tetapi jauh dari pola piker ulama salaf, dan disisi lain tidak bijak kiranya bila kita terjebak ikut – ikutan sikap mereka yang radikal dengan mengafirkan mereka, sebab para salaf tidak gampang – gampang mengafirkan kelompok (sekte) lain yang bersebrangan dengan mereka. Jika kita ikut – ikutan dengan mereka yang gampang mengafirkan kelompok lain itu dengan car akita mengafirkan mereka, maka apa bedanya kita dengan mereka?
Wallahu a’lam bis-sawab.
Sumber Buku : Problema Keumatan dan Kebangsaan (hlm. 200-205)
Penulis Buku : (Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.)
Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa