Kisah Al-Jahidz Al-Kinani, Sastrawan Kutu Buku Sampai Akhir Hayat


Al-Jahidz adalah salah satu ulama dan ilmuwan Muslim paling berpengaruh di dunia Islam. Nama panjangnya Abu Utsman ibn Bahr al-Kinani al-Basri. Ia lahir di Basra, Irak, pada tahun 163 H. Sejak masa kanak-kanak, Al-Jahidz sudah menunjukkan ketertarikannya pada ilmu pengetahuan.  Tak heran, sebab Al-Jahidz adalah sosok yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia gemar belajar, membaca, dan menulis. Buku-buku bacaannya sangat banyak dan beragam, terbukti dari luasnya pengetahuan dan wawasannya.  Al-Jahidz tumbuh pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sedang berkembang pesat. Banyak ulama dan ilmuwan Muslim yang lahir dari kalangan rakyat biasa, termasuk Al-Jahidz. Ia belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari para tokoh-tokoh pada masanya, seperti bahasa, sastra, sejarah, politik, akhlak, bahkan biologi tumbuh-tumbuhan dan binatang.

Dalam Kitab Siyar A’lam an-Nubala, Jilid 11 halaman 527, karya Syamsuddin Az zahabi, disebutkan ketika meninggal dunia, Al-Jahidz sudah ratusan kitab dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Salah satu karya fenomenalnya yang masih menjadi rujukan adalah kitab Al-Bayan wa At-Tabyin. Kitab ini menyajikan tema-tema sastra Arab, seperti gaya bahasa, retorika, dan puisi.  selain itu, ada pula kitab Al-Hayawan sebanyak 7 jilid. Kitab ini menyajikan penjelasan mengenai lebih dari 350 spesies hewan. Buku ini menjadi rujukan dalam ilmu zoology, yaitu ilmu tentang kehidupan binatang. Dari karya yang kedua inilah, ia dikenal sebagai bapak zoology Arab.

Nasihat Al Jahidz tentang cinta Al-Jahiz, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala, Jilid 11 halaman 527 menyampaikan nasihat dalam salah satu karyanya tentang pentingnya cinta. Al-Jahiz mengatakan bahwa manfaat yang dirasakan oleh seseorang akan menimbulkan rasa senang dan bahagia. Hal ini akan membuat orang tersebut merasa dihargai dan dihormati. Rasa senang dan bahagia tersebut akan menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang atau hal yang memberikan manfaat tersebut. Sebaliknya, kerugian yang dialami oleh seseorang akan menimbulkan rasa sedih dan kecewa. Hal ini akan membuat orang tersebut merasa tidak dihargai dan dihormati. Rasa sedih dan kecewa tersebut akan menimbulkan perasaan benci dan dendam terhadap orang atau hal yang menyebabkan kerugian tersebut. Ia berkata:   المنفعة توجب المحبة, والمضرة توجب البغضة ، والمضادة عداوة ، والأمانة طمأنينة ، وخلاف الهوى يوجب الاستثقال ، ومتابعته توجب الألفة . العدل يوجب اجتماع القلوب ، والجور يوجب الفرقة . حسن الخلق أنس ، والانقباض وحشة . التكبر مقت ، والتواضع مقة ، الجود يوجب الحمد ، والبخل يوجب الذم ، التواني يوجب الحسرة ، والحزم يوجب السرور ، والتغرير ندامة ،  Artinya: “Manfaat menimbulkan cinta, kerugian menimbulkan kebencian, kontroversi menimbulkan permusuhan, amanah menimbulkan ketenangan, melawan hawa nafsu menimbulkan beban, mengikutinya menimbulkan keakraban. Keadilan menimbulkan persatuan hati, kezaliman menimbulkan perpecahan. Akhlak yang baik menimbulkan kegembiraan, dan penyusutan menimbulkan kegelisahan. Kesombongan menimbulkan kebencian, kerendahan hati menimbulkan kebencian, kemurahan hati menimbulkan pujian, dan kekikiran menimbulkan celaan. Kelambanan menimbulkan penyesalan, ketegasan menimbulkan kegembiraan, dan penipuan menimbulkan penyesalan. “

Sosok yang mencintai ilmu pengetahuan Tak bisa dipungkiri, Al-Jahidz adalah sosok yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, yang telah menulis lebih dari 200 karya dalam lintas disiplin ilmu pengetahuan. Terkadang saking cintanya pada ilmu dan belajar, ia sering lupa diri.

Dikisahkan sebuah kejadian aneh yang dialami oleh al-Jahiz, bahwa dia pernah lupa akan kuniyah [nama panggilan] sendiri selama tiga hari. Hal ini menunjukkan betapa al-Jahiz tenggelam dalam dunia pemikiran dan ilmu pengetahuan. Dia bahkan lupa akan hal-hal yang remeh, seperti kuniyahnya sendiri, yang julukannya Abu Utsman. Di kisah yang lain, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Muhammad Amin al-Shinqiti, seorang mufassir besar kontemporer bahwa karena kesibukan Al-Jahidz menuntut ilmu telah memisahkan dirinya dari memikirkan hal-hal yang remeh-temeh hingga membuatnya terpisah dari kehidupan masyarakat. 

Meninggal ditimpa kitab Terkait kematiannnya, para sejarawan berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur mengatakan bahwa Al-Jahidz meninggal pada tahun 255 H di Baghdad, Iraq. Ia meninggal dunia karena tertimpa koleksi buku-bukunya yang menumpuk saat ia belajar. Hal ini wajar, karena Al-Jahidz memang dikenal sebagai seorang kutu buku yang rajin membaca. Buku-bukunya sangat banyak dan ditumpuk dalam satu tempat hingga menjulang tinggi. Sementara itu, pendapat lain yang menyebutkan bahwa Al-Jahidz meninggal karena terkena penyakit lumpuh yang juga tidak dapat dibantah. Hal ini karena Al-Jahidz memang pernah menderita penyakit tersebut pada akhir hidupnya. Namun, pendapat ini kurang didukung oleh sumber-sumber sejarah. Jadi, penyebab pasti kematian Al-Jahidz kendati ada perbedaan pendapat di tengah ulama. Namun, pendapat yang menyebutkan bahwa ia meninggal karena tertimpa koleksi buku-bukunya yang menumpuk saat ia belajar adalah pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini didukung oleh beberapa sumber sejarah dan juga oleh fakta bahwa Al-Jahidz memang dikenal sebagai seorang kutu buku yang rajin membaca.


Editor: Alima sri sutami mukti


Kisah Ketulusan Si Miskin Bersedekah ke Orang Kaya

Saudagar kaya yang lagi sakit itu menangis tersedu-sedu sesaat setelah tetangganya yang miskin menengoknya di rumah sakit dan memberinya amplop. Amplop kecil itu berisi uang Rp 20.000. H. Mahmud, demikian ia biasa dipanggil, membuka amplop itu dengan penuh rasa haru. “Bagaimana bisa orang semiskin Pak Manto itu menyumbang aku. Aku tahu Rp 20.000 adalah sebesar penghasilannya per hari,” kata H. Mahmud pada dirinya sendiri. “Dia memang orang baik dan selalu tulus dalam kebaikannya kepada siapa pun. Aku bahkan tahu seandainya uang itu aku tolak, pasti Pak Manto tidak tersinggung.” Kebaikan dan ketulusan hati Pak Manto membuat H. Mahmud tidak keberatan menerima sumbangannya. Ia tidak merasa tersinggung dengan sumbangan sekecil itu. “Uang ini akan aku simpan baik-baik. Pasti di dalamnya banyak barokah karena Pak Manto mendapatkan uang ini tentu dengan cucuran keringat dan susah payah. Akan aku gunakan pada saat yang tepat.” Tiga hari kemudian, H. Mahmud diperbolehkan pulang. Hal pertama yang dia rencanakan setelah kondisinya pulih adalah mengunjungi Pak Manto di rumahnya yang sederhana. “Assalamu’alaikum!” Demikian H. Mahmud beruluk salam ketika memasuki rumah Pak Manto. Pak Manto terkaget karena tak pernah membayangkan akan dikunjungi H. Mahmud. “Pak Manto, saya sangat berterima kasih atas kunjungan Pak Manto kepada saya di rumah sakit seminggu yang lalu. Alhamdulillah berkat doa Pak Manto, saya bisa segera sembuh. Saya bersilaturrahim ke sini juga dalam rangka mensyukuri kesehatan saya yang sudah pulih kembali. Tapi maaf saya tak bisa lama-lama di sini.” H. Mahmud segera berpamitan pada Pak Manto sambil memberikan amplop berisi Rp 2.000.000. Bagi H. Mahmud, uang sejumlah itu sebanding nilainya dengan Rp 20.000 dari Pak manto karena sama-sama sebesar penghasilan per hari mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, dibukanya amplop itu oleh Pak Manto dan meledaklah tangisnya. “Tuhan, mengapa secepat dan sebesar ini Engkau membalas sedekahku. Bagaimana aku merasa bangga sedang aku lebih mengharapkan balasan di akhirat, yakni berjumpa dengan-Mu. Tuhan, aku tak pernah berniat bisnis dengan-Mu dalam setiap sedekahku. Berhentilah membalas sedekahku di dunia ini. Ataukah, Engkau memang tidak mencintaiku?!” Pak Manto menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran. Hatinya pilu. Siang itu, Pak Manto bergegas menuju rumah sakit yang tak jauh dari rumahnya. Ia tahu pasti banyak pasien miskin yang tak bisa segera tinggalkan rumah sakit karena belum bisa menyelesaikan tagihannya. Diberikanlah uang dari H. Mahmud itu kepada seorang laki-laki muda yang tampak murung dan bingung karena uangnya belum cukup untuk menebus biaya istrinya yang melahirkan dengan operasi caesar. “Terimalah uang ini. Ini sedekah dari seorang saudagar kaya di kota ini. Mas tidak usah bertanya siapa nama saudagar itu karena beliau belum tentu senang diketahui identitasnya,” kata Pak Manto lirih.

Tiga Makna Hadits ‘Kemiskinan Dekat kepada Kekufuran’

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Na’im:   كَادَ اْلفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا   Artinya: “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran.”

Hadits tersebut setidaknya memiliki 3 makna sebagai berikut:

Pertama, orang-orang miskin harus selalu hati-hati atau waspada terhadap kemiskinannya. Hal ini disebabkan keadaannya yang serba kekurangan dapat menggodanya untuk melakukan kemaksiatan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dalam masyarakat, bisa saja terjadi seorang suami yang miskin melakukan perampokan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bisa pula terjadi, seorang ibu yang miskin karena tekanan ekonomi menjual diri demi menghidupi anak-anaknya. Demikian pula seorang pemuda yang miskin, bisa saja nekat melakukan pencurian karena didorong keinginannya untuk meniru gaya hidup teman-temannya yang anak orang kaya. Ada banyak orang miskin yang karena ketidakberdayaannya secara ekonomi tidak pernah mengenal Tuhan. Mereka tidak pernah pergi ke masjid untuk shalat sebagaimana mereka tidak pernah berpuasa. Banyak orang seperti ini akhirnya berpindah ke agama lain karena adanya bantuan-bantuan ekonomi yang mampu menyejahterakan hidupnya.  Mengingat beratnya godaan-godaan yang dialami orang-orang miskin, maka mereka harus pandai-pandai membentengi keimanannya dengan sabar dan syukur. Dengan sikap seperti ini orang-orang miskin akan bisa tangguh menghadapi godaan-godaan yang bisa menggoyahkan imannya.

 Jika untuk mencapai sabar dan syukur mereka tak mampu, maka mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali harus bekerja keras mengatasi kemiskinannya. Mereka harus berjuang keras untuk bisa meningkatkan taraf hidupnya. Dengan kata lain, orang-orang miskin yang tak bisa sabar dan syukur harus berusaha menjadi orang yang berkecukupan guna melindungi imannya dari rongrongan-rongrongan yang bisa membuatnya kufur, dan bahkan bisa memurtadkannya. Namun bagi orang-orang miskin yang memang bisa sabar dan syukur, mereka boleh memilih hidup miskin atau sederhana dengan tetap melaksanakan kewajiban-kewajibannya, seperti mencukupi kebutuhan dasar keluarga yang terdiri dari kebutuhan akan pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Mereka harus tetap bisa hidup mandiri tanpa menggatungkan atau menjadi beban bagi orang lain. Mereka tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang lain dengan meminta-minta.   

Kedua, sebagai peringatan kepada orang kaya-kaya bahwa kemiskinan yang dialami saudara-saudaranya yang miskin dapat mendorognya kepada kekufuran, baik kufur dalam arti murtad atau ingkar akan adanya Tuhan maupun kufur dalam arti ingkar terhadap perintah dan larangan Allah SWT.    Dalam kaitan itulah maka orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat dan disunnahkan memberikan sedekah kepada mereka yang miskin yang membutuhkan uluran tangan. Zakat dan sedekah ini memiliki fungsi sosial yang sangat penting, yakni memeratakan kesejahteraan sosial dan terjalinnya hubungan yang baik antara orang kaya dengan orang miskin. Hubungan baik seperti itu tentu saja sangat penting sebab bisa dibayangkan betapa mengerikannya jika orang-orang miskin setiap hari merencanakan dan melakukan pencurian atau perampokan kepada orang-orang kaya karena desakan ekonomi. Hal seperti ini bisa sangat meresahkan mereka yang kaya. Mereka akan selalu hidup dalam kecemasan karena tidak hanya harta mereka yang terancam tetapi juga jiwa mereka. Bukankah sering kita dengar perampokan disertai pembunuhan?   Dalam kaitan ini ada nasihat bijak yang berbunyi “Pagar mangkuk itu lebih baik dari pada pagar berduri.” Maksudnya pendekatan sosial seringkali lebih efektif daripada pendekatan yang mengutamakan kekuatan fisik. Sekali lagi dalam kaitan inilah, Islam menekankan kepada orang kaya untuk senantiasa mengeluarkan zakat, baik zakat mal dan zakat fitrah, maupun sedekah yang diberikan kepada orang-orang miskin, baik mereka meminta maupun menahan diri untuk tidak memintanya.

    Ketiga, sebenarnya kemiskinan itu ada dua macam, yakni kemiskinan material dan kemiskinan spiritual. Yang dimaksud kemiskinan material adalah keadaan kurang atau miskin dari harta benda duniawi. Sedangkan yang dimaksud kemiskinan spiritual adalah kemiskinan yang tidak ada kaitannya dengan kekurangan harta benda duniawi, tetapi terkait dengan kurangnya akan iman atau jiwa. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: 

  لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ  وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ   Artinya: “Kaya itu bukanlah lantaran banyak harta. Tetapi, kaya itu adalah kaya jiwa.” (HR Bukhari dan Muslim)   Hadits di atas mengingatkan kepada kita bahwa orang yang kaya harta bisa saja ia sesugguhnya adalah orang miskin disebabkan karena lemahnya jiwa atau iman. Orang seperti ini disebut orang miskin spiritual. Miskin spiritual bisa sama bahayanya dengan miskin material. Tidak jarang kita jumpai beberapa orang kaya enggan mengeluarkan zakat dan sedekahnya karena jiwa atau hatinya memang miskin. Mereka sesungguhya telah kufur atau ingkar dari perintah Allah.    Selain itu, tidak jarang kita jumpai beberapa orang kaya melakukan kecurangan dalam berbisnis atau setoran pajak demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Ini adalah keserakahan yang menunjukkan kemiskinan spiritual. Juga, tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang secara material sudah kaya raya, tetapi mereka melakukan korupsi besar-besaran yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Orang-orang seperti itu sesungguhnya adalah orang-orang miskin. Mereka miskin bukan karena kekurangan harta benda duniawi tetapi kurangnya iman kepada Allah SWT. Dengan melihat fakta-fakta sosial di atas, hadits Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan di awal sesungguhnya tidak hanya dimaksudkan untuk mengingatkan mereka orang-orang miskin material tetapi juga mereka yang miskin secara spiritual. Keduanya bisa kufur atau ingkar dari apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah SWT. Tentu lebih berbahaya lagi ketika seseorang mengalami kemiskinan material sekaligus kemiskinan spiritual. Na’udzubillah min dzalik.

Editor: Alima sri sutami mukti

Doa Yang Diperkenankan Tuhan

Dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk melakukan shalat atau doa disertai dengan ketabahan sebagai sarana untuk meraih suatu kebutuhan (QS 2:45). Dari sini dapat dipahami bahwa doa saja, tanpa ketabahan dalam usaha belum menjadi jaminan terpenuhinya harapan. Ada juga janji Allah yang menyatakan: Aku perkenankan doa yang bermohon apabila ia bermohon kepada-Ku (QS 2:186).

“Apabila ia bermohon” merupakan syarat sekaligus isyarat bahwa ada saja yang mengangkat tangan dan menengadah ke langit, tetapi ia tidak berdoa memohon kepada-Nya. Doa yang tulus pasti diperkenankan oleh Tuhan. Jangankan yang datang dari seorang mukmin, seorang kafir- bahkan Iblis sekalipun – doanya juga diperkenankan oleh Tuhan (lihat QS 15:37).

Manfaat doa tidak dapat diragukan lagi. Alexis Carrel, seorang ahli bedah Prancis yang meraih dua kali Nobel, menegaskan bahwa kegunaan doa dapat dibuktikan secara ilmiah sama kuatnya dengan pembuktian di bidang fisika. Oliver Lodge secara halus menyindir mereka yang tidak melihat manfaat doa: “kekeliruan mereka, karena menduga bahwa doa berada diluar fenomena alam. Doa harus diperhitungkan sebagaimana memperhitungkan sebab-sebab lain yang dapat melahirkan suatu peristiwa.”

Di negara kita, upacara-upacara resmi sebagaimana halnya acara-acara keagamaan seringkali di akhiri dengan doa. Hanya saja sebagian dari permohonan kita itu mungkin tidak memenuhi syarat doa, karena tidak jarang terasa bahwa permohonan yang kita panjatkan bagaikan laporan kepada Tuhan yang disampaikan dengan bangga dan panjang lebar. Kita bagaikan berpidato dihadapan-Nya, padahal kita diperintahkan agar “Bermohon dengan rasa rendah diri dan dengan suara yang lembut” (QS 7:55).

Pada acara keagamaan, kita mempunyai kecenderungan menghimpun semua doa yang diketahui dan yang pernah dipanjatkan oleh makhluk Tuhan dalam berbagai situasi dan kondisi, sehingga doa terasa membosankan dan Amin diucapkan sebagai isyarat kepada si pendoa agar menyudahi doanya. Dalam khutbah-khutbah Jumat masih terdengar di sana-sini doa yang pernah dipanjatkan pada msa silam ketika umat Islam sedang berperang: “Ya Allah binasakanlah orang-orang kafir dan musyrik.”

Sepanjang pengetahuan saya yang dangkal, Nabi SAW. Tidak pernah memohon kebiasaan bagi suatu kaum kecuali terhadap mereka yang memerangi umat Islam secara fisik. Salah satu doa beliau yang populer adalah: “Wahai Tuhan berikanlah petunjuk kepada kaumku karena mereka tidak mengetahui.”

Sering timbul pertanyaan di dalam benak saya: Apakah kenyataan di atas menunjukan bahwa kita masih belajar berdoa, dimulai dari keharusan membarengi doa dengan ketabahan berusaha, sampai pada etika berdoa dan materi harapan yang dipanjatkan? Apakah kenyataan di atas erupakan rahasia mengapa, misalnya, doa kita agar “Allah memuliakan Islam dan umat Islam serta memenangkannya di seluruh penjuru dunia” belum juga terkabulkan hingga kini?

Kalau beroda dan caranya pun masih perlu kita pelajari. Maka sungguh parah penyakit kita; berdoa pun kita belum pandai.

Sumber: Lentera Hati, M. Quraish Shihab      

Pewarta: Fachry Syahrul

Memahami Takdir Tuhan

Tidak jarang kita terlibat dalam perdebatan yang tak berujung pangkal perihal kepercayaan akan takdir dan dampaknya bagi umat Islam. Boleh jadi sebagian umat Islam mengalami kesulitan dalam memahami masalah pelik ini sehingga bingung. Karena, jangankan mereka, para ilmuwan dan filosof pun tidak sedikit yang bingung.

Mengingkari qadha dan qadr sebagai rukun iman tidak berati mengingkari kepercayaan kepada takdir dan qadha Ilahi.

Memang dalam surah An-Nisa ayat 136 hanya menyebut lima unsur keimanan, tanpa menyebut takdir. Tetapi, Nabi SAW ketika ditanya tentang iman, beliau menyebut takdir, disamping kelima lainnya. Namun harus diakui bahwa, ketika itu beliau tidak menamai rukun.

Semua kaum muslimin percaya sepenuhnya kepada takdir, hanya saja mereka berbeda dalam menafsirkan maknanya. Tulisan ini berusaha melihatnya dari sudut pandang Al-Qur’an. Taqdir berasal dari kata qadr, yakni “kadar”, “ukuran”, dan “batas”. Matahari beredar di tempat peredarannya, itulah takdir Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui, begitu juga dengan bulan (lihat QS 36:38).

Dia yang menciptakan segala sesuatu, lalu dia menetapkan atasnya takdir (ketetapan) yang sesempurna-sempurnanya (QS 25:2).

dan tidak sesuatu pun kecuali ada di sisi kami khzanah (sumber)-nya dan kami tidak menurunkan nya kecuali dengan kadar (ukuran) tertentu (QS 15:21).

Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang mengulang-ulang hakikat ini.

Alhasil, segala sesuatu dari yang terbesar hingga yang terkecil, ada takdir yang ditetapkan Tuhan atasnya (lihat QS 65:3). Rumput hijau atau hangus terbakar pun berlaku atasnya takdir Tuhan (lihat QS 87:4-5). Bagaimana ia tumbuh subur, mengapa ia kering, berapa kadar kekeringan nya, kesemuanya itu ukurannya telah ditetapkan oleh Allah. Itulah takdir atau sunatullah yang menurut para rasionalis disebut sebagai hukum-hukum (Tuhan yang berlaku) di alam.

Manusia mempunyai takdir sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah atasnya. Makhluk ini tidak dapat terbang seperti burung. Ini yang ditetapkan tuhan atasnya. Di samping itu, manusia berada dalam lingkungan takdir, sehingga apa yang dilakukannya tidak terlepas dari hukum-hukum dengan aneka kadar ukurannya itu.

Harus diingat bahwa hukum-hukum itu banyak, dan kita diberi kemampuan untuk memilih – tidak seperti matahari dan bulan, misalnya. Kita dapat memilih yang mana diantara takdir (ukuran-ukuran) yang ditetapkan Tuhan yang kita ambil. Umar bin Khathab membatalkan rencana kunjungannya ke satu daerah karena mendengar adanya wabah di daerah tersebut. Beliau ditanya: “ Apakah anda menghindar dari takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Saya menghindar dari takdir yang satu ke takdir yang lain.”

Berjangkitnya penyakit akibat wabah merupakan takdir Tuhan. Bila menghindar sehingga terbebas dari wabah , ini juga takdir. Kalau begitu ada takdir baik ada takdir buruk. Tetapi ingat, Anda diberi takdir untuk memilih. Karenanya, jangan hanya saat petaka terjadi, kita berucap: “itu takdir.” Ucapkanlah juga pada saat kita meraih sukses.

Takdir, sebagaimana yang dipahami oleh Ahlussunnah boleh jadi tidak seperti di atas. Dan memang pelbagai pandangan tentang takdir sangat sulit dipahami, sehingga gampang menimbukan kesalah pahaman. Namun demikian, banyak faktor yang lebih dominan dalam kemunduran umat pada saat sekarang ini. Kurang adil menimpakanya pada satu faktor yang juga belum sepenuhnya terbukti.

Penulis: Fachry Syahrul

Ketika Rasulullah Menjelaskan Kepada SahabatPersamaan Kerja dan Jihad

Dengan wasilah bekerja, aneka kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi dan siklus kehidupan pun bisa berjalan dengan normal. Selain itu, bekerja pun bisa bernilai ibadah jika memiliki tujuan atau niat yang baik, misalnya untuk menafkahi keluarga. Islam tidak melarang umatnya untuk bekerja, adapun yang dilarang adalah hubbud dunya atau mencintai dunia. Masalah hubbud dunya sendiri tidak bisa diukur dengan materi karena hubbud dunya masuk kategori penyakit hati yang sulit dideteksi dengan pandangan lahir. Orang yang rajin bekerja, belum tentu hatinya hubbud dunya. Rasulullah sendiri pernah menegaskan tentang pentingnya bekerja Dikisahkan, suatu pagi Rasulullah sedang duduk bersama beberapa sahabat. Tidak lama kemudian melintas seorang pemuda gagah yang terlihat prima, dari atribut dan pakaian yang digunakan, diketahui pemuda itu akan pergi bekerja. “Alangkah baiknya jika pemuda yang masih memiliki energi dan stamina kuat itu dipakai untuk berjihad di jalan Allah (fi sabilillah),” ucap sahabat. Mendengar hal itu, Rasulullah pun langsung menegur dan meluruskan pemikiran sahabat tersebut. “Jangan berkata seperti itu wahai sahabat, andai saja seseorang itu bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri sehingga tidak sampai meminta-minta kepada orang lain, maka sesungguhnya dia sedang berjalan di jalan Allah,” jelas Rasulullah. Rasulullah kemudian melanjutkan sabdanya, andai saja seseorang itu bekerja untuk kedua orang tuanya, keluarga atau keturunannya, sehingga kebutuhan mereka bisa terpenuhi dan tidak sampai meminta-minta pada orang lain, maka dia juga sedang berjalan di jalan Allah. “Namun jika seseorang bekerja untuk membanggakan diri dan hanya untuk mengumpulkan harta, maka pemuda tersebut sedang berada fi sabilis syaithan (jalan setan),” terang Rasulullah. Dengan demikian, bekerja bisa bernilai ibadah fi sabilillah ketika tujuannya adalah untuk kemandirian ekonomi pribadi dan keluarga. Dalam konteks lebih besar lagi untuk kemandirian kelompok, organisasi, bangsa, dan negara sehingga tidak bergantung pada pemberian dari orang atau pihak lain. 

 Sebaliknya, bekerja juga bisa bernilai maksiat ketika tujuan bekerja untuk menyombongkan diri atau bertujuan untuk takatsur (memperbanyak harta) supaya mendapatkan kesenangan duniawi. Wallahu a’lam

 Makna Hadits ‘Bekerjalah untuk Duniamu seolah Kau hidup Selamanya’

 yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhu berbunyi sebagai berikut:

اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًArtinya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.” Penggalan pertama dari hadits di atas, yakni:

 اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا dipahami secara berbeda oleh berbagai orang. Ada sebagian orang yang memahaminya sebagai perintah supaya dalam bekerja untuk mencari dunia kita hendaknya melakukannya sebaik dan sekeras mungkin supaya mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya sehingga mencukupi seluruh kebutuhan karena akan hidup selamanya.  Pemaknaan seperti itu sesungguhnya tidak tepat meskipun dengan dalih sebagai perimbangan terhadap penggalan kedua dari hadits tersebut, yakni:

 وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا. Di antara kaum Muslimin tidak ada perbedaan pendapat tentang makna penggalan kedua ini. Mereka sepakat bahwa bekerja untuk kepentingan akhirat harus dilakukan sesegera mungkin dan sebaik-baiknya karena kita dianjurkan berpikir seolah-olah besok kita akan mati.  Pemaknaan yang benar terhadap penggalan pertama dari hadits di atas adalah sebagaimana dijelaskan Muhammad Mutawalli asy-Sy’rawi dalam Tafsir asy-Sya’rawi (Akhbarul Yaum, 1991, jilid 3 hal. 1752) terkait dengan tafsir surat Ali Imran ayat 133 sebagai berikut:

 الناس تفهمها فهماً يؤدي مطلوباتهم النفسية بمعنى: اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً: يعني اجمع الكثير من الدنيا كي يَكفيك حتى يوم القيامة، وليس هذا فهماً صحيحاً لكن الصحيح هو أن ما فاتك من أمر الدنيا اليوم فاعتبر أنك ستعيش طويلاً وتأخذه غداً، أمَّا أمر الآخرة فعليك أن تعجل به  Artinya: “Manusia memahami penggalan hadits yang berbunyi “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya” dengan pemahaman yang menuntut terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat psikologis, yakni pemahaman supaya mendapatkan sebanyak-banyaknya dari dunia ini untuk mencukupi kebutuhan hidup hingga hari kiamat. Pemahaman seperti itu tidak benar, akan tetapi yang benar adalah bahwa jika engkau tidak bisa meraih sesuatu dari dunia ini pada hari ini, maka berpikirlah sesungguhnya engkau akan hidup lama dan akan dapat meraihnya esok hari. Sedangkan terhadap apa yang terkait dengan akhirat, engkau hendaknya bersegera meraihnya.”  Jadi berdasarkan penjelasan dari Imam asy-Sy’rawi di atas, pemaknaan yang benar adalah bahwa kita bekerja untuk mendapatkan hal-hal duniawi cukup seperlunya saja. Hal ini karena kita dianjurkan untuk berpikir bahwa kita akan hidup selamanya sehingga hari esok masih ada dan masih banyak waktu untuk melakukannya.  Dalam kaitan ini ada pepatah Jawa yang sejalan dengan pemaknaan seperti itu, yakni: “Ana dina ana upa (ada hari ada nasi).” Artinya selama masih ada kehidupan, rejeki selalu tersedia setiap hari sehingga tidak perlu bekerja mencari dunia secara “ngaya” atau bekerja terlalu keras hingga lupa ibadah dan lupa waktu untuk istirahat.  Allah subhanu wata’ala telah mengingatkan di dalam Al-Qur’an, surat an-Naba’ bahwa kehidupan ini telah diatur sedemikian rupa; ada siang dan ada malam. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Kedua ayat itu berbunyi sebagai berikut:  وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (١٠) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (١١) ـ Artinya: ”Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian (10), dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan. (11)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat 10 di atas sebagai berikut:

  أي يغشى الناس بظلامه وسواده، كما قال: {والليل إذا يغشاها}  Artinya: “ Allah menjadikan malam untuk menutupi semua manusia dengan kegelapannya. seperti yang disebutkan-Nya dalam ayat lain:

 وَاللَّيْلِ إِذا يَغْشاها Artinya: “Dan malam apabila menutupinya.” (Asy-Syams: 4). Selanjutnya beliau menambahkan keterangan dengan mengutip pendapat Qatadah sebagai berikut:

  وقال قتادة: { وجعلنا الليل لباساً} أي سكناً. Artinya: “Qatadah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “pakaian” adalah ketenangan Jadi intinya adalah Allah menjadikan malam sebagai saat yang gelap agar manusia istirahat dengan tenang. 

 Mengenai ayat 11 di atas, Ibnu Katsir menafsirkannya pada halaman yang sama sebagai berikut:

 أي جعلناه مشرقاً نيراً مضيئاً ليتمكن الناس من التصرف فيه والذهاب والمجيء للمعايش والتكسب والتجارات وغير ذلك Artinya: “Allah menjadikan siang terang benderang supaya manusia dapat melakukan aktivitasnya untuk mencari upaya penghidupan dengan bekerja, berniaga, dan melakukan urusan lainnya.”   Memperhatikan kedua ayat di atas, kita diharapkan dapat bekerja untuk dunia secara logis. Oleh karena kita dianjurkan untuk berpikir bahwa seolah-olah kita akan hidup selamanya, maka sesungguhnya kita harus pula berpikir bahwa terdapat banyak sekali kesempatan dalam hidup ini untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan.  Jika hari ini kita belum mendapatkan apa yang kita butuhkan, esok hari masih ada kesempatan untuk mendapatkannya sehingga kita tidak perlu bekerja memforsir diri dengan melupakan perlunya istirahat. Cara seperti ini justru bisa merugikan diri sendiri karena riskan jatuh sakit akibat kelelahan.  Allah menjadikan malam sebagai saat yang tenang agar kita semua bisa istirahat dengan tenang sekaligus memulihkan kembali stamina kita agar esok hari bisa melanjutkan bekerja sebagaimana lazimnya manusia bekerja. Saat malam juga sangat baik untuk melakukan qiyamul lail dengan terlebih dahulu tidur secukupnya.  Mengisi malam dengan berbagai ibadah di malam hari hendaknya tidak sengaja kita lewatkan begitu saja sebab justru dalam konteks inilah penggalan kedua dari hadits di atas menemukan relevansinya, yakni pada saat ada kesempatan beramal untuk akhirat, maka kesempatan itu tidak boleh disia-siakan dan supaya dikerjakan dengan sebaik-baiknya karena bisa jadi esok hari kita telah mati.  Kesimpulannya, penggalan hadits “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya” mengandung makna bahwa kita tidak boleh bekerja mencari dunia secara “ngaya” atau bekerja terlalu keras hingga lupa ibadah dan lupa waktu untuk istirahat karena sesungguhnya selama Allah masih memberi kita kesempatan untuk hidup, selama itu pula Allah menjamin ketersediaan rezeki bagi kita. “Ana dina ana upa

Editor : Alima sri sutami mukti