Fakta Nasionalisme Pasca Reformasi
Ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998, semenjak itu perilaku nasionalistik Masyarakat di negeri ini telah mengalami pergeseran nilai – nilai. Kebebasan mutlak untuk mengekspresikan aspirasi politik dijadikan kata kunci dalam reformasi ini, sehingga hal itu telah menyebabkan tergerusnya nilai – nilai kebangsaan dan nasionalisme yang selama ini terpelihara dengan baik. Demokratisasi berjalan tanpa etika dan aturan – aturan hukum yang ada, sampai menjurus pada Tindakan anarkis.
Hal tersebut dapat ditandai dari beberapa fenomena social yang terjadi pada akhir – akhir ini : Pertama, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara tidak lagi menjadi pijakan ‘nasionalistis’ yang kokoh di kalangan anak bangsa. Kedua, bendera Merah Putih sebagai symbol bangsa dan negara hanya berkibar pada saat – saat menjelang dan pada peringatan HUT Kemerdekaan RI. Hal itu pun harus diingatkan melalui RT/RW yang justru bukan karena didasari kesadaran masing – masing anggota Masyarakat, sementara bendera partai jauh lebih banyak kita dapati di mana – mana. Ketiga, lagu kebangsaan Indonesia Raya, sudah jarang berkumandang di acara – acara resmi, mengalahkan lagu – lagu hiburan. Keempat, hilangnya tradisi gotong – royong dan semangat kebersamaan, yang perlahan tetapi pasti sudah berganti dengan sikap individualistis. Kelima, Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional tidak lagi menjadi Bahasa resmi, bahkan sudah bercampur – baur dengan Bahasa asing (baca: Inggris). Sebagian kecil Masyarakat malahan lebih dihargai jika berpidato disertai Bahasa asing yang sulit dicerna pendengarnya, seraya mengutip berbagai teori dari Barat. Keenam, Bhineka Tunggal Ika (kemajemukan) tidak lagi menjadi perekat persatuan bangsa, maka perpecahan menjadi luka social yang parah di tengah rakyat. Ketujuh, penegakan hukum tidak berjalan sesuai prosedur. Ibarat pisau, hukum memang tajam “ke bawah” akan tetapi tumpul “ke atas”.
Implikasi dari pelbagai permasalahan tadi diantaranya adalah, Pancasila tidak saja diabaikan, tetapi dikritik. Pancasila yang dulu pernah diajarkan di sekolah – sekolah kini tidak lagi. Pancasila sekarang bagaikan sesuatu yang ‘asing’ di Tengah pemikiran liberal yang menyesatkan. Oleh karena itu, sebagai dampak dari kebebasan yang tak terkendali dengan etika dan moralitas bangsa, timbullah anarkisme (kebrutalan) dan ketidakpastian hukum. Kekerasan terjadi Dimana – mana.
Sementara itu, ucapan – ucapan para pemimpin negara dan tokoh Masyarakat, acap kali tidak mencerminkan postur seorang pemimpin negarawan yang bisa memberikan petunjuk yang sejuk. Justru seringkali ungkapan mereka dapat menimbulkan fitnah dan malapetaka. Masyarakat awam yang sesungguhnya tidak mampu proaktif di dalam kancah politik praktis, menjadi tumbal dan korban ‘permainan kotor’ para pelaku politik. Permainan money politics (politik uang), yang istilahnya kemudian oleh mereka sendiri dilunakkan menjadi cost of politics (biaya politik), seakan lantas menjadi ‘barang’ halal dan lumrah.
Kebohongan public kemudia menjadi seperti retorika sehari – hari. Orang bilang, retorika politik pasca reformasi sarat dengan muatan ‘menipu dan meyakinkan’. Masyarakat kecil pun kini juga sudah terlibat di dalam ‘jaringan’ permainan kotor dan koruptif ini tanpa merasa ada beban bersalah dan dosa. Mencermati kondisi objektif seperti ini, kita seharusnya prihatin dan berusaha untuk mengajak Masyarakat melalui berbagai ceramah secara lisan maupun tulisan, agar anak bangsa ini Kembali ke khittah-nya dengan berpedoman pada Pancasila agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan sesuatu yang kita percayai sebagai harga mati ini dapat kita pertahankan Bersama.
Catatan – catatan kecil di atas mendeskripsikan kenyataan dan menjadi pokok persoalan yang ada masa kini, bahwa rasa nasionalisme anak bangsa akhir – akhir ini sudah mulai memudar dan telah mengalami penggerusan karena nilai – nilai luhur bangsa tidak lagi menjadi pijakan di dalam perilaku sehari – hari. Akhirnya seperti yang kita alami saat ini : Masyarakat kehilangan identitas (jati diri) sebagai bangsa. Dasar negara dan ideologi Pancasila sebagai warisan berharga para pendiri bangs aini sudah dilemahkan.
Oleh karena itu, Upaya yang harus dipertahankan saat ini adalah : Pertama, materi Pancasila harus diajarkan Kembali di sekolah – sekolah, mulai dari sekolah dasar sempai perguruan tinggi, agar mahasiswa memahami dana sekaligus dapat mengimplementasikan nilai – nilai yang terkandung di dalamnya melalui bimbingan para guru. Kedua, bendera Merah Putih sebagai lambang negara dan bangsa harus terus diutamakan untuk dikibarkan di atas semua bendera yang ada dalam rangka memupuk rasa nasionalisme kepada segenap anak bangsa. Ketiga, lagu kebangsaan Indonesia Raya mestinya tidak hanya dilagukan dalam upacara saja, tetapi juga harus menjadi bagian dari berbagai acara penting kedinasan tau bagi Lembaga – Lembaga Masyarakat. Keempat, gotong – royong dan kebersamaan seyogianya menjadi etos Masyarakat dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan. Kelima, Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional, hendaknya menjadi benar – benar Bahasa resmi bangsa, yang harus digunakan sehari – hari di rumah, sekolah, kantor, dan berbagai tempat. Keenam, Bhineka Tunggal Ika mestinya kita jadikan landasan pluralism sosiologis untuk perekat persatuan bangsa dan kesatuan negara. Ketujuh, penegakan hukum di Tengah Masyarakat harus dijalankan secara tegas dan berani.
Sebagai Kesimpulan, insyaallah dengan tekad kita semua untuk Kembali mengimplementasikan nilai – nilai Pancasila, khususnya nilai luhur Ketuhan Yang Maha Esa, akan membawa bangsa Indonesia mencapai tujuan nasional guna menanggulangi berbagai ancaman dan tantangan keamanan dari manapun dalam rangka memantapkan ketahanan nasional.
Referensi Buku : Problema Keumatan & Kebangsaan Pandangan Sosiolog Agama (hlm. 88 – 93)
Sumber foto : Suara.Com
Penulis Buku : Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.
Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa