Memahami Takdir Tuhan
Tidak jarang kita terlibat dalam perdebatan yang tak berujung pangkal perihal kepercayaan akan takdir dan dampaknya bagi umat Islam. Boleh jadi sebagian umat Islam mengalami kesulitan dalam memahami masalah pelik ini sehingga bingung. Karena, jangankan mereka, para ilmuwan dan filosof pun tidak sedikit yang bingung.
Mengingkari qadha dan qadr sebagai rukun iman tidak berati mengingkari kepercayaan kepada takdir dan qadha Ilahi.
Memang dalam surah An-Nisa ayat 136 hanya menyebut lima unsur keimanan, tanpa menyebut takdir. Tetapi, Nabi SAW ketika ditanya tentang iman, beliau menyebut takdir, disamping kelima lainnya. Namun harus diakui bahwa, ketika itu beliau tidak menamai rukun.
Semua kaum muslimin percaya sepenuhnya kepada takdir, hanya saja mereka berbeda dalam menafsirkan maknanya. Tulisan ini berusaha melihatnya dari sudut pandang Al-Qur’an. Taqdir berasal dari kata qadr, yakni “kadar”, “ukuran”, dan “batas”. Matahari beredar di tempat peredarannya, itulah takdir Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui, begitu juga dengan bulan (lihat QS 36:38).
Dia yang menciptakan segala sesuatu, lalu dia menetapkan atasnya takdir (ketetapan) yang sesempurna-sempurnanya (QS 25:2).
dan tidak sesuatu pun kecuali ada di sisi kami khzanah (sumber)-nya dan kami tidak menurunkan nya kecuali dengan kadar (ukuran) tertentu (QS 15:21).
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang mengulang-ulang hakikat ini.
Alhasil, segala sesuatu dari yang terbesar hingga yang terkecil, ada takdir yang ditetapkan Tuhan atasnya (lihat QS 65:3). Rumput hijau atau hangus terbakar pun berlaku atasnya takdir Tuhan (lihat QS 87:4-5). Bagaimana ia tumbuh subur, mengapa ia kering, berapa kadar kekeringan nya, kesemuanya itu ukurannya telah ditetapkan oleh Allah. Itulah takdir atau sunatullah yang menurut para rasionalis disebut sebagai hukum-hukum (Tuhan yang berlaku) di alam.
Manusia mempunyai takdir sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah atasnya. Makhluk ini tidak dapat terbang seperti burung. Ini yang ditetapkan tuhan atasnya. Di samping itu, manusia berada dalam lingkungan takdir, sehingga apa yang dilakukannya tidak terlepas dari hukum-hukum dengan aneka kadar ukurannya itu.
Harus diingat bahwa hukum-hukum itu banyak, dan kita diberi kemampuan untuk memilih – tidak seperti matahari dan bulan, misalnya. Kita dapat memilih yang mana diantara takdir (ukuran-ukuran) yang ditetapkan Tuhan yang kita ambil. Umar bin Khathab membatalkan rencana kunjungannya ke satu daerah karena mendengar adanya wabah di daerah tersebut. Beliau ditanya: “ Apakah anda menghindar dari takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Saya menghindar dari takdir yang satu ke takdir yang lain.”
Berjangkitnya penyakit akibat wabah merupakan takdir Tuhan. Bila menghindar sehingga terbebas dari wabah , ini juga takdir. Kalau begitu ada takdir baik ada takdir buruk. Tetapi ingat, Anda diberi takdir untuk memilih. Karenanya, jangan hanya saat petaka terjadi, kita berucap: “itu takdir.” Ucapkanlah juga pada saat kita meraih sukses.
Takdir, sebagaimana yang dipahami oleh Ahlussunnah boleh jadi tidak seperti di atas. Dan memang pelbagai pandangan tentang takdir sangat sulit dipahami, sehingga gampang menimbukan kesalah pahaman. Namun demikian, banyak faktor yang lebih dominan dalam kemunduran umat pada saat sekarang ini. Kurang adil menimpakanya pada satu faktor yang juga belum sepenuhnya terbukti.
Penulis: Fachry Syahrul