Amalan Rasulullah SAW di Bulan Sya’ban

Kita sekarang berada di bulan Sya’ban dan sebentar lagi Ramadhan datang menghampiri kita. Bulan Sya’ban merupakan waktu yang tepat untuk berpuasa guna melatih diri untuk terbiasa puasa satu bulan penuh selama Ramadhan. Bahkan orang yang puasa Sya’ban termasuk orang yang menghormati bulan Ramadhan. Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Puasa  Sya’ban itu untuk menganggungkan Ramadhan,” (HR At-Tirmidzi). Puasa Sya’ban sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menurut pengakuan ‘Aisyah RA, “Hanya di bulan Ramadhan Nabi Muhammad berpuasa satu bulan penuh dan saya tidak melihat Beliau sering puasa kecuali di bulan Sya’ban,” (HR Al-Bukhari). Dalam riwayat Ahmad disebutkan, “Puasa yang disukai Nabi Muhammad SAW ialah puasa di bulan Sya’ban.” Syeikh Nawawi Banten di dalam Nihayatuz Zain menjelaskan sebagai berikut. الثاني عشر صوم شعبان لحبه صلى الله عليه وسلم صيامه فمن صامه نال شفاعته صلى الله عليه وسلم يوم القيامة Artinya, “Macam puasa sunah yang kedua belas adalah puasa Sya’ban. Sebab Nabi Muhammad SAW sangat suka berpuasa pada bulan tersebut. Siapa saja yang berpuasa di bulan Sya’ban, ia akan memperoleh sya’faat di hari kelak.” Sebagai umatnya, puasa sunah yang dilakukan Nabi SAW ini penting untuk kita amalkan. Meskipun tidak mampu meniru sepenuhnya apa yang diamalkan Nabi Muhammad SAW, paling tidak kita coba berpuasa semampunya selama bulan Sya’ban. Selain mendapatkan ganjaran, puasa Sya’ban dapat melatih diri sendiri agar siap melakukan puasa wajib Ramadhan. Biasanya, orang yang tidak terbiasa berpuasa tentu akan merasa berat melakukan puasa sebulan penuh pada Ramadhan. Untuk itu, biasakan puasa sebanyak-banyaknya di bulan Sya’ban agar nanti di bulan Ramadhan organ lambung tidak terkejut bila tidak beraktivitas selama siang hari. Demikian pula bagi perempuan yang belum mengqadha puasa Ramadhan tahun lalu, Sya’ban adalah momen terbaik untuk mengqadha puasa. Jangan sampai ketika memasuki bulan Ramadhan nanti, utang puasa belum dibayar tuntas. Semoga kita mampu mengamalkan sunah Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam.

Penulis : Ridwan Fauzi

Tiga Peristiwa Penting Di Bulan Syaban

Sya’ban merupakan bulan yang dianjurkan untuk memperbaiki diri dari keburukan, walau tidak termasuk pada bulan asyhurul hurum yaitu empat bulan yang mulia (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharrram, dan Rajab) tetapi bulan ini juga memiliki keistimewaan tersendiri di banding bulan lainnya. 
Bulan ini diapit oleh dua bulan mulia, yakni Rajab dan Ramadhan. keistimewaan Sya’ban disebut sebagai bulan Nabi Muhammad saw. Hal demikian disampaikan langsung oleh Rasulullah saw, bahwa Rajab sebagai bulan Allah, Ramadhan sebagai bulan umat Nabi Muhammad saw, sedangkan Sya’ban adalah bulannya. 


Salah satu amalan pada bulan ini yaitu amalan pertengahan bulan yaitu tanggal 15 Sya’ban atau sering disebut dengan malam nishfu sya’ban. Malam Nisfu Syaban merupakan malam yang sangat istimewa, sebab di malam ini diyakini bahwa Allah Swt akan menghapuskan dosa bagi mereka yang memohon pengampunan atas segala dosa-dosa yang telah diperbuat. 

Selain malam Nisfu Sya’ban ada juga beberapa peristiwa penting yang terjadi pada bulan Sya’ban. Dalam kitab Ma Dza fi Sya’ban? karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki menyebutkan tiga peristiwa penting yang berimbas pada kehidupan beragama seorang Muslim. 


1. Peralihan Kiblat 
Peralihan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram terjadi pada bulan Sya’ban. Menurut Al-Qurthubi ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 144 dalam kitab Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban.

Peralihan kiblat ini merupakan suatu hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri menghadap langit setiap hari menunggu wahyu turun perihal peralihan kiblat itu seperti Surat Al-Baqarah ayat 144 berikut.


   قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ 

Artinya, “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” 


2. Penyerahan Rekapitulasi Keseluruhan Amal kepada Allah 
Salah satu hal yang menjadikan bulan Sya’ban utama adalah bahwa pada bulan ini semua amal kita diserahkan kepada Allah SWT. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki mengutip sebuah hadits riwayat An-Nasa’i yang meriwayatkan dialog Usamah bin Zaid dan Nabi Muhammad SAW. 

“Wahai Nabi, aku tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” 


Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Banyak manusia yang lalai di bulan Sya’ban. Pada bulan itu semua amal diserahkan kepada Allah SWT. Dan aku suka ketika amalku diserahkan kepada Allah, aku dalam keadaan puasa.” 


Penyerahan amal yang dimaksud dalam hal ini adalah penyerahan seluruh rekapitulasi amal kita secara penuh. Walaupun, menurut Sayyid Muhammad Alawi, ada beberapa waktu tertentu yang menjadi waktu penyerahan amal kepada Allah selain bulan Sya’ban, yaitu setiap siang, malam, setiap pekan. Ada juga beberapa amal yang diserahkan langsung kepada Allah tanpa menunggu waktu-waktu tersebut, yaitu catatan amal shalat lima waktu. 


3. Penurunan Ayat tentang Anjuran Shalawat untuk Rasulullah SAW 
Pada bulan Sya’ban juga diturunkan ayat anjuran untuk bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 56.


   إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا 

Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” 


Ibnu Abi Shai Al-Yamani mengatakan, bulan Sya’ban adalah bulan shalawat. Karena pada bulan itulah ayat tentang anjuran shalawat diturunkan. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Imam Syihabuddin Al-Qasthalani dalam Al-Mawahib-nya, serta Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengatakan bahwa ayat itu turun pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriyah.

Penulis: Ridwan Fauzi

6 Amalan Pagi Agar Rezeki Lancar dan Berkah

1. Berdzikir dan Berdoa

Berdzikir dan berdoa sangat penting dilakukan, karena ini adalah cara kita untuk selalu mengingat Allah SWT dan meminta keberkahan dalam menjalankan segala aktivitas di pagi hari.

Dijelaskan oleh Rumaysho.com, dai muda asal Yogyakarta Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal M.Sc mengatakan bahwa di sunnahkan untuk membaca Al-Ma’tsurat pagi dan petang, karena ada keistimewaan yang sangat luar biasa bagi kaum Muslimin yang membacanya.

2. Membaca Al Quran

Membaca Al Quran di pagi hari adalah waktu yang terbaik yang dilakukan oleh sebagian besar umat Islam, karena pada waktu pagi kita memiliki kondisi yang segar, ketenangan dan keheningan, memulai hari dengan penuh keberkahan, dan mengikuti ajaran Rasulullah.

ADVERTISEMENT

Selain itu, kita juga dapat melakukannya dengan kegiatan muroja’ah atau menghafal Al Quran. Para penghafal Al Quran memanfaatkan waktunya pada pagi hari dengan menghafal satu atau dua ayat. Karena, pada pagi hari pikiran kita masih segar dan dapat lebih fokus untuk menghayati ayat-ayat Al Quran dengan lebih baik.

3. Bersedekah

Sedekah pada pagi hari dianggap baik oleh banyak orang hal ini karena, membawa keberkahan dan perlindungan dari Allah SWT, dapat membangun kebiasaan baik dan membersihkan harta yang dimiliki.

Hal ini diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

Artinya: “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh).

4. Mandi Pagi

Menyegerakan mandi pada pagi hari itu sangat penting seperti kebersihan fisik, meningkatkan keharuman, sirkulasi darah, memelihara kulit, dan persiapan aktivitas.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menyegarkan pikiran. Kenapa menyegarkan pikiran ini menjadi sangat penting? Hal ini lantaran jika pikiran kita tidak segar kita akan selalu merasa sangat ngantuk dan ingin tidur kembali, jadi kita tidak dapat melakukan aktivitas yang sudah direncanakan sesuai jadwal.

5. Shalat Dhuha

Shalat Dhuha adalah shalat sunnah yang dilakukan saat matahari sudah terbit, hingga masuk waktu dzhur, dengan minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat.

Dalam Islam disarankan untuk melakukan shalat dhuha sebelum melakukan aktivitas, hal ini dikarenakan dapat membawa membuka pintu rezeki, menghapus dosa, meminta keberkahan dalam melakukan segala aktivitas yang akan kita lakukan satu hari penuh.

“Ya Allah, jika rizqiku masih di atas langit, turunkanlah dan jika ada di dalam bumi, keluarkanlah. Jika sukar mudahkanlah, jika haram sucikanlah, jika masih jauh dekatkanlah, berkat waktu Dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hamba-Mu yang saleh.” (doa shalat dhuha).

6. Melakukan Aktivitas

Melakukan aktivitas juga menjadi sangat penting karena ada pepatah yang mengatakan jika seseorang bangun siang maka rezekinya dipatok ayam. Maka dari itu, kita setelah shalat subuh dilarang untuk tidur kembali.

Lakukan aktivitasmu seperti menyapu, mencuci piring, sekolah, atau kerja. Jika kamu tidur kembali, rezeki yang akan kamu dapat di pagi hari bisa diambil oleh orang lain. “Man jadda wajada” (Siapa yang bersungguh-sungguh dia akan dapat).

Penulis : Ridwan Fauzi

TIGA CARA BERSYUKUR KEPADA ALLAH SWT

Ketahuilah bersyukur kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ sesungguhnya tidak cukup kalau hanya mengucapkan ‘alhamdulillah’. 

Dari sejumlah keterangan yang didapat dari berbagai literatur, setidaknya ada tiga cara mengungkapkan syukur sebagai berikut:  

1. Melalui Lisan 
Mengapresiasi syukur lewat lisan yakni dengan ucapan ‘alhamdulillah” adalah hal minimal yang harus dilakukan. Aktivitas lain adalah berkata yang baik-baik. 

Orang yang bersyukur kepada Allah akan selalu menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang tidak baik. Mereka akan selalu berhati-hati dan berusaha untuk tidak mengatakan sesuatu yang membuat orang lain tersakiti hatinya. 

Orang yang bersyukur tidak berkeberatan untuk meminta maaf atas kesalahannya sendiri kepada orang lain sebagaimana mereka juga tidak berkeberatan memaafkan kesalahan orang lain. 

Kepada Allah SWT, mereka senantiasa bersegera memohon ampunan kepada-Nya. Dan hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam surat Ali Imran, ayat 133:


  وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ 

Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu 
 

Memohon ampun, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia memang tidak perlu ditunda-tunda. Lebih cepat tentu lebih baik. Betapa banyak kerugian yang timbul akibat macetnya hubungan atau silaturrahim antarsesama saudara, kawan dan relasi, gara-gara persoalan maaf-memaafkan belum terselesaikan.  

2. Melalui Hati 
Dalam aktivitas hati ini, bagaimana mengelola hati menjadi hal sangat penting. Aktivitas hati terkait dengan syukur bisa diwujudkan dalam bentuk perasaan senang, ikhlas dan rela dengan apa sudah yang ada. 
Orang-orang bersyukur tentu lebih mudah mencapai bahagia dalam hidupnya terlepas apakah mereka termasuk orang sukses atau belum sukses. Syukur tidak mensyaratkan sukses dalam hidup ini sebab kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada manusia takkan pernah bisa dihitung. 

Manusia takkan pernah mampu menghitung seluruh kenikmatan yang telah diberikan Allah SWT kepada setiap hamba-Nya. Allah dalam surat Ar-Rahman, ayat 13, bertanya kepada manusia:


 فَبِأَيِّ آلاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ 

Artinya: Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? 
 

Ayat tersebut diulang berkali-kali dalam ayat-ayat berikutnya dalam surat yang sama, yakni Ar-Rahman. Dan pengulangan ini tentu bukan tanpa maksud. Allah menantang kepada manusia untuk jujur dalam membaca dang menghitung kenikmatan yang telah Dia berikan. Bagaimana bisa bisa bernapas, melihat dan mendengar, serta bagaimana bisa merasakan dengan panca indera kita? 

Dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu saja kita sudah tidak mampu menghitung berapa kenikmatan yang terlibat di dalamnya. Maka barangsiapa tidak bersyukur kepada Allah, sesungguhnya dia telah kufur atau mengingkari kenikmatan-kenikmatan yang telah diterimanya dari Allah  SWT. 

Orang-orang yang bersyukur kepada Allah tentu memiliki jiwa yang ikhlas dalam melakukan dan menerima sesuatu. Mereka yang bersyukur tentu tidak suka berkeluh kesah atas aneka kekurangan atau hal-hal tidak menyenangkannya. 

Kalangan yang bersyukur tentu lebih sabar daripada mereka yang tidak bersyukur. Memang untuk bisa bersyukur kita perlu kesabaran. Untuk bersabar kita perlu keikhlasan. Dengan kata lain, syukur, sabar dan ikhlas sesungguhnya saling berkaitan. 

Maka dalam ilmu tasawuf, syukur adalah suatu maqam atau tingkatan yang sangat tinggi yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah berhasil mencapai kompetensi tinggi dalam hal spiritualitas. 

Dari sinilah kemudian muncul konsep kecerdasan spiritual.  Kecerdasan ini hanya bisa dicapai melalui latihan-latihan yang sering disebut dengan riyadhah. Hal ini berbeda dengan kecerdasan intelektual yang bisa diterima seseorang  secara genetis tanpa melalui latihan-latihan tertentu.  

3. Melalui Fisik  
Aktivitas fisik atau perbuatan nyata terkait dengan syukur  bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, baik melibatkan orang lain atau hanya melibatkan diri sendiri. Yang terkait dengan orang lain misalnya seperti berbagi rezeki, ilmu pengetahuan, kegembiraan dan sebagainya.   

Sumber : https://jatim.nu.or.id/keislaman/3-cara-bersyukur-atas-nikmat-allah-yZny4

penulis : Ridwan Fauzi

AMALAN YANG HARUS DI LAKUKAN DI HARI JUM’AT TERAKHIR BULAN RAJAB

Banyak amalan penting untuk dilakukan umat Islam di bulan Rajab. Di antaranya seperti bersedekah, silaturahim, berpuasa, menyantuni anak yatim, memperbanyak shalawat, meningkatkan bacaan istighfar, membaca dzikir dan doa bulan Rajab, dan seterusnya. Aneka kebaikan dan ibadah itu penting dikerjakan secara istikamah di bulan Rajab sebagai bagian dari wujud memuliakan bulan Allah swt. Karena Rajab sendiri dikenal dalam Islam sebagai syahrullah (bulan Allah). 


Dari sejumlah amalan yang disebutkan di atas, terdapat satu amalan yang juga penting untuk dikerjakan. Amalan ini hanya ada pada satu momentum di bulan Rajab. Yakni amalan pada Jumat terakhir bulan Rajab. Amalan ini dipercayai sebagai bagian dari ikhtiar agar uang yang dimiliki tidak kunjung habis. 


Amalan itu juga telah banyak diijazahkan oleh habaib dan kiai, termasuk Sulthanul Ulama dari Yaman, al-Mukarram al-Syekh al-Habib Salim bin Abdullah al-Syathiri. Amalannya sebagai berikut: 


 أَحْمَدُ رَسُوْلُ اللهِ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ


Ahmad Rasûlullâh Muhammad Rasûlullâh

Artinya, “Ahmad utusan Allah, Muhammad utusan Allah.”


Cara mengamalkan

Amalan ini dibaca saat khatib menyampaikan khutbah kedua sebanyak 35 kali. Di antara keutamaannya adalah agar di sepanjang tahun uang di tangan kita tidak habis untuk memenuhi segala kebutuhan. Amalan ini telah dicoba oleh banyak orang dan berhasil.


Al-Habib Ali bin Hasan Baharun menulis keterangan dari gurunya, al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith sebagai berikut:


فَائِدَةٌ لِإِبْقَاءِ الدُّرَيْهِمَاتِ فِيْ جَمِيْعِ السَّنَةِ الْإِتْيَانُ بِهَذَا الذِّكْرِ خَمْس وثلاثيْن مرّة فِيْ آخِرِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبَ حَالَ الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ، وَهُوَ أَحْمَدُ رَسُوْلُ اللهِ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله، وَقَدْ جَرَّبَهُ الْكَثِيْرُ وَصَحَّ عِنْدَهُمْ


Artinya, “Faidah. Agar uang tak kunjung habis di sepanjang tahun (dianjurkan) membaca amalan ini sebanyak 35 kali di akhir Jumat bulan Rajab saat khutbah kedua, yaitu ‘Ahmad Rasûlullâh Muhammad Rasûlullâh’. Amalan ini telah dicoba oleh banyak orang dan terbukti berhasil.” (al-Habib Ali bin Hasan Baharun, al-Fawaid al-Mukhtarah, hal. 445).


Umat Islam tentu sudah terbiasa membaca atau melakukan amalan-amalan untuk suatu tujuan agar diterima oleh Allah swt. Inti dari pentingnya amalan adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt dan dalam rangka meneruskan jejak perilaku para ulama terdahulu.


Bulan Rajab menjadi kesempatan besar bagi umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Di samping dengan sejumlah amalan yang telah diulas sebelumnya, hal yang tak kalah penting adalah tidak menzalmi diri sendiri di bulan Rajab. Bulan Rajab adalah empat dari bulan yang sangat dimuliakan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharrram, dan Rajab). Oleh karenanya, nilai kemulian itu harus dijaga, tidak terkotori oleh perbuatan-perbuatan tak terpuji.


Dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 36 disebutkan: 


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ


Artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (Surat At-Taubah ayat: 36).

Baca Juga:
Hukum Menggabungkan Niat Puasa Rajab dengan Qadha Puasa Ramadhan


Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (wafat 516 H), yang memiliki gelar muhyis sunah (penghidup sunah), dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan larangan Allah kepada manusia untuk tidak menzalimi diri sendiri pada ayat di atas, adalah dengan tidak merusak kemuliaan bulan haram dengan melakukan maksiat, dan meninggalkan taat. Hal ini tidak lain karena semua nilai pekerjaan pada bulan ini dilipatgandakan oleh Allah swt:

 
 العَمَلُ الصَّالِحُ أَعْظَمُ أَجْرًا فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ، وَالظُّلْمُ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهُنَّ


 Artinya, “Amal salih lebih agung (besar) pahalanya di dalam bulan-bulan haram (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab). Sedangkan zalim pada bulan tersebut (juga) lebih besar dari zalim di dalam bulan-bulan selainnya.” (Imam al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, cetakan keempat: 1417 H/1997 M], juz IV, halaman: 44).

penulis : Ridwan Fauzi
Sumber : https://jombang.nu.or.id/