25 Tahun Lengsernya Orba, Aktivis 98: Negara Belum Sepenuhnya Penuhi Tuntutan Reformasi
Fakta Nasionalisme Pasca Reformasi

Ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998, semenjak itu perilaku nasionalistik Masyarakat di negeri ini telah mengalami pergeseran nilai – nilai. Kebebasan mutlak untuk mengekspresikan aspirasi politik dijadikan kata kunci dalam reformasi ini, sehingga hal itu telah menyebabkan tergerusnya nilai – nilai kebangsaan dan nasionalisme yang selama ini terpelihara dengan baik. Demokratisasi berjalan tanpa etika dan aturan – aturan hukum yang ada, sampai menjurus pada Tindakan anarkis.

Hal tersebut dapat ditandai dari beberapa fenomena social yang terjadi pada akhir – akhir ini : Pertama, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara tidak lagi menjadi pijakan ‘nasionalistis’ yang kokoh di kalangan anak bangsa. Kedua, bendera Merah Putih sebagai symbol bangsa dan negara hanya berkibar pada saat – saat menjelang dan pada peringatan HUT Kemerdekaan RI. Hal itu pun harus diingatkan melalui RT/RW yang justru bukan karena didasari kesadaran masing – masing anggota Masyarakat, sementara bendera partai jauh lebih banyak kita dapati di mana – mana. Ketiga, lagu kebangsaan Indonesia Raya, sudah jarang berkumandang di acara – acara resmi, mengalahkan lagu – lagu hiburan. Keempat, hilangnya tradisi gotong – royong dan semangat kebersamaan, yang perlahan tetapi pasti sudah berganti dengan sikap individualistis. Kelima, Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional tidak lagi menjadi Bahasa resmi, bahkan sudah bercampur – baur dengan Bahasa asing (baca: Inggris). Sebagian kecil Masyarakat malahan lebih dihargai jika berpidato disertai Bahasa asing yang sulit dicerna pendengarnya, seraya mengutip berbagai teori dari Barat. Keenam, Bhineka Tunggal Ika (kemajemukan) tidak lagi menjadi perekat persatuan bangsa, maka perpecahan menjadi luka social yang parah di tengah rakyat. Ketujuh, penegakan hukum tidak berjalan sesuai prosedur. Ibarat pisau, hukum memang tajam “ke bawah” akan tetapi tumpul “ke atas”.

Implikasi dari pelbagai permasalahan tadi diantaranya adalah, Pancasila tidak saja diabaikan, tetapi dikritik. Pancasila yang dulu pernah diajarkan di sekolah – sekolah kini tidak lagi. Pancasila sekarang bagaikan sesuatu yang ‘asing’ di Tengah pemikiran liberal yang menyesatkan. Oleh karena itu, sebagai dampak dari kebebasan yang tak terkendali dengan etika dan moralitas bangsa, timbullah anarkisme (kebrutalan) dan ketidakpastian hukum. Kekerasan terjadi Dimana – mana.

Sementara itu, ucapan – ucapan para pemimpin negara dan tokoh Masyarakat, acap kali tidak mencerminkan postur seorang pemimpin negarawan yang bisa memberikan petunjuk yang sejuk. Justru seringkali ungkapan mereka dapat menimbulkan fitnah dan malapetaka. Masyarakat awam yang sesungguhnya tidak mampu proaktif di dalam kancah politik praktis, menjadi tumbal dan korban ‘permainan kotor’ para pelaku politik. Permainan money politics (politik uang), yang istilahnya kemudian oleh mereka sendiri dilunakkan menjadi cost of politics (biaya politik), seakan lantas menjadi ‘barang’ halal dan lumrah.

Kebohongan public kemudia menjadi seperti retorika sehari – hari. Orang bilang, retorika politik pasca reformasi sarat dengan muatan ‘menipu dan meyakinkan’. Masyarakat kecil pun kini juga sudah terlibat di dalam ‘jaringan’ permainan kotor dan koruptif ini tanpa merasa ada beban bersalah dan dosa. Mencermati kondisi objektif seperti ini, kita seharusnya prihatin dan berusaha untuk mengajak Masyarakat melalui berbagai ceramah secara lisan maupun tulisan, agar anak bangsa ini Kembali ke khittah-nya dengan berpedoman pada Pancasila agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan sesuatu yang kita percayai sebagai harga mati ini dapat kita pertahankan Bersama.

Catatan – catatan kecil di atas mendeskripsikan kenyataan dan menjadi pokok persoalan yang ada masa kini, bahwa rasa nasionalisme anak bangsa akhir – akhir ini sudah mulai memudar dan telah mengalami penggerusan karena nilai – nilai luhur bangsa tidak lagi menjadi pijakan di dalam perilaku sehari – hari. Akhirnya seperti yang kita alami saat ini : Masyarakat kehilangan identitas (jati diri) sebagai bangsa. Dasar negara dan ideologi Pancasila sebagai warisan berharga para pendiri bangs aini sudah dilemahkan.

Oleh karena itu, Upaya yang harus dipertahankan saat ini adalah : Pertama, materi Pancasila harus diajarkan Kembali di sekolah – sekolah, mulai dari sekolah dasar sempai perguruan tinggi, agar mahasiswa memahami dana sekaligus dapat mengimplementasikan nilai – nilai yang terkandung di dalamnya melalui bimbingan para guru. Kedua, bendera Merah Putih sebagai lambang negara dan bangsa harus terus diutamakan untuk dikibarkan di atas semua bendera yang ada dalam rangka memupuk rasa nasionalisme kepada segenap anak bangsa. Ketiga, lagu kebangsaan Indonesia Raya mestinya tidak hanya dilagukan dalam upacara saja, tetapi juga harus menjadi bagian dari berbagai acara penting kedinasan tau bagi Lembaga – Lembaga Masyarakat. Keempat, gotong – royong dan kebersamaan seyogianya menjadi etos Masyarakat dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan. Kelima, Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional, hendaknya menjadi benar – benar Bahasa resmi bangsa, yang harus digunakan sehari – hari di rumah, sekolah, kantor, dan berbagai tempat. Keenam, Bhineka Tunggal Ika mestinya kita jadikan landasan pluralism sosiologis untuk perekat persatuan bangsa dan kesatuan negara. Ketujuh, penegakan hukum di Tengah Masyarakat harus dijalankan secara tegas dan berani.

Sebagai Kesimpulan, insyaallah dengan tekad kita semua untuk Kembali mengimplementasikan nilai – nilai Pancasila, khususnya nilai luhur Ketuhan Yang Maha Esa, akan membawa bangsa Indonesia mencapai tujuan nasional guna menanggulangi berbagai ancaman dan tantangan keamanan dari manapun dalam rangka memantapkan ketahanan nasional.

Referensi Buku : Problema Keumatan & Kebangsaan Pandangan Sosiolog Agama (hlm. 88 – 93)

Sumber foto : Suara.Com

Penulis Buku : Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

MEMBEDAH DIKOTOMI SALAFI & SALAFIYAH (2)

Bagi kalagan Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja) yang saat ini berkembang di kalangan NU maupun Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah Aswaja yang bukan Salafi, tetapi Salafiyah.

Mereka mengartikulasikan istilah Salaf itu tidak secara sempit hanya dalam setting zaman nabi dan sahabat saja, tetapi periode yang datang berikutnya pun, seperti para tabiin dan tabiut – tabi’in juga dijadikan acuan dalam praktik keagamaan, sehingga Khazanah keilmuan mereka ini terasa berlimpah dan mempunyai banyak perbandingan dan pilihan setiap kali menetapkan dasar – dasar hukum yang akan ditetapkan. Para ulama Salafiyah ini tidak sempit dalam menggariskan kaidah – kaidah fikih karena memiliki banyak pilihan, sehingga tampak luas. Sebaliknya yang membatasi pengertian Salaf hanya di zaman klasik (permulaan) ternyata telah terjebak dalam pemahaman yang dapat memasukkan mereka ke lorong buntu, sehingga bila tak ada jalan keluar, maka yang bisa dilakukan adalah menyalahkan, menyesatkan, bahkan mengafirkan pihak lain yang tidak sama (secara fikih) dengan pandangannya.

Mengapa timbul pemahaman sempit seperti itu? Yang pokok adalah karena pemahaman hadisnya tidak dilandasi dengan Ilmu Hadis yang memadai. Pertama : pengertian hadis tidak dipilah berdasarkan peran dan fungsi Nabi sebagai Rasul/Nabi, pemimpin umat, dan Mufti/Qadi yang secara mutlak harus ditaati. Kedua : sebagai hakim yang menetapkan hukum sesuai dengan pengakuan zahiriyah yang diadili (al-islam yahkum biz-zawahir) yang relative secara formal. Ketiga : tidak semua yang disebut “la” itu sebagai larangan (nahiyah) karena harus ditilik konteksnya. Keempat : selaku pribadi, yang secara individual punya hak memberikan apresiasi kepada salah satu atau semua sahabat dengan ketetapan yang mungkin sama dan biasanya berlaku khusus.

Oleh sebab itu, misalnya, Pertama : bagi penganut Salafiyah mencukur jenggot itu bukanlah larangan. Hadis ini bersifat local kondisional, lantaran Masyarakat Arab pada zaman nabi rata – rata memelihara jenggot, maka diberi pilihan untuk melestarikannya sesuai konteks budaya yang berkembang kala itu. Artinya jelas, bahwa hadis ini tidak bersifat mutlak dan universal. Demikian pula memingkis jubah di atas mata kaki. Teksnya benar (sahih), tetapi konteksnya bukan merupakan keharusan, karena ‘illat (sebab) nya adalah kesombongan.

Latar belakang historis hadis ini adalah tradisi orang Quraisy pra – islam yang kaya karena sombong (ini ‘illat-nya) memakai kain jubah mereka dibawah mata kaki secara berlebihan. Jika hilang ‘illat-nya, maka larangannya pun juga hilang dengan sendirinya. (Baca: Syarh Sahih Muslim dalam kitab al-libas waz-zinah, hlm. 190 -191). Kedua : adalah sikap fanatisme berlebihan sehingga masa’il fiqhiyyah seolah perbedaan akidah yang tak bisa ditoleransi.

Baca juga : https://almusripusat.com/membedah-dikotomi-salafi-salafiyah-1/

Para salaf seperti Imam Ahmad bin Hanbal tidak pernah mengkafirkan kelompok sempalan dalam Islam semacam Khawarij, Jahmiyah, Murji’ah, Mu’tazilah, dan seterusnya. Bagaimana mereka mengufurkan (secara general) para peziarah kubur, sementara Nabi membolehkan ziarah kubur dan berdoa untuk orang yang sudah meninggal?

 Memang tidak mustahil ada orang – orang (bodoh) yang terpeleset kedalam Tindakan syirik jika mereka tidak memahami etika ziarah kubur yang benar. Jika seseorang sudah tidak lagi memohon kepada Allah, tetapi kepada obyek lain yang diyakini bisa memberi manfaat atau bahaya, maka yang demikian ini tidak mustahil bisa mengarah pada Tindakan syirik. Jika seseorang berdoa kepada Allah agar ia dijadikan baik sebagaimana orang yang meninggal ini, atau diberikan berkah sebagaimana Allah memberikan berkah kepada orang meninggal ini, maka dari mana Tindakan itu bisa dikategorikan syirik oleh kelompok itu?

 Kelompok yang kita kenal mengabaikan pendekatan – pendekatan ulama salaf ini menamakan diri sebagai “Al-Muwahhidun” (orang – orang ahli tauhid atau anti syirik). Kelompok yang muncul dari pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini pengaruhnya tersebar melalui kekasaan Muhammad bin Saud (Penguasa Nejd) yang mengondisikan (baca: memaksa) penduduk Nejd untuk mengikuti paham Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut. Mereka tidak segan – segan mengeksekusi Masyarakat tak berdosa jika didapati bersebrangan dengan mereka.

Kelompok ini pada mulanya mengaku berafiliasi pada mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, tetapi praktik keyakinan dan amaliah yang mereka tunjukan justru jauh dari pemikiran dan amaliah yang mereka tunjukkan justru jauh dari pemikirian dan amaliah sang Imam Salaf tersebut, bahkan pemikiran Muhammad tersebut malah dibantah habis – habisan oleh saudaranya sendiri, Yaitu Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab sengaja mengarahkan ayat – ayat yang sebenarnya ditujukan kepada orang – orang kafir untuk umat Islam. Generalisasi dalil yang dia suguhkan jauh bertentangan dengan pekem – pakem yang dibangun dan dipraktikkan oleh para sahabat Nabi dan ulama salaf pada umumnya.            

Sebagai penutup, kita harus mewaspadai virus ideologi yang mereka tebarkan. Kita harus memberikan informasi berimbang kepada umat agar tidak mudah terpengaruh oleh paham – paham mengatasnamakan salaf, tetapi jauh dari pola piker ulama salaf, dan disisi lain tidak bijak kiranya bila kita terjebak ikut – ikutan sikap mereka yang radikal dengan mengafirkan mereka, sebab para salaf tidak gampang – gampang mengafirkan kelompok (sekte) lain yang bersebrangan dengan mereka. Jika kita ikut – ikutan dengan mereka yang gampang mengafirkan kelompok lain itu dengan car akita mengafirkan mereka, maka apa bedanya kita dengan mereka?

Wallahu a’lam bis-sawab.

Sumber Buku : Problema Keumatan dan Kebangsaan (hlm. 200-205)

Penulis Buku : (Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.)

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

MEMBEDAH DIKOTOMI SALAFI & SALAFIYAH (1)

Pemahaman istilah – istilah keagamaan acap kali mengalami reduksi (pengikisan makna) setelah di tafsirkan. Oleh karena itu, harus dibedakan, sesuatu yang merupakan genuine (asli) teks dan mana yang merupakan penafsiran pemuka agama. Penafsiran (interpretasi) seringkali dihasilkan untuk meneguhkan ideologi. Oleh sebab itu, biasanya kemudian penafsiran atas istilah – istilah ini jadi argumentasi bagi mereka yang melakukan klaim kebenaran atas tafsir agamanya (truth claim)

Fenomena yang terjadi akhir – akhir ini di lingkungan keberagamaan umat islam adalah semangat mengusung tafsir subjektif kelompoknya sebagai argument mutlak dengan mengesampingkan pendapat orang lain. Semua yang diyakini secara mtulak seakan sebagai dalil – dalil qat’i (aksiomatis) yang tak bisa dikompromikan, padahal sesungguhnya Sebagian besar yang dimutlakkan itu adalah persoalan – persoalan Fikih (masail fiqhiyyah) yang berada di wilayah zanniyyat (asumtif) belaka.

Ulama sepakat, akidah masuk wilayah qat’iyyat (argumentasi pasti) yang tidak bisa ditawar  – tawar lagi karena menyangkut masalah fondasi keyakinan. Adapun persoalan Fikih (syariat) bisa saja kelompok islam yang satu dengan lainnya berbeda pendapat, sebab memiliki hujah sendiri – sendiri. Masalah furu’iyyat (hal – hal yang incidental dalam agama dan bersifat cabang) itu merupakan pilihan bagi masing – masing jamaah dalam kesatuan umat untuk merealisasikannya dalam kehidupan dan tidak perlu dipertentangkan, karena ini merupakan hikmah dan rahmah dari allah.

Oleh karena itu, dalam satu ungkapan hadis Nabi pernah dinyatakan bahwa perselisihan di antara para ulama itu (hendaklah) menjadi Rahmat (karunia yang indah) dalam mengembangkan keanekaragaman beda pendapat. Selama perbedaan pendapat itu dalam koridor persoalan furu’ alias cabang.

Sejak reformasi, aliran – aliran pemikiran dan Gerakan muslim di Indonesia tampak marak. Peluang kebebasan yang diberikan pemerintah pasca Orde Baru ini telah memungkinkan para pengusung berbagai ideologi “Islam” ditawarkan secara terbuka. Salah satunya dalah Gerakan Salafi. Secara harfiah makna Salafi ini adalah ortodoksi, yakni pemikiran ataupun sekaligus Gerakan yang pernah dikembangkan ulama terdahulu.

Gerakan Salafi yang ada mengartikulasikan makna ortodoksi sebagai kehidupan pada masa Rasulullah dan para Sahabat (terutama Khulafa’ur-Rasyidin). Dalam pemahaman Salafi (terutama yang dikembangkan oleh kelompok yang dikenal sebagai Wahabi) sekarang adalah praktik keagamaan yang didasarkan pada kehidupan persis seperti setting masa Nabi Muhammad Bersama para sahabat ataupun pada masa Khalifat Empat.

Ciri – Ciri fisik mereka adalah berjenggot dan menggunakan pakaian (umumnya jubah putih) yang dipingkis tinggi – tinggi di atas mata kaki. Mereka salat tepat waktu, berjamaah di masjid, dan mempunyai semangat kebersamaan yang tinggi. TV dan kamera diharamkan dengan alasan tak ada pada zaman Nabi. Mereka juga memiliki resistensi kuat dalam menolak tradisi local yang berkembang di Masyarakat. Tradisi seperti tahlil, salawatan, talkin, ziarah yang tumbuh sejak lama di lingkungan jamaah Nahdliyyin (NU) dikritik pedas sebagai amalan bid’ah dalalah (sesat), bahkan yang ekstrem mengatakan perbuatan itu sebagai syirik.

Mereka secara spekulatif dan pejorative menilai amalan orang NU dengan paradigma dan standar seperti ‘zaman Nabi’. Tentu saja hal ini sungguh tidak pas. Pertama, zamannya sudah berubah, tidak mungkin secara social, Masyarakat ini harus di setting-nya seperti pada masa Rasulullah. Dinamika kehidupan social mengalami perubahan seiring dengan perkembangan budaya manusia, termasuk budaya dan tradisi umat serta Masyarakat yang terus berkembang seiring perputaran waktu, sebab Islam itu sendiri juga lahir tidak di Tengah budaya yang vakum, tetapi berada dalam roda waktu yang dinamis. Karena itu, bangsa Arab disebut Arab (dibentuk dari akar kata ‘Araba, yang berputar alias dinamis).

Kedua, Islam sendiri mengizinkan umat untuk mengembangkan tradisi sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pengertian lain, fikih dakwah itu harus terus berkembang sesuai kondisi dan situasi Masyarakat yang dihadapi untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam di Tengah perubahan zaman, sehingga Islam dapat tumbuh sesuai paradigma salih li kulli zaman wa makan (selaras untuk setiap zaman dan tempat)

Untuk itu, ulama sendiri telah meneguhkan adagium yang berbunyi “al-muhafazah ‘alal-qadim as-salih wal-akhzu bil-jadid al-aslah” (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik), sehingga dengan demikian, maka idiom salaf dan khalaf tidak lagi relevan untuk didikotomikan, melainkan harus dikompromikan.

Sumber Buku : Problema Keumatan dan Kebangsaan (hlm. 196 – 200)

Penulis Buku : (Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A.)

Pewarta : Muhammad Wildan Musyaffa

UJIAN AKHIR NASIONAL (UAN)

Sedang Terselenggaranya Ujian Akhir Nasional (UAN) oleh Kepengurusan Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) tingkat ‘Ulya atau Setara dengan SMA di YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat.

Adapun Mata Pelajaran yang di Agendakan, Yaitu:

Ujian Akhir Nasional (UAN) adalah ujian yang diselenggarakan secara nasional untuk mengukur kompetensi lulusan pada akhir jenjang sekolah menengah pertama atau atas. UAN bertujuan untuk: Menentukan kelulusan siswa, Memetakan kualitas pendidikan nasional, Seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. 

Setiap sistem pendidikan yang ada di sekolah mengacu pada peraturan perundangan. PKPPS Al -Musri’ merupakan instansi pendidikan yang terus berusaha memperbaiki sistem pendidikan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Salah satu bentuk perbaikan pelaksanaan sistem pendidikan yang dilakukan oleh PKPPS Al -Musri’ adalah dengan penerapan kurikulum merdeka.

            Kemudian, dalam rangka kesuksesan pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) dan Assesmen PKPPS Al-Musri’ yang dilaksanakan pada tanggal 14-20 April 2025, PKPPS Al-Musri membentuk panitia dan pengawas dalam penyelengaraan Ujian Akhir Nasional (UAN). Adapun pembentukan panitia dan pengawas pada pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) Guna menertibkan para peserta Ujian Akhir Nasional (UAN) yang berjumlah 358 orang. baik dari kalangan santriyin dan juga santriyat. Sehingga hasil yang diperoleh setelah pelaksanaan ujian dapat mencerminkan kemampuan dan kompetensi peserta didik selama proses pembelajaran.

Program Sanitasi Pesantren di Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat

Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahulhuda Al-Musri’ dijadikan lokasi pembuatan sanitasi yang anggarannya bersumber dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ponpes yang terletak di Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Jabar) menjadi contoh program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas).

Menurut Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, ia juga membawa aspirasi pembangunan program Sanimas di Kecamatan Ciranjang yang notabene berada di timur Kabupaten Cianjur.

Dia menuturkan, program Sanimas didasari masih terdapatnya masyarakat yang membangun mandi cuci dan kakus (MCK) tanpa memikirkan buangan limbah.

“Tak perlu dibuang ke sungai ataupun ke selokan. Nah, karena ekosistem aliran sungai atau selokan ini tercemar, maka tidak ada kehidupan di aliran air tersebut,” tuturnya.

Dengan adanya sanitasi yang baik, terang Eem, ke depan tidak terjadi lagi lingkungan masyarakat yang tercemar. Sebab, pada program Sanimas itu dibangun juga instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang bisa menetralisasi limbah.

“Limbah dari MCK ini ditampung dan dikelola menggunakan IPAL. Sehingga kualitas airnya nanti kembali bersih dan bisa menjadi ekosistem bagi makhluk hidup,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Balai Prasarana Pemukiman Wilayah Provinsi Jabar, Feriqo Asya Yogananta, mengatakan, program Sanimas merupakan upaya pemerintah meningkatkan kesehatan masyarakat perkotaan dan perdesaan. Di Kabupaten Cianjur, program Sanimas diawali dengan pembangunan sanitasi.

“Harapannya, para santri di Pondok Pesantren Gelar ini bisa memanfaatkan sanitasi ini dengan baik. Sehingga ke depan lingkungan permukiman di Pesantren Gelar bisa lebih baik lagi,”

Biaya pembangunannya menelan anggaran sebesar Rp200 juta. Pembangunan sanitasi juga berkat bantuan dari anggota DPR RI dari Fraksi PKB Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz.

Hampir 70 persen biayanya dialokasikan untuk pembangunan fisik dan sisanya 30 persen untuk padat karya berupa upah tenaga kerja. Nantinya, pengelolaan sanitasi diserahkan ke kelompok swadaya masyarakat (KSM) di lingkungan pesantren.

“Sanitasi ini tidak hanya untuk lingkungan pesantren saja, tapi juga bisa mencakup 75 SR (sambungan rumah) di lingkungan warga yang bisa memanfaatkan program Sanimas ini,”

Beliau menuturkan program Sanimas muncul didasari pertimbangan masih terdapatnya kawasan permukiman yang padat penduduk. Kondisi tersebut memunculkan limbah domestik atau limbah rumah tangga yang dikhawatirkan tidak terkelola dengan baik.

Sumber : PKB

Penulis : Dimas Pamungkas