Tayamum Saat Cuaca Dingin? Boleh atau Tidak?

Wudhu hanya dapat dilakukan dengan air. Namun terkadang seseorang mengalami kesulitan dalam menggunakannya, baik karena tidak menemukannya, sedang melakukan perjalanan jauh, atau ada penyakit yang menghalangi penggunaannya.   Sebagai bentuk kemudahan dan keringanan dalam Islam, disyariatkan tayamum dengan tanah yang suci sebagai pengganti wudhu atau mandi, agar seorang Muslim tidak terhalang untuk beribadah.

Allah swt berfirman:    وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ  

Artinya, “Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.” (QS Al-Ma’idah: 6).

Lalu bagaimana hukum tayamum yang menggantikan wudhu ketika dingin? Dari penelusuran hukum fiqih terdapat sebab utama yang memperbolehkan tayamum. Sebab pertama karena tidak mendapati air dan sebab kedua adalah khawatir menggunakan air. Dalam kasus ini misalnya, kedinginan dan dingin tersebut dapat membahayakan.


Jika seseorang khawatir sakit akibat cuaca yang sangat dingin, seperti lambatnya kesembuhan, tidak mampu menghangatkan air karena tidak memiliki alat untuk memanaskannya, atau tidak dapat menghangatkan anggota tubuhnya setelah menggunakan air, maka ia boleh bertayamum. Namun, ia tetap harus mengulang shalatnya (qadha).” (Muhammad Zuhri Al-Ghamrawi, Anwarul Masalik Syarhul Umdatis Salik, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2012], halaman 38). 

Kemudian terkait dengan kewajiban mengulangi atau tidaknya shalat yang telah dikerjakan dengan tayamum sebab cuacanya sangat dingin terdapat tiga pendapat sebagai berikut:

  وَمِنْهَا: التَّيَمُّمُ لِشِدَّةِ الْبَرْدِ، وَالْأَظْهَرُ: أَنَّهُ يُوجِبُ الْإِعَادَةَ. وَالثَّانِي: لَا. وَالثَّالِثُ: يَجِبُ عَلَى الْحَاضِرِ دُونَ الْمُسَافِرِ​​​​​​​

​​​​​​​Artinya, “Di antaranya: tayamum karena cuaca yang sangat dingin. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa orang yang bertayamum karena alasan ini wajib mengulang shalatnya.   Pendapat kedua menyatakan tidak wajib mengulang. Pendapat ketiga menyatakan bahwa kewajiban mengulang hanya berlaku bagi orang yang berada di tempat tinggalnya (mukim), sedangkan bagi musafir tidak diwajibkan.” (An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I halaman 121). 

Namun, ada juga solusi lain, yaitu menghangatkan air yang dingin. Imam as-Syafi’i memperbolehkan air dingin yang dihangatkan untuk berwudhu. Pendapat pendiri mazhab Syafii ini tertera dalam kitab Al-Hawi yang ditulis oleh Al-Mawardi menuturkan bahwa,

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ : وَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ سَمَاءٍ أَوْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ ، وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ

Artinya, Imam Syafi’i RA berkata, “Bahwa setiap dari laut, baik tawar atau asin, dari sumur atau langit (air hujan), atau air yang dingin atau salju, yang dipanaskan atau tidak adalah sama dan boleh untuk bersuci,” ( Al-Mawardi, Al-Hawi fi Fiqhis Syafi’i, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, cetakan ke-1, 1414 H/1994 M, juz I, halaman 39). Jadi kesimpulannya, dingin bisa jadi alasan untuk mengganti wudhu dengan tayamum, namun dengan syarat dingin tersebut dapat membahayakan tubuh. Namun bisa juga dengan memanaskan atau menghangatkan air dingin tersebut agar tidak terlalu membahayakan.

Baca juga: Cara Wudhu Pasca Kecelakaan

Lebih lanjut mengenai sebab-sebab bertayamum telah dijelaskan para ulama fiqih, di antaranya oleh Syekh Mushthafa al-Khin dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzahib al-Imam al-Syafi‘i (Terbitan Darul Qalam, Cetakan IV, 1992, Jilid 1, hal. 94). Menurutnya, ada empat alasan dibolehkannya bertayamum.

1. Ketiadaan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Ketiadaan air secara kasat mata misalnya dalam keadaan bepergian dan benar-benar tidak ada air, sedangkan ketiadaan air secara syara‘ misalnya air yang ada hanya mencukupi untuk kebutuhan minum.

2. Jauhnya air, yang keberadaannya diperkirakan di atas jarak setengah farsakh atau 2,5 kilometer. Artinya, jika dimungkinkan ada air tetapi di atas jarak tersebut, maka diperbolehkan bertayamum mengingat beratnya perjalanan, terlebih ditempuh dengan berjalan kaki. 

3. Sulitnya menggunakan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Sulit secara kasat mata contohnya airnya dekat, tetapi tidak bisa dijangkau karena ada musuh, karena binatang buas, karena dipenjara, dan seterusnya. Sementara sulit menggunakan air secara syara‘ misalnya karena khawatir akan datang penyakit, takut penyakitnya semakin kambuh, atau takut lama sembuhnya.

4. Kondisi sangat dingin. Artinya, jika menggunakan air, kita akan kedinginan karena tidak ada sesuatu yang dapat mengembalikan kehangatan tubuh. Diriwayatkan bahwa ‘Amr ibn ‘Ash pernah bertayamum dari junubnya karena kedinginan.  Hal itu lalu disampaikan kepada Rasulullah saw., dan beliau pun mengakui serta menetapkannya, sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud. Namun, dalam keadaan terakhir ini, terlebih jika ada air, seseorang diharuskan mengqadha shalatnya. 

Selanjutnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat bertayamum. 

1. Tayamum harus dilakukan setelah masuk waktu shalat. 

2. Jika alasannya ketiadaan air, maka ketiadaan itu harus dibuktikan setelah melakukan pencarian dan pencarian itu dikerjakan setelah masuk waktu. 

3. Tanah yang dipergunakan harus yang bersih, lembut, dan berdebu. Artinya, tidak basah, tidak bercampur tepung, kapur, batu, dan kotoran lainnya. 

4. Tayamum hanya sebagai pengganti wudhu dan mandi besar, bukan pengganti menghilangkan najis. Artinya, sebelum bertayamum, najis harus dihilangkan terlebih dahulu. 

5. Tayamum hanya bisa dipergunakan untuk satu kali shalat fardhu. Berbeda halnya jika usai shalat fardhu dilanjutkan dengan shalat sunat, shalat jenazah, atau membaca Al-Quran. Maka rangkaian ibadah itu boleh dengan satu kali tayamum. 

6. Tayamum berbeda dengan wudhu. Jika wudhu setidaknya ada enam rukun, maka tayamum hanya memiliki empat rukun: (1) niat dalam hati, (2) mengusap wajah, (3) mengusap kedua tangan, (4) tertib.  

Adapun tata cara bertayamum adalah sebagai berikut: 

1. Siapkan tanah berdebu atau debu yang bersih. 

2. Menghadap kiblat, ucapkan basmalah lalu letakkan kedua telapak tangan pada debu dengan posisi jari-jari tangan dirapatkan. 

3. Lalu usapkan kedua telapak tangan pada seluruh wajah disertai dengan niat dalam hati, salah satunya dengan redaksi niat berikut:

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ للهِ تَعَالَى    

Artinya: Aku berniat tayamum agar diperbolehkan shalat karena Allah. 

Berbeda dengan wudhu, dalam tayamum tidak disyaratkan untuk menyampaikan debu pada  bagian-bagian yang ada di bawah rambut atau bulu wajah, baik yang tipis maupun yang tebal. Yang dianjurkan adalah berusaha meratakan debu pada seluruh bagian wajah. Dan itu cukup dengan satu kali menyentuh debu, sebab pada dasarnya lebar wajah tidak melebihi lebar dua telapak tangan. Sehingga “meratakan debu” di sana cukup mengandalkan dugaan yang kuat (ghalibuzhan). 

4. Letakkan kembali telapak tangan pada debu. Kali ini jari-jari direnggangkan serta cincin yang ada pada jari (jika ada) dilepaskan sementara.  

5. Kemudian tempelkan telapak tangan kiri pada punggung tangan kanan, sekiranya ujung-ujung jari dari salah satu tangan tidak melebihi ujung jari telunjuk dari tangan yang lain.    

6. Dari situ usapkan telapak tangan kiri ke punggung lengan kanan sampai ke bagian siku. Lalu, balikkan telapak tangan kiri tersebut ke bagian dalam lengan kanan, kemudan usapkan hingga ke bagian pergelangan. 

7. Sekarang, usapkan bagian dalam jempol kiri ke bagian punggung jempol kanan. Selanjutnya, lakukan hal yang sama pada tangan kiri. 

8. Terakhir, pertemukan kedua telapak tangan dan usap-usapkan di antara jari-jarinya. 

9. Sebagaimana setelah wudhu, setelah tayamum juga dianjurkan oleh sebagian ulama untuk membaca doa bersuci seperti halnya doa berikut ini.     

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ 

Artinya: Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku sebagai orang-orang yang bertaubat, jadikanlah aku sebagai orang-orang yang bersuci, dan jadikanlah aku sebagai hamba-hamba-Mu yang saleh. Mahasuci Engkau, ya Allah. Dengan kebaikan-Mu, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Dan dengan kebaikan-Mu, aku memohon ampunan dan bertaubat pada-Mu.   

Demikian sebab-sebab dan tata cara bertayamum dan penjelasan tentang bertayamum saat cuaca dingin. Semoga bermanfaat.

Editor: Siti Lidiana

SEJARAH TASAWUF

Sejarah tasawuf dimulai era Nabi yang dinamakan era zuhud dengan tokoh Hasan Al-Bashri dan Rabi’ah Al-Adawiyyah. Era selanjutnya adalah mempelajari an-nafsu pada abad ke 4. 5, dan 6 Hijriyah. Di era ini, internalisasi tasawuf sudah berjalan dengan baik dan istilah tasawuf sudah mulai dikenal. Tokoh – tokoh tasawuf yang dikenal adalah az-Zuhrawardi, Al-Qusyairi, Al-Ghazali, Al-Hallaj, Dzunnun Al-Mishri, Ibnu Arabi, dan Umar Al-Farid. Tasawuf di era ini dibagi menjadi tasawuf sunni dan falsafi.

Era ini disusul dengan era lahirnya tarekat untuk menjembatani agar teori tasawuf yang rumit bisa dinikmati oleh orang awam. Lahirnya tarekat Ahmad Al-Rifai, Abu Hasan Asy-Syadzili, Bahauddin An-Naqsyabandi, Al-Burhani, Abdul Qadir Al-Jilani, Al-Badawi, dan lain – lain. Sebelum era terakhir ini orang bertasawuf tidak mempunyai tarekat. Justru pemikiran Imam Ghazali memengaruhi tarekat – tarekat yang ada. Tarekat Syadziliyyah sangat terpengaruh pemikiran Imam Ghazali. Imam Ghazali lebih dulu lahir sebelum lahirnya tarekat – tarekat yang ada. Oleh sebab itu, jangan menilai ulama yang tidak mengikuti aliran tarekat sebagai orang yang tidak bertasawuf. Orang yang bertasawuf tidak harus masuk dalam organisasi tarekat. Lebih jelasnya lihat table 2:

SEJARAH TASAWUF

PEMBAGIAN TASAWUF

Tasawuf dibagi dua. Pertama, Tasawuf sunni yang dikenal dengan tasawuf amali atau suluki adalah tasawuf yang menekankan pada amal dengan mengkaji rahasia – rahasia (asrar) dan hikmah yang ada dibalik ibadah formal. Misalnya, rahasia – rahasia yang ada dibalik ibadah salat, puasa, zakat, dan haji. Tasawuf sunni dikenal dengan tasawuf suluki yang di dalamnya ada maqamat (posisi) dan ahwal (pengalaman spiritual) yang harus dijalani seseorang dalam proses yang dijalani menuju wushul (sampai tujuan) ke hadiral Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali adalah karya dalam bidang tasawuf sunni atau suluki yang menekankan penghayatan rahasia yang ada dalam ibadah formal. Tasawuf ini berpijak kepada ilmu fikih. Ia melapisi esensi yang ada dalam ilmu fikih.

Kedua, tasawuf falsafi yang lebih menekankan kepada kontemplasi, refleksi, dan observasi intelektual. Tasawuf ini mendorong manusia untuk berfikir mendalam tentang eksistensi Allah dan alam semesta. Eksistensi alam semesta lahir karena eksistensi Allah. Alam tidak wujud tanpa eksistensi Allah. Allah adalah eksistensi sejati, sedangkan alam adalah eksistensi semu yang akan hancur. Eksistensi sejati yang abadi hanya Allah, tidak yang lain. Hakikat eksistensi selain Allah adalah pancaran eksistensi Allah. Inilah yang melahirkan konsep wahdatul wujud (kesatuan eksistensi) karena tidak ada eksistensi sejati kecuali eksistensi Allah. Tokoh sufi yang terkenal dalam hal ini adalah Ibnu Arabi yang terkenal dalam karya – nya Al-Futuhat Al-Makiyyah (penyingkapan Rohani di Mekah).

Menurut sumber lain, ada model tasawuf irfani, yaitu tasawuf yang berusaha menyingkat hakikat kebenaran yang dihasilkan dengan tidak menggunakan logika, pembelajaran atau pemikiran, tapi murni pemberian Tuhan (mauhibah) yang diperoleh lewat proses tashfiyatul qalbi (pembersihan hati). Hati yang suci mampu berdialog dengan Tuhan secara batin, sehingga Tuhan memasukkan pengetahuan atau ma’rifat ke dalam hati manusia yang menyingkap kebenaran lewat intuisi (ilham). Tokoh – tokoh antara lain : Rabiah Al-Adawiyyah, Dzunnun Al-Mishri, Junaid Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Busthami, Jalaluddin Ar-Rumi, Ibnu Arabi, Abu Bakar Asy-Syibli, Abu Hasan Al-Khurqani, ‘Ain Al-Qudhat, Al-Hamdani, dan Najmuddin Al-Kubra. Tasawuf Irfani ini memasukkan nama tokoh yang masuk dalam tasawuf sunni dan falsafi karena menitik beratkan kepada proses pembersihan hati. Kriteria tasawuf irfani ini abstrak karena berdasarkan ilham yang sangat privasi.

Menurut Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 638 H.), realitas alam semesta yang majemuk adalah bukti ke-Maha Esa-an Allah. Fenomena yang terlihat dalam kosmos adalah penampakan (tajalli) nama – nama sifat Allah. Tuhan dalam ke-Maha Esa-an-Nya ingin melihat Zat-Nya yang immateri dan memperkenalkan diri-Nya. Maka, lahirnya nama dan sifat, seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al-Jabbar (Maha Memaksa), dan Al-Qahhar (Maha Menekan). Nama dan sifat ini ternyata belum mampu dikenal, maka diperlukan cermin penjernih dalam bentuk alam semesta, Binatang, dan malaikat. Ketika semua makhluk ini belum mampu menjadi cermin Allah yang tepat, maka Adam lahir yang mampu menampakkan bentuk-Nya secara tepat. Oleh sebab itu, setiap gerakan manusia adalah pancaran diri-Nya. Manusia diktator adalah penampilan sifat Al-Jabbar Allah. Manusia yang lemah lembut adalah penampilan sifat Al-Lathif Allah. Dalam diri manusia, menurut Ibnu Arabi, ada esensi ketuhanan (Al-Haqq) dan dalam diri Tuhan (Al-Haqq) terselit sifat Al-Khalaq (Fahuwa Al-Haqq Al-Khalaq).

Sufi pertama yang membawa aliran filsafat (tasawuf falsafi) adalah Abu Yazid Al-Busthami yang lahir di Bistam Persia tahun 874 M. dan meninggal di usia 73 tahun. Meskipun lahir dari keluarga terpandang, namun Abu Yazid lebih memilih hidup sederhana dan memberikan kasih sayang kepada fakir miskin. Konsepnya yang terkenal adalah Al-Ittihad (bersatunya seseorang dengan Tuhan). Dalam konsep ini, seseorang telah meyakini bahwa di dunia hanya ada satu wujud, meskipun yang sebenarnya ada dua wujud. Namun yang disadari adalah wujud Tuhan. Sufi lain dalam aliran tasawuf falsafi adalah Husein Ibn Mansur Al-Hallaj yang lahir di Madinah Al-Baida’ Iran Selatan tahun 858 M. yang pindah ke Irak. Al-Hallaj ini dikenal dengan konsep Al-Hulul (mengambil tempat), yaitu paham yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya.

Namun sebelum itu, seorang Sufi harus menghancurkan sifat – sifat kemanusiaannya, sehingga yang tampak dalam dirinya adalah sifat – sifat ketuhanan. Ketika dalam kondisi ini, Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi tersebut. Al-Hallaj dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah ekstrim dan kaum Qaramitah yang sering menentang pemerintahan Bani Abbas, sehingga di tahun 922 M. Al-Hallaj dijatuhi dan dilaksanakan hukuman mati padanya. Hukuman ini bukan hanya karena ucapannya : Ana Al-Hallaq (Saya yang Maha Benar), tapi juga disebabkan factor politik. Setelah Al-Hallaj, tasawuf falsafi diteruskan oleh Ibnu Arabi yang terkenal dengan konsep Wahdah Al-Wujud.

Lebih tepatnya lihat tabel 3 :

TOKOH TASAWUF SUNNI, FALSAFI, DAN IRFANI18

18Disarikan dari buku Hamka, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Jakarta : Republika, 2016, dan buku Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Bandung : Rosda, 2014, cet. 2

Referensi Buku : Tasawuf Sosial (KH. MA. SAHAD MAHFUDH) Tasawuf Kajen Menghadirkan Solusi (hlm. 16 – 20)

Penulis Buku : DR. JAMAL MA’MUR ASMANI

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

PEMUKIMAN & HALAL BI HALAL ALUMNI AL-MUSRI’ KORDA BANDUNG SELATAN (NURUL ABSHOR) GELOMBANG 1

Senin, Tanggal 28 April 2025. Kantor Desa Cibodas menjadi lokasi Pemukiman para Muqimin dan Muqimat Yayasan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’.

Kantor Desa Cibodas yang bertempatkan di WF4M+HJC, Cibodas, Pasirjambu, Bandung Regency, Ciwidey (Kab. Bandung) West Java 40972 menjadi lokasi Pemukiman para Muqimin dan Muqimat yang berdomisili di Bandung Selatan.

Pemukiman para Muqimin dan Muqimat kali ini mengambil tema “MEMPER-ERAT SANAD KE-ILMUAN DENGAN MENJAGA TRADISI LELUHUR YANG DIWARISKAN”.

Acara ini dihadiri oleh segenap Dewan sepuh Wa Dewan Ampuh YPP. Miftahulhuda Al-Musri’, Ketua Umum Jamiyyatul Muqimin (K. Ayi Sopandi), Ketua MUI Kec. Pasir Jambu yakni Kh. Abdurrahman Asy-Syafi’I (Ayah dari salah satu Ampuh serta salah satu peserta pemuqiman yaitu Ang M Sirozul Wahid), Kepada Desa Cibodas (Willi Wirasasmita), Ketua Tanfidziah Korda Bansel (Ust. Aziz Munawwar), Rois Syuriah Korda Bansel (Ust. Moh. Sugandi, S.Sos., M.Pd.)

Adapun peserta – peserta Pemuqiman kali ini bisa di lihat dalam tabel di bawah ini :

PESERTA PEMUKIMAN ALUMNI AL-MUSRI’ KORDA BANDUNG SELATAN

Documentasi Acara Pemukiman Korda Bansel – Almusripusat.com

Ungkapan dari salah satu Dewan Kyai Miftahulhuda Al-Musri’, membacakan surat pernyataan Pemuqiman yaitu Pangersa KH. Mahmud Munawwar setidaknya ada Tiga tujuan dimuqimkannya para muqimin dan muqimat.

  1. Untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan
  2. Ikut berpartisipasi dalam mencerdaskan umat umumnya, wabii khususnya rakyat setempat (Bidang Agama Islam)
  3. Untuk mengembangkan Syari’at Islam dan urusan kemasyarakatan.

Dan untuk Pengesahan Surat Keterangan Pemukiman oleh salah satu Dewan Sepuh Al-Musri’ yaitu Pangersa KH. Ayi Mahdi.

Sementara itu Wakil Pimpinan YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ yaitu Pangersa Hj. Siti Maryam mengingatkan kepada para Muqimin dan Muqimat untuk bersabar Ketika sedang mengembangkan ilmu pengetahuan, dikarenakan Ketika mengembangkan ilmu pasti banyak sekali ujiannya. Ada 4 cobaan yaitu musuh yang menjadi racun, cacian dari rekan (teman), orang bodoh jadi penyakitnya orang pintar dan hasudnya orang yang berilmu. Perkataan tersebut dirujuk Dari Hadist As-Syaikh Abu Hasan As-Syadzili.

Para Muqimin dan Muqimat dipasrahkan kepada segenap lapisan.

  1. Pemerintah setempat
  2. Tokoh Masyarakat (Setempat)
  3. Al-Alim Ulama

Kalau sudah di muqimkan, jelas sanad nya, jelas Guru nya. Karena memang sekarang lahir yang berlabel Pondok Pesantren bagaikan Cendikiawan di musim hujan. Ajeungan yang dianggap tokoh tidak jelas Dimana pesantrennya, tidak jelas kapan pesantrennya. Yang jelas sekarang Pemerintah dipusingkan dengan berdirinya Pondok Pesantren tetapi Kredibilitas dan yang lainnya masih dipertanyakan, dengan adanya acara pemukiman kali ini, secara tidak langsung Al-musri’ telah membantu Pemerintah, agar para pengajar itu jelas sanad ke-ilmuannya.

Semoga dengan mengikuti pemuqiman ini, bisa menambah keberkahan dari para Guru YPP. Miftahulhuda Al-Musri’, baik keberkahan dalam agama, dunia, maupun akhirat, terkhusus keberkahan  dan kemamfaatan ilmu.

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

Fakta Isu Zionisme Perspektif Islam (1)

Bangsa Yahudi di dalam Al-Qur’an cukup banyak disebut, antara lain bahwa Allah memang melebihkan kaum ini dibanding bangsa lain (QS 2 : 47 dan 122). Oleh karena karunia Tuhan menjadikan mereka nabi dan raja diantara umat (QS 5 : 20). Dalam kitab suci ini pula, sekurangnya ada 136 ayat menyinggung masalah Yahudi dan Bani Israil (Israel).

Diantaranya, juga berkisah tentang kecerewetan, kelicikan, kejelekan, pengkhianatan, sekaligus kutukan Tuhan terhadap mereka, misalnya mereka dilaknat Allah dan para nabi (QS 5 : 13, 14 dan 78, 79), kena kutukan Nabi Daud dan Nabi Isa (QS 5 : 78) karena mereka tak percaya dan membunuh nabi (QS 2 : 61), menulis (mengubah – ubah dan menambah) kitab (suci) sekehendak hatinya (QS 2 : 79), tidak menaati Nabi Musa untuk memasuki daerah Palestina (QS 5 : 20 – 24), melanggar peraturan (bekerja) pada hari Sabtu (QS 4 : 47 dan 7 : 163).

Kemudian manusia ini mengandalkan kultus berlebihan (rahbaniyah) dan menganggap rahibnya sebagai Tuhan (QS 57 : 27 dan 9 : 31), menyembah anak sapi (QS 2 : 51, 92, 93; 4:153; 7: 148; 20: 88) enggan memasuki Palestina (QS 5 : 20 – 26). Oleh karena itu, negeri Palestina diharamkan bagi Yahudi (QS 5 : 26). Akhirnya, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan pasti menyombongkan diri dengan kesombongan besar (QS 17 : 4), celaka bagi Yahudi (QS 2 : 79 – 80 dan 17 : 4 – 5), disambar halilintar lantaran minta akan menyaksikan Tuhan (QS 4 : 153).

Selanjutnya Bani Israil diberi giliran untuk mengalahkan dan dijadikan kelompok (punya pendukung) lebih lebih besar (QS 17 : 6). Mereka tidak akan senang kepada kaum Muslim (QS 2 : 120) karena Yahudi dan musyrik paling keras memusuhi islam (QS 5 : 82). Keimanan mereka susah diharapkan di zaman Nabi Muhammad (QS 2: 75 – 78). Kaum Yahudi banyak yang kafir (QS 5: 81), suka berkhianat, dan menipu Allah (QS 3 : 54). Yahudi yang beriman sedikit sekali, tetapi bagi yang beriman dan beramal saleh akan mendapat pahala (QS 2: 62 dan 5 : 69).

Jika mereka berbuat baik, berarti kebaikan itu bagi dirinya, dan bila berbuat kejahatan maka kejahatan itu (Kembali) bagi dirinya (QS 17 : 7). Sebaliknya bila mereka tetap ingkar dan kafir, maka Allah melaknat Yahudi karena kekafirannya (QS 3 : 112; 4: 146; 5: 64).

Israel asalnya ditakdirkan sebagai bangsa yang mulia. Dari keturunan Bani Israil lahir nabi dan rasul Allah. Sampai saat ini, keturunan Yahudi “mewarisi” keunggulan itu. Antara lain adalah kecerdasan dan kekayaannya. Karena kelebihan tersebutlah kiranya Israel menjadi amat congkak, dan kepongahannya telah menimbulkan ide untuk menguasai dunia di bawah kungkungannya, lewat organisasi yang disebut Zionisme Internasional.

