Mana Lebih Baik, Amal Saleh Terbuka atau Tertutup?

Sebagian kita pernah dihinggapi keraguan perihal mana yang lebih utama antara amal saleh terbuka yang disaksikan atau diketahui oleh orang lain, atau amal saleh tertutup yang tidak dilihat atau diketahui oleh orang lain. Sebagian kita lalu terjebak pada polarisasi antara dua pilihan tersebut.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa dua jenis amal itu memiliki kelebihan dan manfaat masing-masing. Dengan demikian, amal saleh terang-terangan atau amal saleh yang tersembunyi memiliki keunggulan dan fungsi masing-masing yang tidak bisa tergantikan satu dari yang lain.

Imam Al-Ghazali mengakui bahwa amal ibadah yang dilakukan secara terang-terangan berpotensi menumbuhkan penyakit batin yang berbahaya, yaitu riya. Tetapi harus ada orang yang melakukan amal ibadah secara terang-terangan karena fungsi edukasi, persuasi, dan motivasi di dalamnya.

اعلم أن في إسرار الأعمال فائدة الإخلاص والنجاة من الرياء وفي الإظهار فائدة الاقتداء وترغيب الناس في الخير ولكن فيه آفة الرياء قال الحسن إن السر أحرز العملين ولكن في الإظهار أيضا فائدة

Artinya, “Ketahulah, amal saleh yang disembunyikan berfaidah pada keikhlasan dan selamat dari riya. Sedangkan amal saleh yang dinyatakan berfaidah pada keteladanan dan motivasi bagi orang lain terhadap kebaikan, tetapi berisiko pada riya. Imam Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, amal saleh yang disembunyikan lebih terjaga (dari riya), tetapi amal yang dinyatakan juga memiliki faidah,” (Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz III, halaman 324).

Imam Al-Ghazali menjelaskan amal ibadah secara terang-terangan dan amal ibadah secara tersembunyi tidak dalam rangka menjatuhkan pilihan terbaik terhadap salah satunya. Ia memandang baik kedua jenis amal ibadah tersebut karena Allah sendiri mengapresiasi amal ibadah baik yang terbuka maupun yang tersembunyi.

ولذلك أثنى الله تعالى على السر والعلانية فقال إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

Artinya, “Oleh karena itu, Allah memuji amal yang disembunyikan dan dinyatakan. Allah berfirman, ‘Jika kalian menyatakan sedekah itu, maka itu sebaik-baik sedekah. Tetapi jika kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang faqir, maka itu lebih baik bagi kalian,’ (Surat Al-Baqarah ayat 271),” (Al-Ghazali, 2018 M/1439-1440 H: III/324).

Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits keutamaan orang yang beramal saleh secara terbuka lalu ditiru oleh orang lain. Hadits tersebut menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi orang yang memberikan contoh dan keteladanan yang baik.

فقال النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعَمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنِ اتَّبَعَهُ

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa saja yang mengawali kebiasaan baik, lalu kebiasaan itu diamalkan (oleh orang lain), maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang menirunya,’” (HR Muslim). Imam Al-Ghazali mengakui bahwa ibadah secara terbuka atau menceritakan amal ibadahnya memang memiliki fungsi dakwah untuk mengajak orang lain meneladani atau mencontoh kebaikan kita. Tetapi ibadah secara terbuka atau menceritakan amal ibadahnya mengandung potensi bahaya yang cukup berisiko, yaitu bahaya riya.

Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali mengingatkan kita di awal untuk meneguhkan niat. Misal, ketika kita bersedekah di muka umum, maka kita harus memantapkan niat bahwa sedekah itu kita maksudkan untuk membantu orang lain sekaligus memotivasi mereka yang menyaksikan atau mengetahuinya.

Pewarta: Fachry Syahrul

 

Gus Muhaimin Ikut Memeriahkan Reuni Akbar ke-12 Al-Musri’

Pada hari Sabtu, tanggal 12 Agustus 2023, menjadi salah satu momentum untuk kembali mengenang atau bernostalgia bagi para alumni muqimin muqimat Miftahulhuda Al-Musri’ Cianjur. Dimana para alumni dari berbagai daerah dan para Dewan Kyai, Dewan Nyai ikut berkontribusi dalam menyukseskan acara rutinan yang diadakan dalam 5 tahun sekali ini. Lebih dari 2000 orang alumni Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ hadir dalam acara reuni akbar tersebut. Acara ini juga dimeriahkan oleh marching band dari cabang Al-Musri’ yaitu Pesantren Al-Huda Al-Musri’ 1, dan mengundang Qori Internasional asal bandung yaitu U. Salman Amrillah.

Kegiatan Reuni Akbar kali ini sangatlah istimewa karena dihadiri langsung oleh Ketua Umum partai PKB, yaitu Drs. H. A Muhaimin iskandar M atau yang biasa disebut dengan Gus Muhaimin. Dalam rangkaian acara tersebut beliau membawakan sebuah orasi politik, lalu dilanjutkan dengan pembacaan bersama deklarasi seluruh alumni Al-Musri’ mendukung Gus Muhaimin Presiden 2024 yang dipimpin langsung oleh Ang Muhammad Ubeidilah sebagai Dewan Ampuh Al-Musri’ yang juga Caleg DPRD Jabar Dapil 4, yang mewakili ajengan dan ribuan alumni Miftahulhuda al-Musri dalam kegiatan  Reuni Akbar ke-12 ini.

Berikut deklarasinya:

Bismillahirrahminirrahim, wanufawwidul amriillah, innallaha bashirun bil ‘ibad, laahaula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.

Dengan penuh rasa syukur, dan mengharap rahmat serta ridho Allah SWT, kami jamiyah alumni Pondok Pesantren Miftahul Huda al-Musri dengan ini menyatakan:

1. Kami jamiyah al-Musri siap menjadi garda terdepan dalam menjaga Pancasila dan NKRI
2. Kami jamiyah al-Musri akan senantiasa patuh menjalankan amanah pendiri pesantren untuk berkhidmah dalam barisan Nahdlatul Ulama dan Partai Kebangkitan Bangsa
3. Kami jamiyah al-Musri mendukung penuh Panglima Santri Gus Muhaimin Iskandar untuk menjadi calon Presiden Republik Indonesia periode 1024-2029
4. Kami jamiyah alumni al-Musri siap bekerja keras dan menjadi motor penggerak untuk memenangkan Partai Kebangkitan Bangsa dan Gus Muhaimin Iskandar Presiden Republik Indonesia        2024

Lalu ketika sambutan yang dibawakan oleh salah satu Dewan Ampuh Al-Musri’ yaitu Ang Arif Kholiq Zaelani, beliau sangat mengapresiasi Gus Muhaimin karena telah meluangkan waktunya untuk hadir dalam Reuni Akbar ini. Ang Arif menyebut Gus Muhaimin adalah sosok yang selalu memberi inspirasi.  “Sudah kita ketahui bersama, beliau merupakan Panglima Santri yang terus memperjuangkan untuk terwujudnya Undang-undang Pesantren yang menjadi kutub atau titik putar bagi kesejahteraan masyarakat banyak hal yang sudah diberikan khusus untuk pesantren,” ujar Ang Arif dalam sambutan tersebut.

Sebelum berlangsung pada rangkaian agenda Reuni Akbar selanjutnya adalah penyematan sorban untuk Panglima Santri Gus Muhaimin sebagai simbol penghormatan dan mandat untuk maju menjadi calon presiden 2024 mendatang. Gus Muhaimin sendiri sangat senang dan terharu mendapatkan dukungan penuh dari para kyai dan alumni-alumni Al-Musri’ beliau juga menyatakan siap menjaga amanat sebagaimana yang telah dititipkan oleh Para Dewan dan seluruh Alumni Al-Musri’.

Dalam penyampaian orasi politik pun beliau berujar; “Saya yakin InsyaAllah karena Alumni Al-Musri itu permata-permata dahsyat yang menerangi umat dan masyarakat dimanapun berada. Kenapa disebut permata? karena permata itu berbeda dengan batu/batu bara. Bedanya cuma 2; yang pertama kalau permata itu ditempa oleh tanah, ditimbun oleh tanah setelah diasah tetap menjadi permata, jadi timbunan atau gemblengannya lebih dahsyat dibanding batu bara. InsyaAllah santri dan alumni Al-Musri’ terpaannya dahsyat dapat terbnetuk menjadi permata-permata bangsa”. Tidak hanya itu Gus Muhaimin juga berkata bahwa; “Inilah warisan pertama yang ada dipundak kita, alumni-alumni Al-Musri’ kita semua pejuang islam dalam semua sendi kehidupan kita.”

Wakil Ketua Yayasan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Pangersa eteh Hj. Siti Maryam memberi harapan dalam isi sambutannya yaitu “Kami sangat berharap adanya silaturahmi ini menjadi wasilah untuk syi’ar islam rahmatan lil ‘alamiin, demi kemajuan kemaslahatan bangsa dan negara. Alumni Al-Musri’ dimana pun berada harus menjadi penggerak dan teladan bagi masyarakat, bukan hanya menjadi penonton apalagi penggembira. Terakhir pesan kami dari keluarga besar Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ untuk semua alumni Al-Musri’; Jaga NU, jaga PKB, jaga NKRI.”

Terakhir dalam rangkaian agenda Reuni Akbar ini adalah do’a tutup yang dipimpin oleh Dewan Sepuh Al-Musri’ yaitu K.H M Mali Murtadlo, L.C.

 

Penulis: Raisya Audyra

 

 

REUNI AKBAR PONPES MIFTAHUL HUDA  ALMUSRI’ KE-12

Pondok pesantren Miftahul Huda Al musri’ telah menyelenggarakan acara reuni akbar yang ke-12 pada hari Sabtu,12 Agustus 2023 H/26 Muharram 1445 H.

Yang dimana acara reuni akbar ini teragendakan dalam 5 tahun sekali,namun wakil ketua yayasan Ponpes Miftahul Huda Al musri’ (p.teh HJ Siti Maryam) menjelaskan,awalnya  acara reuni akbar ini di adakan setiap 3 tahun sekali,namun dikarenakan semakin meningkatnya perkembangan alumni Al musri’,maka acara reuni ini di adakan dalam waktu 5 tahun sekali.(jelasnya)

Acara Reuni Akbar pada kali ini cukup ramai dari tahun tahun sebelumnya ,hampir dari 3000 alumni menghadiri acara tersebut.ust.Aceng sadili sebagai salah satu panitia reuni akbar menyebutkan dalam sambutannya “acara reuni akbar ponpes miftahul huda almusri’ tahun ke tahun semakin ada peningkatan,yang dimana reuni kali ini di hadiri oleh 27 KORDA.(ucapnya)

acara diawali dengan  konvoi bersama para alumni di halaman pondok pesantren Miftahul Huda Al musri’ sambil di iringi oleh marching band dari pesantren Al Huda Al Musri’ 1.Para alumni bersemarak meramaikan acara tersebut sebagai bukti kegembiraan dan kesenangan mereka.Bahkan Ang Ariful Kholiq (salah satu dewan AMPUH) mengatakan dalam sambutannya,”Percayalah hari ini kita adalah orang yang paling berbahagia,karena pada hari ini kita bisa mengenang kembali masa-masa saat kita berada di pondok pesantren Al-Musri’ sekaligus bisa bersilaturahmi dengan guru-guru kita ini”,(ucapnya).

Sementara itu, Rois Jam’iyah mukimin Al-musri’ menyampaikan bahwa pertemuan dalam acara reuni akbar ini merupakan ikhtiar bersama untuk menyatukan diri dari berbagai perbedaan zaman selama jadi santri Al-musri’.dan ia mengatakan bahwasanya menurut sarjana muslim,senjata yang paling ampuh ialah ittihad yang berartikan (persatuan).

Selain Acara nya yang ramai,reuni akbar kali ini pun didatangi oleh tamu-tamu istimewa, seperti Ust. Salman Amrillah (qori internasional) yang mengisi acara reuni tersebut.

Bahkan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menghadiri Reuni Akbar ke-12 Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Huda Al-Musri. Di hadapan ribuan alumni dan para santri ..Didampingi sejumlah petinggi partai seperti Waketum DPP PKB Jazilul Fawaid, Ketua Fraksi PKB DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal hingga Ketua DPW PKB Jawa Barat Syaiful Huda.

Ia sangat terharu karena bisa dipertemukannya dengan ribuan alumni Ponpes Al-musri’. “Saya sangat terharu hari ini di pertemukan 5.000 alumni loyal dan militan, Saya yakin Insyaallah alumni Al Musri itu permata-permata yang dahsyat yang menerangi umat dan masyarakat dan bangsa,” (ucapnya).
Acara reuni akbar ini dilanjutkan dengan Musyawarah Besar Jam’iyatul mukimin dari semua korda. Acara reuni akbar ini bertambah meriah dengan adanya  penampilan-penampilan dari para alumni.

Pewarta: Rafli Syahwal

 

Silaturahmi Diperintahkan Oleh Syariat Islam

Islam adalah agama yang bersifat universal. Universalisme Islam selalu berkaitan dalam dua dimensi yang berbeda yaitu vertikal dan horizontal. Dalam dimensi vertikal manusia dituntut untuk melaksanakan sejumlah ibadah sebagai bentuk penghambaan dan ketundukan kepada Allah Swt.

Di sisi lain, dalam dimensi horizontal, keberadaan manusia sebagai makhluk hidup menuntutnya untuk memperhatikan hubungannya dengan manusia yang lain untuk membangun keharmonisan sesama manusia. Terlebih jika manusia lain tersebut adalah saudara atau kerabat dekat sendiri, keharmonisan antara kerabat dekat, lebih ditekankan di dalam Islam daripada kepada yang lain.

Salah satu instrumen paling efektif untuk menciptakan keharmonisan di antara sesama umat manusia khususnya antar sesama kerabat dekat adalah silaturahmi. Silaturahmi adalah instrumen keakraban dan persaudaraan. Melalui silaturahmi, antar sesama manusia dapat meminimalisir terjadinya kerenggangan hingga perpecahan.

Dalam satu kesempatan, Rasul Saw bahkan menggambarkan bahwa silaturahmi merupakan amalan yang dapat mendekatkan seseorang ke dalam surga dan menjauhkanya dari neraka. Hal itu sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu Laits al-Hanafi al-Samaraqandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” :
Suatu hari ada seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah Saw. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah tunjukanlah aku suatu amalan yang dapat mendekatkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka?”. Rasul pun menjawab, “Hendaknya engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, engkau dirikan shalat, engkau tunaikan zakat dan engkau menyambung tali silaturahmi”. (Abu Laits al-Hanafi al-Samaraqandi, Tanbih al-Ghafilin, Dar Ibn Katsir, Damaskus, Cet. 3, Hlm. 133)

Makna Silaturahmi

Ibnu Atsir, sebagaimana dijelaskan dalam “Silatu al-Arham Mafhum wa Fadhail wa Adab wa Ahkam fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah”, mengungkapkan: “Silaturahmi merupakan ungkapan kinayah yang maksudnya adalah berbuat baik dan berlemah lembut kepada kerabat dekat baik itu kerabat melalui nasab maupun melalui perkawinan. Selain itu juga memperhatikan keadaan mereka meskipun mereka jauh atau berlaku buruk kepada kita. Sedangkan makna memutus silaturahmi adalah melakukan tindakan yang menyelisihi hal-hal tersebut”. (Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Silatu al-Arham Mafhum wa Fadhail wa Adab wa Ahkam fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah, Hlm. 5)

Masih dalam kitab yang sama, silaturahmi secara istilah dapat diartikan sebagai berbuat baik kepada kerabat dekat sesuai dengan keadaan al-washil (yang menyambung) dan al-maushul (yang disambung); ada kalanya dengan bentuk uang, ada kalanya dengan bentuk bantuan, ada kalanya dengan berkunjung (ziarah), ada kalanya dengan mengucapkan salam dan lain sebagainya. Alhasil, silaturahmi merupakan amal perbuatan yang memiliki kedudukan tinggi di dalam Islam. Silaturahmi tak semata-mata dimaknai dengan kegiatan saling kunjung antar sesama kerabat. Silaturahmi juga bukan berbuat baik kepada orang lain sementara di saat yang sama justru menafikan kerabat dekat sendiri.

Silaturahmi adalah simbol fanatisme kekeluargaan yang terpuji sekaligus dilegitimasi oleh syariat. Betapa agungnya amalan silaturahmi, Rasul Saw sampai menyatakan agar orang-orang yang memutus tali silaturahmi untuk berdiri dari majelis-nya dan pergi menjauhinya. Hal itu sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Lais al-Hanafi al-Samaraqandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” sebagai berikut: Abdullah bin Abi Aufa menceritakan, “Kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah pada suatu sore di Padang Arafah. Tiba-tiba Rasul berkata, ‘Jangan duduk bersama kami orang yang pada sore ini telah memutus tali silaturahmi. Siapapun yang telah memutus tali silaturahmi hendaknya ia segera berdiri’. Mendengar itu, tidak ada seorang pun yang berdiri kecuali seseorang yang duduk di pojok majelis. Ia berdiri dan berjalan mendekati Rasul. Rasul bertanya, ‘Apa yang membuatmu berdiri?’ seorang itupun menjawab, ‘Wahai Nabi Allah, aku telah mendengar apa yang engkau sampaikan, hingga aku datang menemui bibiku yang selama ini telah memutus tali silaturahmi denganku.’ Bibiku bertanya, ‘Apa yang membuatmu datang menemuiku?’. Lalu seorang itupun menjawab lagi, ‘Maka aku sampaikan apa yang aku dengar darimu hingga ia memohonkan ampun untukku dan aku pun memohonkan ampun untuknya.’
Mendengar penjelasan laki-laki tersebut Rasulullah Saw. berkata, ‘Engkau telah berlaku baik. Sekarang duduklah, ketauhilah bahwa rahmat tidak akan turun kepada suatu kaum yang di dalamnya ada orang yang memutus tali silaturahmi’.

Mengomentari hadis di atas, Imam Abu Lais menjelaskan:
“Dalam hadis di atas terdapat petunjuk bahwa memutus tali silaturahmi merupakan dosa yang teramat besar. Sebab, memutus tali silaturahmi dapat mencegah datangnya rahmat bagi pelakunya dan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Maka, wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk bertaubat dari perilaku memutus tali silaturahmi, memohon ampun kepada Allah, dan menyambung kembali tali silaturahmi yang telah ia putus”. (Abu Laits al-Hanafi al-Samaraqandi, Tanbih al-Ghafilin, Dar Ibn Katsir, Damaskus, Cet. 3, Hlm. 133-134)

Silaturahmi adalah amalan yang dilakukan umat muslim untuk menyambung tali persaudaraan. Pentingnya menjalin silaturahmi tertuang jelas dalam surat QS. An-Nisa ayat 36 yang berbunyi:
وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ
Artinya: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” Pada surat An-Nisa ayat 36 disebutkan tentang pentingnya bersilaturahmi. Bahkan, perintah tersebut berdampingan dengan perintah untuk bersujud kepada Allah SWT.

“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan ingin dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahmi.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa silaturahmi merupakan salah satu pertanda keimanan. Orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menjaga silaturahmi, Allah sangat membenci pemutus tali silaturahmi.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Abu Hurairah)

Allah SWT sangat menyukai hambanya yang suka menjaga silaturahmi. Disebutkan dalam satu hadits, Allah SWT akan dekat kepada manusia yang ramah dan penuh perhatian kepada saudaranya. Pentingnya silaturahmi juga dapat menjauhkan kita dari neraka dan akan dimasukkan ke dalam surga kelak. Seorang sahabat yang bernama Abu Ayyub Al-Anshari pernah bercerita, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW,  “Ya Rasulullah, ceritakanlah kepadaku amalan apa yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka.”
Lalu, Rasulullah SAW menjawab, “(Yang pertama) engkau menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, (yang kedua) mendirikan salat, (yang ketiga) menunaikan zakat, dan (yang keempat) menyambung tali silaturahmi.”

Menyambung tali silaturahmi juga bermakna menegakkan agama. Silaturahmi adalah ajaran Islam yang menunjukkan pentingnya hubungan antara sesama manusia.
Mengenai hal tersebut, Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa ayat 1 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Silaturahmi yang baik adalah apabila kita lebih dahulu menjaga hubungan dengan saudara saudara dan keluarga kita. Jangan sampai kita berbuat baik terhadap teman, namun berbuat jahat terhadap saudara, padahal menjaga silaturahmi dengan saudara itu lebih utama.

Itulah pentingnya silaturahmi berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Untuk itu, jagalah tali silaturahmi baik dengan saudara dan sesama muslim lainnya.

 

Penulis: Raisya Audyra

 

 

 

 

Hukum Menunda Qadha Puasa Hingga Ramadhan Berikutnya

Puasa Ramadhan adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Bahkan ibadah puasa adalah ibadah yang juga diwajibkan oleh Allah pada umat terdahulu sebelum umat Nabi Muhammad ﷺ, meski cara pelaksanaannya mungkin berbeda. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

 

Meski kewajiban untuk melaksanakannya sama seperti shalat, namun puasa bisa tidak dilaksanakan oleh orang yang memiliki uzur, seperti orang sakit, musafir, wanita haid, dan orang yang tidak mampu karena kondisi yang jika berpuasa dikhawatirkan akan berdampak negatif, seperti ibu hamil dan menyusui.

 

Meskipun begitu, bagi orang yang memiliki uzur, mereka tetap harus melakukan qadha (mengganti) puasa di waktu yang memungkinkan baginya untuk melaksanakan. Adapun bagi orang yang sama sekali sudah tidak mampu melaksanakannya, maka ia wajib membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin.

 

Ada tiga kelompok mukallaf yang diizinkan tidak puasa Ramadhan. Sebagai gantinya mereka mengqadha puasanya pada hari-hari di luar Ramadhan.

 

Tiga kelompok tersebut adalah orang sakit, musafir, dan perempuan haid. Izin untuk orang sakit dan musafir bersifat pilihan, boleh puasa boleh juga tidak puasa, tergantung kepada situasi dan kondisi yang ada.

 

Untuk perempuan yang haid bersifat larangan, sebagaimana ijmak ulama, bahwa syariat Islam melarang wanita haidh mengerjakan tiga macam peribadahan. Yaitu shalat, puasa, dan thawaf.

 

Untuk shalat mereka dilarang mengerjakan pada waktunya (adaa’an) ataupun di luar waktunya (qadha’an). Untuk puasa mereka dilarang mengerjakan pada waktunya (adaa’an), namun dibolehkan mengerjakan di luar waktunya (qadha’an).

 

Dasar hukum kebolehan untuk tidak puasa bagi orang sakit dan musafir adalah firman Allah dalam al-Baqarah ayat 185.

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”

 

Larangan Puasa bagi yang Haid. Sedangkan dasar hukum larangan puasa bagi perempuan haid adalah riwayat dari ummul mukminin; Aisyah.

حدثنا عبد بن حميد أخبرنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن عاصم عن معاذة قالت سألت عائشة فقلت ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة فقالت أحرورية أنت قلت لست بحرورية ولكني أسأل قالت كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة

“Telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Ashim dari Mu’adzah dia berkata:

Saya bertanya kepada Aisyah: Kenapakah wanita yang haid harus meng-qadha puasanya tapi tidak meng-qadha shalatnya?

Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Saya jawab, saya bukan Haruriyah, saya hanya bertanya. Aisyah menjawab, “Kami dahulu saat mengalami haid diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (Shahih Muslim: 508).

Baca Juga>>6 Adab Yang Perlu Diperhatikan Orang yang Berpuasa

Wajib Qadha Puasa

Berdasarkan dalil ini para fuqaha mewajibkan qadha puasa bagi orang yang memiliki utang puasa. Pelunasan utang puasa dilaksanakan sebelum datang Ramadhan berikutnya.

Ketentuan ini juga berdasarkan keterangan Aisyah:

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ

“Saya pernah memiliki utang puasa Ramadhan, saya tidak mampu melunasinya kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR, al-Bukhari: 1950). Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, asysyughlu bi rasulillah (karena beliau sibuk melayani Rasulullah SAW (HR Muslim: 1146).

 

Diriwayatkan bahwa ummul mukminin Aisyah sangat setia kepada suaminya yaitu Rasulullah SAW. Ia siap sedia menemani dan melayani kapanpun suaminya datang.

 

Aisyah tidak ingin agenda hajat suaminya terganggu gara-gara qadha puasa yang dijalankannya. Hal inilah yang menyebabkan Aisyah meng-qadha puasanya pada bulan Sya’ban, bulan terakhir sebelum Ramadhan.

 

Berdasarkan praktik Aisyah ini dipahami bahwa qadha puasa boleh dilaksanakan pada bulan Sya’ban, karena perbuatan Aisyah dipandang sebagai sunnah taqriri, atau perbuatan yang mendapat persetujuan dari Nabi SAW, karena diamnya Nbi adalah persetujuannya.

Dalam Fath al-Bari, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, mengatakan:

وَيؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذلك في شَعْبَان: أَنَّهُ لا يجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يدْخُلَ رَمَضَان آخر

“Disimpulkan dari semangat Aisyah meng-qadha puasa di bulan Sya’ban, bahwa tidak boleh mengakhirkan qadha puasa Ramadhan sehingga masuk bulan Ramadhan yang berikutnya.” (Fathul Bari, IV/191).

 

Tiga Pendapat Ulama

Belum qadha hingga datang Ramadhan berikutnya Ibn Rusyd (wafat 1196 M), mengatakan jika seseorang memiliki utang puasa dan belum dilunasi hingga datang bulan Ramadhan yang berikutnya, maka terdapat tiga macam pendapat di kalangan fukaha.

 

Pertama, setelah selesai Ramadhan yang bersangkutan wajib meng-qadha puasanya dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Malik bin Anas, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Ulama dari mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat bahwa seseorang yang menunda pelaksanaan qadha puasa Ramadhan sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya bukan karena uzur, maka ia berkewajiban qadha dan juga harus membayar fidyah, yaitu berupa makanan pokok sebanyak 1 mud (675 gram/0.8 liter/6.7 ons) untuk 1 hari. Jika 7 hari, maka 7 mud dibagikan kepada orang-orang fakir dan miskin.

Jika ingin fidyah dalam bentuk makanan matang, maka beras 6.7 ons itu kemungkinan akan menghasilkan tiga porsi makanan matang. Kalau kewajiban fidyahnya 10 hari, maka ia harus membagikan 30 porsi makanan matang kepada orang miskin.

Kewajiban fidyah ini menjadi berlipat seiring bertambahnya tahun penundaan. Apabila sampai dua kali Ramadhan masih belum melakukan qadha, maka besarnya fidyah menjadi 2 mud. Apabila tiga tahun, maka 3 mud, dan begitu seterusnya. Ini lah yang dianggap pendapat paling kuat menurut Imam Nawawi.

