Niat Puasa Rajab Sekaligus Qadha Ramadhan, Apakah Diperbolehkan?


 Memasuki bulan Rajab, salah satu ibadah yang dianjurkan untuk dikerjakan adalah puasa. Mengingat banyaknya keutamaan di bulan Rajab, tak sedikit umat muslim yang ingin menunaikan puasa Rajab tersebut.
Namun, muncul pertanyaan bagi umat muslim yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan. Bolehkah menggabungkan niat puasa Rajab dengan qadha puasa Ramadhan?

menggabungkan puasa Rajab dengan puasa qadha Ramadhan sah dilakukan dengan niat berpuasa. Hal ini karena puasa rajab merupakan puasa sunah yang diperbolehkan untuk dilakukan dengan niat berpuasa secara mutlak tanpa diisyaratkan ta’yin atau menentukan jenis puasanya.

Misalnya, melafalkan niat “Saya niat berpuasa karena Allah,” tidak harus ditambahkan “karena melakukan kesunahan puasa Rajab”.

Sementara itu, puasa qadha Ramadhan merupakan puasa wajib yang sudah ditentukan jenis puasanya. Misalnya dengan melafalkan niat “Saya niat berpuasa qadha Ramadhan fardu karena Allah”.

Untuk itu, menggabungkan niat puasa Rajab dengan puasa qadha Ramadhan hukumnya diperbolehkan dan sah, serta pahala keduanya bisa didapatkan. Sebagaimana menurut Syekh al-Barizi yang mengatakan meski hanya niat qadha puasa Ramadhan, maka secara otomatis pahala berpuasa Rajab pun tetap bisa didapatkan.

Adapun penjelasan di atas berdasarkan keterangan dalam kitab Fathul Mu’in serta hasyiyahnya, I’anatuth Thalibin, sebagai berikut:

وبالتعيين فيه النفل أيضا فيصح ولو مؤقتا بنية مطلقة كما اعتمده غير واحد (وقوله ولو مؤقتا) غاية في صحة الصوم في النفل بنية مطلقة أي لا فرق في ذلك بين أن يكون مؤقتا كصوم الاثنين والخميس وعرفة وعاشوراء وأيام البيض أو لا كأن يكون ذا سبب كصوم الاستسقاء بغير أمر الإمام أو نفلا مطلقا (قوله بنية مطلقة ) متعلق بيصح فيكفي في نية صوم يوم عرفة مثلا أن يقول نويت الصوم ( قوله كما اعتمده غير واحد) أي اعتمد صحة صوم النفل المؤقت بنية مطلقة وفي الكردي ما نصه في الأسنى ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي الصوم في الأيام المتأكد صومها منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ زاد في الإيعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا نواه معه أو لا وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في

يوم راتبان كعرفة ويوم الخميس انتهى

Artinya: Dan dikecualikan dengan pensyaratan ta’yin (menentukan jenis puasa) dalam puasa fardu, yaitu puasa sunah, maka sah berpuasa sunah dengan niat puasa mutlak, meski puasa sunah yang memiliki jangka waktu sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama. Ucapan Syekh Zainuddin, meski puasa sunah yang memiliki jangka waktu, ini adalah ghayah (puncak) keabsahan puasa sunah dengan niat puasa mutlak, maksudnya tidak ada perbedaan dalam keabsahan tersebut antara puasa sunah yang berjangka waktu seperti puasa Senin-Kamis, Arafah, Asyura’ dan hari-hari tanggal purnama. Atau selain puasa sunah yang berjangka waktu, seperti puasa yang memiliki sebab, sebagaimana puasa istisqa dengan tanpa perintah imam, atau puasa sunnah mutlak. Ucapan Syekh Zainuddin, dengan niat puasa mutlak, maka cukup dalam niat puasa Arafah dengan niat semisal, saya niat berpuasa. Ucapan Syekh Zainuddin, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama, maksudnya lebih dari satu ulama berpegangan dalam keabsahan puasa sunah dengan niat puasa mutlak. Dalam kitabnya Syekh al-Kurdi disebutkan, dalam kitab Al-Asna demikian pula Syekh Khatib al-Sayarbini dan Syekh al-Jamal al-Ramli, berpuasa di hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa secara otomatis tertuju pada hari-hari tersebut, bahkan apabila seseorang berniat puasa beserta niat puasa lainnya, maka pahala keduanya berhasil didapatkan.

Dalam kitab Al-I’ab ditambahkan, dari kesimpulan tersebut, Syekh al-Barizi berfatwa bahwa apabila seseorang berpuasa qadha (Ramadhan) atau lainnya di hari-hari yang dianjurkan berpuasa, maka pahala keduanya bisa didapat, baik disertai niat berpuasa sunnah atau tidak. Ulama lain menyebutkan, demikian pula apabila bertepatan bagi seseorang dalam satu hari dua puasa rutin, seperti puasa hari Arafah dan puasa hari Kamis.

Niat Puasa Rajab
Sama halnya dengan cara membaca niat puasa pada umumnya, waktu niat puasa Rajab dilafalkan pada malam hari, yaitu sejak terbenamnya matahari sampai terbit fajar.

Berikut bacaan niat puasa Rajab

نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَجَبَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma Rajaba sunnatan lillahi ta’ala.

Artinya: Aku berniat puasa Rajab, sunah karena Allah ta’ala.

Niat Puasa Rajab Saat Siang Hari
Bagi umat muslim yang lupa melafalkan niat pada malam hari, diperbolehkan untuk melafalkannya pada siang hari, yaitu dari pagi hari sampai sebelum tergelincirnya matahari (waktu zuhur), dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Hal ini karena puasa Rajab adalah puasa sunah.

Berikut ini bacaan niat puasa Rajab yang dilafalkan pada siang hari

Berikut adalah lafal niat ketika siang hari:

نَوَيْتُ صَوْمَ هٰذَا الْيَوْمِ عَنْ أَدَاءِ شَهْرِ رَجَبَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hadzal yaumi ‘an ada’i syahri rajaba lillahi ta’ala.

Artinya: Saya niat puasa sunnah bulan Rajab hari ini, sunnah karena Allah ta’ala.

Niat Puasa Rajab Sekaligus Qadha Ramadhan
Bagi umat muslim yang ingin menunaikan puasa Rajab sekaligus puasa qadha Ramadhan, berikut bacaan niatnya:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءٍ فَرْضَ رَمَضَانً ِللهِ تَعَالَى

Nawaitu Shouma Ghodin ‘an qadaa’in fardho ramadhoona lillahi ta’alaa.

Artinya: Saya niat puasa esok hari karena mengganti fardhu Ramadan karena Allah ta’ala.

Doa Buka Puasa
Sama halnya dengan puasa-puasa lainnya,berikut ini bacaan doa buka puasa Rajab yang juga bisa dibaca saat puasa qadha Ramadhan.

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa’ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin.

Artinya : Ya Allah, untukMu aku berpuasa, dan kepadaMu aku beriman, dan dengan rezekiMu aku berbuka. Dengan rahmatMu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Demikian bacaan niat puasa Rajab sekaligus puasa qadha Ramadhan lengkap dengan doa buka puasanya.


Editor: Alima sri sutami mukti

3 Manfaat Muhasabah menurut Imam al-Ghazali



 Imam Abu Hamid al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan, Iran pada tahun 450 H / 1058 M. Ia mendapat gelar Hujjatul Islam karena membela agama Islam dari berbagai aliran yang menyimpang. Ayahnya bernama Muhammad bin Ahmad, seorang tukang tenun yang miskin. Al-Ghazali memiliki seorang kakak laki-laki bernama Hamid yang meninggal saat masih kecil. Al-Ghazali sosok yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, teologi, tasawuf dan fikih. Tak kalah penting, Imam Ghazali dikenal juga sebagai ahli dan pakar dalam bidang tasawuf. Kitab Ihya Ulumuddin, yang merupakan magnum opusnya, menjadi rujukan berbagai kalangan, terutama santri dan pondok pesantren di Nusantara.

Di kitab Ihya Ulumuddin pula Imam Ghazali banyak membicarakan konsep muhasabah. Konsep muhasabah adalah kegiatan merenungkan dan menilai perbuatan yang telah dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengetahui perbuatan baik dan buruk yang telah dilakukan, serta memahami niat dan tujuan dari perbuatan tersebut. Lebih dari itu, Imam Ghazali menjelaskan bahwa tujuan dari muhasabah adalah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Dengan menyadari kekurangan diri, seseorang akan termotivasi untuk memperbaiki diri dengan meningkatkan amal kebaikan dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, seseorang akan dapat menghindari perbuatan yang tidak diridhai oleh Tuhan

اعلم أن العبد كما [ينبغي أن] يكون له وقت في أول النهار يشارط فيه نفسه على سبيل التوصية بالحق، فينبغي أن يكون له في آخر النهار ساعة يطالب فيها النفس ويحاسبها على جميع حركاتها وسكناتها، كما يفعل التجار في الدنيا مع الشركاء في آخر كل سنة أو شهر أو يوم حرصا منهم على الدنيا، وخوفا من أن يفوتهم منها ما لو

فاتهم لكانت الخيرة لهم في فواته

 Artinya: “Ketahuilah bahwa hamba, sebagaimana seharusnya memiliki waktu di awal hari untuk berjanji kepada dirinya sendiri untuk berpegang teguh pada kebenaran, maka seharusnya ia juga memiliki waktu di akhir hari untuk menuntut jiwanya dan memperhitungkannya atas semua gerak-geriknya dan diamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh para pedagang di dunia dengan para mitra mereka di akhir setiap tahun, bulan, atau hari, karena kegigihan mereka terhadap dunia, dan karena takut jika mereka kehilangan sesuatu dari dunia yang jika mereka kehilangannya, itu akan lebih baik bagi mereka jika hilang.”

 … فكيف لا يحاسب العاقل نفسه فيما يتعلق به خطر الشقاوة والسعادة أبد الآباد ؟ ما هذه المساهلة إلا عن الغفلة والخذلان وقلة التوفيق نعوذ بالله من ذلك   “Maka bagaimana mungkin orang yang berakal tidak memperhitungkan dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan bahaya kesengsaraan dan kebahagiaan selamanya? Apa ini kemalasan kecuali karena kelalaian, kehinaan, dan sedikit taufik? Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.”
Manfaat muhasabah atau introspeksi diri  Berdasarkan penjelasan Imam Ghazali ini, introspeksi diri penting dilakukan oleh setiap orang. Ada setidaknya 3 manfaat dari muhasabah bagi seorang Muslim.

Pertama, muhasabah dapat membantu untuk memperbaiki diri dan menjauhi perbuatan dosa.

Hal ini karena muhasabah adalah proses introspeksi diri, di mana kita merenungkan dan mengevaluasi perbuatan, sikap, dan kebiasaan sendiri. muhasabah dapat dilakukan setiap hari, di awal dan di akhir hari.  Di awal hari, kita dapat berjanji kepada diri sendiri untuk berpegang teguh pada kebenaran. Kita dapat menetapkan tujuan dan target yang ingin dicapai pada hari itu. Di akhir hari, kita dapat menuntut jiwa kita dan memperhitungkannya atas semua gerak-geriknya dan diamnya. Kita dapat meninjau kembali perbuatan kita selama hari itu, dan mengidentifikasi kesalahan atau kekurangan yang telah kita lakukan. Hal ini selaras dengan hadits Nabi Muhammad saw, yang menganjurkan seorang Muslim untuk introspeksi, kemudian memperbaiki diri. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, disebutkan bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Orang yang merugi adalah orang yang hari ini sama dengan hari kemarin. 
Sementara orang yang celaka adalah orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Hal ini berarti bahwa orang tersebut justru mundur atau mengalami kemunduran dalam dirinya. Simak sabda Rasulullah berikut: من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون.( رواه الحاكم)

 Artinya: “Barangsiapa hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia beruntung. Barangsiapa hari ini sama dengan kemarin, maka ia merugi. Barangsiapa hari ini lebih buruk dari kemarin, maka ia terlaknat”. (HR. Al-Hakim).

Kedua, muhasabah akan menumbuhkan rasa tanggung jawab.

Kita sadar akan kewajiban di hadapan Allah, sesama manusia, dan diri sendiri yang terikat akan aturan agama. Melalui muhasabah, manusia mengerti bahwa hidup ini bermakna dan kelak kembali kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Q.S al-Hasyr [59] ayat 18

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” menjelaskan bahwa ayat ini mengajarkan kita untuk selalu berorientasi pada masa depan. Apa yang kita lakukan hari ini akan berdampak pada masa depan kita. Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk.

 يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ في كل ما تأتون وما تذرون، وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ برة أو فاجرة ما قَدَّمَتْ لِغَدٍ، أي ما تريد أن تحصله ليوم القيامة فتفعله، وَاتَّقُوا اللَّهَ بأداء الواجبات وترك المعاصي، إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ (١٨) من الخير والشر، فلا تعملون عملا إلا كان بمرأى منه تعالى، ومسمع، فاستحيوا منه تعالى

 Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dalam segala hal yang kamu lakukan dan tinggalkan. Hendaklah setiap orang, baik yang saleh maupun yang jahat, memperhatikan apa yang telah ia persiapkan untuk hari esok. Artinya, apa yang ingin ia raih untuk hari kiamat, maka lakukanlah. Dan bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Sesungguhnya Allah Mahatahu apa yang kamu kerjakan, baik yang baik maupun yang buruk. Tidak ada satu pun perbuatan yang kamu lakukan kecuali berada di hadapan dan di pendengaran-Nya. Maka, malu lah kepada-Nya.”  

  Ketiga, muhasabah menjaga diri dari perbuatan maksiat.

 Orang-orang yang  selalu introspeksi, maka ia akan menjaga diri dari godaan dosa, yang kelak akan membahayakan diri di hari kiamat. Lebih dari itu, orang yang selalu bermuhasabah diri akan siap menjawab pertanyaan Allah swt dan akan mendapatkan akhirat yang baik. Sebaliknya, orang yang tidak introspeksi diri akan menyesal dan akan berdiri lama di padang mahsyar.

استدل بذلك أرباب البصائر أن الله تعالى لهم بالمرصاد ، وأنهم سيناقشون في الحساب ، ويطالبون بمثاقيل الذر من الخطرات واللحظات ، فتحققوا أنهم لا ينجيهم من هذه الأخطار إلا لزوم المحاسبة وصدق المراقبة ومطالبة النفس في الأنفاس والحركات ، ومحاسبتها في الخطرات واللحظات

 Artinya: “Dengan demikian, orang-orang yang memiliki pemahaman yang mendalam mengetahui bahwa Allah swt mengawasi mereka, dan bahwa mereka akan diadili dan dimintai pertanggung jawaban atas setiap gerak-gerik dan pikiran mereka, meskipun sekecil atom. Mereka menyadari bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali dengan selalu introspeksi, benar-benar menjaga diri dari godaan, menuntut diri sendiri dalam setiap tarikan napas dan gerakan, dan memperhitungkan diri sendiri dalam setiap pikiran dan momen.”

   . فمن حاسب نفسه قبل أن يحاسب خف في القيامة حسابه ، وحضر عند السؤال جوابه ، وحسن منقلبه ومآبه ، ومن لم يحاسب نفسه دامت حسراته ، وطالت في عرصات القيامة

 “Siapa pun yang introspeksi diri sebelum dihakimi, maka perhitungannya di hari kiamat akan menjadi lebih ringan, jawabannya akan siap ketika ditanya, dan akhir dan kembalinya akan menjadi baik. Siapa pun yang tidak introspeksi diri, maka penyesalan akan terus ada dalam dirinya, dan ia akan berdiri lama di padang mahsyar.  Dengan demikian, tujuan muhasabah adalah untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan. Muhasabah dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran diri akan kesalahan dan kekurangan, sehingga dapat menjadi motivasi untuk memperbaiki diri 

Cara Melakukan Muhasabah Diri

 cara melakukan muhasabah diri yaitu sebagai berikut:

1. Bersahabat dengan orang-orang saleh

Salah satu rezeki yang Allah SWT berikan kepada seorang muslim adalah dengan dikelilingi oleh sahabat yang saleh. Teman yang saleh dapat mengingatkan kekeliuran kamu. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari]

Selain itu, dalam hadis juga disebutkan:

“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [HR. Abu Dawud].

2. Tidak menutup diri dari masukan orang lain

Seseorang terkadang melakukan kesalahan yang tidak ia sadari. Dengan tidak menutup diri, seorang muslim dapat senantiasa mengevaluasi diri. Dalam suatu riwayat, Imam Bukhari menceritakan usul Umar kepada Abu Bakar RA dalam mengumpulkan Al Qur’an. Saat itu, Abu Bakar menolak usul tersebut namun Umar terus mendesak dan mengatakan bahwa hal itu adalah kebaikan. Akhirnya, Abu Bakar menerima usul tersebut dan mengatakan:

“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan aku pun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari]

3. Menyendiri untuk bermuhasabah

Menyediri untuk bermuhasabah tentunya inti dari muhasabah diri itu sendiri. Hal ini bisa kamu lakukan untuk mengevaluasi dan introspeksi diri. Diriwayatkan dari Umar bin Khathab, beliau mengatakan: 

“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi]

Selain itu, dari Maimun bin Mihran, beliau berkata: 

“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi]

Editor: Alima sri sutami mukti

Ibu: Manifestasi Tuhan yang Nyata

Hakikat Tuhan di dunia ini adalah kasat mata. Tidak bisa dilihat oleh mata bagi para hamba-Nya. Semua agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, maupun lainnya memiliki keyakinan yang sama berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Tentu saja hal ini tidak menjadikan keyakinan para pemeluk agama menjadi berkurang. Karena dari awal telah meyakini bahwa keberadaan Sang Pencipta, meskipun tidak bisa dilihat secara panca indera. Tetapi dalam hati nurani telah terpatri sebuah keyakinan bahwa Tuhan itu ada, namun tidak bisa dilihat. Keberadaan cukup diyakini keberadaanya. Namun ada satu sosok Tuhan di dunia ini yang bisa dilihat dengan panca indera kita, yaitu Ibu. Sekilas ungkapan ini memang terkesan aneh, bahkan mengarah pada pandangan ekstrim. Namun, penulis menyejajarkan posisi Ibu seperti Tuhan bukan karena tidak meyakini adanya Tuhan. Tetapi berdasarkan sudut pandang lain yang masih berada dalam koridor agama dan tidak lari dari prinsip-prinsip tauhid.

Berdasarkan perspektif agama Islam, Ibu adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki keistimewaan, baik dihadapan-Nya maupun kontribusi terhadap peradaban dunia. Satu-satunya sosok yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kelahiran sang buah hati ke alam dunia. Seorang Ibu dengan penuh kesabaran merawat sang buah hati ketika di dalam kandungan selama 9 bulan genap hingga besar menjadi sosok manusia yang berbudi luhur. Dilansir dari salah satu laman Republika.com, bahwa Ibu dalam kacamata Islam dimaknai sebagai poros dan sumber kehidupan. Dari rahim seorang Ibu, akan lahir berbagai warna warni kehidupan untuk meramaikan dunia seisinya.

Sebelum membahas lebih spesifik terkait alasan menyejajarkan kedudukan Ibu dengan Tuhan, akan lebih bijak jika kita bersama-sama menyimak salah satu hadist Rasulullah SAW berikut ini. “Dari Abu Hurairah R.A beliau berkata “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Nabi menjawab, “Ibumu”. Pertanyaan ini diulangi hingga tiga kali sampai pada pertanyaan terakhir Rasululllah menjawab “Kemudian adalah ayahmu”. (HR Bukhari Muslim).

Mungkin kita sempat merasa bingung kenapa dalam teks hadist ini kata Ibu diulangi sebanyak tiga kali. Tentu saja Rasulullah SAW mempunyai alasan dan maksud tujuan di luar kemampuan kita sebagai umatnya. Syaikh Fadhlullah Al Jilani, ulama India mengatakan bahwa alasan Rasulullah SAW mengulangi perkataan Ibu adalah karena kesulitan yang dirasakan ibu ketika hamil. Seorang Ibu rela mempertaruhkan nyawa demi keselamatan anaknya. Tidak sampai di sini, perjuangan Ibu berlanjut ketika setelah melahirkan. Ibu dengan ikhlas dan sabar selalu merawat anaknya hingga besar sampai mereka sukses. Separuh hidup Ibu semata-mata hanya untuk mengurus, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Dari sinilah muncul sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh penyair Hafizh Ibrahim sebagai berikut : “Al-Ummu Madrasatul Ula.” Artinya Ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Maksudnya adalah Ibu menjadi gerbang pertama yang memberikan dasar-dasar pengetahuan kepada anak. Beliau mengenalkan tentang makna kehidupan sehingga anak memahami tentang etika sosial kemasyarakatan yang berlaku di tempat ia tinggal.

Besarnya perjuangan seorang Ibu kepada anaknya ini menjadikan setiap do’a yang keluar dari lisan Ibu dijamin mustajab. Telah banyak dijanjijkan oleh Allah SWT melalui hadist dan firman-Nya yang menjelaskan tentang do’a Ibu. Begitu pula dengan ridlanya. Ridla kedua orang tua terutama Ibu sangat penting bagi seorang anak. Do’a dan ridla orang tua adalah dua hal yang tidak bisa dianggap remeh, khususnya bagi seorang anak. Apapun keinginan anak, harus mendapat ridla beserta do’a orang tua, khususnya Ibu. Hal itu sangat penting karena berkaitan dengan ridla Allah SWT kepada keinginan anak tersebut. Hakikatnya adalah ridla Allah SWT terletak pada ridla kedua orang tuanya, terutama ibu. Jika seorang Ibu ridla kepada anaknya, maka bisa dipastikan bahwa ridla Allah SWT telah bersamaan dengan ridla seorang Ibu. Dan sebaliknya, ketika ibu enggan memberikan ridla, maka Allah SWT juga enggan memberikan ridla kepadanya.

Itulah mengapa pada narasi awal berani menyampaikan seorang Ibu sejajar dengan Tuhan. Bukan semata-mata karena ia adalah dzat yang wajib disembah apalagi diagungkan. Melainkan adalah karena mulianya sosok Ibu, ditambah setiap perkataan dan ridla yang keluar dari lisannya adalah setara dengan ridla Allah SWT. Seakan-akan apapun yang ada di dalam hati seorang Ibu bisa dengan mudah dilaksanakan jika ia meminta kepada Allah SWT. Ketika seorang Ibu ridla, maka Allah SWT akan ridla, begitu juga dengan do’a Ibu. Apapun do’a yang Ibu panjatkan entah baik atau buruk dan itu untuk anaknya, niscaya tidak ada penghalang bagi Allah SWT untuk menolaknya permintaan do’a itu. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Ada tiga doa yang tidak tertolak: [1] doa orang tua (kepada anaknya) [2] orang-orang yang berpuasa [3] doa orang yang sedang safar” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan-nya no. 6619, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah).

Juga tidak lupa dalam keindahan Al-Quran, termaktub kisah-kisah mengharukan dan menginspirasi tentang perjuangan empat ibu mulia. Hajar, Milyanah, Hanah, dan Maryam, keempat perempuan ini melukis cerita tentang keimanan, kesabaran, dan keteguhan hati dalam menghadapi ujian kehidupan. Masing-masing membawa pesan mendalam tentang kasih ibu, keberanian, dan ketulusan yang menggetarkan hati.

Hajar Ibunda Nabi Ismail

Salah satu kisah yang mengharukan adalah kisah Hajar, ibunda Ismail. Ketika Nabi Ibrahim berdoa dan meninggalkannya bersama Ismail di gurun tandus, ia berucap, “Ya Tuhan Kami, sesungguhnya diriku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Ka’bah) yang dihormati. Ya Allah, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan sholat. Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim ayat 37).

Keteguhan dan kesabaran Hajar diuji oleh Allah ketika Ismail membutuhkan air. Dalam pencarian air, Hajar berlari bolak-balik antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah. Al-Quran menjelaskan, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka, siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumroh, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah ayat 158).

Dalam kisah ini, para ibu diajarkan tentang ketekunan, kesabaran, dan kepasrahan kepada kehendak Allah. Hajar barangkali tidak memikirkan keadaan dirinya yang sedang lemah tak ada tenaga, namun ia tetap berusaha melakukan ikhtiar untuk mendapatkan air. Beginilah sosok ibu yang senantiasa tidak rela bila mendapati anaknya berada dalam kelaparan, kehausan, dan kepayahan.

Milyanah Ibunda Nabi Musa

Selain kisah Hajar, Al-Quran menuturkan kisah ibu yang luar biasa, yakni ibunda Musa, yang oleh sejarawan disebut Milyanah. Dalam masa pemerintahan Fir’aun yang kejam, di mana penguasa tersebut memerintahkan pembunuhan terhadap bayi laki-laki Bani Israil, Milyanah menghadapi ujian besar. Fir’aun melaksanakan kebijakan yang mengerikan: “Sungguh, Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sungguh, dia (Fir’aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash ayat 4).

Milyanah, ibu Musa, hidup dalam keadaan bingung dan terpukul dengan kebijakan diskriminatif Fir’aun. Di tengah keputusasaan itu, Allah memberi ilham ke dalam hatinya untuk mengambil langkah yang benar: “Letakkanlah ia (Nabi Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Firaun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS. Thaha ayat 39).

Sebelum peti itu terlempar ke sungai Nil, sang ibu menyusui Musa. Al-Quran mencatat, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya. Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil), dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari Para Rasul.” (QS. Al-Qashash ayat 7).

Kisah Milyanah menggambarkan keharuan seorang ibu yang tegar dalam menghadapi ujian berat. Kesetiaan dan keberanian yang ditunjukkan oleh ibu Musa menjadi inspirasi abadi bagi setiap ibu yang menghadapi tantangan dalam perjalanan hidupnya.

Hanah Ibunda Maryam

Dalam Al-Quran, kita mendapati kisah Hanad, ibunda Maryam, dan istri dari Imran. Hanad terkenal karena melakukan nazar sebelum kelahiran Maryam, menghadiahkan anaknya untuk berbakti di Baitul Maqdis. “(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran ayat 35).

Namun, ketika saat kelahiran tiba, kenyataan tak sesuai dengan prasangka ibunda Maryam. Hanad, dengan tulus dan rendah hati, menerima anak perempuannya sebagai anugerah dari Allah dan tetap setia pada nazarnya. “Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: ‘Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk (QS. Ali Imran ayat 36).

Kisah Hanad memancarkan ketulusan dan keikhlasan seorang ibu yang setia pada janji dan nazar yang telah diucapkannya. Sebagai teladan bagi umat, Hanad mengajarkan kita untuk selalu berserah diri pada kebijaksanaan Allah meski rencana kita tak selalu sejalan dengan takdir-Nya.

Maryam Ibunda Nabi Isa

Maryam bin Imran mengukir kisah yang mempesona dalam lembaran Al-Quran. Ia bukan hanya seorang perempuan biasa, tetapi teladan bagi setiap muslimah di berbagai pelosok dunia. Keimanan dan ketakwaannya kepada Allah membawa berkah luar biasa, menciptakan keajaiban yang mengejutkan orang-orang di sekitarnya.

Al-Quran mencitrakan Maryam sebagai figur perempuan yang mulia, suci, dan penuh kesabaran. “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Ali Imran ayat 42-43).

Dengan kasih sayang Ilahi yang melimpah, Maryam membuktikan bahwa seorang perempuan dapat menjadi teladan yang memancarkan cahaya keimanan dan ketakwaan, menginspirasi generasi setelahnya. Melalui kisahnya, Al-Quran mengajarkan bahwa kepatuhan kepada Allah dan kesucian hati adalah pondasi yang kokoh untuk memperoleh keberkahan-Nya.

Empat Kisah tentang Ibu di dalam Al Quran di atas memberikan nilai-nilai keteguhan, kesabaran, keikhlasan, dan ketakwaan yang melekat dalam peran seorang ibu. Kisah Hajar, Milyanah, Hanah, dan Maryam merupakan panduan hidup bagi setiap ibu dan perempuan muslimah. Keberanian, kepasrahan, dan keikhlasan mereka di hadapan ujian hidup menggambarkan kebesaran peran seorang ibu dalam membentuk karakter, menghadapi cobaan, dan mendidik generasi penerus.

Semoga bisa meneladani ketulusan dan dedikasi para ibu yang terabadikan dalam Al Quran, sehingga peran suci sebagai ibu dapat terus dijaga dan diperjuangkan sebagai fondasi keluarga yang kokoh. Dengan demikian, semoga kita dapat meraih keberkahan dunia dan akhirat, serta menerima peran ibu dengan penuh kebermaknaan dan kesuksesan.

Penulis: Raisya Audyra

Resolusi Jihad: Upaya mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia

Pertempuran 10 November di Surabaya menjadi salah satu pertempuran terhebat dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Namun, siapa sangka di balik peristiwa hebat itu ada peran penting yang dimaikan oleh kaum santri.

Pertempuran dahsyat di Surabaya itu tak lepas dari resolusi jihad yang dicetuskan oleh Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.

Resolusi jihad itu dicetuskan merespons kedatangan tantara Inggris kembali ke Indonesia. Mereka datang dengan bantuan Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Resolusi Jihad bermula saat Presiden RI Pertama, Soekarno, mengirim utusan kepada K.H. Hasyim Asyari untuk menanyakan hukum dalam agama Islam mengenai membela tanah air dari ancaman penjajah.

Pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil dari cabang Nahdlatul Ulama (NU) di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya untuk membahas hukum membela tanah air dalam Islam.

Hasil dari pertemuan tersebut adalah lahirnya Resolusi Jihad yang berisi kewajiban dalam membela tanah air melawan NICA.

Resolusi Jihad inilah yang memotivasi kiai dan kaum santri untuk mulai melawan penjajah. Mereka membawa semangat perlawanan ini hingga puncaknya pada 10 November di Surabaya.

Ratusan santri dari Pulau Jawa dan Madura berkumpul dan bertempur di Surabaya. Mereka datang dari berbagai daerah seperti Cirebon di bawah pimpinan Kiai Abas Buntet hingga para santri Kediri yang dipimpin oleh Kiai Mahrus Ali Lirboyo.

Meski berbekal peralatan sederhana seperti bambu runcing dan benda tajam lainnya, semangat untuk membela bangsa dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia begitu kuat dalam hati mereka.

Perlu diketahui, pidota Bung Tomo yang membakar semangat arek-arek Suroboyo pada masa itu juga terinspirasi oleh fatwa Resolusi Jihad.

Dan untuk melanjutkan estafet perjuangan para pahlawan kita sebagai anak muda harus mempunyai semangat yang membara untuk membangun negri ini menjadi lebih maju, dan kita harus sadar betapa penting nya peran pemuda dalam kemajuan bangsa

”Sesungguhnya mereka ialah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi : 13)

 Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa kekuatan sebuah bangsa terletak di tangan para pemudanya, karena merekalah yang kelak akan menunjukkan wajah kehormatan suatu bangsa dalam segala kontes kehidupan. Yang jika para pemuda dalam suatu negara mengalami kerusakan moral dan agama, maka sangat disayangkan nasib bangsa itu nantinya.

Berbicara tentang pemuda berarti berbicara tentang masa depan, sebab pemuda ialah generasi pewaris yang akan menggantikan estafet kepemimpinan sebuah generasi baik dalam keluarga, kelompok, organisasi, bangsa dan dunia. Pemuda merupakan motor penggerak peradaban, mereka merupakan harapan besar bagi kemajuan bangsa, negara dan agama. Oleh karenanya jika kita ingin mengetahui bagaimana suatu negara dimasa yang akan datang, maka lihatlah pemudanya di masa sekarang. Untuk itu amat diperlukannya pendidikan moral, agama, hingga pengembangan wawasan agar suatu negara kelak dapat menghasilkan pemuda-pemuda yang hebat serta taat pada perintah agama. Yang insya allah kelak akan menjadi tonggak kesuksesan suatu negara, juga menjadi inspirasi bagi siapapun yang melihat dan mengenalnya. Dipundak pemudalah harapan dan cita-cita bangsa digantungkan, sehingga pemuda dituntut untuk dapat berperan aktif dalam garda terdepan pembangunan bangsa baik fisik maupun mental.

Dalam sejarah peradaban bangsa sendiri, pemuda merupakan aset bangsa yang sangat mahal dan tak ternilai harganya. Kemajuan atau kehancuran suatu bangsa tergantung pada kaum mudanya sebagai agen of change (agen perubahan), yang mana pada setiap perkembangan serta pergantian peradaban selalu ada darah muda yang memeloporinya. Namun, pemuda indonesia dewasa ini telah banyak kehilangan jati dirinya, terutama dalam hal wawasan kebangsaan dan patriotisme (cinta tanah air) indonesia. Yang oleh sebab itu dibutuhkan adanya re-thinking (pemikiran kembali) dan re-inventing (penemuan kembali), dalam nation character building (pembangunan karakter bangsa) bagi para pemuda yang kurang berwawasan kebangsaan dan patriotisme untuk menemukan kembali jati diri bangsa.

Sepanjang sejarah peradaban dunia, Islam memiliki pemuda-pemuda hebat pada zamannya masing-masing. Yang mana di usianya yang cenderung masih sangat muda, mereka mampu menorehkan karya-karya luar biasa untuk kelangsungan peradaban dunia.

  • Yang pertama, ada Muhammad Al-Fatih. Mehmed dikenal sebagai pemimpin yang cakap serta ahli dalam bidang kemiliteran, ilmu pengetahuan, matematika, dan menguasai enam bahasa saat beranjak 21 tahun. Ia dikenal sebagai pahlawan di Turki, maupun dunia Islam secara luas. Dalam sejarah peradaban Islam sendiri, Mehmed dikenal sebagai salah seorang pemimpin yang hebat, yang mana sebelumnya telah diramalkan oleh Rasulullah SAW kehadirannya.
  • Selanjutnya ada Ibnu Battuta, yang mana ia dikenal sebagai penjelajah dunia paling andal dari Maroko. Gairahnya berpetualang ke dunia luar begitu membara, ia berharap kelak dapat belajar lebih banyak. Dalam perjalanannyalah ia menulis buku berjudul ‘Rihlah’, yang mana di dalamnya ia mengungkapkan alasan mengapa ia meninggalkan kota kelahirannya dan memutuskan menjelajah. Yakni “Tujuanku untuk berziarah ke Kabah (di Makkah), dan untuk mengunjungi makam Nabi”, berbekal tujuan ini Ibnu Battuta mengembara dengan keledainya meninggalkan kota kelahirannya di Tangier, Maroko. Ia pergi seorang diri ke arah timur di sepanjang wilayah Afrika Utara, melewati lembah, sungai, dan daratan-daratan kering yang diapit serangkaian pegunungan.
  • Lalu dari tokoh wanitanya ada Fatimah Al-Fihri, perempuan hebat yang semangat menjadi duta kebaikan dari Kairouan Tunisia. Universitas Al-Qarawiyyin dan pendirinya ‘Fatima al Fihri’ ialah permata mahkota dan simbol kuat aspirasi perempuan serta pemimpin kreatif dalam sejarah peradaban Muslim. Didirikan pada tahun 859 (hampir seratus tahun sebelum pendirian Al Azhar di Kairo) dan terletak di medina tua Fez, Universitas al-Qarawiyyin di Maroko sendiri telah lama diakui dalam Guinness Book of World Records sebagai lembaga tertua di dunia yang beroperasi sebagai universitas pemberi gelar akademik.

juga masih banyak lagi tokoh-tokoh pemuda inspiratif islam lainnya yang memiliki peran penting dalam kelangsungan peradaban dunia.

Penulis: Raisya Audyra

Esensi Korupsi pada Zaman Rasulullah

Korupsi merupakan satu persoalan bangsa yang hingga kini tetap menjadi prioritas utama untuk memberantasnya. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Namun upaya dari semua itu tetap belum menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan boleh dibilang korupsi terus saja mengganas. Sampai-sampai timbul rasa pesimis bahwa pemberantasan korupsi merupakan sesuatu yang mustahil. Ungkapan-ungkapan seperti bahwa korupsi di negara ini tak ubahnya virus yang terus berkembang serta menjalar tanpa bisa lagi terdeteksi, kondisi korupsi saat ini sudah memasuki keadaan tidak berpengharapan , atau negara dalam keadaan darurat korupsi adalah cermin dari rasa pesimisme itu. 

Esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Demikian definisi yang diberikan Syed Hussein Alatas dalam bukunya, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi. Dengan tegas, ajaran Islam melarang perbuatan tersebut.

Ada banyak firman Allah SWT yang menegaskan terlarangnya korupsi. Misalnya, Alquran surah al-Baqarah ayat 188.
وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Dalam khazanah Islam, istilah lain untuk korupsi adalah risywah. Bahasa Indonesia menyerapnya menjadi kata rasuah. Itu maknanya disepadankan dengan, antara lain, tindakan suap-menyuap dengan niat mencuri hak orang lain, individual maupun kolektif.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Allah melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, sekaligus perantara suap yang menjadi penghubung antara keduanya.”

Penegakan hukum atas para koruptor sudah tampak jelas bahkan sejak zaman Nabi SAW. Dikisahkan, tatkala beliau masih hidup, pernah ada kasus. Itu bermula ketika Rasulullah SAW mengangkat seorang laki-laki untuk menjadi amil zakat bagi kabilah Bani Sulaim. Namanya pria itu adalah Abdullah bin al-Latbiyah.

Setelah melaksanakan tugasnya, maka pria itu menghadap Nabi SAW. Dia berkata, “Ini harta zakat untukmu (wahai Rasulullah SAW—untuk baitul maal) dan yang ini adalah hadiah (untukku).”

Rasulullah SAW pun menanggapinya, “Jika engkau benar (dalam menunaikan tugas), maka apakah engkau (mau) duduk di rumah ayah atau ibumu, maka hadiah itu datang kepadamu?”

Usai kejadian ini, beliau SAW berpidato di hadapan orang-orang. “Demi Allah,” seru beliau, “begitu seorang mengambil sesuatu dari hadiah itu tanpa hak, maka nanti pada Hari Kiamat, ia akan menemui Allah dengan membawa hadiah (yang diambilnya itu). Lalu, saya akan mengenalinya, dia memikul di atas pundaknya (bagaikan) unta melekik atau sapi melenguh atau kambing mengembek.”

Hadis cukup panjang yang disahihkan Imam Bukhari itu jelas mewanti-wanti kaum Muslimin agar berhati-hati dalam menjalankan amanat publik, apalagi yang berkaitan dengan ibadah syariat. 

“Barangsiapa yang telah aku angkat sebagai pekerja dalam satu jabatan kemudian aku beri gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah ghulul (korupsi),” demikian hadis lainnya dari Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud.

Betapa tegasnya Rasulullah SAW dalam persoalan harta halal dan haram. Hadis lainnya yang diriwayatkan Imam Bukhari mencerminkan hal itu.

Dikisahkan bahwa suatu hari setelah Penaklukan Khaibar, Abu Hurairah keluar bersama Nabi SAW. Keduanya tidak mendapatkan rampasan perang emas dan perak, melainkan benda tak bergerak, pakaian, sejumlah barang, dan seorang budak bernama Mid’am—yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW oleh Rafi’ah bin Zaid asal Bani ad-Dubaib.

Nabi SAW dan Abu Hurairah kemudian melanjutkan perjalanan ke Wadi al-Qura. Sesampainya di sana, Mid’am yang mengikuti mereka kemudian menurunkan barang-barang. Tiba-tiba, sebuah panah yang entah dari mana asalnya mengenai tubuh Mid’am, sehingga budak itu meninggal dunia.

“Maka orang-orang (yang melihat Mid’am) mengatakan, ‘Semoga dia masuk surga. Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak! Demi Tuhan yang diriku di tangan-Nya, sesungguhnya mantel yang diambilnya pada waktu Penaklukan Khaibar dari rampasan perang yang belum dibagi, akan menyulut api neraka yang akan membakarnya.’

Begitu orang-orang mendengar pernyataan Rasulullah SAW itu, ada seorang laki-laki menghampiri Nabi SAW dengan membawa beberapa utas tali. Al-Musthafa lalu bersabda, ‘Seutas tali sepatu sekalipun akan menjadi api neraka; dua utas tali sepatu akan menjadi api neraka (seandainya tidak dikembalikan kepada yang berhak)’”

Hadiah, mantel, atau tali sepatu barangkali dapat digolongkan sebagai hadiah kecil. Nilainya dapat dipastikan tidak sampai puluhan dirham atau jutaan rupiah. Bagaimanapun, Nabi Muhammad SAW tidak membeda-bedakan besar kecilnya harta haram. Siapapun yang dengan sengaja masih menyimpannya akan diancam dengan siksaan keras.

Contoh lainnya tentang betapa berat dosa korupsi, Rasulullah SAW juga mengenakan sanksi moral, yakni enggan menshalatkan jasad pelakunya. Beliau hanya menyuruh sahabat-sahabatnya agar melakukan hal tersebut.

Demikianlah, praktik korupsi sudah ada sejak lama dan menjadi perbuatan yang sangat dibenci dan dikecam, termasuk oleh Rasulullah. Nabi bersikap sangat tegas kepada para “pejabat” bawahannya agar dalam bertugas selalu adil, jujur, dan amanah. Tidak boleh “aji mumpung”, mumpung sedang menjabat, mumpung sedang memiliki kewenangan, mumpung sedang diberi kepercayaan, lalu mengorupsi harta milik publik. Korupsi bisa berakar dari ketidakjujuran dan rendahnya sikap empati terhadap orang lain. Karena itu, sekecil apap pun dua sifat tercela ini mesti kita musnahkan dari diri.

Sebagian disarikan dari NU Online.

Penulis: Raisya Audyra