Pengertian Nisfu Sya’ban Dan Keistimewaannya

Sya’ban adalah istilah bahasa Arab yang berasal dari kata syi’ab yang artinya jalan di atas gunung. Islam kemudian memanfaatkan bulan Sya’ban sebagai waktu untuk menemukan banyak jalan, demi mencapai kebaikan. Bulan Sya’ban terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan. Karena diapit oleh dua bulan mulia ini, maka Sya’ban seringkali dilupakan. Padahal semestinya tidaklah demikian. Dalam bulan Sya’ban terdapat berbagai keutamaan yang menyangkut peningkatan kualitas kehidupan umat Islam, baik sebagai individu maupun dalam lingkup kemasyarakatan.

Keistimewaan bulan ini terletak pada pertengahannya yang biasanya disebut sebagai Nisfu Sya’ban. Secara harfiyah istilah Nisfu Sya’ban berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau tanggal 15 Sya’ban. Pada malam ini, dua malaikat pencatat amal manusia, yakni Raqib dan Atid, menyerahkan catatan amalan manusia kepada Allah SWT. dan pada malam itu pula buku catatan-catatan amal yang digunakan setiap tahun diganti dengan yang baru.

Baca Juga>>Akhlak Menduduki Tingkat Paling Atas Untuk Dipelajari

Imam Ghazali mengistilahkan malam Nisfu Sya’ban sebagai malam yang penuh dengan syafaat (pertolongan). Menurut al-Ghazali, pada malam ke-13 bulan Sya’ban Allah SWT memberikan seperti tiga syafaat kepada hambanya. Sedangkan pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Dengan demikian, pada malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai penutup catatan amalnya selama satu tahun. Karena pada malam ke-15 bulan Sya’ban inilah, catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke hadapan Allah SWT.

 

Para ulama menyatakan bahwa Nisfu Sya’ban juga dinamakan sebagai malam pengampunan atau malam maghfirah, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hamba-Nya yang shaleh. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Thabrani, yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah bersabda:

يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Allah swt melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada seluruh makhluk-Nya kecuali kepada orang yang menyekutukan Allah atau orang yang bermusuhan.”

Sesungguhnya bulan Sya’ban merupakan bulan persiapan untuk memasuki bulan suci Ramadhan. Dari sini, umat Islam dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan mempertebal keimanan dan memanjatkan do’a dengan penuh kekhusyukan.

Baca Juga>>Nikmat Tuhan Mana Lagi Yang Akan Kita Dustakan?

Malam Nisfu Sya’ban juga adalah malam diterima segala permintaan (lailatul ijabah). Nisfu Sya’ban termasuk dalam malam yang penuh dengan kucuran kebaikan dari Allah. Selain mendapatkan ampunan, seseorang yang menghidupkan malam Nisfu Sya’ban juga akan mendapatkan kemuliaan, berupa dikabulkan permintaannya.  Berdasarkan hal tersebut, sudah sepatutnya pada malam tersebut, seorang muslim meminta kepada Tuhannya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah menjelaskan kemuliaan dari malam Nisfu Sya’ban yang dimanfaatkan oleh kalangan sahabat untuk berdoa dan meminta ampunan pada Allah. Sebab karena kesucian malam nisfu Sya’ban tersebut, Allah menurunkan rahmatnya pada orang yang memohon ampunan pada-Nya.

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا، فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ، أَلَا مِنْ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ، أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطَّلِعَ الْفَجْرَ

“Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman: “Ingatlah orang yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada-Ku maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada-Ku, maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba.” (HR. Ibnu Majah)

Nishfu Sya’ban juga telah dikenal di antara para Sahabat. Berikut ini riwayatnya:

وَكَانَ فِيْ هَذِهِ السَّرِيَّةِ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ وَاثِلَةُ بْنُ الْأَ سْقَعِ وَكَانَ خُرُوْجُهُمْ مِنْ أَرْضِ الشَّامِ وَهِيَ دِمَشْقَ إِلَى دَيْرِ أَبِيْ الْقُدْسِ فِيْ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَكَانَ  الْقَمَرُ زَائِدَ النُّوْرِ. وَقَالَ وَأَنَا إِلَى جَانِبِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ. فَقَالَ لِيْ: يَا ابْنَ الْأَ سْقَعِ مَا أَحْسَنَ قَمَرَ هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَهِيَ لَيْلةٌ مُبَارَكَةٌ عَظِيْمَةٌ. وَفِيْ هَذِهِ تُكْتَبُ الْأَرْزَاقَ وَالْآجَالُ وَتُغْفَرُ فِيْهَا الذُنُوْبُ وَالسَّيِّئَاتُ وَكُنْتُ أَرَدْتُ أَنْ أَقُوْمَهَا. فَقُلْتُ: إِنَّ سَيْرَنَ فِيْ سُبُلِ اللهِ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِهَا وَاللهُ جَزِيْلُ الْعَطَاءِ. فَقَالَ: صَدَقْتَ.

“Dalam pasukan perang bersama Abdullah bin Ja’far ini ada Watsilah bin al-Aqsa. Keluarganya dari tanah Syam yaitu Damaskus ke Dair Abi al-Quds pada malam Nishfu Sya’ban, saat bulan bertambah cerah. Watsilah berkata: “Saya berada di dekat Abdullah bin Ja’far. Ia berkata kepada saya: “Wahai putra al-Aqsa’ betapa indah dan cerahnya bulan malam ini.” Saya jawab: “Wahai sepupu Anak paman Rasulullah SAW, ini adalah malam Nishfu Sya’ban, malam yang diberkahi yang agung. Di malam inilah rezeki dan ajal akan di catat. Di malam ini pula dosa dan kejelekan kita akan diampuni. Saya ingin beribadah di malam ini.” Saya berkata: “Perjalanan kita di jalan Allah (perang) lebih baik daripada beribadah di malamnya. Allah maha agung pemberiannya”. Abdullah bin Jafar berkata: “Kamu benar.”   

 

Penulis: Rahmi Rahmatussalamah

 

Wisata Religi dengan Berziarah ke Makam Waliyullah

Pada hari Rabu 1 Maret 2023 M, tepatnya satu minggu setelah Haul Mama Syaikhuna KH. Ahmad Faqih Ke-23 Dan Para Masyayikh Al-Musri’ telah dilaksanakan ziarah ke beberapa makam Waliyullah dalam rangka Wisata Religi yang menjadi acara tahunan setiap satu minggu setelah acara Haul. Ziarah tahun ini diikuti oleh keluarga besar Miftahulhuda Al-Musri’ bersama santri putra yang berjumlah 5 bus. Adapun agenda dalam acara ziarah ini, yaitu:

  • Pada malam Rabu dilaksanakan ziarah ke maqbaroh yang dipimpin oleh Pangersa Ang Alwan Shofiyulloh, lalu do’a bersama yang dipimpin oleh KH. Mahmud Munawar, dan berangkat pada hari Rabu pukul 01.30 WIB menuju Panjalu
  • Melaksanakan solat Subuh di salah satu masjid Malangbong
  • Hari Rabu pukul 06.30 tiba di penzarahan Sayyid Ali Bin Muhammad Panjalu
  • Pukul 09.00 berangkat menuju makam Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dan tiba pukul 13.00
  • Pada pukul 16.00 berangkat menuju pantai Pangandaran dan tiba pukul 20.30, lalu check-in ke penginapan
  • Hari Kamis pukul 12.00 check-out dan melanjutkan perjalanan menuju makam Syeikh Ja’far Shodiq Haruman, Garut. Tiba pukul 19.00
  • Pukul 20.30 berangkat pulang menuju Miftahulhuda Al-Musri’ dan tiba pukul 23.30.

 

Dari agenda ziarah tersebut, acara ziarah tahun ini berkunjung ke tiga makam Waliyullah, yaitu:

  1. Eyang Haryang Kantjana bin Eyang Borosngora bin Eyang Tjakradewa

Kisah Prabu Sanghyang Borosngora Bin Sanghyang Cakradewa Dan Asal Usul Situ Lengkong Panjalu

Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.

Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.

Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.

  1. Syeikh Abdul Muhyi

Syekh Abdul Muhyi Pamijahan adalah seorang Waliyullah dan dihormati masyarakat pesantren. la merupakan mata rantai dan pembawa tarekat Syathariyah yang pertama ke pulau Jawa. Lebih dikenal dengari nama Haji Karang, karena pernah uzIah dan khalwat di Gua Karang. Di pintu gerbang makamnya yang terletak di Pamijahan Tasikmalaya.

Syeikh Abdul Muhyi dilahirkan tahun 1650 di Mataram. Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut Kerajaan Mataram Islam. Ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja Galuh Pajajaran yang saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa. lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syaikh Ainui Yaqin (Sunan Giri l).

Sebagai guru Rohani, Abdul Muhyi dihormati masyarakat dan Keraton Mataram. Desanya diakui sebagai desa perdikan, yang artinya berhak mengurus urusannya sendiri secara mandiri, meskipun ada di wilayah Mataram. Meski memiliki hubungan dengan Mataram, hubungan dengan Keraton Cirebon dan Banten juga dibangun, termasuk setuju sebagian anak-anaknya menikah dengan para bangsawan dari Cirebon.

Di samping sebagai pendidik, mujahid dalam menyebarkan Islam, seorang yang dikenal memiliki kemampuan linuwih, Syekh Abdul Muhyi juga seorang penulis. Dia menulis kitab dalam disiplin tarekat Syathariyah.  Tokoh ini meninggal pada 1730 M atau 1151 H dalam usia 80 tahun. Dia dimakamkan di Pamijahan, yaitu di Bantar Kalong, Tasikmalaya bagian selatan, Makamnya hingga saat ini menjadi makam yang sering diziarahi oleh masyarakat Islam pada umumnya.

Baca Juga>>Ziarah, Dewan kyai/Nyai dan Dewan Ampuh al-Musri’: Sah Ibadah

  1. Syeikh Ja’far Shodiq

Syekh Ja’far Shidiq asal Kec. Cibiuk yang juga dikenal dengan sebutan Mbah Wali Cibiuk. Ia hidup sezaman, bahkan dikenal bersahabat baik dengan penyebar Islam lainnya di daerah Tasikmalaya, Syekh Abdul Muhyi.

Syekh Ja’far Shidiq tidak henti-hentinya mendorong umat untuk terus menggali serta mengembangkan ilmu dan kemajuan ekonomi, termasuk keahlian membuat makanan. Salah satu warisan dari Syekh Ja’far Shidiq yang hingga saat ini terus dikenal, yaitu “sambal cibiuk” yang dikembangkan putrinya, Nyimas Ayu Fatimah. Sambal cibiuk bahkan sudah menjadi trade mark di sejumlah restoran di beberapa kota besar seperti Bandung dan Jakarta.

Syekh Ja’far Shidiq juga meninggalkan warisan lain yang tak kalah pentingnya bagi pengembangan Islam, yaitu sebuah bangunan masjid yang hingga kini masih bisa dimanfaatkan umat Islam untuk berbagai kegiatan keagamaan. Masjid yang dibangunnya memiliki ciri dan corak khas bangunan masjid buatan para wali di Pulau Jawa, yaitu beratap kerucut dengan disangga oleh tiang-tiang kayu kokoh yang sambungannya tidak menggunakan paku.

Pada bagian atas atapnya dipasang sebuah benda berukir terbuat dari batu yang disebut masyarakat setempat sebagai “pataka”. Diperkirakan bangunan masjid tersebut sudah berusia lebih dari 460 tahun. Masjid yang dikenal dengan sebutan masjid Mbah Wali tersebut terletak di Kp. Pasantren Tengah, Desa Cibiuk Kidul, Kec. Cibiuk.

Karena jasanya yang besar dalam menyebarkan Islam serta perkembangan kehidupan masyarakat Garut, khususnya di Garut Utara, makamnya yang terletak di kaki Gunung Haruman Desa Cipareuan, Kec. Cibiuk tak pernah sepi dari para peziarah. Belakangan, makam Syekh Ja’far Shidiq ini dijadikan Pemkab Garut sebagai salah satu objek wisata ziarah, tergolong ke dalam atraksi budaya peninggalan sejarah dengan bentukan fisik (relik/artefak) berupa makam. Selain berdoa dan menafakuri kiprah perjuangan Syekh Ja’far Shidiq dalam menyebarkan Islam, para peziarah juga dapat mempelajari kebudayaan, khususnya sejarah dan kebudayaan Islam.

 

Pewarta: Rahmi Rahmatussalamah

Kisah Prabu Sanghyang Borosngora Bin Sanghyang Cakradewa Dan Asal Usul Situ Lengkong Panjalu

Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya pada hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.

Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari “Ilmu Sajati” yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.

Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata.

Baca Juga>>Ngalap Berkah Dengan Ziarah

Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.

Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu. Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.

Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.

Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cenderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna.

Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II.

Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.

Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.

 

Penulis: Rahmi Rahmatussalamah

Akhlak Menduduki Tingkat Paling Atas Untuk Dipelajari

 

Akhlak berasal dari bahasa Arab dari kata khuluk yang berarti tingkah laku, tabiat atau peragai. Secara istilah, akhlak yaitu sifat yang dimiliki seseorang, telah melakat dan biasanya akan tercermin dari perilaku orang tersebut.

Kata akhlak telah disebutkan dalam al-Qur’an  (QS.Shad:46) berikut ini:

إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS Shad : 46).

Kitab yang menjelaskan tentang akhlak sangat cocok untuk masa sekarang, karena banyaknya orang yang sudah tidak memperhatikan moral dan akhlaknya. Itupun santri, maupun mahasiswa, tidak besar, tidak kecil. Mereka lebih mementingkan ilmu tapi tanpa melengkapinya dengan akhlak, padahal ternilai seorang yang berilmu itu dengan akhlaknya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

مَنْ لَاأَدَبَ لَهُ لَا عِلْمَ لَهُ

Artinya: “Seseorang tidak beradab berarti tidak berilmu”

Dan tujuan paling utama dalam menuntut ilmu adalah menjadikan kita manusia yang berakhlakul karimah. Alangkah baiknya kita sudah menanamkan akhlak yang baik kepada adik kita ataupun anak kita, supaya ia terbiasa untuk melakukan hal-hal yang baik.

Dan juga masih banyak orang-orang yang meremehkan adab dan sopan santun, di dalam sarah kitab Ta’lim Mutaalim di jelaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

(فينبغي لطالب العلم أن لايتهاون) أي لايتساكل (بالآداب والسّنن فإن من تهاون بالآداب حرم) بشآمته (السّنن) أي من السّنن (ومن تهاون بالسّنن حرم الفرئض) أي من أداء الفرئض (ومن تهاون بالفرائض حرم الآخرة) أي من ثواب الآخراة الموعود لأهل الفرائض (وبعضهم قال هذا حديث عن رسوالله صلى الله تعالى عليه وسلّم)

Artinya: “Pelajar hendaknya tidak mengabikan adab kesopanan, dan amal-amal sunnah. Sebab barang siapa yang mengabaikan adab maka akan terhalang untuk melakukan kesunahannya, dan barang siapa mengabaikan sunnah maka akan terhalang dari melakukan hal-hal wajib/fardhu, dan barang siapa yang mengabaikan fardhu maka akan terhalang dari pahala akhirat yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang melakukan hal-hal wajib/fardhu”.

Dalam kitab Ta’lim Mutaalim banyak sekali menerangkan perihal akhlak, terutama akhlak kepada guru dan orang tua. Kita tahu kunci utama untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan barokah adalah menghormati guru dan orang tua, dengan menghormati kepadanya kita akan mendapat ridhonya, setelah kita dapat ridhonya maka kita akan sangat mudah untuk meraih ilmunya. Sebagaimana dalam hadits Rasulullahﷺ  :

إِنَّمَا بُعِيْثُ لِآُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus karena untuk menyempurnakan akhlak”.

Dari situ kita mendapatkan Suri Tauladan yang baik, juga terdapat di dalam al-Qur’an di jelaskan:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا (21)

Artinya:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-Ahzab: 21)

Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa akhlak adalah salah satu sifat yang tertanam di dalam jiwa manusia yang dapat menimbulkan suatu perbuatan yang mudah dilakukan tanpa adanya pertimbangan pemikiran lagi.

 

Penulis: Hasbi Sayyid

Tabligh Akbar Dalam Memperingati Haul Masyayikh Al-Musri’ yang ke-23

 

Dalam memperingati Haul Pondok pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ kami sebagai panitia menyelenggarakan Ataqoh Akbar, Ziarah Akbar, Hailalah Kubro, dan terutama Tabligh Akbar yang di laksanakan pada hari Jum’at 24 februari 2023 pukul 08.00 bertempat di depan lapang agri bisnis.

Dalam acara tabligh akbar ini hanya di hadiri oleh akhwat. Dan mubalighoh kali ini di isi oleh Ustadzah Aah Nurul Muhibbah (asal pangandaran), adapun isi dari acara tersebut adalah:

  • Pembukaan acara
  • Pembacaan ayat suci al-Qur’an & sholawat oleh Ustadzah neng teuis
  • Menyanyikan mars yalal wathon yang di pimpin oleh Ustadzah Imas Syarifah
  • Tawassul & hadiah, yang dibawakan oleh P. Umi Hj. Ucu Nurjannah
  • Sambutan, pembacaan amanat mama dan riwayat hidup Mama, yang diisi oleh P. Umi Hj. Siti Maryam
  • Selayang pandang, yang akan dibawakan oleh Muqimat
  • Tausiah, yang dibawakan oleh Ustadzah Aah Nurul Muhibbah
  • Doa tutup yang diisi oleh P. Umi Hj. Yayah Rukoyah

 

Dengan adanya haul ini kita bisa memper-erat tali silaturahmi antara guru,mukimin dan juga santri, sebagaimana amanat mama syaikhuna “kade ka para muqimin / muqimat kudu ngagumatiken kana silaturahmi”. Ada terdiri dengan berbagai kemasan untuk bisa silaturahmi ke Al-Musri’, yaitu pengajian mingguan, pengajian bulanan, Haul mama syaikhuna dalam satu tahun sekali, dan reuni akbar yang hanya dilakukan 5 tahun sekali.

“Alhamdulillah saya bisa di undang ke pondok pesantren miftahul huda al-Musri’ dan mengisi acara Tabligh Akbar dalam memperingati haul Masyayikh Al-Musri yang ke-23 semoga saya dapat barokah di guru-guru al-Musri’”. Ucap Ustadzah Aah Nurul Muhibbah