Tantangan Internal Umat: Wahabi & Rafidi

            Sejarah pergerakan Islam pernah mencatat paham yang secara politik memosisikan diri sebagai oposisi secara ekstrem yang ditujukan pemerintahan (khalifah) Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mereka disebut Khawarij, karena memang sejatinya sudah keluar (Kharaja), memilih mufaraqah (menyempal dan lalu jadi firqah) Khalifah Ali dan mayoritas umat Islam yang Bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

            Mereka telah menafsirkan teks (ayat-ayat Al-Qur’an) dan hadis-hadis Nabi Muhammad sesuai Hasrat ideologi dan afiliasi politiknya. Sulit sekali untuk diajak kompromi, karena tujuannya memang secara ‘radikal’ untuk meruntuhkan pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah tersebut.

            Dalam periode yang sama muncul reaksi atas kemunculan Khawarij, Yakni Syiah, yang kemudian ‘membela’ Sayyidina Ali secara berlebihan (ghuluw), hingga Sayyidina Ali sendiri segera bersikap tatkala menghadapi fenomena perpecahan ini dengan kata-katanya, “Halaka fiyya isnan: muhibbun gal wa mubgidun qal” (celakalah dua kubu yang merespons diriku: mereka yang mencintaiku secara berlebihan dan yang membenci secara keterlaluan!). Yang membenci Ali secara keterlaluan adalah kaum Khawarij, hingga membunuhnya dengan alasan Ali tidak mengikuti salaf (sahabat terdahulu) dan malah dihukumi sebagai tagut hingga dihalalkan darahnya, dan memang akhirnya benar-benar dibunuh secara sadis orang seorang Khariji bernama Abdurrahman bin Muljam. Sementara Syiah Rafidah (fa’il-nya disebut Rafidi), kemudian berkembang tidak saja mengultuskan Ali, bahkan cenderung menolak Salaf (Syaikhain, yakni Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar, serta Sayyidina Utsman).

            Begitulah paham yang mengklaim sebagai Gerakan “Puritanisme Islam” (Salafi dan atau Rafidi). Lantas belakangan muncul dalam bentuk yang hamper sama, bahkan beberapa hal lebih ekstrem dari genre aslinya, ditandai dengan dua persoalan pokok, yaitu Tahrif dan Takfir. Mula-mula memang karena factor problem tafsir, tetapi berikutnya berkembang menjadi tradisi Tahrif (distorsi teks) dan Takfir atau pengafiran terhadap mereka yang tidak sepaham dengan ideologi versi mereka itu.

            Fenomena “Salafi” (Baca: Wahabi, yang selalu mengklaim sebagai Ahlusunnah Wal Jama’ah dalam mazhab empat) dan “Rafidi” (Baca: Syiah Isna ‘Asyariah), yang mengklaim sebagai mazhab Ahlul Bait) terasa marak semenjak digulirkannya reformasi tahun 1998. Mereka diuntungkan dengan isu kebebasan dan HAM (hak asasi manusia) yang telah menjadi semacam ikon reformasi mulai saat itu.

            Oleh karena itu, semenjak itulah melalui kaderisasi, pembukaan Yayasan, pembentukan opini via media online, cetak, radio, TV, dan penyebaran kader di pemerintahan dan parpol, mereka meluaskan pengaruh pada Masyarakat. Sementara resistensi umat mayoritas terhadap agresivitas mereka ini belum cukup memadai. Sejumlahb uku yang disebarkan Cuma-Cuma telah sempat meracuni akidah dan melukai keyakinan mayoritas umat, yang selama itu hidup secara kondusif dalam mengamalkan ajaran agama.

            Meman gada beberapa bantahan buku dan counter ceramah dari Aswaja, tetapi respons ini tidak sebanding dengan “serangan” dahsyat yang mereka lakukan melalui jaringan yang cukup luas, bahkan yang memprihatinkan adalah beberapa masjid NU sudah dikuasai, sehingga hilanglah karakteristik ke-NU-an yang selama ini dipertahankan.

            Dalam kondisi objektif seperti ini rasanya sulit sekali bila kita mau berupaya untuk merajut ukhuwah dengan mereka, karena dalam kenyataannya pengaruh ‘radikal’ mereka kini sudah sangat sistemik di Tengah Masyarakat, hingga timbul kekhawatiran: hal itu tidak saja telah merusak solidaritas persaudaraan di Tengah umat yang sudah terajut selama ini, malah dapat mengancam keamanan nasional dan keutuhan NKRI.

            Oleh karena itu, melalui catatan sederhana ini, saya menyampaikan beberapa hal yang perlu diprioritaskan dalam rangka menghentikan radikalisme aliran-aliran ekstrem yang mengancam ukhuwah umat Indonesia, khususnya bagi kalangan Nahdliyyin:

            Pertama, harus ada respons terhadap buku-buku dan ceramah yang diterbitkan mereka untuk meluruskan segala Upaya Tahrif, baik oleh Rafidi yang menyatakan bahwa Al-Qur’an mushaf Utsman itu berkurang/diselewengkan seperti keyakinan mereka, juga termasuk Takfir terhadap para pembesar sahabat dan istri Nabi Muhammad, maupun atas Tahrif yang dilakukan oleh Salafi/Wahabi terhadap kitab-kitab Ahlusunnah Wal Jamaah yang secara sengaja mereka pelintir dan ditulis ulang dengan dusta untuk kepentingan ideologi merekan dan Takfir atas ulama Sunni (NU) yang tidak sealiran dengan mereka. Jaringan para penerbit Aswaja harus lebih solid dalam melakukan radd (bantahan) terhadap manuver mereka ini, karena konspirasi ideologi yang memiliki akses luas dan sumber-sumber finansial yang besar itu sudah sangat mengancam eksistensi Aswaja.

            Kedua, membangun jaringan (networking) yang lebih luas untuk mengembangkan pengaruh Aswaja dalam rangka revivalisme Ahlusunnah Wal Jamaah di Tengah generasi muda yang kini Sebagian mulai merasa goyah dengan aksi aliran-aliran sesat-menyesatkan itu.

            Ketiga, mewaspadai adanya konspirasi anti Pancasila dan NKRI yang berbungkus agama, sehingga memengaruhi Sebagian umat, terutama remaja dan mahasiswa yang dapat ditunggangi untuk kepentingan politik praktis mereka. Kepentingan asing juga ikut berpengaruh dalam aktivisme ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari proses ‘radikalisme’ yang ekstrem mereka lakukan terhadap remaja dan mahasiswanya.

            Keempat, melalui RMI semua pondok pesantren se-Indonesia merapkan kurikulum Aswaja, yang harus diajarkan sejak dini kepada para santri. Pemahaman Aswaja tidak dibatasi pada kajian furu’ (perkara-perkara incidental) dalam syariat, tetapi juga hendaknya dimulai dari tekaah usul (pokok-pokok yang principal) dalam akidah.

            Kelima, NU harus mengusulkan agar manhaj Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang sudah berakar diamalkan oleh umat NU, Muhammadiyyah, Tarbiyyah Islamiyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Rabithah ‘Alawiyah, dan Al-Irsyad ini dikukuhkan pemerintah sebagai manhaj atau paham resmi negara yang sudah dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia sejak ratusan tahun.

            Keenam, ukhuwwah yang sejati dan sungguh-sungguh harus dimulai secara internal antarkalangan Nahdliyyin dan intra antara ormas Islam yang ada dalam koridor Aswaja secara umum.

            Demikian catatan kecil sepercik pendapat ini semoga ada mamfaatnya. Wallahu A’lam Bissawab. Wallahul-Muwaffiq Ilaaqwamit-tariq.

(*) Catatan ini disusun untuk Halaqah Nasional Kiai Ponpes Ahlusunnah Wal Jamaah dalam rangka Mubahasah Tentang Paham Radikalisme yang merupakan ancaman serius bagi keberadaan NKRI (Makalah Seminar Nasional di Ponpes Al-Falah, Bandung, 2012)

Referensi Buku: Problema Ke-Umatan & Ke-Bangsaan | Pandangan Sosiolog Agama | Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A. | Cetakan Pertama: November 2022 | hlm. 189 s/d 195 |

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *