Ikhlas Beramal Menurut Islam
Bagikan ini :

Disebut dalam Nahjul Balaghah bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “ada kaum yang menyembah Allah karena mengharapkan pahala. Inilah ibadah pedagang. Ada kaum yang menyembah Allah karena takut. Inilah ibadah budak. Ada juga kaum yang menyembah Allah karena bersyukur kepada-Nya. Inilah ibadah orang merdeka”. Menurut az-Zuhri, melalui hadis ini Ali bin Abi Thalib berbicara mengenai tipe-tipe orang beribadah berdasarkan tingkatan ikhlas yang dimilikinya. Az-Zuhri menjelaskan bahwa ikhlas tergambarkan dengan sangat indah dalam doa Iftitah. Kita berjanji setiap salat, “sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku, dan matiku lillahi Rabbil ‘Alamin.” Jadi, ikhlas ialah “mengerjakan segala sesuatu “lillah”. Menurut al-Ghazali ada tiga makna lillah; karena Allah (lam yang berarti sebab) dan untuk Allah (lam berarti tujuan), dan kepunyaan Allah (lam berarti milik). Makna-makna ini, menurut al-Ghazali, menunjukan tingkatan ikhlas itu sendiri. Dan, Kepunyaan Allah adalah tingkat ikhlas yang paling tinggi.

Pertama, ikhlas karena Allah. Bila kita memberikan bantuan kepada orang yang kesusahan, karena kita mengetahui bahwa Allah memerintahkannya, kita beramal karena Allah. Bila kita menghentikan bantuan kepada orang itu, karena ternyata orang itu tidak berterima kasih bahkan menjelek-jelekkan kita di mana-mana, kita tidak ikhlas. Amal kita dipengaruhi oleh reaksi orang lain kepada kita. Kita bersemangat beramal, ketika orang-orang menghargai kita, memuji kita, atau paling tidak memperhatikan kita. Kita kehilangan gairah berjuang, ketika orang-orang mencemooh kita, menjauhi kita, atau bahkan mengganggu kita. Inilah tingkatan ikhlas yang pertama, sebuah tingkatan yang masih dalam tahapan ikhlas namun tetap memposisikan manusia pada kemanusiannya.

Kedua, ikhlas untuk Allah. Tahapan ikhlas dalam pengertian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: kalau kita beribadah kepada Allah sekedar untuk mendapatkan pahala sebenarnya ibadah itu diperuntukkan untuk diri kita sendiri. Karena itu, kalau kita mengharap pahala dengan sendirinya pahala itu untuk kepentingan kita, padahal ibadah yang ikhlas itu untuk Allah semata-mata. Misalnya, kalau kita beramal untuk menghindari siksaan Allah, maka sebenarnya yang dibela adalah diri kita sendiri dan bukan mencari keridhaan Allah. Kalau kita beribadah kepada Allah hanya untuk mendapatkan kenikmatan surga beserta isi-isinya yang penuh dengan bidadari cantik jelita, fasilitas gedung yang megah, makanan yang terjamin enak, bergizi dan segar, sebenarnya ibadah kita itu ditujukan bukan untuk Allah, tapi untuk kepentingan kita sendiri, untuk ego kita yang masuk terkungkung dengan semangat mencari keuntungan untuk diri sendiri dalam beribadah, semangat untuk mengumpulkan kas pahala yang kemudian digunakan untuk membeli kunci surga.  Memang amal kita pada tataran seperti ini sudah karena Allah tapi belum untuk Allah. Ibadah untuk Allah lahir dari rasa syukur, rasa terima kasih, rasa berutang budi kepada-Nya. Yang mendorong sang hamba untuk mengabdi kepada Allah bukan lagi keinginan akan pahala atau ketakutan akan siksa, tetapi cinta kepada-Nya. Inilah makna ikhlas untuk Allah (lillah).

Ketiga, ikhlas kepunyaan Allah. Pada tahapan ini, ada hadis menarik dari Nabi yang berbicara tentang mengikhlaskan amal dengan tingkatan kepunyaan Allah ini. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia, siapa yang berjumpa dengan Allah sambil menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan mengikhlaskan ucapan tersebut dengan tidak bercampur dengan yang lain itu, maka dia masuk surga.”

Kemudian Ali bin Abi Thalib bertanya, “ya Rasulullah bagaimana ikhlas yang tidak bercampur dengan yang lain itu.” Rasul SAW menjelaskan, “Betul, yang mencampuri keikhlasan itu adalah kerakusan terhadap dunia dan mengumpul-ngumpulkannya.” Artinya, ikhlas kepunyaan Allah ini, ialah ikhlas yang menghindarkan diri kita dari keterikatan hati dengan hal-hal yang berbau materi. Materi memang harus dimiliki karena tidak mungkin kita masuk surga tanpa ada ongkos materi yang memadai. Tidak mungkin kita bisa masuk surga tanpa duit untuk sedekah, zakat, infak dan lain-lain. Pada tahap ini, ikhlas berarti terhindarnya hati dari segala tujuan selain Allah dan terlepas dari kepentingan pribadi kita. Semua itu dimuarakan pada kepentingan milik Allah.

Sudah menjadi maklum, bahwa ikhlas merupakan satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Tanpa keikhlasan sebaik apapun, amal yang dilakukan oleh seorang mukmin tak akan ada nilainya di sisi Allah subhânahû wa ta’âlâ. Di dalam kitab At-Ta’rîfât karya Ali Al-Jurjani disebutkan bahwa ikhlas adalah engkau tidak mencari orang yang menyaksikan amalmu selain Allah. Ikhlas juga diartikan membersihkan amal dari berbagai kotoran (Ali Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1983], hal. 14). Dalam berbagai kesempatan kajian ilmiah Prof. Dr. M. Qurais Shihab seringkali memberikan satu gambaran tentang ikhlas dengan sebuah gelas yang penuh air putih. Tak ada sedikit pun yang ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yang disebut dengan ikhlas. Seseorang melakukan satu amalan hanya karna Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yang mencampurinya. Tak ada harapan surga, tak ada keinginan enaknya hidup di dunia, semua murni karena menghamba kepada Allah saja. Meski demikian ada kriteria tertentu di mana seseorang melakukan suatu amalan dengan motivasi tertentu namun masih dikategorikan sebagai ikhlas. Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashâihul ‘Ibâd, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2010], hal. 58). Dalam kitab tersebut beliau memaparkan bahwa tingkatan pertama yang merupakan tingkat paling tinggi didalam ikhlas sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”

Adapun, penerapan ikhlas dalam beribadah adalah sebagai berikut:

  1. Ilmu Ikhlas dalam Syahadat

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidaklah ada satu jiwa pun yang meninggal dalam keadaan bersyahadat Laa Ilaaha Illallah dan aku adalah Rasulullah yang itu semua kembali kepada hati seorang mukmin (ikhlas dari lubuk hatinya), kecuali Allah akan beri ampunan kepadanya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, lihat Ash Shahihah, no. 2278)

  1. Ilmu Ikhlas dalam Salat

Sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: “Tidaklah ada seorang muslim yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, kemudian menegakkan shalat dua rakaat dengan menghadirkan hati dan wajahnya (ikhlas), kecuali wajib bagi dia untuk masuk Al Jannah.” (HR. Muslim)

  1. Ilmu Ikhlas dalam Berzakat

Zakat akan mengajari bagaimana kamu harus dilandasi dengan rasa ikhlas sebelum menunaikan zakat. Di antara konsekuensi kejujuran seseorang adalah hendaknya dia benar-benar ikhlas karena Allah SWT dalam amalannya tersebut.

  1. Ilmu Ikhlas dalam Puasa Ramadan

Ketika menjalani puasa Ramadan, tentunya kamu akan belajar bagaimana menahan haus dan lapar sepanjang hari. Ilmu ikhlas adalah dasar penting untuk dalam menjalankan ibadah puasa. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadan dengan dilandasi keimanan dan semata-mata ikhlas mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al Bukhari, Muslim)

  1. Ilmu Ikhlas dalam Ibadah Haji

Haji merupakan sebuah amalan mulia jika kita telah mampu dan dapat menjalankannya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji semata-mata ikhlas karena Allah, dan dia tidak melakukan perbuatan kotor dan dosa dalam hajinya tersebut, maka dia kembali dalam keadaan seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya (suci dan bersih dari dosa).” (HR. Al Bukhari, Muslim)

An-Nawawi juga menerangkan tentang adanya tiga tingkat keikhlasan seorang hamba, yaitu: pertama, beribadah karena takut akan siksa Allah SWT. An-Nawawi menamakan tingkatan ini dengan ’ibādatul-’abīd; ibadah para budak. Kenapa? Karena yang seperti ini, sebagaimana mental seorang budak mematuhi perintah hanya karena takut disiksa oleh Tuhannya. Kedua, beribadah karena mengharapkan surga dan pahala dari Allah SWT. Tingkatan ikhlas ini oleh An-Nawawi disebut sebagai ’ibādatut-tujjār; ibadah para pedagang. Sebab, seperti halnya pedagang yang selalu mencari keuntungan, orang-orang yang berada pada tingkatan ini juga hanya memikirkan keuntungan dalam ibadahnya. Ketiga, beribadah karena malu kepada Allah SWT dan demi memenuhi keharusannya sebagai hamba Allah yang bersyukur disertai rasa khawatir sebab amal ibadahnya belum tentu diterima di sisi-Nya. An-Nawawi mengatakan, tingkatan ini adalah ’ibādatul-akhyār; ibadah orang-orang pilihan. Tingkatan yang terakhir ini sebenarnya merupakan manifestasi dari hadis riwayat Imam Muslim yang disabdakan Rasulullah SAW saat ditegur oleh Aisyah r.a. ketika melihat beliau salat malam ‘kelewatan’ hingga kedua kakinya bengkak. “Wahai Rasulullah, kau terlalu memaksakan hal ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu.” kata Aisyah. Rasulullah SAW menjawab: “Bukankah sudah seharusnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?!” (HR Muslim).

Sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan amal ibadah yang ditujukan kepada Allah SWT. Namun, perlu diketahui juga bahwa Allah SWT tidak akan menerima amal ibadah seseorang yang dilakukan tanpa rasa ikhlas.

 

Penulis : Eka Nurlela

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *