3 Manfaat Muhasabah menurut Imam al-Ghazali
Imam Abu Hamid al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan, Iran pada tahun 450 H / 1058 M. Ia mendapat gelar Hujjatul Islam karena membela agama Islam dari berbagai aliran yang menyimpang. Ayahnya bernama Muhammad bin Ahmad, seorang tukang tenun yang miskin. Al-Ghazali memiliki seorang kakak laki-laki bernama Hamid yang meninggal saat masih kecil. Al-Ghazali sosok yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, teologi, tasawuf dan fikih. Tak kalah penting, Imam Ghazali dikenal juga sebagai ahli dan pakar dalam bidang tasawuf. Kitab Ihya Ulumuddin, yang merupakan magnum opusnya, menjadi rujukan berbagai kalangan, terutama santri dan pondok pesantren di Nusantara.
Di kitab Ihya Ulumuddin pula Imam Ghazali banyak membicarakan konsep muhasabah. Konsep muhasabah adalah kegiatan merenungkan dan menilai perbuatan yang telah dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengetahui perbuatan baik dan buruk yang telah dilakukan, serta memahami niat dan tujuan dari perbuatan tersebut. Lebih dari itu, Imam Ghazali menjelaskan bahwa tujuan dari muhasabah adalah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Dengan menyadari kekurangan diri, seseorang akan termotivasi untuk memperbaiki diri dengan meningkatkan amal kebaikan dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, seseorang akan dapat menghindari perbuatan yang tidak diridhai oleh Tuhan
اعلم أن العبد كما [ينبغي أن] يكون له وقت في أول النهار يشارط فيه نفسه على سبيل التوصية بالحق، فينبغي أن يكون له في آخر النهار ساعة يطالب فيها النفس ويحاسبها على جميع حركاتها وسكناتها، كما يفعل التجار في الدنيا مع الشركاء في آخر كل سنة أو شهر أو يوم حرصا منهم على الدنيا، وخوفا من أن يفوتهم منها ما لو
فاتهم لكانت الخيرة لهم في فواته
Artinya: “Ketahuilah bahwa hamba, sebagaimana seharusnya memiliki waktu di awal hari untuk berjanji kepada dirinya sendiri untuk berpegang teguh pada kebenaran, maka seharusnya ia juga memiliki waktu di akhir hari untuk menuntut jiwanya dan memperhitungkannya atas semua gerak-geriknya dan diamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh para pedagang di dunia dengan para mitra mereka di akhir setiap tahun, bulan, atau hari, karena kegigihan mereka terhadap dunia, dan karena takut jika mereka kehilangan sesuatu dari dunia yang jika mereka kehilangannya, itu akan lebih baik bagi mereka jika hilang.”
… فكيف لا يحاسب العاقل نفسه فيما يتعلق به خطر الشقاوة والسعادة أبد الآباد ؟ ما هذه المساهلة إلا عن الغفلة والخذلان وقلة التوفيق نعوذ بالله من ذلك “Maka bagaimana mungkin orang yang berakal tidak memperhitungkan dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan bahaya kesengsaraan dan kebahagiaan selamanya? Apa ini kemalasan kecuali karena kelalaian, kehinaan, dan sedikit taufik? Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.”
Manfaat muhasabah atau introspeksi diri Berdasarkan penjelasan Imam Ghazali ini, introspeksi diri penting dilakukan oleh setiap orang. Ada setidaknya 3 manfaat dari muhasabah bagi seorang Muslim.
Pertama, muhasabah dapat membantu untuk memperbaiki diri dan menjauhi perbuatan dosa.
Hal ini karena muhasabah adalah proses introspeksi diri, di mana kita merenungkan dan mengevaluasi perbuatan, sikap, dan kebiasaan sendiri. muhasabah dapat dilakukan setiap hari, di awal dan di akhir hari. Di awal hari, kita dapat berjanji kepada diri sendiri untuk berpegang teguh pada kebenaran. Kita dapat menetapkan tujuan dan target yang ingin dicapai pada hari itu. Di akhir hari, kita dapat menuntut jiwa kita dan memperhitungkannya atas semua gerak-geriknya dan diamnya. Kita dapat meninjau kembali perbuatan kita selama hari itu, dan mengidentifikasi kesalahan atau kekurangan yang telah kita lakukan. Hal ini selaras dengan hadits Nabi Muhammad saw, yang menganjurkan seorang Muslim untuk introspeksi, kemudian memperbaiki diri. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, disebutkan bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Orang yang merugi adalah orang yang hari ini sama dengan hari kemarin.
Sementara orang yang celaka adalah orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Hal ini berarti bahwa orang tersebut justru mundur atau mengalami kemunduran dalam dirinya. Simak sabda Rasulullah berikut: من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون.( رواه الحاكم)
Artinya: “Barangsiapa hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia beruntung. Barangsiapa hari ini sama dengan kemarin, maka ia merugi. Barangsiapa hari ini lebih buruk dari kemarin, maka ia terlaknat”. (HR. Al-Hakim).
Kedua, muhasabah akan menumbuhkan rasa tanggung jawab.
Kita sadar akan kewajiban di hadapan Allah, sesama manusia, dan diri sendiri yang terikat akan aturan agama. Melalui muhasabah, manusia mengerti bahwa hidup ini bermakna dan kelak kembali kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Q.S al-Hasyr [59] ayat 18
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” menjelaskan bahwa ayat ini mengajarkan kita untuk selalu berorientasi pada masa depan. Apa yang kita lakukan hari ini akan berdampak pada masa depan kita. Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ في كل ما تأتون وما تذرون، وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ برة أو فاجرة ما قَدَّمَتْ لِغَدٍ، أي ما تريد أن تحصله ليوم القيامة فتفعله، وَاتَّقُوا اللَّهَ بأداء الواجبات وترك المعاصي، إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ (١٨) من الخير والشر، فلا تعملون عملا إلا كان بمرأى منه تعالى، ومسمع، فاستحيوا منه تعالى
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dalam segala hal yang kamu lakukan dan tinggalkan. Hendaklah setiap orang, baik yang saleh maupun yang jahat, memperhatikan apa yang telah ia persiapkan untuk hari esok. Artinya, apa yang ingin ia raih untuk hari kiamat, maka lakukanlah. Dan bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Sesungguhnya Allah Mahatahu apa yang kamu kerjakan, baik yang baik maupun yang buruk. Tidak ada satu pun perbuatan yang kamu lakukan kecuali berada di hadapan dan di pendengaran-Nya. Maka, malu lah kepada-Nya.”
Ketiga, muhasabah menjaga diri dari perbuatan maksiat.
Orang-orang yang selalu introspeksi, maka ia akan menjaga diri dari godaan dosa, yang kelak akan membahayakan diri di hari kiamat. Lebih dari itu, orang yang selalu bermuhasabah diri akan siap menjawab pertanyaan Allah swt dan akan mendapatkan akhirat yang baik. Sebaliknya, orang yang tidak introspeksi diri akan menyesal dan akan berdiri lama di padang mahsyar.
استدل بذلك أرباب البصائر أن الله تعالى لهم بالمرصاد ، وأنهم سيناقشون في الحساب ، ويطالبون بمثاقيل الذر من الخطرات واللحظات ، فتحققوا أنهم لا ينجيهم من هذه الأخطار إلا لزوم المحاسبة وصدق المراقبة ومطالبة النفس في الأنفاس والحركات ، ومحاسبتها في الخطرات واللحظات
Artinya: “Dengan demikian, orang-orang yang memiliki pemahaman yang mendalam mengetahui bahwa Allah swt mengawasi mereka, dan bahwa mereka akan diadili dan dimintai pertanggung jawaban atas setiap gerak-gerik dan pikiran mereka, meskipun sekecil atom. Mereka menyadari bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali dengan selalu introspeksi, benar-benar menjaga diri dari godaan, menuntut diri sendiri dalam setiap tarikan napas dan gerakan, dan memperhitungkan diri sendiri dalam setiap pikiran dan momen.”
. فمن حاسب نفسه قبل أن يحاسب خف في القيامة حسابه ، وحضر عند السؤال جوابه ، وحسن منقلبه ومآبه ، ومن لم يحاسب نفسه دامت حسراته ، وطالت في عرصات القيامة
“Siapa pun yang introspeksi diri sebelum dihakimi, maka perhitungannya di hari kiamat akan menjadi lebih ringan, jawabannya akan siap ketika ditanya, dan akhir dan kembalinya akan menjadi baik. Siapa pun yang tidak introspeksi diri, maka penyesalan akan terus ada dalam dirinya, dan ia akan berdiri lama di padang mahsyar. Dengan demikian, tujuan muhasabah adalah untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan. Muhasabah dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran diri akan kesalahan dan kekurangan, sehingga dapat menjadi motivasi untuk memperbaiki diri
Cara Melakukan Muhasabah Diri
cara melakukan muhasabah diri yaitu sebagai berikut:
1. Bersahabat dengan orang-orang saleh
Salah satu rezeki yang Allah SWT berikan kepada seorang muslim adalah dengan dikelilingi oleh sahabat yang saleh. Teman yang saleh dapat mengingatkan kekeliuran kamu. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari]
Selain itu, dalam hadis juga disebutkan:
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [HR. Abu Dawud].
2. Tidak menutup diri dari masukan orang lain
Seseorang terkadang melakukan kesalahan yang tidak ia sadari. Dengan tidak menutup diri, seorang muslim dapat senantiasa mengevaluasi diri. Dalam suatu riwayat, Imam Bukhari menceritakan usul Umar kepada Abu Bakar RA dalam mengumpulkan Al Qur’an. Saat itu, Abu Bakar menolak usul tersebut namun Umar terus mendesak dan mengatakan bahwa hal itu adalah kebaikan. Akhirnya, Abu Bakar menerima usul tersebut dan mengatakan:
“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan aku pun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari]
3. Menyendiri untuk bermuhasabah
Menyediri untuk bermuhasabah tentunya inti dari muhasabah diri itu sendiri. Hal ini bisa kamu lakukan untuk mengevaluasi dan introspeksi diri. Diriwayatkan dari Umar bin Khathab, beliau mengatakan:
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi]
Selain itu, dari Maimun bin Mihran, beliau berkata:
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi]
Editor: Alima sri sutami mukti