Mengapa Harus Beribadah?

Manusia, bahkan seluruh makhluk yang berkehendak dan berperasaan, adalah hamba-hamba Allah. Hamba (‘abd) – sebagaimana dikemukakan di atas adalah makhluk yang dimiliki, dikuasai. Pemilikan Allah atas hamba-Nya adalah kepemilihan mutlak dan sempurna. Oleh karena itu, makhluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya, kecuali dalam hal-hal yang oleh Allah SWT telah dianugrahkan untuk dimiliki makhluknya seperti kebebasan memilih walau[un kebebasan itu tidak mengurangi kemutlakan kepemilikan Allah.

Aas dasar kepemilikan mutlak Allah itu, lahir kewajiban semua ketetapan-Nya, serta menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. Atas dasar itu pula manusia tidak di benarkan memilah-milah aktivitasnnya, sebagian karna Allah dan sebagian untuk yang lain. Katakanlah, “Ssedungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah demi allah pemilihara seluruh alam” (QS. Al-An’am [6]: 162).

Dari sini dapat dipahami mengapa perintah beribadah dalam Al-Qur’an dikaitkan antaralain dengan sifat rubbubiyyah (pemeliharaan) Allah, misalnya: Wahai seluruh manusia, beribadahlah kepada (Tuhanmu) yang memelihara kamu dan menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu (QS. Al-Baqarah [2]; 21), atau Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan Pemeliharamu maka beribadahlah kepada-Ku (QS. Al-Anbiya [21]; 92).

Pertintah beribadah dikaitkan juga dengan perintah berserah diri setelah upaya yang maksimal (tawakkal), seperti dalam Firman-Nya: Milik Allah rahasia langit dan bumi dan kepada-Nyalah dikembalikan seluruh persoalan, karena itu beribadahlah kepda-Nya dan berserah dirilah (QS. Hud [11]: 123).

Di sisi lain, didalam Al-Qur’an, ditemukan banyak ayat yang menegaskan bahwa keagungan dan kekuatan hanya milik Allah (diantara lain QS. Al-Baqarah [2] 165) dan bahwa tuhan-tuhan yang di sembah manusia dan diduga dapat membantu, tidaj lain adalah hamba-hamba Allah SWT juga, sebagaimana halnya para penyembah mereka (QS. Al-A’rif [7] 194).

Kalau seseorang menyadari betapa mutlaknya kepemilikan Allah dan betapa kuat dan berkuasanya Sang Pencipta itu, maka pengejewantahan kesadaran itu adalah ketundukan dan penyerahan diri kepada-Nya. Ini sejalan dengan hokum yang berlaku di mana-mana serta diakui suka atau tidak oleh seluruh makhluk: pengakuan faktuan yang dicerminkan oleh ketundukan yang lemah kepda yang kuat, yang butuh kepada yang mampu, dan yang hina kepada yang mulia. Demikian seterusnya sebagaimana tampak jelas dalam kehidupan nyata, karena ia adalah suatu hokum atau ketetapan fitri yang ridak dapat dielakkan oelh siapapun.

Allah SWT adalah wujud yang Maha Agung, Maha Kuat, dan amat dibutuhkan oleh semua makhluk. Oleh karena itu, puncak dari ketundukan harus diarahkan hanya kepada-Nya semata.

Benar bahwa Allah membnarkan seseorang tunduk dan taat kepanya manuia, namun ketundukan dan ketaatan itu tidak boleh bertentangan dengan ketetapan-Nya. Atas dasar inilah la tha’ah li mkahuq fi ma’shiyat al-akhaliq, “Tidak dibenarkan taat kepada makhluk (bila ketaatan itu) menghantar kepada kedurhakaan terhadap al-khaliq.” Disamping itu, ketundukan kepada selian Allah tidak boleh mencapai [uncak ketundukan, atau dengan kata lain tidak dibenarkan beribadah kecuali kedapa Allah.

 

Penulis: Dimas Pamungkas

PIMPINAN KOMISARIAT NU AL-MUSRI’ SOWAN KE KYAI BURHAN ROSYIDI

Pengurus Pimpinan Komisariat Nahdlatul Ulama ( PK ) Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ masa khidmat 2022-2023 bersilaturahim ke Kyai Burhan Rosyidi di YPP Al-Huda Al-Musri’ 1, Ciranjang, minggu (26/6).

Kami sowan kepada Kyai Burhan Rosyidi, seesudah dilantik menjadi pengurus PK Al-Musri’. Pertemuan yang berlangsung hangat dan penuh keakraban itu diawali dengan perbincangan santai, sekaligus mengulas ke-Al-Musrian ke-Nahdlatul Ulamaan juga kebangsaan.

Disamping silaturahmi, diskusi juga tanya jawab, kami mengundang Kh. Burhan Rosyidi untuk bisa menghadiri acara apel kebangsaan di YPP Miftahulhuda Al-Musri’ yang rutin di adakan satu bulan sekali.

Lebih lanjut, Kyai Burhan Rosyidi menyampaikan keadaan sosial, budaya, politik, ekonomi melihat zaman yang begitu dinamis. Perubahan zaman selalu berubah sesuai dengan tantangannya. Memaknai dan memahami perubahan itu tidak secara total, akan tetapi harus dilihat ