5 Amalan Bertabur Pahala Di Bulan Dzulhijjah

Marhaban Ya Syahru Dzulhijjah, selamat datang bulan Dzulhijjah. Bulan yang diagungkan Allah dan keistimewaannya hampir setara dengan Ramadhan. Dzulhijjah adalah salah satu bulan Haram yang diagungkan Allah bersama Dzulqa’dah, Muharram, dan Rajab.

Allah Ta’ala bersumpah dengan menyebut sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini menunjukkan betapa agungnya bulan tersebut.

Allah berfirman:

وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Artinya: “Demi (waktu) Fajar, dan malam-malam yang sepuluh.” (QS Al-Fajr: Ayat 1-2)

Ibnu Katsir menyebutkan: “Malam-malam yang sepuluh dalam ayat di atas maksudnya adalah sepuluh pertama bulan Dzulhijjah. Sebagaimana hal ini juga dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan selain mereka baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada dua bulan pahala amalnya tidak akan berkurang. Keduanya dua bulan hari raya (ﺷَﻬْﺮَﺍ ﻋِﻴﺪٍ) bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah.” (HR Al-Bukhari no. 1912 dan Muslim no. 1089)

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah saat itu tahlil, takbir dan tahmid.” Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hari dimana suatu amal saleh lebih dicintai Allah melebihi amal salih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah). Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah’, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi menjawab: ‘Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecualai orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada 1 pun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh).” (HR Ahmad no. 1968, Al-Bukhari no. 969, dan at-Turmudzi no. 757)

  1. Puasa Sunnah

Dari Mujibah Al-Bahiliyah dari ayah atau pamannya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Berpuasalah kamu dari bulan Al-Hurum dan tinggalkan, berpuasalah kamu dari bulan Al-Hurum dan tinggalkan, berpuasalah kamu dari bulan Al-Hurum dan tinggalkan”. (HR Al-Baihaqi).

Maksudnya, kamu boleh berpuasa di sebagiannya dan boleh tidak berpuasa di sebagiannya. Bulan Al-Hurum adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Kaum muslimin dianjurkan berpuasa mulai dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah.

Dalam hal ini, Imam An-Nawawi mengatakan: “Dan di antara puasa sunnah juga adalah puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah “. (An Nawawi, Al Majmu’, Hal 386 jilid 6). Dari 9 hari itu ada puasa yang disebut dengan puasa Arafah yaitu 9 Dzulhijjah dan puasa Tarwiyah tanggal 8 Dzuhijjah. Puasa Arafah ini berdasarkan dalil dari Abi Qatadah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya. Puasa Asyura’ menghapuskan dosa tahun sebelumnya.”

  1. Menunaikan Haji

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Dari satu umrah ke umrah yang lainnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Untuk ibadah ini hanya diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan secara ekonomi maupun fisik.

  1. Menyembelih Hewan Kurban

Ibadah Kurban termasuk ibadah yang pahalanya sangat luar biasa jika dilakukan karena Allah Ta’ala. Dalam banyak riwayat Nabi senantiasa melakukan ibadah kurban setiap bulan Dzulhijjah. Allah Ta’ala berfirman: “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan bekurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: ayat 2)

  1. Sholat Idul Adha

Sholat ini dikerjakan pada hari 10 Dzulhijjah yang merupakan hari raya umat Islam. Pada hari itu diperintahkan untuk sholat ‘Id sebagai syiar dan mengikuti sunnah Nabi.

  1. Memperbanyak Dzikir

Rasulullah SAW memerintahkan kita memperbanyak dzikir tahlil, takbir, tasbih, dan tahmid. Tidak ada jumlah khusus, namun semakin banyak akan semakin berkah dan berpahala. Apalagi diamalkan pada 10 hari terakhir maka pahalanya akan berlipat ganda.

Adapun dalil anjuran memperbanyak zikir di sepuluh awal Dzulhijjah ini adalah,

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan…..” (Surat Al-An’am ayat ayat 28)

Berikut ini merupakan Bacaan Dzikir yang diamalkan di Bulan Dzulhijjah.

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِـيْمِ الَّذِيْ لَااِلَهَ اِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ ×٣

Arab latin: Astaghfirullaahal ‘adziim alladzii laaailaaha illaa huwal hayyul qoyyuum wa atuubu ilaih.

Artinya “Aku memohon ampun kepada Allah yang maha agung , tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah , dzat yang maha hidup kekal abadi dan terus menerus mengurus makhluknya tiada henti. Dan aku bertaubat kepada-Nya.”

لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ

Arab latin: Laaailaaha illallaah wahdahu laa syariikalah lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘alaa kulli syain qodiir.

Artinya: “Tiada Tuhan yang haq disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu baginya. Hanya milikinya segala kerajaan dan hanya milikinya segala puji, baik yang hidup atau mati, Dialah Dzat yang kuasa atas segala sesuatu.”

Walaupun zikir bisa dilakukan kapan dan di mana saja, namun 10 hari awal pertama bulan tersebut memiliki keutamaan yang sangat luar biasa.

Sebagaimana Allah firmankan dalam Al Qur’an:

لشهدوا منافع لهم ويذكروا اسم الله في أيام معلومات

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Menurut mayoritas ulama , seperti Ibnu Abbas dan Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan hari-hari yang telah ditentukan tak lain sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah itu. Ahmad Ibnu Hanbal dalam musnadnya menulis sebuah hadis, “Mengabarkan kepada kami ‘Affan, mengabarkan kepada kami Abu ‘Awanah, mengabarkan kepada kami Yazid Ibnu Abi Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad, “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah, dan lebih dicintai oleh Allah amal-amalnya dari hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah. Maka perbanyaklah di hari-hari itu membaca tahlil, takbir dan tahmid”.

Lantas lafadz zikir apakah yang harus kita amalkan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini? Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds dalam kitab ‘Kanzun Najah Was Surur’ menjelaskan lafadz zikir yang dianjurkan untuk diamalkannya adalah sebagai berikut:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ اللَّيَالِيْ وَالدُّهُوْرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ اْلأَيَّاِم وَالشُّهُوْرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ أَمْوَاجِ الْبُحُوْرِ،

Arab latin: Lailaha illah Allah ‘adadad duhur, Lailaha illah Allah ‘adada ayyam was shuhur, Lailaha illah Allah adada amwajil buhuur.

Artinya : “Tiada Tuhan selain Allah sebanyak / sepanjang malam-malam dan masa, Tiada Tuhan selain Allah sebanyak hari-hari dan bulan-bulan, Tiada Tuhan selain Allah sebanyak ombak di lautan”.

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ أَضْعَافِ اْلأُجُوْرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ الْقَطْرِ وَالْمَطَرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ أَوْرَاقِ الشَّجَرِ،اَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ الشَّعْرِ وَالْوَبَرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ الرَّمْلِ وَالْحَجَرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ الزَّهْرِ وَالثَّمَرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ أَنْفَاسِ الْبَشَرِ.

Arab latin: Lailaha illah Allah adada adh’afil ujur, Lailaha illah Allah adada qatril matar, Lailaha illah Allah adada awraqis syajar, Lailaha illah Allah adada sya’ri wal wabar, Lailaha illah Allah adada ramli wal hajar, Lailaha illah Allah adada zahri was samar, Lailaha illah Allah adada anfasil basyar.

Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah sebanyak pelipat gandaan pahala-pahala, Tiada Tuhan selain Allah sebanyak rintik-rintik hujan, Tiada Tuhan selain Allah sebanyak dedaunan di pohon-pohon, Tiada Tuhan selain Allah sebanyak rambut dan bulu, Tiada Tuhan selain Allah sebanyak pasir dan batu, Tiada Tuhan selain Allah sebanyak bunga dan buah, Tiada Tuhan selain Allah sebanyak hembusan nafas manusia”

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ لَمْحِ الْعُيُوْنِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ مَا كَانَ وَمَا يَكُوْنُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فِي اللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فِي الصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ الرِّيَاحِ فِي الْبَرَارِيْ وَالصُّخُوْرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِي الصُّوْرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ عَدَدَ خَلْقِهِ أَجْمَعِيْنَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

Arab latin: Lailaha illah Allah adada lamhil ‘uyun, Lailaha illah Allah adada ma kana wa ma yakun, Lailaha illah Allah taala amma yushrikun, Lailaha illah Allah khaira mimma yajma’un, Lailaha illah Allah fil laili iza ‘as’as, Lailaha illah Allah fis subhi iza tanaffas, Lailaha illah Allah adada riyah fil birar was sokhur, Lailaha illah Allah min yaumina haza ila yauma yunfaghu fis suur, Lailaha illah Allah adada khalqihi ajmain, Lailaha illah Allah min yaumina haza ila yaumad din.

Baca Juga:

Bolehkah Menggabungkan Niat Kurban dan Aqiqah dengan Seekor Hewan?

Puasa 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah Lebih Utama dari Jihad

Orang-orang yang berzikir di kalangan umat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam memiliki kemuliaan di sisi Allah Ta’ala. Keutamaan berzikir (mengingat Allah) di bulan Zulhijah ini akan mendapatkan ganjaran kebaikan di dunia dan akhirat. Habib Ahmad mengatakan, amalan zikir khusus pada 10 hari Zulhijah adalah Tahlil dan Takbir. Tahlil adalah ucapan “Laa Ilaha Illallah” (tidak ada Tuhan selain Allah). Sedangkan Takbir ialah kalimat “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar).

Selain berzikir, kaum muslimin juga dianjurkan menghidupkan zikir umum dan takbir pada hari raya Idul Adha dan hari-hari taysrik. Terkait amalan berzikir ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih DIA cintai dibanding melakukan amal ibadah di 10 hari bulan Zulhijah . Maka perbanyaklah di 10 hari ini membaca Tahlil, Takbir dan Tahmid”. (HR Imam Ahmad dari Ibnu Umar RA)

Kemudian riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menuturkan, pada suatu hari Rasulullah SAW keluar memimpin kami menghadapi musuh. Tiba-tiba beliau shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memerintahkan, “Ambillah perisai kalian!” Kami bertanya, “Ya Rasulullah , apakah ada musuh yang datang?” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Ambillah perisai kalian terhadap neraka, ucapkanlah:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلّهِ وَلآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

“Maha Suci Allah; Segala Puji Bagi Allah; Tiada Tuhan Selain Allah; Allah Maha Besar; Tiada Daya dan Kekuatan kecuali dengan Pertolongan Allah”.

 

Penulis: Raisya Audyra

 

Bolehkah Menggabungkan Niat Kurban dan Aqiqah dengan Seekor Hewan?

Kata aqiqah secara harfiah adalah sebutan bagi rambut di kepala bayi. Sedangkan menurut ahli fiqih, aqiqah ialah hewan sembelihan yang dimasak  kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Hukum awal aqiqah adalah sunnah muakkad. Namun, bisa menjadi wajib jika sebelumnya telah dinadzarkan. Ada perbedaan jumlah hewan antara bayi lelaki dengan bayi perempuan. Untuk bayi lelaki minimal dua ekor kambing, sedangkan untuk bayi perempuan satu ekor kambing. Biasanya pelaksanaan aqiqah dilaksanakan di hari ketujuh dari kelahiran si bayi.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya: “Dari Samurah, ia berkata, Nabi bersabda: Seorang bayi itu digadaikan dengan (jaminan) aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh (dari hari kelahiran), (pada hari itu pula) si bayi diberi nama dan dipotong rambutnya”. (HR Tirmidzi)

Namun, sering kali kita menemukan orang yang melakukan aqiqah di bulan Dzulhijjah dan dibarengkan dengan pelaksanaan kurban di mushalla maupun masjid yang ada di sekitar kita. Pertanyaannya adalah “Apakah kita diperbolehkan untuk menggabungkan aqiqah kita dan kurban dengan satu hewan yang sama?”

Mengenai hal ini, para ulama Syafi’iyah ada perbedaan pandangan. Hukum Menyembelih Sapi dengan Niat Kurban dan Aqiqah Sekaligus Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami, orang tersebut hanya berhasil mendapatkan pahala salah satunya saja. Sedangkan menurut Imam Romli, ia bisa mendapatkan pahala kedua-duanya. Maksudnya bagaimana? Andaikan ada seseorang yang pada 10-13 Dzulhijjah berniat untuk berkurban sekaligus beraqiqah dengan hewan yang sama berupa satu kambing (untuk perempuan) atau dua kambing (untuk lelaki), maka ia bisa mendapatkan pahala kurban dan aqiqah. Ini merupakan pandangan dari Imam Romli. Pahalanya bisa berlipat ganda. Tentunya orang yang berkurban itu harus berniat dulu. Apabila tidak diniati, tidak akan mendapat pahala kedua-duanya.

“Jika ada orang berniat melakukan aqiqah dan kurban (secara bersamaan) tidak berbuah pahala kecuali hanya salah satunya saja menurut Imam Ibnu Hajar (al Haitami) dan berbuah pahala kedua-duanya menurut Imam Romli.” (Ibnu Hajar al Haitami, Itsmidil Ain, [Darul Fikr], h: 127). Sedangkan menurut pendapat yang diutarakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dari para tabi’in dalam kitab Fathul Bari, orang yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, kemudian ia menjalankan ibadah kurban, maka kurbannya itu saja sudah cukup baginya tanpa perlu beraqiqah. “Menurut Abdur Razzaq, dari Ma’mar dari Qatadah mengatakan ‘Barangsiapa yang belum diaqiqahi maka cukup baginya berkurban’. Menurut Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn Sirin dan al-Hasan mengatakan ‘Cukup bagi seorang anak kurban dari aqiqah’,” tulis al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari juz 15 hlm 397. Kesimpulannya, ada dua pendapat antara Imam Romli yang memperbolehkan menggabung niat kurban dan aqiqah dengan satu hewan saja. Sedangkan menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, apabila penyembelihan bertepatan waktu kurban maka cukup diniatkan kurban saja. Ini akan mencukupi tuntutan sunnah aqiqah pada seseorang.

Sumber: NuOnline

Editor: Rifky Aulia

Ikhlas Beramal Menurut Islam

Disebut dalam Nahjul Balaghah bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “ada kaum yang menyembah Allah karena mengharapkan pahala. Inilah ibadah pedagang. Ada kaum yang menyembah Allah karena takut. Inilah ibadah budak. Ada juga kaum yang menyembah Allah karena bersyukur kepada-Nya. Inilah ibadah orang merdeka”. Menurut az-Zuhri, melalui hadis ini Ali bin Abi Thalib berbicara mengenai tipe-tipe orang beribadah berdasarkan tingkatan ikhlas yang dimilikinya. Az-Zuhri menjelaskan bahwa ikhlas tergambarkan dengan sangat indah dalam doa Iftitah. Kita berjanji setiap salat, “sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku, dan matiku lillahi Rabbil ‘Alamin.” Jadi, ikhlas ialah “mengerjakan segala sesuatu “lillah”. Menurut al-Ghazali ada tiga makna lillah; karena Allah (lam yang berarti sebab) dan untuk Allah (lam berarti tujuan), dan kepunyaan Allah (lam berarti milik). Makna-makna ini, menurut al-Ghazali, menunjukan tingkatan ikhlas itu sendiri. Dan, Kepunyaan Allah adalah tingkat ikhlas yang paling tinggi.

Pertama, ikhlas karena Allah. Bila kita memberikan bantuan kepada orang yang kesusahan, karena kita mengetahui bahwa Allah memerintahkannya, kita beramal karena Allah. Bila kita menghentikan bantuan kepada orang itu, karena ternyata orang itu tidak berterima kasih bahkan menjelek-jelekkan kita di mana-mana, kita tidak ikhlas. Amal kita dipengaruhi oleh reaksi orang lain kepada kita. Kita bersemangat beramal, ketika orang-orang menghargai kita, memuji kita, atau paling tidak memperhatikan kita. Kita kehilangan gairah berjuang, ketika orang-orang mencemooh kita, menjauhi kita, atau bahkan mengganggu kita. Inilah tingkatan ikhlas yang pertama, sebuah tingkatan yang masih dalam tahapan ikhlas namun tetap memposisikan manusia pada kemanusiannya.

Kedua, ikhlas untuk Allah. Tahapan ikhlas dalam pengertian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: kalau kita beribadah kepada Allah sekedar untuk mendapatkan pahala sebenarnya ibadah itu diperuntukkan untuk diri kita sendiri. Karena itu, kalau kita mengharap pahala dengan sendirinya pahala itu untuk kepentingan kita, padahal ibadah yang ikhlas itu untuk Allah semata-mata. Misalnya, kalau kita beramal untuk menghindari siksaan Allah, maka sebenarnya yang dibela adalah diri kita sendiri dan bukan mencari keridhaan Allah. Kalau kita beribadah kepada Allah hanya untuk mendapatkan kenikmatan surga beserta isi-isinya yang penuh dengan bidadari cantik jelita, fasilitas gedung yang megah, makanan yang terjamin enak, bergizi dan segar, sebenarnya ibadah kita itu ditujukan bukan untuk Allah, tapi untuk kepentingan kita sendiri, untuk ego kita yang masuk terkungkung dengan semangat mencari keuntungan untuk diri sendiri dalam beribadah, semangat untuk mengumpulkan kas pahala yang kemudian digunakan untuk membeli kunci surga.  Memang amal kita pada tataran seperti ini sudah karena Allah tapi belum untuk Allah. Ibadah untuk Allah lahir dari rasa syukur, rasa terima kasih, rasa berutang budi kepada-Nya. Yang mendorong sang hamba untuk mengabdi kepada Allah bukan lagi keinginan akan pahala atau ketakutan akan siksa, tetapi cinta kepada-Nya. Inilah makna ikhlas untuk Allah (lillah).

Ketiga, ikhlas kepunyaan Allah. Pada tahapan ini, ada hadis menarik dari Nabi yang berbicara tentang mengikhlaskan amal dengan tingkatan kepunyaan Allah ini. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia, siapa yang berjumpa dengan Allah sambil menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan mengikhlaskan ucapan tersebut dengan tidak bercampur dengan yang lain itu, maka dia masuk surga.”

Kemudian Ali bin Abi Thalib bertanya, “ya Rasulullah bagaimana ikhlas yang tidak bercampur dengan yang lain itu.” Rasul SAW menjelaskan, “Betul, yang mencampuri keikhlasan itu adalah kerakusan terhadap dunia dan mengumpul-ngumpulkannya.” Artinya, ikhlas kepunyaan Allah ini, ialah ikhlas yang menghindarkan diri kita dari keterikatan hati dengan hal-hal yang berbau materi. Materi memang harus dimiliki karena tidak mungkin kita masuk surga tanpa ada ongkos materi yang memadai. Tidak mungkin kita bisa masuk surga tanpa duit untuk sedekah, zakat, infak dan lain-lain. Pada tahap ini, ikhlas berarti terhindarnya hati dari segala tujuan selain Allah dan terlepas dari kepentingan pribadi kita. Semua itu dimuarakan pada kepentingan milik Allah.

Sudah menjadi maklum, bahwa ikhlas merupakan satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Tanpa keikhlasan sebaik apapun, amal yang dilakukan oleh seorang mukmin tak akan ada nilainya di sisi Allah subhânahû wa ta’âlâ. Di dalam kitab At-Ta’rîfât karya Ali Al-Jurjani disebutkan bahwa ikhlas adalah engkau tidak mencari orang yang menyaksikan amalmu selain Allah. Ikhlas juga diartikan membersihkan amal dari berbagai kotoran (Ali Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1983], hal. 14). Dalam berbagai kesempatan kajian ilmiah Prof. Dr. M. Qurais Shihab seringkali memberikan satu gambaran tentang ikhlas dengan sebuah gelas yang penuh air putih. Tak ada sedikit pun yang ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yang disebut dengan ikhlas. Seseorang melakukan satu amalan hanya karna Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yang mencampurinya. Tak ada harapan surga, tak ada keinginan enaknya hidup di dunia, semua murni karena menghamba kepada Allah saja. Meski demikian ada kriteria tertentu di mana seseorang melakukan suatu amalan dengan motivasi tertentu namun masih dikategorikan sebagai ikhlas. Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashâihul ‘Ibâd, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2010], hal. 58). Dalam kitab tersebut beliau memaparkan bahwa tingkatan pertama yang merupakan tingkat paling tinggi didalam ikhlas sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”

Adapun, penerapan ikhlas dalam beribadah adalah sebagai berikut:

  1. Ilmu Ikhlas dalam Syahadat

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidaklah ada satu jiwa pun yang meninggal dalam keadaan bersyahadat Laa Ilaaha Illallah dan aku adalah Rasulullah yang itu semua kembali kepada hati seorang mukmin (ikhlas dari lubuk hatinya), kecuali Allah akan beri ampunan kepadanya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, lihat Ash Shahihah, no. 2278)

  1. Ilmu Ikhlas dalam Salat

Sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: “Tidaklah ada seorang muslim yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, kemudian menegakkan shalat dua rakaat dengan menghadirkan hati dan wajahnya (ikhlas), kecuali wajib bagi dia untuk masuk Al Jannah.” (HR. Muslim)

  1. Ilmu Ikhlas dalam Berzakat

Zakat akan mengajari bagaimana kamu harus dilandasi dengan rasa ikhlas sebelum menunaikan zakat. Di antara konsekuensi kejujuran seseorang adalah hendaknya dia benar-benar ikhlas karena Allah SWT dalam amalannya tersebut.

  1. Ilmu Ikhlas dalam Puasa Ramadan

Ketika menjalani puasa Ramadan, tentunya kamu akan belajar bagaimana menahan haus dan lapar sepanjang hari. Ilmu ikhlas adalah dasar penting untuk dalam menjalankan ibadah puasa. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadan dengan dilandasi keimanan dan semata-mata ikhlas mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al Bukhari, Muslim)

  1. Ilmu Ikhlas dalam Ibadah Haji

Haji merupakan sebuah amalan mulia jika kita telah mampu dan dapat menjalankannya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji semata-mata ikhlas karena Allah, dan dia tidak melakukan perbuatan kotor dan dosa dalam hajinya tersebut, maka dia kembali dalam keadaan seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya (suci dan bersih dari dosa).” (HR. Al Bukhari, Muslim)

An-Nawawi juga menerangkan tentang adanya tiga tingkat keikhlasan seorang hamba, yaitu: pertama, beribadah karena takut akan siksa Allah SWT. An-Nawawi menamakan tingkatan ini dengan ’ibādatul-’abīd; ibadah para budak. Kenapa? Karena yang seperti ini, sebagaimana mental seorang budak mematuhi perintah hanya karena takut disiksa oleh Tuhannya. Kedua, beribadah karena mengharapkan surga dan pahala dari Allah SWT. Tingkatan ikhlas ini oleh An-Nawawi disebut sebagai ’ibādatut-tujjār; ibadah para pedagang. Sebab, seperti halnya pedagang yang selalu mencari keuntungan, orang-orang yang berada pada tingkatan ini juga hanya memikirkan keuntungan dalam ibadahnya. Ketiga, beribadah karena malu kepada Allah SWT dan demi memenuhi keharusannya sebagai hamba Allah yang bersyukur disertai rasa khawatir sebab amal ibadahnya belum tentu diterima di sisi-Nya. An-Nawawi mengatakan, tingkatan ini adalah ’ibādatul-akhyār; ibadah orang-orang pilihan. Tingkatan yang terakhir ini sebenarnya merupakan manifestasi dari hadis riwayat Imam Muslim yang disabdakan Rasulullah SAW saat ditegur oleh Aisyah r.a. ketika melihat beliau salat malam ‘kelewatan’ hingga kedua kakinya bengkak. “Wahai Rasulullah, kau terlalu memaksakan hal ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu.” kata Aisyah. Rasulullah SAW menjawab: “Bukankah sudah seharusnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?!” (HR Muslim).

Sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan amal ibadah yang ditujukan kepada Allah SWT. Namun, perlu diketahui juga bahwa Allah SWT tidak akan menerima amal ibadah seseorang yang dilakukan tanpa rasa ikhlas.

 

Penulis : Eka Nurlela

Amalan-Amalan Yang Setara Dengan Ibadah Haji

Haji merupakan amalan ibadah yang paling utama setelah jihad di jalan Allah Ta’ala. Ibadah haji sendiri merupakan rukun Islam ke-5. Sebagian besar umat Islam pasti menginginkan untuk bisa berkesempatan melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah. Amal ibadah yang membutuhkan harta, kesehatan, dan persiapan yang matang untuk melaksanakannya. Terlebih lagi di Indonesia, haji membutuhkan masa tunggu yang tidaklah sebentar. Di sebagian daerah, bahkan kita dapati memiliki masa tunggu sampai 30 tahun lamanya.

Tidak mengherankan bila kita sering mendengar seseorang telah Allah panggil dan Allah wafatkan terlebih dahulu, sedangkan ia belum sempat melaksanakan haji yang didambakannya. Selain faktor masa tunggu yang lama, kondisi badan yang tak lagi prima, dan keterbatasan harta, juga menjadi penghalang seseorang sehingga ia belum dimampukan untuk melaksanakannya.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya telah mensyariatkan beberapa amal ibadah yang jika dilakukan oleh seorang hamba, maka pahalanya dapat menyamai pahala haji ataupun umrah. Amalan-amalan yang perlu untuk kita ketahui, lalu kita amalkan. Sehingga bisa menjadi tabungan amal kita di akhirat nanti.

Perlu kita garis bawahi, maksud dari amalan-amalan yang setara dengan ibadah haji ini adalah setara dalam hal pahala dan balasan, bukan pada pengesahan, pencukupan, dan pengguguran kewajiban sebuah ibadah. Kewajiban haji tidak akan gugur dari seseorang yang telah mampu serta tidak memiliki penghalang, meskipun ia telah melakukan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan ibadah haji ini.

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar–radhiyallahu ‘anhuma-, katanya, “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda” ‘Islam dibangun di atas lima: persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, naik haji, dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Ganjaran haji mabrur adalah surga. Ganjaran yang dicita-citakan semua orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir. Rasulullah ﷺ bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

”Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ berkata: “Umrah ke ‘umrah berikutnya menjadi penghapus dosa antara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari)

Salah satu ciri dakwah Rasulullah ﷺ adalah menggembirakan dan memberikan motivasi serta penyemangat. Salah satunya adalah memberikan kabar gembira keutamaan amal yang setara dengan ibadah haji.

Saat seseorang benar-benar sudah tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena adanya penghalang, baik itu karena sakit, adanya wabah, ataupun penghalang-penghalang lainnya, maka melakukan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala ibadah haji ini lebih ditekankan untuk dilakukan. Lalu, amalan apa saja yang akan memberikan seorang hamba pahala yang setara dengan pahala ibadah haji ini?

1. Niat yang tulus untuk menunaikan ibadah haji

Karena siapa yang memiliki uzur namun punya tekad kuat dan sudah ada usaha untuk melakukannya, maka dicatat seperti melakukannya. Contoh misalnya, ada yang sudah mendaftarkan diri untuk berhaji, namun ia meninggal dunia sebelum keberangkatan, maka ia akan mendapatkan pahala haji. Kenapa sampai yang punya uzur terhitung melakukan amalan? Karena niat yang tulus memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ibadah seorang hamba. Diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ غَزَاةٍ، فَقَالَ: إنَّ بالْمَدِينَةِ لَرِجَالًا مَا سِرْتُمْ مَسِيْرًا، وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا، إلَّا كَانُوا مَعَكُمْ؛ حَبَسَهُمُ المَرَضُ. وفي رواية: إلَّا شَرِكُوْكُمْ فِي الْأجْرِ

“Kami berada bersama Nabi  ﷺ dalam suatu peperangan. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang kalian tidaklah menempuh suatu perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tadi ada besertamu (yakni sama-sama memperoleh pahala). Mereka itu terhalang oleh sakit (maksudnya uzur karena sakit, sehingga andaikan tidak sakit pasti ikut berperang).” (HR. Muslim no. 1911).

Dalam lafazh lain disebutkan:

إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِى الأَجْرِ

“Melainkan mereka yang terhalang sakit akan dicatat ikut serta bersama kalian dalam pahala.”

Juga ada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ فِى غَزَاةٍ فَقَالَ « إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا ، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ »

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ dalam suatu peperangan berkata, “Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.” (HR. Bukhari no. 2839).

Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan muqim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (HR. Bukhari no. 2996).

Dalam salah satu riwayat dijelaskan, “Melainkan mereka (yang tertinggal dan tidak ikut berperang) berserikat denganmu dalam hal pahala.” (HR. Muslim no. 1911)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadis ini terdapat keutamaan niat untuk melakukan kebaikan. Dan sesungguhnya bagi siapapun yang berniat ikut berperang ataupun melakukan amal kebaikan lainnya, lalu ia mendapati uzur yang menghalanginya (dari melakukan amal tersebut), maka ia tetap mendapatkan pahala atas apa yang telah ia niatkan.” (Syarh Shahih Muslim)

Di hadis yang lain, Nabi ﷺ mengatakan hal yang sema’na:

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ صَادِقًا بَلَّغَه اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشٍ

“Barangsiapa memohon dengan jujur kepada Allah agar mati syahid, maka Allah akan sampaikan ia kepada kedudukan para syuhada walaupun ia mati di atas ranjangnya.” (HR. Abu Dawud no. 1520)

Sungguh Allah Ta’ala tidak akan membiarkan niat tulus yang datang dari seorang dalam hal ibadah dan amal. Allah Ta’ala menilai seseorang berdasarkan apa yang ada di hatinya dan apa yang diniatkannya.

 

  1. Menjaga shalat lima waktu secara berjemaah di masjid

Amalan kedua yang jika dilakukan mendapatkan pahala setara seperti melaksanakan ibadah haji ialah melaksanakan shalat berjamaah lima waktu. Lima waktu yang dimaksud ialah Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya.

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ مَشَى إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ فِي الجَمَاعَةِ فَهِيَ كَحَجَّةٍ وَ مَنْ مَشَى إِلَى صَلاَةٍ تَطَوُّعٍ فَهِيَ كَعُمْرَةٍ نَافِلَةٍ

“Barangsiapa yang berjalan menuju shalat wajib berjama’ah, maka ia seperti berhaji. Siapa yang berjalan menuju shalat sunnah, maka ia seperti melakukan umrah yang sunnah.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 8: 127. Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 11502 menyatakan bahwa hadits ini hasan)

Dalam hadits lainnya, dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi  ﷺbersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلَاةٍ مَكْتُوْبَةٍ، فَأًجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ المُحَرِمِ، ومَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيْحِ الضُّحَى لَايُنْصِبُهُ إلَّا إيَّاهُ، فأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ، وَصَلَاةٌ عَلَى أَثَرِ صَلَاةٍ لَا لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِيْ عِلِّيِّيْنَ

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk shalat wajib berjamaah, maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji dan sedang berihram. Dan siapa saja yang keluar untuk salat sunah Duha yang dia tidak melakukannya kecuali karena itu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah. Dan (yang melakukan) salat setelah salat lainnya, tidak melakukan perkara sia-sia antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘illiyyin (kitab catatan amal orang-orang saleh).” (HR. Abu Daud no. 558, Ahmad 5: 268. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Rasulullah ﷺ juga bersabda dalam hadist Bukhari dan Muslim, bahwa shalat berjama’ah lebih utama 27 derajat daripada shalat sendirian. Adapun dalam hadist lain Nabi ﷺbersabda:

“Tidakkah Allah memberikan kepadamu (pahala) sholat Isya berjamaah sama dengan ibadah haji, dan shalat Subuh berjama’ah sama dengan umrah?.” (HR. Muslim)

 

  1. Menghadiri Majelis Ta’lim untuk mencari ilmu dan kebaikan

Amalan selanjutnya yang menghasilkan pahal setara haji ialah rutin pergi ke Majelis Ta’lim dengan tujuan belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan. Dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Umamah, ia mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيْدُ إِلَا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يُعَلِّمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍ تَامًّا حَجَّتُهُ

“Barangsiapa berangkat ke masjid, tidak ada yang ia inginkan kecuali untuk mempelajari satu kebaikan atau mengetahui ilmunya, maka ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna.” (HR. At-Thabrani 8: 111 dan dihukumi hasan sahih oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih At-Targhib 1: 104 & Takhrijul Ihyaa no: 4253)

 

  1. Umrah di bulan Ramadan

Ketika belum memungkinkan untuk melakukan ibadah haji karena keadaan seperti antrian dan lain-lain, maka umrah yang dilakukan pada Bulan Ramadhan pahalanya setara dengan haji bersama Rasulullah ﷺ. Dikisahkan seorang Ibu (Ummu Sinan) yang belum bisa menunaikan ibadah haji karena terkendala kendaraan. Dalan keluarganya hanya mempunyai dua ekor unta, yang satu dipakai suaminya untuk ibadah haji, sedangkan satunya lagi untuk kepentingan mengangkat air dalam keluarganya. Maka Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa umrah yang dilakukan pada Bulan Ramadhan pahalanya setara dengan haji bersama Beliau ﷺ.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya pada seorang wanita (Ummu Sinan):

مَا مَنَعَكِ أَنْ تَحُجِّى مَعَنَا

“Apa alasanmu sehingga tidak ikut berhaji bersama kami?”

Wanita itu menjawab, “Aku punya tugas untuk memberi minum pada seekor unta di mana unta tersebut ditunggangi oleh ayah fulan dan anaknya –ditunggangi suami dan anaknya-. Ia meninggalkan unta tadi tanpa diberi minum, lantas kamilah yang bertugas membawakan air pada unta tersebut. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda:

فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ

“Jika Ramadhan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Bukhari no. 1782, Muslim no. 1256).

Dalam lafazh Muslim disebutkan:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِيْهِ تَعْدِلُ حَجَّةً

“Umrah pada bulan Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Muslim no. 1256)

Dalam lafazh Bukhari yang lain disebutkan:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِى حَجَّةً مَعِى

“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan seperti berhaji bersamaku.” (HR. Bukhari no. 1863).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud adalah umrah Ramadhan mendapati pahala seperti pahala haji. Namun bukan berarti umrah Ramadhan sama dengan haji secara keseluruhan. Sehingga jika seseorang punya kewajiban haji, lalu ia berumrah di bulan Ramadhan, maka umrah tersebut tidak bisa menggantikan haji tadi.” (Syarh Shahih Muslim, 9:2)

 

5. Dzikir setelah shalat

Dalam Islam, berdzikir merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Rasulullah menyebutkan bahwa berdzikir kepada Allah adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Rutin melakukan zikir setelah salat subuh berjamaah hingga terbit matahari dan melanjutkannya dengan salat dua rakaat akan mendapat pahala setara haji dan umrah secara sempurna. Hal ini dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ صَلَى الْغَدَاةِ فِى جَمَاعَةٍ ثُم قَعَدَ يَذْكُرُ اللهِ حَتَى تَطْلُعَ الشَمسِ، ثُم صَلَى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَةً وَعُمْرَةً

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat subuh berjamaah, kemudian dia tetap duduk sambil dzikir sampai terbit matahari dan setelah itu mengerjakan shalat dua rakaat, maka akan diberikan pahala haji dan umrah.” (HR At-Tirmidzi)

Rasulullah ﷺ bahkan menekankan kata ‘sempurna’ sebanyak tiga kali. Hal itu tentu membuat amalan ini sangat baik jika rutin dikerjakan.

Salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW juga mengabarkan: “Dia yang membaca Subhanallah 100 kali di pagi hari dan 100 kali lagi di malam hari adalah seperti orang yang melakukan haji 100 kali”.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pun mengisahkan:

جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوْا: ذَهَبَ أهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الْأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَا، وَالنَّعِيْمِ الْمُقِيْمِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، ويَصُومُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّوْنَ بِهَا، وَيَعْتَمِرُوْنَ، وَيُجَاهِدُوْنَ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ، قَالَ: أَلَا أُحَدِّثُكُمْ إنْ أَخَذْتُمْ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ إلَّا مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُوْنَ وتُكَبِّرُوْنَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلَاثًا وَثَلاَثِيْنَ، فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا، فَقَالَ بَعْضُنَا: نُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِيْنَ، وَنَحْمَدُ ثَلاَثًا وَثَلَاثِيْنَ، وَنُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِيْنَ، فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: تَقُوْلُ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، حَتَّى يَكُوْنَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلَاثًا وَثَلَاثِيْنَ.

“Ada orang-orang miskin datang menghadap Nabi ﷺ. Mereka berkata, ‘Orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan nikmat yang tiada hingga. Mereka (orang-orang kaya) shalat sebagaimana kami shalat, puasa sebagaimana kami puasa. Namun, mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad, serta bersedekah.’ Nabi ﷺ lantas bersabda, ‘Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya menjadi terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir salat sebanyak tiga puluh tiga kali.’

(Abu Hurairah mengatakan), “Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali padanya. Nabi ﷺ bersabda, ‘Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali.’” (HR. Bukhari no. 843)

Abu Shalih yang meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Hurairah berkata:

فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِيْنَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوْا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الْأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ »

“Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin kembali menghadap Rasulullah ﷺ mereka berkata, “Saudara-saudara kami yang punya harta (orang kaya) akhirnya mendengar apa yang kami lakukan. Lantas mereka pun melakukan semisal itu.” Rasulullah ﷺ kemudian mengatakan, “Inilah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja yang ia kehendaki.” (HR. Muslim no. 595).

 

6. Berbakti pada Orang Tua (birrul walidain)

Amalan setara haji lainnya yang mudah untuk dilakukan adalah berbakti kepada orang tua. Selain haji, amalan ini juga setara dengan jihad. Disebutkan dalam sebuah riwayat yang berasal dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

إِنِّي أَشْتَهِي الْجِهَادَ وَلَا أَقْدِرُ عَلَيْهِ ، قَالَ : هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ ؟ قَالَ : أُمِّي ، قَالَ : فَأَبْلِ اللَّهَ فِي بِرِّهَا ، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ ، وَمُعْتَمِرٌ ، وَمُجَاهِدٌ ، فَإِذَا رَضِيَتْ عَنْكَ أُمُّكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَبِرَّهَا

“Ada seseorang yang mendatangi Rasululah SAW dan ia sangat ingin pergi berjihad namun tidak mampu. Rasulullah SAW bertanya padanya, ‘Apakah salah satu dari kedua orang tuanya masih hidup?’ Ia jawab, ‘Ibunya masih hidup.’

Rasul pun berkata padanya: “Bertakwalah pada Allah dengan berbuat baik pada ibumu. Jika engkau berbuat baik padanya, maka statusnya adalah seperti berhaji, berumrah dan berjihad,” (HR. At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 5/234/4463 dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman 6/179/7835. Ada nukilan dari At-Targhib 3:214 yang menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid –antara hasan dan shahih-. Lihat penjelasan Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 3195. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa mulai dari kalimat “Jika engkau berbuat baik padanya, …”, tambahan ini termasuk riwayat munkar).

Adapun jawaban dari Rasulullah ﷺ:“Tunjukkanlah kepada Allah bagaimana kamu melayani dia. Jika kamu melakukannya (dengan sepatutnya) kamu akan menjadi seperti: Haji, seorang Mu’tamir (seorang yang melakukan ‘Umrah) dan seorang Mujaahid (seorang yang berjuang di jalan Allah).” (Abu Ya’la no. 2760, At-Thabrani, At-Targhib 3:315 & Mukhtasar Ithaaf no.5721).

Bagaimana jika orang tua sudah meninggal dunia?

Ada enam hal yang bisa disimpulkan dari berbagai dalil:

a.Mendo’akan kedua orang tua.

b.Banyak meminta ampunan pada Allah untuk kedua orang tua.

c. Memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia.

d. Menjalin hubungan silaturahim dengan keluarga dekat keduanya yang tidak pernah terjalin.

e. Memuliakan teman dekat keduanya.

f. Bersedekah atas nama orang tua yang telah tiada.

 

7. Melakukan shalat isyraq

Cara melakukannya:

a. Shalat shubuh berjamaah di masjid

b. Berdiam untuk berdzikir dan melakukan kegiatan yang manfaat

c. Ketika matahari setinggi tombak (15 menit setelah matahari terbit) melakukan shalat dua raka’at (disebut shalat isyraq atau shalat Dhuha di awal waktu).

Dalilnya adalah dari hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيْهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat Sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (HR. Thabrani. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 469 mengatakan bahwa hadits ini shahih lighairihi atau shahih dilihat dari jalur lainnya).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi no. 586. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

 

8. Memenuhi Kebutuhan Sesama Muslim

Imam Hasan al-Basri berkata: “Pergi memenuhi kebutuhan sesama muslim lebih baik bagimu daripada ibadah haji yang kedua kali (dilakukan berkali-kali)”. (dikutip oleh Zabeedi di Sharhul Ihyaa 6:292).

 

9.Berpantang dari tindakan haram (terlarang) juga lebih berbudi luhur daripada Nafl Haji dll.

Beberapa shalafus shalih berkata: “Sedikit saja menjauhkan diri dari maksiat, lebih baik dari lima ratus (Nafl) Haji.” Fudhail ibn ‘Iyadh mengatakan: “Tidak ada haji atau jihad yang lebih penting daripada melindungi lidah seseorang.” yaitu melawan dosa.

 

10. Pemenuhan semua kewajiban.

Hafiz Ibn Rajab (Allah memberinya rahmat) menulis: “Pemenuhan semua kewajiban itu dianggap lebih baik daripada Nafl (sukarela) Haji dan Umrah. Karena ini cara terbaik untuk mencapai kedekatan kepada Allah adalah melalui tindakan wajib. Namun, banyak orang merasa mudah untuk melaksanakan haji nafl dan umrah, tetapi merasa sulit untuk memenuhi tanggung jawab lain (tindakan wajib) seperti pembayaran utang dan tugas-tugas lainnya.” (Sahih Bukhari).

 

11. Menghabiskan waktu untuk mempelajari pengetahuan Islam.

Suatu ketika seorang ayah datang kepada Imam Muhammad bin Sahnun dan berkata: “Saya akan mencari nafkah sendiri dan saya tidak akan mengalihkan perhatian anak saya dari pelajarannya. Imam Ibnu Sahnun menjawab: “Apakah Anda tahu bahwa upah Anda untuk melakukannya akan lebih besar daripada (nafl) Haji, dan Jihad!” (Ma’alim Irshadiyyah dari Syekh Muhammad ‘Awwamah, hal.35).

 

Allah memang selalu memberikan kemudahan untuk setiap hambanya. Setiap amalan yang dilakukan dengan keikhlasan, istiqomah, dan ikhtiar untuk mendekatkan diri kepada Allah memiliki nilai dan pahala yang tinggi. Salah satu diantara banyak kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita adalah memberikan keutamaan-keutamaan dalam beramal. Amalan ibadah tidak berat dilakukan namun diberikan pahala kebaikan yang besar. Seperti shalat sunnah rawatib 12 raka’at diganjar dengan dibangunkan rumah disurga, shalat 2 raka’at sebelum subuh lebih baik dari dunia seisinya, membaca Al-quran pahalanya 10 kebaikan tiap hurufnya dan sebagainya.

Sebagai hamba Allah, bersegera dalam kebaikan adalah utama. Apalagi ketika diberikan kabar gembira oleh Rasulullah ﷺ berkaitan dengan keutamaan amalan. Semoga Allah Ta’ala bukakan dan ringankan hati kita untuk melakukan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan haji ini. Karena sejatinya kuatnya ibadah bukan terletak pada kuatnya badan, namun keikhlasan dan kuatnya hati kita. Oleh karena itu, kerjakanlah amalan ibadah dengan hati yang ikhlas dan sungguh-sungguh agar mendapatkan yang terbaik dari Allah.

Semoga Allah Ta’ala menuliskan kita sebagai salah satu hamba-Nya yang diberi kesempatan untuk berhaji dan mengunjungi rumah-Nya yang penuh dengan kemuliaan, menakdirkan kita untuk menjadi salah satu manusia yang bisa merasakan ni’matnya wukuf di padang Arafah, berjalan-jalan di antara tenda-tenda Mina, dan merasakan langsung atmosfer Makkah yang penuh kerinduan. Amiin.

 

Alfiyah Ibnu Malik Merupakan Sebuah Karya Yang Sangat Fenomenal

Bagi kaum santri yang berada di pesantren, tentu tidaklah asing lagi dengan kitab Alfiyah karangan Imam Ibnu Malik. Kitab yang sangat mashur ini, sering kali menjadi tolak ukur tertinggi bagi para santri agar bisa menguasai ilmu gramatika bahasa arab. Kajiannya tidak hanya di pesantren yang tersebar di pelosok negeri ini, melainkan di berbagai lembaga pendidikan Islam yang berada di penjuru dunia pun turut mengkajinya.

Kitab ini awalnya bernama Nadzam al-Kafiyah as-Syafiyah yang terdiri dari 2.757 bait. Di dalamnya menyajikan semua informasi mengenai ilmu Nahwu dan Shorof beserta dengan tanggapan (syarah-nya). Kemudian kitab ini ia ringkas menjadi seribu bait yang kita kenal dengan nama Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini juga bisa kita sebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari al-Kafiyah. Isinya terdiri dari delapan puluh bab, pada setiap babnya terisi oleh puluhan bait dengan narasi yang sangat indah. Bab yang terpendek berisi dua bait yaitu bab Al-Ikhtishash, dan bab yang terpanjang yaitu bab Jama’ Taktsir yang berisi empat puluh dua bait. Berawal dari kitab Alfiyah Ibnu Malik ini, pelajaran nahwu dan shorof semakin banyak peminatnya. Bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil pun, kitab ini tidaklah asing bagi mereka.

Nadhom Alfiyah Ibn Malik karya Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik ini, merupakan sebuah karya yang sangat fenomenal, yang tidak akan pernah terhapus dalam khazanah intelektualitas pesantren. Khususnya pesantren salaf. Beliau menamai nadzhom tersebut dengan nama Alfiyah, diambil dari jumlah bait dalam nadzom tersebut yakni seribu, (baca dalam bahasa arab; alfun). Namun pada kenyataannya, jumlah bait dari nadzhom alfiyah itu sendiri adalah 1002 bait, ada tambahan 2 bait di muqoddimah, dan juga ada cerita menarik di balik penambahan 2 bait tersebut. Tentang arti dari sebuah rasa bangga, tentang ta’dzim kepada sang guru, tentang tulusnya sebuah karya, juga tentang adab terhadap orang yang sudah meninggal.

Sekilas Tentang Imam Ibnu Malik

Sang pengarang kitab Alfiyah Ibnu Malik yaitu Syaikh Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik At-Thay. Seorang ahli bahasa yang lahir di salah satu kota kecil, yaitu kota Jayyan yang berada di Andalusia (Spanyol) bagian selatan. Ia lahir pada tahun 1203 M atau bulan Sya’ban tahun 600 H. Waktu itu, Andalusia menjadi tempat berkembang pesatnya keilmuan Islam, para penduduknya sangat mencintai ilmu pengetahuan. Tidak heran jika mereka disibukkan untuk saling berlomba dalam meciptakan sebuah karya ilmiah. Sejak kecil, Imam Ibnu Malik sudah menghafal Al-Qur’an dan ribuan Hadits. Semangatnya dalam menekuni sebuah keilmuan begitu besar. Ia pernah belajar kepada para ulama tersohor di daerahnya sendiri, seperti Syaikh Tsabit bin Khiyar, Syaikh Ahmad bin Nawwar dan Syaikh As-Syalaubini.

Kisah Imam Ibnu Malik Dalam Menyusun Kitab Alfiyah

Diceritakan, bahwa Syaikh Ibnu Malik dalam menyusun nazhom Alfiyah ini, terinspirasi dari almarhum sang guru yang sudah terlebih dahulu menyusun sebuah nadzhom yang berjumlah 500 bait. Beliau adalah Syaikh Ibnu Mu’thiy. Karyanya tersebut diberi nama Alkaafiyah, namun mashur juga disebut dengan Alfiyah Ibnu Mu’thiy. Ketika beliau sudah mantap menyimpan semua gambaran nadzhom alfiyah dalam memori otaknya, beliaupun memulai untuk menulis untaian nadzom-nadzom indah tersebut. Hingga pada saat beliau menulis bait ke lima, bagian satar ke sepuluh yang berbunyi;

وتَقتضِى رضًا بغير سخطٍ  #  فائقةً ألفيّةً ابن معطى

(Dan kitab alfiyah itu akan menarik keridhoan yang tanpa didasari kemarahan dan kitab alfiyah ini lebih unggul dari kitab alfiyahnya ibnu mu’thiy).

Seketika semua hafalan yang sudah tersimpan rapi dalam memori otak beliaupun lenyap. Beliau tidak ingat satu hurufpun. Syaikh Ibnu Malik pun merasa cemas, sedih, juga bingung, entah apa yang harus beliau lakukan. Hingga akhirnya beliaupun tertidur pulas. Dalam mimpinya, beliau dibangunkan oleh seorang kakek yang memakai pakaian serba putih, jubahnya hampir menutupi sebagian kepalanya sehingga wajahnya tidak nampak secara jelas. Kakek itu menepuk pundak Syaikh Ibnu Malik sambil berkata;

“Wahai anak muda, bangunlah! Bukankah kamu sedang menyusun sebuah kitab?”

“Iya Kek,” seketika Ibnu Malik terbangun.

“Namun aku lupa semua hafalanku, sehingga aku tak mampu untuk melanjutkanya” lanjutnya.

Kakek itu pun bertanya, “Sudah sampai mana kamu menulisnya?”

“Baru sampai bait kelima,” beliau menjawab sambil membacakan bait yang terakhir.

“bolehkah aku melanjutkan hafalanmu,?” tanya kakek tersebut.

“Tentu saja.”

Kakek itupun membacakan sepasang bait;

فائقةً من نحو ألف بيتي  #  والحيّ قد يغلب ألف ميّتي

(Seperti halnya mengungguli dalam seribu bait. Orang yang masih hidup, terkadang mengalahkan 1000 orang yang sudah meninggal)

Seketika setelah mendengar satu bait yang diucapkan oleh kakek tersebut, Syaikh Ibnu Malik pun terbangun. Dan beliaupun menyadari satu hal, bahwa kakek dalam mimpinya itu tidak lain adalah sang guru, yakni Syaikh Ibnu Mu’thiy yang dengan jelas menegur Syaikh Ibnu Malik dengan sindiran di bait tersebut. Beliau juga sadar, bahwa ungkapan bangga yang beliau ungkapkan dalam bait kelima tersebut ternyata merupakan perasaan takabbur yang timbul dari nafsunya, perasaan yang secara tidak langsung telah menerobos sebuah adab, akhlaqul karimah seorang murid kepada gurunya. Sadar akan hal itu, Ibnu Malik pun bertaubat kepada Sang Pencipta atas rasa takabburnya. Beliau juga hendak meminta maaf kepada Ibnu Mu’thiy, beliau berziarah ke makam Syaikh Ibnu Mu’thiy. Selepas berziarah, beliaupun hendak melanjutkan karangan tersebut dengan menambahkan 2 bait di bagian Muqoddimah yang pada awalnya tidak masuk dalam rencana, dengan harapan bahwa hafalannya akan pulih kembali. 2 bait tersebut berbunyi seperti ini:

وهو بسبق حائز تفضيلا # مستوجب ثنائي الجميلا

(Dan dia (Ibnu Mu’thiy) memang lebih dahulu dan mendapatkan keunggulan. Dia juga pantas mendapatkan pujian (legitimasi) yang sangat baik dariku)

والله يقضي بهبات وافرة # لي وله في درجات الآخرة

(Semoga Alloh memberikan anugerah yang sempurna. Untukku dan juga beliau dalam derajat yang tinggi di akhirat kelak.)

Secara ajaib, semua memori hafalan nadzom yang ingin beliau tulis itupun kembali tergambar jelas di otak dan hatinya. Beliaupun sangat bersyukur dan kemudian melanjutkan karangannya. Hingga akhirnya terciptalah sebuah mahakarya yang terkenal di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Nadhoman yang sangat populer di kalangan santri, khususnya santri salaf. Dan sampai saat ini pun, masih banyak santri-santri yang menghafalnya. Wallahu a’lam.

Cerita ini mengandung pesan tentang adab kita kepada seorang guru yang harus tetap dilakukan, meskipun kemampuan kita telah melebihi sang guru tersebut. Atau meskipun guru kita telah meninggal dunia. Karena tidak ada yang namanya “mantan guru”.

 

Penulis: Eka Nurlela