6 Adab Yang Perlu Diperhatikan Orang yang Berpuasa

Paling tidak ada 6 adab puasa menurut Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi dalam kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz. Dan bagi orang yang berpuasa hendaknya memperhatikan adab tersebut. Adab-adab puasa itu antara lain:

1.Makan sahur. Ini berdasar hadis yang diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً.

“Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.”[Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/139, no. 1923), Shahiih Muslim (II/770, no. 1095), Sunan at-Tirmidzi (II/106, no. 703), Sunan an-Nasa-i (IV/141), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1692)]Dan telah terhitung makan sahur walaupun hanya dengan seteguk air, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةِ مَاءٍ.

“Makan sahurlah kalian meski hanya dengan seteguk air.” [Shahih: (Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2945)], Shahiih Ibni Hibban (no. 223, 884)].

Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur, sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu beliau langsung berangkat shalat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?’ Dia menjawab, ‘Kira-kira sama seperti bacaan 50 ayat.’” Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/138, no. 1921), Shahiih Muslim (II/771, no. 1097), Sunan at-Tirmidzi (II/104, no. 699), Sunan an-Nasa-i (IV/143), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1694).

Jika azan telah terdengar dan makanan atau minuman masih di tangannya, maka boleh ia memakan atau meminumnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ.

“Barangsiapa di antara kalian yang mendengar adzan (Shubuh) dan bejana (makanan) masih di tangannya, maka janganlah ia menaruhnya sebelum ia menyelesaikan makannya.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 607)], Sunan Abi Dawud (VI/475, no. 2333), Mustadrak al-Hakim (I/426)]

2.Menahan diri dari pembicaraan yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor, atau yang semisal dengannya dari hal-hal yang bertentangan dengan tujuan puasa.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ, فَإِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَليَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ.

“Jika pada hari salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan dan tidak juga melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (Penggalan dari hadits: “Setiap amal anak Adam adalah untuknya sendiri…” dan telah berlalu takhrijnya).

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya, maka Allah tidak memerlukan orang itu untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” [Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 921)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/116, no. 1903), Sunan Abi Dawud (VI/488, no. 2345), Sunan at-Tirmidzi (II/105, no. 702)].

3.sifat dermawan dan memperbanyak bacaan al-Qur-anDiriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dan beliau akan lebih dermawan (dari hari-hari biasanya) pada bulan Ramadhan, ketika Jibril datang menemuinya dan adalah Jibril selalu datang menemuinya setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan, hingga Ramadhan selesai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan al-Qur-an kepada Jibril. Dan di saat ia bertemu Jibril beliau lebih pemurah (lembut) dari angin yang berhembus dengan lembut.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari I/30, no. 6), Shahiih Muslim (IV/1803, no. 2308)].

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلِيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيِ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

4.menyegerakan berbuka.

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزَالُ النّاَسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ.

“Umat manusia akan tetap baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/198, no. 1957), Shahiih Muslim (II/771, no. 1098), Sunan at-Tirmidzi (II/103, no. 695)’.

5.berbuka puasa dengan apa yang mudah didapatkan baginya.

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Nabi biasa berbuka dengan ruthab (kurma segar) sebelum mengerjakan shalat. Jika beliau tidak mendapatkan ruthab, maka beliau berbuka dengan beberapa buah tamr (kurma masak yang sudah lama dipetik) dan jika tidak mendapatkan tamr, maka beliau meminum air.” [ Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 2065)], Sunan Abi Dawud (VI/ 481, no. 2339), Sunan at-Tirmidzi (II/102, no. 692)].

6.berdo’a ketika berbuka puasa.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berbuka puasa selalu membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.

“Telah hilang rasa haus dan telah basah urat-urat, serta telah ditetapkan pahala, insya Allah.” [Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2066)]

 

Penulis: Eka Nurlela

Puasa Muharram, Niat, Tata Cara, dan Keutamaannya

Puasa Muharram adalah puasa yang dilakukan di bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Hukum puasa Muharram adalah sunnah, bahkan lebih utama dari puasa bulan Sya’ban yang paling sering dipuasai oleh Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعدَ الفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ. (رواه مسلم)

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR Muslim).

Imam an-Nawawi menjelaskan, hadits shahih ini merupakan dalil sharîh atau sangat jelas yang menunjukkan kesimpulan hukum bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah Muharram. Selain itu, meskipun Nabi Muhammad saw memang lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban, namun hal itu tidak menafikan keutamaan Muharram daripada Sya’ban. Sebab bisa jadi Nabi saw baru diberi tahu keutamaan Muharram yang melebihi Sya’ban di masa-masa akhir hidupnya, atau bisa jadi Nabi saw sudah mengetahuinya namun tidak sempat memperbanyak puasa di bulan Muharram karena berbagai halangan, seperti sakit bepergian, dan semisalnya (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhâj Syarhun Shahîh Muslim bin al-Hajjâj, [Bairut, Dârul Ihyâ-it Turâtsil ‘Arabi, 1392 H], cetakan kedua, juz VIII, hal. 55).

Dari sini diketahui, dalam bulan Muharram semakin banyak berpuasa maka semakin baik. Bisa puasa sehari, dua hari, tiga hari, atau bahkan sepanjang Muharram apabila memang tidak memberatkan. Di luar itu, hari-hari bulan Muharram yang lebih utama untuk dipuasai berdasarkan hadits dan penjelasan ulama adalah 10 hari pertama Muharram—termasuk di dalamnya hari Tasu’a (9 Muharram), hari ‘Asyura (10 Muharram)—dan tanggal 11 Muharram. (An-Nawawi, al-Minhâj Syarhu Shahîh, juz VIII, hal. 55; Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwal Kubrâl Fiqhiyyah, [Dârul Fikr], juz II, hal. 54; Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în, [Bairut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1422 H/2002 M], hal. 192; dan Abdullah Abdirrahman Bafadhal al-Hadlrami, al-Muqaddimatul Hadlramiyyah, [Damaskus, ad-Dârul Muttahidah: 1413 H], hal. 139).

 

Mengapa Puasa Muharram Penting?

Hikmah puasa Muharram sebagai puasa yang paling utama setelah Ramadhan sangat banyak. Di antaranya, karena Muharram merupakan awal tahun Hijriah maka sangat pantas dibuka dengan puasa yang merupakan amal paling utama. Imam al-Qurthubi mengatakan:

إِنَّمَا كَانَ صَوْمُ الْمُحَرَّمِ أَفْضَلَ الصِّيَامِ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ أَوَّلَ السَّنَةِ الْمُسْتَأْنَفَةِ، فَكَانَ اسْتِفْتَاحُهَا بِالصَّوْمِ الَّذِي هُوَ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ

Artinya, “Puasa Muharram menjadi puasa yang paling utama karena Muharram merupakan awal tahun baru, maka pembukaannya adalah dengan puasa yang merupakan amal paling utama.” (Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Dîbâj ‘ala Muslim, [Arab Saudi, Dârubnu ‘Affân, cetakan pertama: 1416 H/1996 M], juz III, hal. 251).

 

Keutamaan Puasa Muharram

Keutamaan puasa Muharram sangat banyak, yang di antaranya adalah lima keutamaan sebagaimana berikut:

Pertama, menjadi puasa yang paling utama, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim dalam awal tulisan.

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh untuk berpuasa pada hari itu.” (HR. Muslim)

 

Kedua, termasuk dalam keutamaan berpuasa dalam bulan-bulan mulia atau asyhurul hurum. Diriwayatkan:

عَنِ الْبَاهِلِيِّ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ. قَالَ: فَمَا لِي أَرَى جِسْمَكَ نَاحِلًا؟ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا بِالنَّهَارِ، مَا أَكَلْتُهُ إِلَّا بِاللَّيْلِ. قَالَ: مَنْ أَمَرَك أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَقْوَى. قَالَ: صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ بَعْدَهُ وَصُمِ الْأَشْهُرَ الْحُرُمَ. (رَوَاهُ دَاوُدَ وَابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِمَا)

Artinya: “Diriwayatkan dari al-Bahili: ‘Aku mendatangi Rasulullah saw, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, Aku adalah lelaki yang pernah mendatangimu pada tahun pertama?’ Rasulullah saw bersabda: ‘Dulu aku tidak melihat tubuhmu lemah?’ Al-Bahili menjawab: ‘Wahai Rasulullah, Aku tidak mengonsumsi makanan di siang hari, aku tidak memakannya kecuali di waktu malam.’ Rasulullah saw bersabda: ‘Siapa yang menyuruhmu menyiksa dirimu?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, sungguh Aku mampu berpuasa (terus-menerus).’ Rasulullah saw bersabda: ‘Puasalah bulan Sabar (Ramadhan) dan tiga hari setelahnya, dan puasalah pada bulan-bulan mulia’.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan selainnya).

 

Ketiga, puasa sehari dalam bulan Muharrram pahalanya sama dengan puasa 30 hari. Diriwayatkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ كَاَن لَهُ كَفَارَةً سَنَتَيْنِ، وَمَنْ صَامَ يَوْمًا مِنَ الْمُحَرَّمِ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا. (رواه الطبراني في الصغير وهو غريب وإسناده لا بأس به)

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Orang yang berpuasa pada hari Arafah maka menjadi pelebur dosa dua tahun, dan orang yang berpuasa sehari dari bulan Muharram maka baginya sebab puasa setiap sehari pahala 30 hari puasa’.” (HR at-Thabarani dalam al-Mu’jamus Shaghîr. Ini hadits gharîb namun sanadnya tidak bermasalah).  (Abdul Adhim bin Abdul Qawi al-Mundziri, at-Targhîbu wat Tarhîbu minal Hadîtsisy Syarîf, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz II, hal. 70).

 

Keempat, khusus puasa hari Asyura pada tanggal 10 Muharram, maka akan menjadi pelebur dosa setahun yang telah lewat. Diriwayatkan:

عَنْ أَبي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صِيامِ يَوْمِ عَاشُوراءَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ. (رواه مسلم)

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra: sungguh Rasulullah saw bersabda pernah ditanya tentang keutamaan puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: ‘Puasa Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat’.” (HR Muslim).

 

Kelima, khusus puasa Tasu’a pada 9 Muharram dan puasa 11 Muharram yang dijadikan pelengkap puasa Asyura pada 10 Muharram, menjadi pembeda umat Islam dengan umat Yahudi yang sama-sama berpuasa di hari Asyura. Diriwayatkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا مَرْفُوعًا: صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ، صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ (رواه أحمد)

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dengan status marfu (Rasulullâh bersabda): ‘Puasalah kalian pada hari Asyura dan bedakan dengan kaum Yahudi, puasalah kalian sehari sebelum atau sesudahnya’.” (HR Ahmad).

 

Di akhir hayat Rasullah saw memang suka membedakan ritual umat Islam dengan umat Yahudi. Dalam konteks ini al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan maka tingkatan puasa Asyura itu ada tiga: satu, puasa hari Asyura saja. Dua, puasa Asyura disertai puasa Tasu’a. Tiga, puasa Asyura disertai puasa Tasu’a dan puasa 11 Muharram. (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Bairut, Dârul Ma’rifah: 1379 H], juz IV, hal. 245-246).

 

Baca juga:

12 Amalan Bulan Muharram 1445 H

Keutamaan Bulan dan Puasa Muharram

Keistimewaan Dan Sejarah Yang Terjadi Pada Bulan Muharram

 

Tata Cara Puasa Muharram

Puasa Muharram secara teknis dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, niat di hati. Niat puasa Muharram, baik secara umum maupun khusus puasa 10 hari awal Muharram, puasa Tasu’a, puasa Asyura, dan puasa 11 Muharram—sebagaimana puasa sunnah lainnya—dapat dilakukan dengan niat puasa mutlak, seperti: “Saya niat puasa,” atau dengan cara yang lebih baik sebagaimana berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ الْمُحَرَّمِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shaumal Muharrami lilâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya niat puasa Muharram karena Allah ta’âlâ.”

 

Niat puasa Tasu’a secara lengkap:

نَوَيْتُ صَوْمَ تَاسُوعَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma Tâsû’â-a lilâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya niat puasa Tasu’a karena Allah ta’âlâ.”

 

Niat puasa Asyura secara lengkap:

نَوَيْتُ صَوْمَ عَاشُورَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma Âsyûrâ-a lilâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya niat puasa Asyura karena Allah ta’âlâ.”

 

Selain niat di dalam hati juga disunnahkan mengucapkannya dengan lisan. Sebagaimana puasa sunnah lainnya, niat puasa Muharram dapat dilakukan sejak malam hari hingga siang sebelum masuk waktu zawâl (saat matahari tergelincir ke barat), dengan syarat belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar atau sejak masuk waktu subuh. (Al-Malibari, Fathul Mu’în, juz II, hal. 223).

 

Kedua, makan sahur. Lebih utama makan sahur dilakukan menjelang masuk waktu subuh sebelum imsak.

Ketiga, melaksanakan puasa dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan, seperti makan, minum dan semisalnya.

Keempat, lebih menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan pahala puasa seperti berkata kotor, menggunjing orang, dan segala perbuatan dosa. Rasulullah saw bersabda:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعِ وَالْعَطَشِ (رواه النسائي وابن ماجه من حديث أبي هريرة)

Artinya, “Banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan kehausan.” (HR an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari riwayat hadits Abu Hurairah ra). (Abul Fadl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyad: Maktabah Thabariyyah, 1414 H/1995 M], juz I, hal. 186).

Kelima, segera berbuka puasa saat tiba waktu maghrib. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ Ibnil Qâsim al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putra], juz I, hal. 292-294).

 

Wallahu a’lam bishawwab.

 

Penulis: Raisya Audyra

 

Keistimewaan Dan Sejarah Yang Terjadi Pada Bulan Muharram

Dalam syariat islam, jumlah bulan dalam satu tahun ada 12 bulan, dimana diantara bulan-bulan tersebut terdapat empat keutamaan bulan yang dianggap istimewa atau bulan yang disucikan, yakni Zulqa’dah, keutamaan bulan Dzulhijjah, bulan Muharram dan keutamaan puasa Rajab. Mengapa demikian? Lalu bagaimana dengan bulan-bulan yang lain seperti ramadhan yang dianggap sebagai bulan yang paling suci?

Pada dasarnya setiap bulan memiliki kesamaan dan tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Dan tentunya ada alasan-alasan khusus mengapa ke empat bulan yaitu Zulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab dianggap sebagai bulan yang disucikan atau istimewa dalam islam

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36 :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Artinya:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalah bersabda :

إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ  وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى  وَشَعْبَانَ

Artinya:

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari  dan Muslim)

 

Asal Usul Bulan Muharram atau yang kita kenal dengan Asyura merupakan salah satu dari keempat bulan yang diistimewakan dalam islam, dimana itu adalah bulan yang pertama dalam penanggalan hijriah. Nama muharram secara bahasa artinya adalah diharamkan. Menurut Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa, dinamakan muharram karena  pada bulan tersebut diharamkan terjadinya peperangan (jihad).

Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menyatakan bahwa “Dinamakan bulan Muharram karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan dan kemuliaan, bahkan bulan ini memiliki keistimewaan serta kemuliaan yang sangat amat sekali dikarenakan orang arab tempo dulu menyebutnya sebagai bulan yang mulia (haram), tahun berikutnya menyebut bulan biasa (halal).”

Jadi bisa dikatakan bahwa Keutamaan Bulan Muharram adalah bulan yang diberkahi dan diagungkan. Selain itu, sangat bagus untuk melaksanakan puasa sunnah pada bulan muharram.

Puasa Muharram adalah puasa yang dilakukan di bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Hukum puasa Muharram adalah sunnah, bahkan lebih utama dari puasa bulan Sya’ban yang paling sering dipuasai oleh Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعدَ الفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ. (رواه مسلم)

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR Muslim)

 

Imam an-Nawawi menjelaskan, hadits shahih ini merupakan dalil sharîh atau sangat jelas yang menunjukkan kesimpulan hukum bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah Muharram. Selain itu, meskipun Nabi Muhammad saw memang lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban, namun hal itu tidak menafikan keutamaan Muharram daripada Sya’ban. Sebab bisa jadi Nabi saw baru diberi tahu keutamaan Muharram yang melebihi Sya’ban di masa-masa akhir hidupnya, atau bisa jadi Nabi saw sudah mengetahuinya namun tidak sempat memperbanyak puasa di bulan Muharram karena berbagai halangan, seperti sakit bepergian, dan semisalnya. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhâj Syarhun Shahîh Muslim bin al-Hajjâj, [Bairut, Dârul Ihyâ-it Turâtsil ‘Arabi, 1392 H], cetakan kedua, juz VIII, hal. 55)

Dari sini diketahui, dalam bulan Muharram semakin banyak berpuasa maka semakin baik. Bisa puasa sehari, dua hari, tiga hari, atau bahkan sepanjang Muharram apabila memang tidak memberatkan. Di luar itu, hari-hari bulan Muharram yang lebih utama untuk dipuasai berdasarkan hadits dan penjelasan ulama adalah 10 hari pertama Muharram—termasuk di dalamnya hari Tasu’a (9 Muharram), hari ‘Asyura (10 Muharram)—dan tanggal 11 Muharram. (An-Nawawi, al-Minhâj Syarhu Shahîh, juz VIII, hal. 55; Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwal Kubrâl Fiqhiyyah, [Dârul Fikr], juz II, hal. 54; Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în, [Bairut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1422 H/2002 M], hal. 192; dan Abdullah Abdirrahman Bafadhal al-Hadlrami, al-Muqaddimatul Hadlramiyyah, [Damaskus, ad-Dârul Muttahidah: 1413 H], hal. 139)

Selain dianjurkannya untuk berpuasa sunah, lalu apa saja keistimewaan dan keutamaan bulan muharram tersebut?

 

  1. Salah satu bulan yang disucikan

Muharam merupakan salah satu bulan yang disucikan bagi umat islam, dimana dalam bulan tersebut Allah mengharamkan bagi umat islam untuk melakukan kedzaliman atau perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT seperti membunuh atau berperang.

Seorang ahli tafsir bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh pernah berkata:

“Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar”.

Perkataan tersebut mengartikan bahwa apabila pada bulan-bulan haram seperti bulan muharram manusia melakukan kedzaliman seperti berperang atau membunuh, maka ia akan mendapatkan dosa yang berlipat ganda dari Allah SWT. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalah Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36 di atas.

 

  1. Terjadi berbagai peristiwa penting dalam bulan tersebut

Tanggal 1 Muharram merupakan hari dimana Khalifah Umar Bin Khatab membuat penetapan kiraan bulan dalam hijrah untuk pertama kalinya.

Pada tanggal 10 Muharram, terjadi berbagai peristiwa penting (bersejarah) dalam islam, seperti :

-Muharram merupakan bulan dimana terjadinya penyelamatan Nabi Musa Alaihissalam dan kaum Bani Israil dari kejaran raja Firaun, dimana dalam peristiwa tersebut, Firaun dan keluarganya mati tenggelam di laut Merah.

-Hari dimana Allah menjadikan langit dan bumi

-Hari dimana Allah menciptakan Adam Alaihissalam dan Siti Hawa.

-Hari di mana Allah SWT menjadikan syurga.

-Hari dimana Allah menerima taubat nabi Adam Alaihissalam dan memasukkannya ke surga

-Hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Nuh Alaihissalam diselamatkan dari bahtera setelah bumi tenggelam selama enam bulan dan merupakan hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi    Ibrahim dari api yang sengaja digunakan untuk membakar dirinya oleh raja Namrud.

-Hari di mana Nabi Musa menerima wahyu dari Allah SWT berupa kitab Taurat.

-Hari di mana Allah telah membebaskan Nabi Yusuf Alaihissalam dari penjara.

-Hari di mana Allah memulihkan Nabi Ayyub Alaihissalam dari penyakit kulit yang dideritanya.

-Hari di mana Allah SWT telah memulihkan penglihatan Nabi Yakub Alaihissalam dari kebutaan.

-Hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Yunus Alaihissalam dari dalam perut ikan setelah terkurung selama 40 hari 40 malam.

-Hari di mana Allah SWT mengaruniakan kerajaan yang besar bagi Nabi Sulaiman Alaihissalam.

-Hari dimana Allah SWT menciptakan alam dan pertama kali menurunkan hujan.

 

  1. Muharram telah disifatkan sebagai syahrullah (bulan Allah)

Muharam juga memiliki kedudukan istimewa dalam islam, dimana bulan tersebut merupakan satu-satunya bulan yang disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). Mengapa demikian? Terdapat beberapa pendapat mengenai hal itu, seperti :

Para ulama menerangkan bahwa pada saat suatu makhluk mendapatkan gelar atau disandarkan padanya lafzhul Jalallah, maka itu berarti makhluk tersebut mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. Misalnya saja pada kejadian pemberian nama pada ka’bah yaitu Baitullah (rumah Allah) yang merupakan Peninggalan Sejarah Islam di Dunia, maupun pada Unta yang dimiliki nabi Sholeh Alaihissalam yang mendapat julukan naqatallah (unta Allah).

As Suyuthi menyatakan bahwa pemberian nama Syahrullah pada bulan Muharram adalah dikarenakan nama Al-Muharram merupakan nama-nama islami, sedangkan nama-nama bulan yang lain telah ada sejak zaman jahiliyah. Dulu, sebelum kedatangan islam, bulan muharram bernama syafar awal.

Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menerangkan bahwa pemberian nama syahrullah kemungkinan dikarenakan pada bulan tersebut Allah telah mengharamkan terjadinya peperangan. Selain itu, muharram merupakan bulan yang pertama dalam penanggalan islam, oleh karena itulah disandarkan padanya lafadz Allah sebagai bentuk pengkhususan. Dan hanya pada bulan muharramlah Rasulullah Sholallahu Alaihi wassalam menyandarkan lafadz Allah.

Selain Syahrullah, Muharram juga sering disebut sebagai Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi) karena bulan ini dianggap sebagai bulan yang sangat dihormati sehingga tidak diperbolehkan terjadi konflik maupun riak di bulan tersebut.

Begitulah keutamaan-keutamaan bulan Muharram, dan karena hal tersebut maka umat muslim sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan di bulan haram tersebut. Seperti yang dikutip dari perkataan Qatadah bahwasannya Allah SWT akan melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang melaksanakan amalan-amalan sholeh di bulan muharram, sehingga Segala macam bentuk kebaikan maupun amalan sholeh sangat dianjurkan untuk ditingkatkan di bulan tersebut. Dan salah satu bentuk amal  sholeh tersebut adalah dengan melakukan puasa.

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Artinya:

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah Radiallahu Anhu berkata :

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

Artinya:

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam memerintahkan umatnya untuk berpuasa setiap tanggal 10 Muharam (asyura) sebagai tanda syukur atas pertolongan dari Allah SWT yang untuk selanjutnya dikenal dengan sebutan puasa Asyura’.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ  هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Artinya:

“Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan ketika Rasulullah Sholallahu Alaihi wassalam sedang melaksanakan puasa pada tanggal 10 Muharram, para sahabat bertanya kepada beliau “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”.

Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Artinya:

“Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).“ (HR. Muslim)

Hal tersebut dilakukan sebagai pembeda antara puasanya orang Yahudi dengan umat islam. Sebagaimana sabda Nabi Sholallahu Alaihi Wassalam :

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

Artinya:

“Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ (HR Ahmad, al-Baihaqi)

Salah satu keutamaan melakukan puasa Asyura adalah Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya di tahun yang lalu.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Artinya:

“Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Wallahua’lam.

Penulis: Raisya Audyra

 

Adab Orang Yang Mencari Ilmu

Kita sebagai murid tentunya ingin mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat. Hal-hal Yang mesti dilakukan untuk mencapai keberkahan dan kemanfa’atan tersebut, antara lain:

  1. Niat

Hal pertama yang harus dipersiapkan sebelum menuntut ilmu yaitu meluruskan niat. Niatkan semua ilmu yang akan kamu pelajari hanya karena Allah semata. Sebagaimana firman Allah dalam Al Bayyinah ayat 5, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan    kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’i yang semestinya ia lakukan untuk mencari wajah Allah dengan ikhlas, namun ia tidak melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mendapat harumnya aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad).

  1. Berdoa

Adab menuntut ilmu selanjutnya yaitu senantiasa berdoa. Dalam menuntut ilmu, hendaknya kita selalu berdoa agar diberi kemudahan dalam menimba ilmu dan mengamalkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan katakanlah: Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS. Thaha: 114) Adapun doa yang biasa dipanjatkan oleh Rasul saat menuntut ilmu adalah, “Ya Allah, berilah manfaat atas apa yang Engkau ajarkan kepadaku, ajarilah aku hal-hal yang bermanfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan al-Albani).

  1. Bersungguh-sungguh

Ketika menuntut ilmu, hendaknya kita bersungguh-sungguh dan selalu semangat untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Seolah-olah selalu haus dengan ilmu yang didapatkan, hendaknya kita selalu berkeinginan untuk menambah ilmu kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang: yaitu; (1) orang yang rakus terhdap ilmu dan tidak pernah kenyang dengannya, dan (2) orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengannya.” (HR. Al-Baihaqi)

  1. Menjauhi maksiat

Untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah, maka jauhkanlah diri dari berbagai macam maksiat. Maksiat akan membuat otak menjadi sulit untuk berkonsentrasi sehingga ilmu yang dituntut sulit untuk diserap. Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”

  1. Selalu rendah hati

Banyak sekali orang berilmu malah menjadi sombong hanya karena merasa lebih baik dibandingkan orang lain. Jika ingin mendapatkan ilmu yang baik dan bermanfaat, maka tetaplah menjadi pribadi yang rendah hati. Imam Mujahid mengatakan, “Dua orang yang tidak belajar ilmu: orang pemalu dan orang yang sombong” (HR. Bukhari secara muallaq)

  1. Memperhatikan guru saat menjelaskan

Jika ingin mendapatkan ilmu dengan mudah, maka konsentrasilah saat guru atau ustadz menjelaskan. Fokuslah untuk menyerap ilmu yang disampaikan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “… sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hambaKu, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Az-Zumar: 17-18)

  1. Diam menyimak

Salah satu adab menuntut ilmu yang banyak ditinggalkan yaitu diam ketika guru atau ustadz menjelaskan. Jangan berbicara atau bahkan mengobrol hal yang sama sekali tidak penting bahkan tidak berhubungan dengan pelajaran yang disampaikan. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam Al A’raf ayat 204, “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

  1. Menghafal ilmu yang disampaikan

Setelah berhasil memahami ilmu yang disampaikan, maka hendaknya kamu menghafal ilmu tersebut agar lebih mudah diingat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…” (HR. At-Tirmidzi).

  1. Mengamalkan

Adab menuntut ilmu ini biasanya sering dilupakan. Akan percuma setiap ilmu yang didapatkan jika tidak diamalkan. Sudah seharusnya kita mengamalkan ilmu yang kita dapatkan agar mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, kemudian ia melupakan dirinya (tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lampu (lilin) yang menerangi manusia, namun membakar dirinya sendiri.” (HR Ath-Thabrani)

  1. Mendakwahkan

Tidak ada ilmu yang bermanfaat jika tidak dibagikan kepada orang lain. Maka sebarkanlah ilmu tersebut kepada mereka yang belum mengetahuinya. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6).

 

Penulis: Eka Nurlela

 

 

Ikhlas Beramal Menurut Islam

Disebut dalam Nahjul Balaghah bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “ada kaum yang menyembah Allah karena mengharapkan pahala. Inilah ibadah pedagang. Ada kaum yang menyembah Allah karena takut. Inilah ibadah budak. Ada juga kaum yang menyembah Allah karena bersyukur kepada-Nya. Inilah ibadah orang merdeka”. Menurut az-Zuhri, melalui hadis ini Ali bin Abi Thalib berbicara mengenai tipe-tipe orang beribadah berdasarkan tingkatan ikhlas yang dimilikinya. Az-Zuhri menjelaskan bahwa ikhlas tergambarkan dengan sangat indah dalam doa Iftitah. Kita berjanji setiap salat, “sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku, dan matiku lillahi Rabbil ‘Alamin.” Jadi, ikhlas ialah “mengerjakan segala sesuatu “lillah”. Menurut al-Ghazali ada tiga makna lillah; karena Allah (lam yang berarti sebab) dan untuk Allah (lam berarti tujuan), dan kepunyaan Allah (lam berarti milik). Makna-makna ini, menurut al-Ghazali, menunjukan tingkatan ikhlas itu sendiri. Dan, Kepunyaan Allah adalah tingkat ikhlas yang paling tinggi.

Pertama, ikhlas karena Allah. Bila kita memberikan bantuan kepada orang yang kesusahan, karena kita mengetahui bahwa Allah memerintahkannya, kita beramal karena Allah. Bila kita menghentikan bantuan kepada orang itu, karena ternyata orang itu tidak berterima kasih bahkan menjelek-jelekkan kita di mana-mana, kita tidak ikhlas. Amal kita dipengaruhi oleh reaksi orang lain kepada kita. Kita bersemangat beramal, ketika orang-orang menghargai kita, memuji kita, atau paling tidak memperhatikan kita. Kita kehilangan gairah berjuang, ketika orang-orang mencemooh kita, menjauhi kita, atau bahkan mengganggu kita. Inilah tingkatan ikhlas yang pertama, sebuah tingkatan yang masih dalam tahapan ikhlas namun tetap memposisikan manusia pada kemanusiannya.

Kedua, ikhlas untuk Allah. Tahapan ikhlas dalam pengertian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: kalau kita beribadah kepada Allah sekedar untuk mendapatkan pahala sebenarnya ibadah itu diperuntukkan untuk diri kita sendiri. Karena itu, kalau kita mengharap pahala dengan sendirinya pahala itu untuk kepentingan kita, padahal ibadah yang ikhlas itu untuk Allah semata-mata. Misalnya, kalau kita beramal untuk menghindari siksaan Allah, maka sebenarnya yang dibela adalah diri kita sendiri dan bukan mencari keridhaan Allah. Kalau kita beribadah kepada Allah hanya untuk mendapatkan kenikmatan surga beserta isi-isinya yang penuh dengan bidadari cantik jelita, fasilitas gedung yang megah, makanan yang terjamin enak, bergizi dan segar, sebenarnya ibadah kita itu ditujukan bukan untuk Allah, tapi untuk kepentingan kita sendiri, untuk ego kita yang masuk terkungkung dengan semangat mencari keuntungan untuk diri sendiri dalam beribadah, semangat untuk mengumpulkan kas pahala yang kemudian digunakan untuk membeli kunci surga.  Memang amal kita pada tataran seperti ini sudah karena Allah tapi belum untuk Allah. Ibadah untuk Allah lahir dari rasa syukur, rasa terima kasih, rasa berutang budi kepada-Nya. Yang mendorong sang hamba untuk mengabdi kepada Allah bukan lagi keinginan akan pahala atau ketakutan akan siksa, tetapi cinta kepada-Nya. Inilah makna ikhlas untuk Allah (lillah).

Ketiga, ikhlas kepunyaan Allah. Pada tahapan ini, ada hadis menarik dari Nabi yang berbicara tentang mengikhlaskan amal dengan tingkatan kepunyaan Allah ini. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia, siapa yang berjumpa dengan Allah sambil menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan mengikhlaskan ucapan tersebut dengan tidak bercampur dengan yang lain itu, maka dia masuk surga.”

Kemudian Ali bin Abi Thalib bertanya, “ya Rasulullah bagaimana ikhlas yang tidak bercampur dengan yang lain itu.” Rasul SAW menjelaskan, “Betul, yang mencampuri keikhlasan itu adalah kerakusan terhadap dunia dan mengumpul-ngumpulkannya.” Artinya, ikhlas kepunyaan Allah ini, ialah ikhlas yang menghindarkan diri kita dari keterikatan hati dengan hal-hal yang berbau materi. Materi memang harus dimiliki karena tidak mungkin kita masuk surga tanpa ada ongkos materi yang memadai. Tidak mungkin kita bisa masuk surga tanpa duit untuk sedekah, zakat, infak dan lain-lain. Pada tahap ini, ikhlas berarti terhindarnya hati dari segala tujuan selain Allah dan terlepas dari kepentingan pribadi kita. Semua itu dimuarakan pada kepentingan milik Allah.

Sudah menjadi maklum, bahwa ikhlas merupakan satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Tanpa keikhlasan sebaik apapun, amal yang dilakukan oleh seorang mukmin tak akan ada nilainya di sisi Allah subhânahû wa ta’âlâ. Di dalam kitab At-Ta’rîfât karya Ali Al-Jurjani disebutkan bahwa ikhlas adalah engkau tidak mencari orang yang menyaksikan amalmu selain Allah. Ikhlas juga diartikan membersihkan amal dari berbagai kotoran (Ali Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1983], hal. 14). Dalam berbagai kesempatan kajian ilmiah Prof. Dr. M. Qurais Shihab seringkali memberikan satu gambaran tentang ikhlas dengan sebuah gelas yang penuh air putih. Tak ada sedikit pun yang ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yang disebut dengan ikhlas. Seseorang melakukan satu amalan hanya karna Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yang mencampurinya. Tak ada harapan surga, tak ada keinginan enaknya hidup di dunia, semua murni karena menghamba kepada Allah saja. Meski demikian ada kriteria tertentu di mana seseorang melakukan suatu amalan dengan motivasi tertentu namun masih dikategorikan sebagai ikhlas. Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashâihul ‘Ibâd, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2010], hal. 58). Dalam kitab tersebut beliau memaparkan bahwa tingkatan pertama yang merupakan tingkat paling tinggi didalam ikhlas sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”

Adapun, penerapan ikhlas dalam beribadah adalah sebagai berikut:

  1. Ilmu Ikhlas dalam Syahadat

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidaklah ada satu jiwa pun yang meninggal dalam keadaan bersyahadat Laa Ilaaha Illallah dan aku adalah Rasulullah yang itu semua kembali kepada hati seorang mukmin (ikhlas dari lubuk hatinya), kecuali Allah akan beri ampunan kepadanya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, lihat Ash Shahihah, no. 2278)

  1. Ilmu Ikhlas dalam Salat

Sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: “Tidaklah ada seorang muslim yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, kemudian menegakkan shalat dua rakaat dengan menghadirkan hati dan wajahnya (ikhlas), kecuali wajib bagi dia untuk masuk Al Jannah.” (HR. Muslim)

  1. Ilmu Ikhlas dalam Berzakat

Zakat akan mengajari bagaimana kamu harus dilandasi dengan rasa ikhlas sebelum menunaikan zakat. Di antara konsekuensi kejujuran seseorang adalah hendaknya dia benar-benar ikhlas karena Allah SWT dalam amalannya tersebut.

  1. Ilmu Ikhlas dalam Puasa Ramadan

Ketika menjalani puasa Ramadan, tentunya kamu akan belajar bagaimana menahan haus dan lapar sepanjang hari. Ilmu ikhlas adalah dasar penting untuk dalam menjalankan ibadah puasa. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadan dengan dilandasi keimanan dan semata-mata ikhlas mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al Bukhari, Muslim)

  1. Ilmu Ikhlas dalam Ibadah Haji

Haji merupakan sebuah amalan mulia jika kita telah mampu dan dapat menjalankannya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji semata-mata ikhlas karena Allah, dan dia tidak melakukan perbuatan kotor dan dosa dalam hajinya tersebut, maka dia kembali dalam keadaan seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya (suci dan bersih dari dosa).” (HR. Al Bukhari, Muslim)

An-Nawawi juga menerangkan tentang adanya tiga tingkat keikhlasan seorang hamba, yaitu: pertama, beribadah karena takut akan siksa Allah SWT. An-Nawawi menamakan tingkatan ini dengan ’ibādatul-’abīd; ibadah para budak. Kenapa? Karena yang seperti ini, sebagaimana mental seorang budak mematuhi perintah hanya karena takut disiksa oleh Tuhannya. Kedua, beribadah karena mengharapkan surga dan pahala dari Allah SWT. Tingkatan ikhlas ini oleh An-Nawawi disebut sebagai ’ibādatut-tujjār; ibadah para pedagang. Sebab, seperti halnya pedagang yang selalu mencari keuntungan, orang-orang yang berada pada tingkatan ini juga hanya memikirkan keuntungan dalam ibadahnya. Ketiga, beribadah karena malu kepada Allah SWT dan demi memenuhi keharusannya sebagai hamba Allah yang bersyukur disertai rasa khawatir sebab amal ibadahnya belum tentu diterima di sisi-Nya. An-Nawawi mengatakan, tingkatan ini adalah ’ibādatul-akhyār; ibadah orang-orang pilihan. Tingkatan yang terakhir ini sebenarnya merupakan manifestasi dari hadis riwayat Imam Muslim yang disabdakan Rasulullah SAW saat ditegur oleh Aisyah r.a. ketika melihat beliau salat malam ‘kelewatan’ hingga kedua kakinya bengkak. “Wahai Rasulullah, kau terlalu memaksakan hal ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu.” kata Aisyah. Rasulullah SAW menjawab: “Bukankah sudah seharusnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?!” (HR Muslim).

Sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan amal ibadah yang ditujukan kepada Allah SWT. Namun, perlu diketahui juga bahwa Allah SWT tidak akan menerima amal ibadah seseorang yang dilakukan tanpa rasa ikhlas.

 

Penulis : Eka Nurlela