Tantangan Internal Umat: Wahabi & Rafidi

            Sejarah pergerakan Islam pernah mencatat paham yang secara politik memosisikan diri sebagai oposisi secara ekstrem yang ditujukan pemerintahan (khalifah) Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mereka disebut Khawarij, karena memang sejatinya sudah keluar (Kharaja), memilih mufaraqah (menyempal dan lalu jadi firqah) Khalifah Ali dan mayoritas umat Islam yang Bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

            Mereka telah menafsirkan teks (ayat-ayat Al-Qur’an) dan hadis-hadis Nabi Muhammad sesuai Hasrat ideologi dan afiliasi politiknya. Sulit sekali untuk diajak kompromi, karena tujuannya memang secara ‘radikal’ untuk meruntuhkan pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah tersebut.

            Dalam periode yang sama muncul reaksi atas kemunculan Khawarij, Yakni Syiah, yang kemudian ‘membela’ Sayyidina Ali secara berlebihan (ghuluw), hingga Sayyidina Ali sendiri segera bersikap tatkala menghadapi fenomena perpecahan ini dengan kata-katanya, “Halaka fiyya isnan: muhibbun gal wa mubgidun qal” (celakalah dua kubu yang merespons diriku: mereka yang mencintaiku secara berlebihan dan yang membenci secara keterlaluan!). Yang membenci Ali secara keterlaluan adalah kaum Khawarij, hingga membunuhnya dengan alasan Ali tidak mengikuti salaf (sahabat terdahulu) dan malah dihukumi sebagai tagut hingga dihalalkan darahnya, dan memang akhirnya benar-benar dibunuh secara sadis orang seorang Khariji bernama Abdurrahman bin Muljam. Sementara Syiah Rafidah (fa’il-nya disebut Rafidi), kemudian berkembang tidak saja mengultuskan Ali, bahkan cenderung menolak Salaf (Syaikhain, yakni Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar, serta Sayyidina Utsman).

            Begitulah paham yang mengklaim sebagai Gerakan “Puritanisme Islam” (Salafi dan atau Rafidi). Lantas belakangan muncul dalam bentuk yang hamper sama, bahkan beberapa hal lebih ekstrem dari genre aslinya, ditandai dengan dua persoalan pokok, yaitu Tahrif dan Takfir. Mula-mula memang karena factor problem tafsir, tetapi berikutnya berkembang menjadi tradisi Tahrif (distorsi teks) dan Takfir atau pengafiran terhadap mereka yang tidak sepaham dengan ideologi versi mereka itu.

            Fenomena “Salafi” (Baca: Wahabi, yang selalu mengklaim sebagai Ahlusunnah Wal Jama’ah dalam mazhab empat) dan “Rafidi” (Baca: Syiah Isna ‘Asyariah), yang mengklaim sebagai mazhab Ahlul Bait) terasa marak semenjak digulirkannya reformasi tahun 1998. Mereka diuntungkan dengan isu kebebasan dan HAM (hak asasi manusia) yang telah menjadi semacam ikon reformasi mulai saat itu.

            Oleh karena itu, semenjak itulah melalui kaderisasi, pembukaan Yayasan, pembentukan opini via media online, cetak, radio, TV, dan penyebaran kader di pemerintahan dan parpol, mereka meluaskan pengaruh pada Masyarakat. Sementara resistensi umat mayoritas terhadap agresivitas mereka ini belum cukup memadai. Sejumlahb uku yang disebarkan Cuma-Cuma telah sempat meracuni akidah dan melukai keyakinan mayoritas umat, yang selama itu hidup secara kondusif dalam mengamalkan ajaran agama.

            Meman gada beberapa bantahan buku dan counter ceramah dari Aswaja, tetapi respons ini tidak sebanding dengan “serangan” dahsyat yang mereka lakukan melalui jaringan yang cukup luas, bahkan yang memprihatinkan adalah beberapa masjid NU sudah dikuasai, sehingga hilanglah karakteristik ke-NU-an yang selama ini dipertahankan.

            Dalam kondisi objektif seperti ini rasanya sulit sekali bila kita mau berupaya untuk merajut ukhuwah dengan mereka, karena dalam kenyataannya pengaruh ‘radikal’ mereka kini sudah sangat sistemik di Tengah Masyarakat, hingga timbul kekhawatiran: hal itu tidak saja telah merusak solidaritas persaudaraan di Tengah umat yang sudah terajut selama ini, malah dapat mengancam keamanan nasional dan keutuhan NKRI.

            Oleh karena itu, melalui catatan sederhana ini, saya menyampaikan beberapa hal yang perlu diprioritaskan dalam rangka menghentikan radikalisme aliran-aliran ekstrem yang mengancam ukhuwah umat Indonesia, khususnya bagi kalangan Nahdliyyin:

            Pertama, harus ada respons terhadap buku-buku dan ceramah yang diterbitkan mereka untuk meluruskan segala Upaya Tahrif, baik oleh Rafidi yang menyatakan bahwa Al-Qur’an mushaf Utsman itu berkurang/diselewengkan seperti keyakinan mereka, juga termasuk Takfir terhadap para pembesar sahabat dan istri Nabi Muhammad, maupun atas Tahrif yang dilakukan oleh Salafi/Wahabi terhadap kitab-kitab Ahlusunnah Wal Jamaah yang secara sengaja mereka pelintir dan ditulis ulang dengan dusta untuk kepentingan ideologi merekan dan Takfir atas ulama Sunni (NU) yang tidak sealiran dengan mereka. Jaringan para penerbit Aswaja harus lebih solid dalam melakukan radd (bantahan) terhadap manuver mereka ini, karena konspirasi ideologi yang memiliki akses luas dan sumber-sumber finansial yang besar itu sudah sangat mengancam eksistensi Aswaja.

            Kedua, membangun jaringan (networking) yang lebih luas untuk mengembangkan pengaruh Aswaja dalam rangka revivalisme Ahlusunnah Wal Jamaah di Tengah generasi muda yang kini Sebagian mulai merasa goyah dengan aksi aliran-aliran sesat-menyesatkan itu.

            Ketiga, mewaspadai adanya konspirasi anti Pancasila dan NKRI yang berbungkus agama, sehingga memengaruhi Sebagian umat, terutama remaja dan mahasiswa yang dapat ditunggangi untuk kepentingan politik praktis mereka. Kepentingan asing juga ikut berpengaruh dalam aktivisme ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari proses ‘radikalisme’ yang ekstrem mereka lakukan terhadap remaja dan mahasiswanya.

            Keempat, melalui RMI semua pondok pesantren se-Indonesia merapkan kurikulum Aswaja, yang harus diajarkan sejak dini kepada para santri. Pemahaman Aswaja tidak dibatasi pada kajian furu’ (perkara-perkara incidental) dalam syariat, tetapi juga hendaknya dimulai dari tekaah usul (pokok-pokok yang principal) dalam akidah.

            Kelima, NU harus mengusulkan agar manhaj Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang sudah berakar diamalkan oleh umat NU, Muhammadiyyah, Tarbiyyah Islamiyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Rabithah ‘Alawiyah, dan Al-Irsyad ini dikukuhkan pemerintah sebagai manhaj atau paham resmi negara yang sudah dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia sejak ratusan tahun.

            Keenam, ukhuwwah yang sejati dan sungguh-sungguh harus dimulai secara internal antarkalangan Nahdliyyin dan intra antara ormas Islam yang ada dalam koridor Aswaja secara umum.

            Demikian catatan kecil sepercik pendapat ini semoga ada mamfaatnya. Wallahu A’lam Bissawab. Wallahul-Muwaffiq Ilaaqwamit-tariq.

(*) Catatan ini disusun untuk Halaqah Nasional Kiai Ponpes Ahlusunnah Wal Jamaah dalam rangka Mubahasah Tentang Paham Radikalisme yang merupakan ancaman serius bagi keberadaan NKRI (Makalah Seminar Nasional di Ponpes Al-Falah, Bandung, 2012)

Referensi Buku: Problema Ke-Umatan & Ke-Bangsaan | Pandangan Sosiolog Agama | Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A. | Cetakan Pertama: November 2022 | hlm. 189 s/d 195 |

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Apakah Tawasul Itu Syirik? Baca Ini Terlebih Dahulu !

Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam terbanyak di dunia. Mayoritas aliran yang dianut warga muslim Indonesia adalah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).  Selain Ahlussunnah wal Jama’ah, ada aliran lain yang diikuti sebagian kecil masyarakat Indonesia, seperti aliran Wahabi, LDII, dan Ahmadiyah.

Mirisnya, sejumlah aliran selain Aswaja ini berkampanye untuk menyalahkan amalan-amalan yang dibolehkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antaranya adalah ziarah, merayakan maulid Nabi, tahlilan, tawasul, dan sebagainya.

Apa itu Tawasul menurut Aswaja?

Berdoa kepada Allah dengan perantara amal saleh atau sosok mulia (seperti Nabi Muhammad), bukan menyembah perantaranya.

Dan, Apakah Tawasul Boleh?

Boleh, bahkan disepakati kebolehannya jika menggunakan amal saleh.
➡️ Tawasul melalui Nabi atau orang saleh juga boleh selama diyakini hanya sebagai wasilah, bukan yang mengabulkan doa.

Kenapa Ada Yang Bilang Tawasul Syirik?

Kelompok seperti Wahabi salah paham, mengira kita menyembah perantara. Padahal, menurut Aswaja, kita tetap berdoa kepada Allah — perantara hanya bentuk cinta dan penghormatan.

Oleh karena itu, kita sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, kita harus mengetahui pola pikir ulama kita mengenai amalan-amalan yang dibolehkan. Agar keyakinan kita tidak mudah goyah ketika didebat oleh kelompok lain. Dan yuk fokus pembahasan kita kali ini adalah tawasul. Penasaran? Mari kita ulas hingga tuntas!

Tawasul yang Disepakati Kebolehannya

Meskipun ada kelompok yang menyalahkan tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah (akan dijelaskan nanti), ada satu cara tawasul yang disepakati semua ulama atas kebolehannya. Yaitu tawasul menggunakan amal saleh yang kita miliki.

📚 Kebolehan tawasul ini berlandaskan hadis yang mengisahkan tiga orang sedang terjebak di dalam satu gua. Orang pertama berdoa kepada Allah dan menjadikan amal baiknya kepada orang tua sebagai wasilah. Orang kedua menggunakan usahanya menjauhi maksiat ketika hendak melakukannya sebagai wasilah. Sedangkan orang ketiga menggunakan perilaku amanah dan menjaga diri dari harta orang lain kemudian menyerahkan semua kepada pemiliknya sebagai wasilah. Kemudian Allah mengeluarkan mereka dari gua tersebut sebab doa dan tawasul yang mereka lakukan.

Tawasul yang Diperdebatkan

Pandangan kelompok lain menganggap tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah seperti melakukan tawasul dengan zat atau manusia merupakan tindakan syirik. Contohnya seperti kita berdoa dan mengucapkan:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawasul kepada-Mu melalui nabi-Mu (Muhammad Saw).”

Menurut Sayyid Alwi Al-Maliki, sebenarnya tidak ada masalah ketika menggunakan tawasul semacam ini. Karena dengan mengucapkan tawasul di atas sama halnya kita mengatakan:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِمَحَبَّتِيْ لِنَبِيِّكَ

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan rasa cintaku kepada Nabi-Mu sebagai wasilah kepada-Mu.”

Jika tawasul yang disepakati kebolehannya adalah tawasul dengan amal saleh, secara tidak langsung juga membolehkan tawasul ala Ahlussunnah wal Jama’ah. Sekilas tawasul yang kita lakukan memang tertuju pada orang. Tetapi, jika kita renungi lebih dalam, yang kita jadikan tawasul bukan orangnya. Melainkan rasa cinta kita terhadap orang yang dijadikan wasilah. Ini termasuk tawasul dengan amal saleh!

Pengertian Tawasul Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah

Mengutip dari kbbi.kemdikbud.go.id, tawasul berarti memohon atau berdoa kepada Allah Swt. dengan perantara nama seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Allah. Ini jika kita tinjau dari bahasa Indonesia. Bagaimana menurut Ahlussunnah wal Jama’ah?

Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Husaini, dalam kitabnya yang bernama Mafahim Yajibu an Tushahah, beliau mencantumkan empat poin yang harus diketahui untuk memahami hakikat tawasul menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.

Pertama. Tawasul hanya sekadar perantara atau wasilah untuk membantu kita mendekatkan diri kepada Allah. Dan ini adalah salah satu cara berdoa. Tidak lebih dari itu.

أَوَّلًا: أَنَّ التَّوَسُلَ هُوَ أَحَدُ طُرُقِ الدُّعَاءِ وَبَابٌ مِنْ أَبْوَابِ التَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، فَالْمَقْصُوْدُ الْأَصْلِيُّ الْحَقِيْقِيُّ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَالْمُتَوَسَّلُ بِهِ إِنَّمَا هِيَ وَاسِطَةٌ وَوَسِيْلَةٌ لِلتَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَمَنْ اِعْتَقَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَقَدْ أَشْرَكَ.

Artinya: “Pertama. Tawasul adalah salah satu dari cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap Allah. Dan inti dari doa tersebut adalah Allah Swt. Dan orang yang dijadikan wasilah hanyalah sebagai perantara belaka untuk mendekatkan diri kepada Allah. Barang siapa yang meyakini selain keterangan ini, maka dia menjadi syirik.”

Kedua. Orang yang melakukan tawasul, itu hanya karena kecintaannya terhadap orang yang dijadikan wasilah dan meyakini bahwa Allah mencintai orang tersebut.

ثَانِيًا: أَنَّ المُتَوَسِّلَ مَا تَوَسَّلَ بِهَذِهِ الوَاسِطَةِ إِلَّا لِمَحَبَّتِهِ لَهَا وَاعْتِقَادِهِ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يُحِبُّهُ، وَلَوْ ظَهَرَ خِلَافَ ذَلِكَ لَكَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ عَنْهَا وَأَشَدَّ النَّاسِ كَرَاهَةً لَهَا.

Artinya: “Kedua. Orang yang melakukan tawasul tidak menjadikan orang sebagai wasilah kecuali karena kecintaannya terhadap orang tersebut dan meyakini bahwa Allah juga mencintainya. Jika zahirnya tidak demikian, maka dia adalah orang yang paling jauh dan benci kepada orang yang dijadikan wasilah.”

Ketiga. Ketika orang yang memahami bahwa orang yang dijadikan wasilah bisa memberi manfaat dan mafsadat seperti Allah atau hampir setara dengan Allah, maka termasuk orang yang syirik.

ثَالِثًا: أَنَّ المُتَوَسِّلَ لَوْ اعْتَقَدَ أَنَّ مَنْ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى اللهِ يَنْفَعُ وَيَضُرُّ بِنَفْسِهِ مِثْلَ اللهِ أِو دُوْنَهُ فَقَدْ أَشْرَكَ

Artinya: “Ketiga. Seandainya orang yang melakukan tawasul meyakini bahwa orang yang dijadikan wasilah bisa memberikan manfaat dan mafsadat seperti Allah atau hampir setara dengan Allah maka dia menjadi syirik.”

Keempat. Dikabulkan atau tidaknya doa, tidak bergantung pada tawasul.

رَابِعًا: أَنَّ التَّوَسُّلَ لَيْسَ أَمْرًا لَازِمًا أَوْ ضَرُوْرِيًّا وَلَيْسَتْ الإِجَابَةُ مُتَوَقِّفَةً عَلَيْهِ، بَلِ الْأَصْلُ دُعَاءُ اللهِ تَعَالَى مُطْلَقًا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ وَكَمَا قَالَ تَعَالَى قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

Artinya: “Keempat. Sesungguhnya tawasul itu bukan hal yang harus dilakukan. Dan tawasul tidak menjamin atas dikabulkan atau tidaknya sebuah doa, tetapi secara mutlak yang dilakukan adalah berharap kepada Allah. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 186, “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat” atau dalam surat Al-Isra’ ayat 110 “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Serulah ‘Allah’ atau serulah ‘Ar-Rahman’! Nama mana saja yang kamu seru, (maka itu baik) karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaulhusna).”

Dalil Kebolehan Tawasul Ala Ahlussunnah wal Jama’ah

Dari penjelasan di atas, jika masih ada saja kelompok yang tidak terima dan tetap menyalahkan tawasul ala Ahlussunnah wal Jama’ah, tenang saja. Sayyid Alwi Al-Maliki menjelaskan bahwa tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah ini memiliki landasan langsung dari Al-Quran. Yaitu surat 📖 Al-Ma’idah ayat 35 yang berbunyi,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya.”

Beliau menjelaskan bahwa lafaz الْوَسِيْلَةَ memiliki makna umum. Dalam arti kita bebas berwasilah baik menggunakan zat yang mulia seperti para nabi dan orang-orang saleh baik dalam kondisi hidup atau sudah mati, maupun berwasilah dengan menggunakan amal saleh.

Kesimpulan

Tawasul dibolehkan dalam Islam, terutama menurut Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), baik melalui amal saleh maupun melalui kecintaan kepada Nabi dan orang saleh. Tuduhan syirik oleh kelompok lain (seperti Wahabi) muncul dari kesalahpahaman, padahal tawasul bukan menyembah perantara, tapi menjadikannya wasilah menuju Allah. Al-Qur’an dan hadis mendukung kebolehan tawasul.

Saya rasa dalil ini sudah cukup untuk meyakinkan kita bahwa tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah adalah tindakan yang diperbolehkan. Sekian dari penulis, Terima kasih.

Pewarta: M Wildan Musyaffa

INAUGURASI MENUJU ANSOR MASA DEPAN

Pada kesempatan ini, dalam acara pelantikan pengurus pusat gerakan pemuda Ansor, alhamdulillah dari pondok pesantren miftahulhuda Al-Musri’ menjadi salah satu bagian dari acara ini, dengan lima orang santri yang mewakili untuk datang menghadiri ke istora senayan jakarta. lima orang santri tersebut adalah perwakilan dari banom al-musri’ yang notaben nya tingkat ma’had aly dan dirosatul ulya.

adapun ungkapan-ungkapan dari orang-orang besar yang sambutan pada acara kali ini,

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa Gerakan Pemuda (GP) Ansor adalah ototnya Nahdlatul Ulama.  Menurutnya, Rais Aam tidak boleh dibiarkan ikut perang atau terlibat petentengan, dan Ketua Umum PBNU tidak boleh dibiarkan mengangkut kursi. Hal ini karena ototnya NU ada pada Gerakan Pemuda Ansor.

Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) hadir dalam pelantikan Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor di Istora Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024) sore. Pada sambutannya ia mengaku terkesima dengan ungkapan Ansor maju satu barisan, seribu rintangan patah semuanya. Menurutnya semangat itulah yang harus dipegang oleh GP Ansor yaitu semangat persatuan dan pantang menyerah. “Ansor maju satu barisan seribu rintangan patah semuanya. Semangat ini yang harus dipegang oleh GP Ansor semangat persatuan dan pantang menyerah dalam menjaga simpul kebangsaan dan hubbul wathan minal iman,” ujarnya.

Berikut adalah susunan Pengurus PP GP Ansor Masa Khidmat 2024-2029  

Ketua Umum: H. Addin Jauharudin   Wakil Ketua Umum: H. Mabrur L. Banuna H.M. Fajri Al Farobi H. Ach. Ghufron Sirodj   Ketua: H. Septian Hario Seto H. Affan Asirozi KH. R. Mahfudz Hamid H. Moesafa Muhammad Aziz Hakim H. Timbul Pasaribu H. Dendy Zuhairil Finsa H. Abdurrahman Soleh Fauzi H. Kurniana Dianta Arfiando Sebayang H. Moh. Abid Umar H. Nur Faizin H. Jabidi Ritonga H. Deni Ahmad Haidar H. Rahmat Tk. Sulaman H.M. Syafiq Syauqi H. Muhammad Soleh Rajuini Teddy Suryana H. Purwaji H. Pendais Hak H. Ahmad Zarkasih H. Sudirman Az H. Rahmad Budi Harto H. Ahmad Nuri H. Muchammad Syaifudin H. Sholahuddin Aly H. Ajhar Jowe H. Azwar A. Gani H. Zamroni Aziz H. Alamsyah Prawirabhakti Palenga Ahsan As’ad Said H. Muhammad Hasan Bisri Yamin Latief Tjokra H. Hanies Cholil Barro’ H. Mufti A.N. Anam H. Muhammad Rustam Hatala Muhammad Arif Rohman H. Julianda Al Fitra Tommy Darmadi Amin Fauzi Juwanda Dwi Winarno Sumarno Syukri Rahmatullah Gufron Mabruri Muhammad Alghifari S. H. Aswandi Jailani Ahmad Luthfi Muhammad Abdullah Syukri   Sekretaris Jenderal: H.A. Rifqi Al Mubarok   Wakil Sekretaris Jenderal: Muhammad Rin Parok H. Alma Ashfiya Habib Syarif H. Sugiyona Amzah Asyathry H. Akhmad Afendi H. Musaffa H. Muhamad Nuris Salam Ibnu Ngakil Yonathan Wegiq Supranjono Busra  H. Elly Saputra Nugroho Yoga Priambodo Fika Taufiqurrohman Abdul Rauf Moh. Syarif Latadano Abdullah Ali Masyhuri Maswatu H. Fahsin M. Faal Agung Zawil Afkar Al-Muhtad Awang Azhari Muhammad Zahid Ruzi Setiawan Megi Harisandi Coki Guntara H. Johan Jauhar Anwari H. Taufik Hidayat Firmana Tri Andika Muhammad Fathoni Fikri Hizbullah Huda Ishak Rahmatullah Alwi Muhammad Syukron Habiby Yudiarto Santosa H.M. Harun Donald Qomaidiasyah Tungkagi Abdul Haris Wally Wahyudi Dja’far Farid Assifa Abdul Gofur Abdul Muiz Muh. Alim A. Siddik Muh. Ramli Syamsudin Muhammad Dzikra Ulya S La Radi Eno H. Ridwan Hasibuan Syauqul Muhibbin Sabolah Budy Sugandi Bambang Tri Anggono   Bendahara Umum: H. Noer Fajrieansyah   Wakil Bendahara Umum: Fauzi Ibrahim H. Solla Taufiq H. Muhammad Za’im Cholil Mumtaz Syamsul Arifin Hadi Mulyo Utomo H. Erfan Maulana H. Abdussalam Zulkarnain Mahmud   DEWAN PENASIHAT   Ketua: H. Yaqut Cholil Qoumas Sekretaris: H. Irsyad Yusuf   Anggota: H. Rosan Roeslani H. Saifullah Yusuf H. Nusron Wahid H. Endin Aj. Soefihara H. Abdul Rochman H. Muhammad Aqil Irham H. Faisal Saimima H. Mujiburrohman H. Faisal Ali Hasyim H. Hasanuddin Ali H. Abdullah Azwar Anas H. Wiranto H. Sufmi Dasco Ahmad H. Sumantri Suwarno H. Zainal Abidin H. Abdul Halik Rumkel H. M. Nuruzzaman H. Harianto Ogie H. Abdul Qodir H. Hasani Zubair H. Khaerudin Wahid H. A. Syarif Munawi Hadir dalam pelantikan ini Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Panglima TNI Agus Subiyanto, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju Jilid 2, para pimpinan partai politik, Pengurus Tandfidziyah dan Syuriyah PBNU, dan ribuan anggota Banser mengenakan seragam serba loreng.

Sumber: https://www.nu.or.id/

penulis : Ridwan Fauzi

Biografi K.H. Hasyim Asy’ari

1. Latar Belakang Keluarga KH Hasyim Asy’ari


K.H. Hasyim Asy’ari atau M Hasyim Asy’ari merupakan ulama kelahiran Jombang, 24 Dzulqaidah 1287 H. Hasyim merupakan putra ketiga dari 11 bersaudara, dari pasangan KH Asy’ari (pemimpin Pesantren Keras, Jombang) dan Nyai Halimah.
Dari garis keturunan sang ayah, Hasyim merupakan keturunan Rasulullah. Selain keturunan Rasulullah, beliau juga merupakan keturunan Sunan Giri, wali yang menyebarkan Islam di Jawa.Sementara dari garis keturunan sang ibu, Hasyim merupakan keturunan raja terakhir Kerajaan Majapahit. Raja tersebut yakni Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng).

2. Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari


Hasyim, sedari kecil tinggal berdampingan di lingkungan pesantren tradisional. Di sana, ia belajar dasar-dasar Islam dari pondok pesantren yang dipimpin sang ayah, Pesantren Keras.

Menginjak usia 15 tahun, Hasyim melancong ke beberapa pesantren di Jawa. Mulai dari Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pesantren Tambakberas (Jombang), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Cepoko (Ngawi), serta Pesantren Sarang (Rembang).

Enam tahun berselang, Hasyim memperistri Nafisah yang merupakan putri dari Kiai Ya’qub Siwalan Panji. Ia kemudian menunaikan ibadah haji bersama mertua dan istrinya.

 
Tak hanya menjalankan ibadah haji, beliau juga menimba ilmu kepada beberapa ulama terkemuka yakni Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Muhammad Salih al-Samarqnadi, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Thahir al-Ja’fari, serta Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi.

Sebelum kembali ke Tanah Air, K.H. Hasyim juga sempat mengabdi sebagai pengajar di Masjidil Haram. Ia menyandang gelar Syaikhul Haram.

K.H. Hasyim juga turut menulis beberapa karya ilmiah. Mulai dari Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Al-Imam al-Ghazali wa Arauhu al-Kalamiah. Setelah itu, ia pulang ke Indonesia dan mendirikan Pesantren Tebuireng pada tahun 1899.

3. Peran dan Perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari


Tak hanya dikenal sebagai ulama yang ahli di berbagai bidang ilmu, K.H. Hasyim juga dikenal sebagai pejuang yang gigih dalam membela agama dan bangsa. Beliau turut maju menghadapi penjajah Belanda, dengan mengutamakan syariat Islam.

Perjuangan K.H. Hasyim terlihat ketika ia mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926. Didirikannya NU bertujuan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, mempererat persatuan umat Islam, dan menggalang perlawanan terhadap penjajah.

NU kemudian berkembang pesat sehingga menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Organisasi ini memiliki jutaan anggota dan ratusan ribu pengurus dari berbagai penjuru daerah di Indonesia.

Selain partisipasinya dalam ajaran Islam, K.H. Hasyim juga turut menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Untuk diketahui, KNIP adalah lembaga pertama Republik Indonesia.

K.H. Hasyim juga turut mengeluarkan fatwa jihad guna melawan agresi militer Belanda di tahun 1948. Fatwa jihad ini digagas oleh K.H. Hasyim Asy’ari dengan maksud sebagai seruan semangat kepada para pejuang untuk merdeka.

4. Warisan K.H. Hasyim Asy’ari


K.H. Hasyim wafat pada 7 Jumadil Akhir 1336 H atau sama dengan 25 Juli 1947 di Surabaya. Jenazah KH Hasyim dimakamkan di kompleks Pesantren Tebuireng.

Ilmu K.H. Hasyim bisa dipelajari dari karya-karya ilmiah yang dibuatnya. Beberapa karya ilmiah yang populer di antaranya Al-Imam al-Ghazali wa Arauhu al-Kalamiah, Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, Nadzom al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah, Al-Tahrir fi Usul al-Fiqh, dan Nadzom Jawahir al-Tauhid.

Selain karya dan jasanya yang dikenang, K.H. Hasyim juga turut melahirkan ulama dan pemimpin bangsa. Beberapa di antaranya yakni KH Wahid Hasyim (putra K.H. Hasyim Asy’ari yang menjadi Menteri Agama RI pertama), H Abdurrahman Wahid (cucu KH Hasyim Asy’ari yang menjadi Presiden RI ke-4), KH Sahal Mahfudz (mantan Ketua PBNU), K.H. Mustofa Bisri (mantan Rais Aam PBNU), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Editor: Alima sri sutami mukti

Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), Ini Penjelasan Lengkapnya

 Sebagai Negara dengan penduduk beragama islam terbesar di dunia, Indonesia memiliki cerita tersendiri soal organisasi – organisasi islam yang berkembang. Termasuk kehadiran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam pengaruhnya bagi penganut islam di tanah air. Banyaknya perbedaan ideologi dan arah politik dalam agama di Indonesia, menjadi tanda munculnya sejarah NU yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 atas nama kaum tradisionalis dalam menanggapi fenomena yang ada di dalam dan luar negeri, khususnya di dunia Islam.

Pengertian Nahdlatul Ulama (NU)                                                                                                        

Lambang Nahdlatul Ulama diciptakan oleh KH. Ridwan Abdullah setelah  proses kontemplasi dan hasil doa istikharah Sebagai pemimpin Allah SWT. Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai perwakilan ulama tradisionalis yang mendapat bimbingan ideologis dari Ahlus Sunnah wal jamaah, yakni tokoh- tokoh seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K. H. Wahab Hasbullah dan para ulama lainnya ketika upaya reformasi mulai meluas. Meskipun terorganisir, mereka sudah memiliki hubungan yang sangat kuat. Perayaan  seperti haul, peringatan wafatnya seorang kyai, yang kemudian mengumpulkan masyarakat sekitar, para kyai dan mantan santrinya hingga sekarang masih dilakukan secara rutin di beberapa wilayah di tanah air.

Substansi dan Ideologi Nahdlatul Ulama (NU)

Dalam sejarah NU, penciptaan Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dengan dukungan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma (keputusan ulama terdahulu). Qiyas  atau contoh kisah Al-Qur’an dan hadits menurut K.H. Mustofa Bisri memiliki tiga substansi di dalamnya, yakni sebagai berikut:

  1. Dalam bidang syariat Islam, sesuai dengan salah satu ajaran dari empat Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafiy, Hanbali), dan sebenarnya Kyai NU sangat taat kepada Syafi’i. “Saya sekolah
  2. Dari perspektif tauhid (ketuhanan), saya akan mengikuti ajaran Imam Abu Hasan Almaty Ali dan Imam Abu Mansur Al Maturidi
  3. Dasar-dasar Imam Abu Qosim Al Junaidi di bidang tasawuf Proses mengintegrasikan ide-ide Sunni berkembang. Cara berpikir Sunni di bidang ketuhanan bersifat eklektik: memilih  pendapat yang benar. Hasan al-Bashri seorang tokoh Sunni  terkemuka dalam masalah Qodariyah dan Qadariyah mengenai personel, memilih pandangan Qadariyah. Pendapat bahwa pelaku adalah kufur dan hanya keyakinannya yang masih tersisa (fasiq). Apa ide yang dikembangkan oleh Hasan AL Basri Belakangan justru direduksi menjadi gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Menurut Muhammad Abu Zahrah Islam memiliki dua bentuk utama, yakni praktis dan teoritis. Perbedaan tersebut justru terlihat pada kelompok-kelompok seperti  Ali bin Abi Thalib, Khawarij, dan Muawiyah. Bentuk keberatan kedua  dalam Islam bersifat  teoritis ilmiah, seperti  dalam kasus “Aqidah dan Penuh” (Fikhu). Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai salah satu aliran batin Islam tentunya memiliki nuansa politik dan sangat kental pada saat kelahirannya. Namun dalam perkembangan wacananya juga merambah bidang-bidang seperti Aqidah, hukum Islam, tasawuf, dan politik.

Untuk ideologi ahlussunnah wal jamaah lahir karena alasan yang sangat mendasar. Kekuatan penguasa kolonial Belanda untuk menghancurkan potensi Islam telah menumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan ulama untuk menjaga kemurnian dan keutuhan ajaran Islam. Selain itu ada pula rasa tanggung jawab  ulama sebagai pemimpin yang memperjuangkan kemerdekaan dan dibebaskan dari belenggu penjajahan. Ulama juga memiliki rasa tanggung jawab  untuk menjaga kedamaian bangsa Indonesia.

Fase Perkembangan NU

Tidak semua sejarah bangsa Indonesia dijelaskan pada fase- fase abad ke-19 hingga sekarang yang merupakan proses pengujian dan antitesis. Misalnya, pada masa gerakan kemerdekaan, ada tiga kelompok kekuatan yang berkembang secara bersamaan. Munculnya elite baru sebagai aliran Belanda disertai dengan dua gerakan yang bersumber dari Islam, yakni “Islam modern” dan “Islam tradisional”. Pada tahap ini, modernisasi Islam untuk berbagai agama mulai menyebar dan diterima secara luas di hampir semua kota besar di Indonesia, termasuk desa- desa kecil di pelosok Indonesia.

Sejak awal 1980-an sebelum berdirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, Kay H. Hasyim Asyari melarang salah satu muridnya yang paling cerdas, KH. Wahab Hasbullah untuk berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan dan sosial keagamaan Kelompok Modernisasi Islam. Tampaknya pemikiran Islam modern tentang gerakan Muhammadiyah tidak terpengaruh sampai kematian pendiri Muhammadiyah Kyai H. Ahmad Dahlan pada tahun 1923. Idealisme paling mendasar dari Islam tradisional adalah pada tahap awal gerakan Islam modern, yakni adanya tekanan yang ditempatkan pada revitalisasi sosial, ekonomi dan politik. Mungkin itu sebabnya gerakan itu tidak dianggap sebagai ancaman bagi posisi para pemimpin Islam tradisional.

Pada awal abad 20 dalam  waktu 10 tahun dengan dukungan  Kyai dan Ulama, Kyai Abdul Wahab Hasbro menyelenggarakan Islam tradisional dan didirikan pada tahun 1912 di Surakarta oleh Ikatan Pedagang Muslim. Ia juga aktif dalam Syarikat Islam (SI). Dari Pada tahun 1916, Kyai Wahab mendirikan  madrasah yang berbasis di Surabaya bernama Nahdl di Batam. Orang tuanya adalah Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai H. Mas Mansyur.

Peningkatan luar biasa terjadi untuk jumlah anggota organisasi Islam pada akhir 1920-an terutama disebabkan peran Kyai yang memobilisasi waktu secara ideologis pada organisasi- organisasi Islam. Setelah gerakan Muhammadiyah berdiri pada  tahun 1912 dan sepeninggal Kyai H. Ahmad Daran, sering  terjadi perdebatan di kalangan Kyai- Kyai. Para pimpinan dan ulama pondok pesantren mendukung gerakan Muhammadiyah yang menangani berbagai aspek keislaman. Forum utama untuk diskusi ini adalah organisasi Taswirul Afkar di Surabaya dibawah pimpinan Kyai H. Wahab Hasbullah, Kyai H.

Dalam acara tersebut ada Mas Mansoer, Kyai H. Hasyim Ashari, Kyai KH. Bisri Syamsuri (keduanya dari Jombang), Kyai Lidowan (Semarang), Kyai Nawawi (Pasuruan),  Kyai Abdul Aziz (Surabaya) dan sebagainya. Keputusan yang diambil dalam rapat tersebut adalah sebagai berikut ini:

  1. Pengiriman delegasi dari Kongres Dunia Islam ke Mekah Perjuangkan Ibn Saud sesuai hukum Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) Perlindungan dan kebebasan dalam bidang pertanggungjawaban
  2. Pembentukan (kebangkitan) Jamiya yang disebut Nahdlatul Ulama Cendekiawan bertujuan untuk menegakkan penegakan hukum Islam di bawah salah satu dari empat sekolah

Namun, kedua kelompok ini pada umumnya mendukung kegiatan Sarekat Islam karena organisasi tersebut tidak membahas masalah- masalah yang berkaitan dengan asimilasi konsep- konsep yang berkaitan dengan keagamaan.  Syarikat Islam lebih tertarik pada kegiatan politik dan tujuan umumnya adalah untuk menyatukan kelompok- kelompok Islam Indonesia, sehingga penekanannya adalah menghindari perbedaan pendapat tentang detail praktik keagamaan.

Pada bulan Februari 1923, Persatuan Islam (dikenal dengan singkatan Persis) didirikan di Mapan Bandung. Sejak saat itu para anggotanya mulai mengungkapkan pandangan tanpa kompromi, yang ditunjukkan dalam semangat Islam tradisional. Pada saat yang sama, persatuan Islam dapat memenangkan empati banyak intelektual Islam. Buah semangat Persis (Masyarakat Islam) memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan ideologi keagamaan dalam masyarakat Islam sejak tahun 1923, termasuk perjalanan sejarah NU.

Selama Konferensi Islam ke-4 di Bandung Pada Februari 1926, Parlemen hampir sepenuhnya didominasi oleh para pemimpin organisasi Islam modern. Mereka menyetujui usulan para pemimpin Islam tradisional untuk melestarikan praktik keagamaan tradisional, termasuk pelestarian Mazhab, makam Nabi dan makam empat sahabat Medina. Alhasil, Kyai dan Ulama diajar langsung oleh Kyai H. Hasyim Asy’ari sangat mengkritik Islam modern dan telah mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai medan pertempuran bagi para pemimpin Islam tradisional sejak didirikan pada tahun 1926.

Tujuan Berdirinya NU

Pengaruh Nahdlatul Ulama sangat besar di kalangan Kyai dan Ulama di Jawa bagian timur dan tengah, serta masyarakat umum. Seperti statuta Nahdlatul Ulama. Perumusan Pada tahun 1927, organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan Islam kepada salah satu dari empat Madzhab dan untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi para anggotanya sesuai dengan ajaran Islam. Kegiatan utama organisasi NU adalah sebagai berikut.

  1. Memperkuat persatuan Diantara sesama ulama yang masih setia pada ajaran mazhab
  2. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis buku yang diajarkan oleh lembaga pendidikan Islam
  3. Penyebarluasan ajaran Islam atas permintaan empat Madzhab
  4. Meningkatkan jumlah Madrasah dan Organisasi
  5. Mendukung pembangunan Masjid, Langgar dan Pesantren
  6. Membantu anak yatim  dan fakir miskin.

Perkembangan NU di Indonesia

Berdasarkan sejarah NU, organisasi islam terbesar di Indoneisa ini telah memantapkan dirinya sebagai pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran empat mazhab Syafi’i, yang diterima oleh sebagian besar umat Islam di seluruh tanah air. Selain itu, NU memberikan perhatian khusus pada bidang- bidang yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, seperti kehidupan  pemilik tanah dan para pedagang.

Sebenarnya, Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia dari komunitas Islam yang ada sejak kelahirannya di tahun 70-an. Selain itu NU juga selalu menekankan pentingnya menjaga dan menghormati kekayaan budaya nusantara. Terinspirasi dari tipikal tudingan terhadap Wali Songo yang berhasil “menghubungkan” bidang agama (Islam) dengan wilayah budaya. Dalam praktiknya NU berwajah familiar atau muda, sebagaimana diakui oleh seluruh masyarakat.

Untuk menghindari pendekatan negatif memerlukan dorongan dari dua hal yang sangat dibutuhkan dalam konteks pluralisme, yakni: Pertama, melekatnya identitas nasional karena mereka mengikuti jalur budaya dengan karakter pluralistic. Komunitas budaya jarang merasa bahwa keberadaan mereka secara langsung atau tidak langsung terancam. Dari sinilah  muncul aturan hukum Islam “al`adah muhakkamah”.

Ini memberikan peluang besar untuk mengubah tradisi apa pun menjadi bagian dari hukum Islam. Kecuali ibadah Mahdah, seperti shalat atau puasa, kegiatan budaya sangat mungkin dianggap sebagai kegiatan yang dipaksakan secara agama jika  berperan dalam mendukung prinsip-prinsip Islam. Dan setidak-tidaknya kegiatan budaya tersebut tidak  dilarang kecuali mengganggu kemanfaatannya.

Oleh karena itu, kehormatan Islam di Indonesia  selalu didukung dengan cara yang dapat diterima oleh kelompok lain, meskipun secara statistik dikategorikan mayoritas, dan tidak dipaksakan oleh kepentingan masyarakat dan penindasan atau penolakan keberadaannya. Langkah-langkah ini dapat sangat membantu dalam mendukung upaya untuk memantapkan identitas nasional bersama.

Kedua, Pengembangan nilai- nilai kemanusiaan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan Islam yang toleran secara tidak langsung  berdampak positif terhadap upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan jika dibandingkan dengan sikap tegas beragama yang dapat membahayakan hak asasi manusia. Mudah memicu kekerasan agama dari keringnya keterlibatan Islam yang  memonopoli kebenaran dan menunjukkan kelemahan iman. Toleransi, di sisi lain, tampaknya menjadi bukti keutuhan pemahaman agama, yang diyakini  menjadi berkah bagi semua.

Pada akhirnya, sikap pemaaf yang muncul dari  kesadaran untuk memahami perbedaan dan keragaman budaya merupakan salah satu landasan kokoh dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku yang lebih peka terhadap nilai- nilai kemanusiaan. Jadi orang tidak Seharusnya diperlakukan secara manusiawi hanya karena mereka adalah Muslim, tetapi didasarkan pada pemahaman bahwa nilai- nilai kemanusiaan adalah milik semua orang.

Nahdlatul Ulama  menjadikan dirinya sebagai organisasi sosiologis dan keagamaan dalam menjawab permasalahan bangsa. Bukan seluruh  sejarah negara Indonesia, Nahdlatul Ulama telah melalui tahap yang berkembang dari akhir abad ke-19 hingga saat ini. Ini adalah proses pengujian dan antitesis. Pada masa pergerakan kemerdekaan. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tingkat berikutnya untuk menelusuri dan memahami sejarah NU yang panjang dan sangat berpengaruh pada perkembangan Negara Indonesia pulau. Berikut ini fase atau kondisi organisasi Nu dan kaitannya dengan Indonesia dalam sejarah NU:

1. Nahdlatul Ulama Sebelum Kemerdekaan 

Sebelum kemerdekaan, Nahdlatul Ulama berkembang sebagai organisasi yang disegani oleh penjajah. Sangat memungkinkan kekuatan Ulama dan anggota NU untuk menjembatani kepentingan Islam dan negara Indonesia saat itu yang telah menjadi pilar pengantar  lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia.

2. Nahdlatul Ulama Di masa kemerdekaan 

  • Periode Orde Lama –NU memutuskan  menjadi partai politik semata-mata karena berkonfrontasi dengan Komunis. Kekuatan komunisme sebagai partai politik membutuhkan pola yang sama. Nahdlatul Ulama  akhirnya mampu mempertahankan dasar Pancasila dengan suara lantang.
  • Masa Orde Baru –Karena kebijakan pemerintah yang kuat, posisi NU adalah Ulama, bersama kelompok Islam lainnya, kembali sebagai kelompok sosiologis dan religious, kemudian sepakat untuk membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Secara sosial merupakan kepedulian Nafatur Utama dan secara politik merupakan partai Nahdlatul Ulama.
  • Masa Reformasi Pada masa reformasi –Pola politik NU mulai berubah. NU telah sepakat untuk kembali ke Khittah. Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang murni sosiologis dan religius, menjaga jarak dengan partai politik yang ada. Oleh karena itu, Nahdlatul Ulama bukan milik siapa pun, melainkan milik potensi negara Indonesia.

Nahdlatul Ulama sebenarnya berdiri dalam sejarahnya sebagai bentuk reaksi eksternal (gerakan pemurnian). Dan berdirinya organisasi ini tidak terlepas dari peran Kyai, wakil utama kelompok Islam tradisionalis, dan komunitas Pesantrennya. Nahdlatul Ulama mengacu pada salah satu Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanabari) dan merupakan organisasi keagamaan yang melayani negara, negara bagian dan Muslim.

Nah, itulah penjelasan tentang sejarah NU dan kaitannya dengan perkembangan kondisi Indonesia, termasuk ajaran agama islam. Sebagai salah satu organisasi islam besar di Indonesia, Grameds pasti sudah tidak asing lagi dengan ormas yang satu ini. Dalam praktiknya mungkin kita masih kesulitan membedakan organisasi islam ini dengan lainnya dalam melakukan amalan agama islam. Dari situlah sebenarnya dapat menjadi ciri khas masing- masing aliran dalam melakukan ibadah.

Editor: Alima sri sutami mukti