وَالأَصَحُّ تَكَرُّرُهُ بِتَكَرُّرِ السِّنِيْنَ

Pendapat yang kuat (menyatakan bahwa) berulang-ulangnya mud sesuai dengan berulang-ulangnya tahun.

 

Kedua, yang bersangkutan wajib meng-qadha saja tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i.

 

Ketiga, yang bersangkutan tidak meng-qadha, juga tidak membayar fidyah. Pangkal perbedaan pendapat ini terletak pada boleh dan tidaknya mengqiyaskan kaffarah dari satu bentuk pelanggaran puasa kepada bentuk pelanggaran puasa yang lainnya.

 

Dalam hal ini adalah meng-qiyas-kan keterlambatan meng-qadha puasa kepada kesengajaan membatalkan puasa tanpa alasan syar’i. Bagi yang tidak setuju penggunaan qiyas, maka berpendapat bahwa orang yang memiliki utang puasa dan belum dilunasi hingga datang bulan Ramadhan cukup meng-qadha saja.

 

Sedangkan bagi yang setuju dengan qiyas maka berpendapat meng-qadha dan membayar fidyah. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak perlu mengqadha, juga tidak membayar fidyah, tidak bisa diterima, karena menyalahi dalil agama. (Bidayatul Mujtahid, I/292).

 

Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, berpendapat; jika seseorang mengakhirkan qadha hingga datang Ramadhan berikutnya sebab sakit, maka cukup meng-qadha. Jika mengakhirkan qadha karena meremehkan ajaran agama, maka wajib qadha dan bayar fidyah.

 

Kesimpulan

Dari paparan di atas dipahami bahwa menunda qadha hingga masuk Ramadhan berikutnya, baik karena udzur syar’i ataupun tanpa udzur syar’i, memunculkan tiga ketentuan hukum.

 

-Hukum qadha tidak hilang. Artinya tetap wajib qadha sekalipun sudah melewati Ramadhan berikutnya. Dan hal ini sudah menjadi ijmak.

-Kewajiban bertaubat bagi yang sengaja menunda qadha tanpa ada udzur syar’i. Karena qadha adalah wajib, dan menunda kewajiban adalah pelanggaran atas ajaran agama.

-Apakah hukum menunda qadha puasa cukup meng-qadha ataukah meng-qadha plus membayar fidyah? Dalam hal ini ada dua pendapat.

 

Pertama, wajib qadha dan membayar fidyah. Menurut asy-Syaukani, ini adalah pendapat mayoritas ulama, Malik bin Anas, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. (Nailul Authar, 4/278).

 

Kedua, wajib qadha saja, tanpa membayar fidyah. Ini masyhur sebagai pendapat Abu Hanifah dan para ulama Hanafiyyah. Mereka membangun pendapatnya berdasarkan dalil naqli dan aqli:

 

a. Secara naqli, semua puasa yang dikerjakan di luar waktunya (qadha’an), baik sebab sakit dan safar, sebagaimana al-Baqarah183. Atau sebab datang bulan, sebagaimana hadis Aisyah riwayat Muslim, hanya menyebut qadha, tidak menyebut fidyah.

 

Syaikh al-Albani pernah diminta fatwanya tentang masalah ini, yakni qadha plus fidyah bagi yang menunda pelunasan puasanya hingga masuk Ramadan yang berikutnya. Ia hanya mengatakan bahwa pendapat tersebut memang ada, namun tidak ada satu hadits pun yang marfu’ (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, III/327).

 

b. Secara aqli, terkait hukum seputar puasa, qadha adalah wajib, dan fidyah juga wajib. Masing-masing memiliki tempat sendiri-sendiri. Pendapat yang mengatakan qadha plus bayar fidyah adalah menghimpun dua kewajiban pengganti sekaligus. Karena qadha adalah kewajiban pengganti dan bayar fidyah juga kewajiban pengganti. Yang demikian ini tidak diperkenankan karena yang wajib dilakukan pasti salah satunya. (Rawa’i al-Bayan, I/210)

 

Penulis: Raisya Audyra