Melalui jaringan ini Yahudi membutuk globar network untuk mengacau bangsa lain (non – israel) dengan sebutan goyim yang halal dieksploitasi bagi kepentingan Yahudi. Karena mereka merasa sebagai ‘anak tuhan’ dan kecintaan – Nya, Yahudi percaya hanya bangsa mereka sajalah yang masuk surga (QS 2 : 111). Sebab kepongahan inilah kewaspadaan harus ditingkatkan menghadapi Israel yang sewaktu – waktu tidak mustahil akan mekukan tipu daya dan pengkhianatan terhadap penjanjian yang walau disepakatinya sendiri – bila perlu.

Pada zaman Nabi, orang Israel membentuk jaringan komplotan untuk melawan Islam. Dalam batin, golongan ini menentang agama Ilahi. Rasul pun diberitahu Allah, bahwa mereka itu sebenarnya tak lain adalah segolongan munafiq (jamaknya : munafiqun).

Tokoh munafiqun adalah Abdullah bin Ubay. Ia terkenal sangat licin dan licik. Lelaki inilah yang menjadi man behind the screen untuk melakukan pengacauan yang sistemik dan terstruktur terhadap umat Islam di Madinah kala itu. Dia dan teman – temannya, dalam peperangan memang ikut, tetapi dengan terpaksa. Lantas membelot dari medan pertempuran, malah ‘menohok kawan seiring’ bak kata pepatah juga ‘menggunting dalam lipatan’ dengan cara menyingkap rahasia pasukan Muslimin.

Dimana – mana mereka menyebarkan fitnah, adu domba, dan pecah – belah. Secara diam – diam, mereka bekerja untuk kepentingan kuffar Quraisy dalam setiap menjelang peperangan.

Pada zaman Khalifah Abu Bakar as – Siddiq dan Khalifah Umar bin al – Khattab kaum Yahudi ini terbukti tak berkutik. Meman gada intrik – intrik yang mencoba secara provokatif disebar di Tengah umat Islam. Toh, kandas karena ketakutan pada sikap Sayyidina Abu Bakar maupun Sayyidina Umar bin al – Khattab yang terkenal tegas dan keras.

Pada masa Khalifah Ustman bin al – Affan yang terasa agak kendor, muncullah sosok tokoh Yahudi dengan misi yang sama : memorak – porandakan umat dalam skala lebih besar. Dialah Abdullah bin Saba. Seorang Yahudi yang cerdas, tetapi licik dan culas. Dari Yaman ia memainkan sandiwara duka – cerita ‘kegagalan’ pemerintah Islam saat itu.

Sebelumnya, dia tinggal di ibukota pemerintah Khalifah Ustman (Madinah) hanya beberapa bulan saja. Di sana ia sempat mempelajari situasi dan kondisi objektif untuk menerapkan rencana – rencana fitnah, ‘black campaign’ dan pecah belah. Barangkali Abdullah bin Saba inilah perintis permulaan doktrin Zionisme. Ia menjalankan politik belah bambu, seperti ditulis Prof. Fazi Ahmad, M.A., Guru besar Tarikh Islami dalam bukunya, Othman The Third Calliph (1996). Saba mengarang Riwayat palsu yang mempertentangkan Ali bin Abi Talib dengan umat Islam.

Dengan siasat adu domba, dan di lain pihak bermain di belakang layer, berusaha mempropagandakan usahanya sembari menjelek – jelekan Khalifah Ustman bin Affan. Celah – celah kelemahan Khalifah dan para pembantunya disorot tajam untuk diekspos pada khalayak ramai. Abdullah bin Saba, menurut Prof Fazi telah menjadikan Mesir sebagai basis untuk segala aktifitas oposisi dan manuver jahatnya.

Adapun upaya – upaya yang ditempuh Gerakan Saba ini antara lain : para anggotanya (Sebagian sahabat terpengaruh) menunjukan sikap akhlak yang tinggi di depan umat, Ikhlas dan berjiwa social, juga harus taat melebihi para pendukung Usman. Di sela – sela itu, pengikut Saba diminta tidak berdiam diri terhadap keadaan yang dilukiskan sudah bobrok dan diharuskan untuk mengadakan ‘revolusi’.

Di samping secara rahasia, biro khusus dibentuk untuk menyebarkan surat – surat ‘kaleng’ guna memperkuat bahwa memang kesenjangan itu ada. Dalam salah satu surat kaleng sempat disiarkan juga isu bohong bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib mendukung Gerakan Saba.

Sejak saat itu kekacauan terjadi. Agen – agen Saba tak saja menguasai Mesir, melainkan juga Basrah. Lantas terjadilah terror yang brutal itu : Sayyidina Usman bin Affan dibunuh secara sadis tatkala menantu kinasih Nabi yang berjasa pula dalam menghimpun mushaf ini sedang membaca Al-Qur’an.

Pada zanab kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, provokasi Saba tidak berhenti. Ia memunculkan isu nasional “Qamis Usman” yang terkenal itu, yakni tuntutan agar pembunuh Usman bin Affan diadili. Sesuatu yang sebenarnya tak mudah karena terror itu dilakukan oleh gerombolan liar secara keroyokan.

Untuk sementara agar terkesan netral, memang Gerakan Saba kali ini tidak berpihak ke Ali (Bani Hasyim) dan Usman (Bani Ummayah) yang sudah diamati oleh Saba sejak lama, dan memang biasanya, pertentangan etnik dan fanatisme kesukuan itu mudah tersulut. Dari situ Saba memulai manuver pecah belah itu.

Agen – agen Saba memfitnah orang – orang dekat Ummul – Mu’minin Aisyah. Maka pascawafat Usman bin Affan keadaan jadi chaos hingga terjadilah peristiwa Jamal (Unta). Setelah disadari kedua belah pihak bahwa hal itu akibat kesalahpahaman dan adanya fitnah yang tak ketahuan juntrungnya, maka perdamaian disusun. Namun, seperti dituturkan Fazl berikutnya, Saba tak puas mencium gelagat pendekatan ini. Tengah malam menjelang disepakatinya “perjanjian damai” antara Khalifah Ali dan Ummul – Mu’minin, ia menyebarkan kasak – kusuk di Tengah rombongan Aisyah bahwa pasukan Ali akan berkhianat.

Demikian pula di Tengah pasukan Ali, mereka menyebarkan fitnah yang sama, bahwa pasukan Ummul – Mu’minin akan menyerbu kubu Ali. Karuan saja tragedy lantas berlanjut. Untung tak berlangsung lama. Tatkala kaki unta Ummul – Mu’minin terpancung, Sayyidina Ali mendekat dan memperlakukannya dengan baik. Aisyah pun akhirnya berkhotbah, bahwa sebenarnya pertentangannya dengan Ali ini soal keluarga (antara ibu tiri Fatimah dengan suaminya, yakni Ali yang menantu Nabi). Sayyidina Ali membenarkan dan menimpalinya dengan ungkapan sama, bahkan rombongan Ummul – Mu’minin diantar Khalifah Ali dengan rasa haru mendalam sampai ke perbatasan kota.

Zubair, sahabat Nabi yang mendukung Sayidah Aisyah, pulang bersamanya, tetapi ia sungguh dulu ke Makkah. Di sini ia dibunuh Amir bin Jarmuz tatkala sedan salat. Tiba di Kufah, Jarmuz mempersembahkan sebelah tangan dan pedang Zubair kepada Ali sebagai bukti ia telah membunuh Zubair. Dikiranya Sayyidina Ali menyetujui sikap ini, justru sebaliknya, ia mendapat caci – maki keras, “Aku tahu siapa pemilik pedang ini. Dialah pejuang di samping Rasulullah. Engkau telah membunuhnya. Celakalah kau!” katanya dan kemudian menghukum pembunuh Zubair itu.

Sudah terlalu banyak darah kaum muslim tumpah akibat intrik dan fitnah adu domba Yahudi, Akankah darah itu terus mengalir karena fitnah mereka? Sampai kini pun setiap muslim harus waspada, sebab ingatlah bahwa dusta, khianat, fitnah, adu domba, dan pecah belah adalah sifat – sifat kaum Yahudi yang memusuhi Allah.

Referensi Buku : Problema Keumatan & Kebangsaan Pandangan Sosiolog Agama (hlm. 116 – 125)

Sumber foto : https://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/11/bani-israil-dalam-al-quran.html

Penulis Buku : Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

25 Tahun Lengsernya Orba, Aktivis 98: Negara Belum Sepenuhnya Penuhi Tuntutan Reformasi
Fakta Nasionalisme Pasca Reformasi

Ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998, semenjak itu perilaku nasionalistik Masyarakat di negeri ini telah mengalami pergeseran nilai – nilai. Kebebasan mutlak untuk mengekspresikan aspirasi politik dijadikan kata kunci dalam reformasi ini, sehingga hal itu telah menyebabkan tergerusnya nilai – nilai kebangsaan dan nasionalisme yang selama ini terpelihara dengan baik. Demokratisasi berjalan tanpa etika dan aturan – aturan hukum yang ada, sampai menjurus pada Tindakan anarkis.

Hal tersebut dapat ditandai dari beberapa fenomena social yang terjadi pada akhir – akhir ini : Pertama, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara tidak lagi menjadi pijakan ‘nasionalistis’ yang kokoh di kalangan anak bangsa. Kedua, bendera Merah Putih sebagai symbol bangsa dan negara hanya berkibar pada saat – saat menjelang dan pada peringatan HUT Kemerdekaan RI. Hal itu pun harus diingatkan melalui RT/RW yang justru bukan karena didasari kesadaran masing – masing anggota Masyarakat, sementara bendera partai jauh lebih banyak kita dapati di mana – mana. Ketiga, lagu kebangsaan Indonesia Raya, sudah jarang berkumandang di acara – acara resmi, mengalahkan lagu – lagu hiburan. Keempat, hilangnya tradisi gotong – royong dan semangat kebersamaan, yang perlahan tetapi pasti sudah berganti dengan sikap individualistis. Kelima, Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional tidak lagi menjadi Bahasa resmi, bahkan sudah bercampur – baur dengan Bahasa asing (baca: Inggris). Sebagian kecil Masyarakat malahan lebih dihargai jika berpidato disertai Bahasa asing yang sulit dicerna pendengarnya, seraya mengutip berbagai teori dari Barat. Keenam, Bhineka Tunggal Ika (kemajemukan) tidak lagi menjadi perekat persatuan bangsa, maka perpecahan menjadi luka social yang parah di tengah rakyat. Ketujuh, penegakan hukum tidak berjalan sesuai prosedur. Ibarat pisau, hukum memang tajam “ke bawah” akan tetapi tumpul “ke atas”.

Implikasi dari pelbagai permasalahan tadi diantaranya adalah, Pancasila tidak saja diabaikan, tetapi dikritik. Pancasila yang dulu pernah diajarkan di sekolah – sekolah kini tidak lagi. Pancasila sekarang bagaikan sesuatu yang ‘asing’ di Tengah pemikiran liberal yang menyesatkan. Oleh karena itu, sebagai dampak dari kebebasan yang tak terkendali dengan etika dan moralitas bangsa, timbullah anarkisme (kebrutalan) dan ketidakpastian hukum. Kekerasan terjadi Dimana – mana.

Sementara itu, ucapan – ucapan para pemimpin negara dan tokoh Masyarakat, acap kali tidak mencerminkan postur seorang pemimpin negarawan yang bisa memberikan petunjuk yang sejuk. Justru seringkali ungkapan mereka dapat menimbulkan fitnah dan malapetaka. Masyarakat awam yang sesungguhnya tidak mampu proaktif di dalam kancah politik praktis, menjadi tumbal dan korban ‘permainan kotor’ para pelaku politik. Permainan money politics (politik uang), yang istilahnya kemudian oleh mereka sendiri dilunakkan menjadi cost of politics (biaya politik), seakan lantas menjadi ‘barang’ halal dan lumrah.

Kebohongan public kemudia menjadi seperti retorika sehari – hari. Orang bilang, retorika politik pasca reformasi sarat dengan muatan ‘menipu dan meyakinkan’. Masyarakat kecil pun kini juga sudah terlibat di dalam ‘jaringan’ permainan kotor dan koruptif ini tanpa merasa ada beban bersalah dan dosa. Mencermati kondisi objektif seperti ini, kita seharusnya prihatin dan berusaha untuk mengajak Masyarakat melalui berbagai ceramah secara lisan maupun tulisan, agar anak bangsa ini Kembali ke khittah-nya dengan berpedoman pada Pancasila agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan sesuatu yang kita percayai sebagai harga mati ini dapat kita pertahankan Bersama.

Catatan – catatan kecil di atas mendeskripsikan kenyataan dan menjadi pokok persoalan yang ada masa kini, bahwa rasa nasionalisme anak bangsa akhir – akhir ini sudah mulai memudar dan telah mengalami penggerusan karena nilai – nilai luhur bangsa tidak lagi menjadi pijakan di dalam perilaku sehari – hari. Akhirnya seperti yang kita alami saat ini : Masyarakat kehilangan identitas (jati diri) sebagai bangsa. Dasar negara dan ideologi Pancasila sebagai warisan berharga para pendiri bangs aini sudah dilemahkan.

Oleh karena itu, Upaya yang harus dipertahankan saat ini adalah : Pertama, materi Pancasila harus diajarkan Kembali di sekolah – sekolah, mulai dari sekolah dasar sempai perguruan tinggi, agar mahasiswa memahami dana sekaligus dapat mengimplementasikan nilai – nilai yang terkandung di dalamnya melalui bimbingan para guru. Kedua, bendera Merah Putih sebagai lambang negara dan bangsa harus terus diutamakan untuk dikibarkan di atas semua bendera yang ada dalam rangka memupuk rasa nasionalisme kepada segenap anak bangsa. Ketiga, lagu kebangsaan Indonesia Raya mestinya tidak hanya dilagukan dalam upacara saja, tetapi juga harus menjadi bagian dari berbagai acara penting kedinasan tau bagi Lembaga – Lembaga Masyarakat. Keempat, gotong – royong dan kebersamaan seyogianya menjadi etos Masyarakat dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan. Kelima, Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional, hendaknya menjadi benar – benar Bahasa resmi bangsa, yang harus digunakan sehari – hari di rumah, sekolah, kantor, dan berbagai tempat. Keenam, Bhineka Tunggal Ika mestinya kita jadikan landasan pluralism sosiologis untuk perekat persatuan bangsa dan kesatuan negara. Ketujuh, penegakan hukum di Tengah Masyarakat harus dijalankan secara tegas dan berani.

Sebagai Kesimpulan, insyaallah dengan tekad kita semua untuk Kembali mengimplementasikan nilai – nilai Pancasila, khususnya nilai luhur Ketuhan Yang Maha Esa, akan membawa bangsa Indonesia mencapai tujuan nasional guna menanggulangi berbagai ancaman dan tantangan keamanan dari manapun dalam rangka memantapkan ketahanan nasional.

Referensi Buku : Problema Keumatan & Kebangsaan Pandangan Sosiolog Agama (hlm. 88 – 93)

Sumber foto : Suara.Com

Penulis Buku : Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa