Esensi Korupsi pada Zaman Rasulullah
Bagikan ini :

Korupsi merupakan satu persoalan bangsa yang hingga kini tetap menjadi prioritas utama untuk memberantasnya. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Namun upaya dari semua itu tetap belum menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan boleh dibilang korupsi terus saja mengganas. Sampai-sampai timbul rasa pesimis bahwa pemberantasan korupsi merupakan sesuatu yang mustahil. Ungkapan-ungkapan seperti bahwa korupsi di negara ini tak ubahnya virus yang terus berkembang serta menjalar tanpa bisa lagi terdeteksi, kondisi korupsi saat ini sudah memasuki keadaan tidak berpengharapan , atau negara dalam keadaan darurat korupsi adalah cermin dari rasa pesimisme itu. 

Esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Demikian definisi yang diberikan Syed Hussein Alatas dalam bukunya, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi. Dengan tegas, ajaran Islam melarang perbuatan tersebut.

Ada banyak firman Allah SWT yang menegaskan terlarangnya korupsi. Misalnya, Alquran surah al-Baqarah ayat 188.
وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Dalam khazanah Islam, istilah lain untuk korupsi adalah risywah. Bahasa Indonesia menyerapnya menjadi kata rasuah. Itu maknanya disepadankan dengan, antara lain, tindakan suap-menyuap dengan niat mencuri hak orang lain, individual maupun kolektif.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Allah melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, sekaligus perantara suap yang menjadi penghubung antara keduanya.”

Penegakan hukum atas para koruptor sudah tampak jelas bahkan sejak zaman Nabi SAW. Dikisahkan, tatkala beliau masih hidup, pernah ada kasus. Itu bermula ketika Rasulullah SAW mengangkat seorang laki-laki untuk menjadi amil zakat bagi kabilah Bani Sulaim. Namanya pria itu adalah Abdullah bin al-Latbiyah.

Setelah melaksanakan tugasnya, maka pria itu menghadap Nabi SAW. Dia berkata, “Ini harta zakat untukmu (wahai Rasulullah SAW—untuk baitul maal) dan yang ini adalah hadiah (untukku).”

Rasulullah SAW pun menanggapinya, “Jika engkau benar (dalam menunaikan tugas), maka apakah engkau (mau) duduk di rumah ayah atau ibumu, maka hadiah itu datang kepadamu?”

Usai kejadian ini, beliau SAW berpidato di hadapan orang-orang. “Demi Allah,” seru beliau, “begitu seorang mengambil sesuatu dari hadiah itu tanpa hak, maka nanti pada Hari Kiamat, ia akan menemui Allah dengan membawa hadiah (yang diambilnya itu). Lalu, saya akan mengenalinya, dia memikul di atas pundaknya (bagaikan) unta melekik atau sapi melenguh atau kambing mengembek.”

Hadis cukup panjang yang disahihkan Imam Bukhari itu jelas mewanti-wanti kaum Muslimin agar berhati-hati dalam menjalankan amanat publik, apalagi yang berkaitan dengan ibadah syariat. 

“Barangsiapa yang telah aku angkat sebagai pekerja dalam satu jabatan kemudian aku beri gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah ghulul (korupsi),” demikian hadis lainnya dari Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud.

Betapa tegasnya Rasulullah SAW dalam persoalan harta halal dan haram. Hadis lainnya yang diriwayatkan Imam Bukhari mencerminkan hal itu.

Dikisahkan bahwa suatu hari setelah Penaklukan Khaibar, Abu Hurairah keluar bersama Nabi SAW. Keduanya tidak mendapatkan rampasan perang emas dan perak, melainkan benda tak bergerak, pakaian, sejumlah barang, dan seorang budak bernama Mid’am—yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW oleh Rafi’ah bin Zaid asal Bani ad-Dubaib.

Nabi SAW dan Abu Hurairah kemudian melanjutkan perjalanan ke Wadi al-Qura. Sesampainya di sana, Mid’am yang mengikuti mereka kemudian menurunkan barang-barang. Tiba-tiba, sebuah panah yang entah dari mana asalnya mengenai tubuh Mid’am, sehingga budak itu meninggal dunia.

“Maka orang-orang (yang melihat Mid’am) mengatakan, ‘Semoga dia masuk surga. Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak! Demi Tuhan yang diriku di tangan-Nya, sesungguhnya mantel yang diambilnya pada waktu Penaklukan Khaibar dari rampasan perang yang belum dibagi, akan menyulut api neraka yang akan membakarnya.’

Begitu orang-orang mendengar pernyataan Rasulullah SAW itu, ada seorang laki-laki menghampiri Nabi SAW dengan membawa beberapa utas tali. Al-Musthafa lalu bersabda, ‘Seutas tali sepatu sekalipun akan menjadi api neraka; dua utas tali sepatu akan menjadi api neraka (seandainya tidak dikembalikan kepada yang berhak)’”

Hadiah, mantel, atau tali sepatu barangkali dapat digolongkan sebagai hadiah kecil. Nilainya dapat dipastikan tidak sampai puluhan dirham atau jutaan rupiah. Bagaimanapun, Nabi Muhammad SAW tidak membeda-bedakan besar kecilnya harta haram. Siapapun yang dengan sengaja masih menyimpannya akan diancam dengan siksaan keras.

Contoh lainnya tentang betapa berat dosa korupsi, Rasulullah SAW juga mengenakan sanksi moral, yakni enggan menshalatkan jasad pelakunya. Beliau hanya menyuruh sahabat-sahabatnya agar melakukan hal tersebut.

Demikianlah, praktik korupsi sudah ada sejak lama dan menjadi perbuatan yang sangat dibenci dan dikecam, termasuk oleh Rasulullah. Nabi bersikap sangat tegas kepada para “pejabat” bawahannya agar dalam bertugas selalu adil, jujur, dan amanah. Tidak boleh “aji mumpung”, mumpung sedang menjabat, mumpung sedang memiliki kewenangan, mumpung sedang diberi kepercayaan, lalu mengorupsi harta milik publik. Korupsi bisa berakar dari ketidakjujuran dan rendahnya sikap empati terhadap orang lain. Karena itu, sekecil apap pun dua sifat tercela ini mesti kita musnahkan dari diri.

Sebagian disarikan dari NU Online.

Penulis: Raisya Audyra


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *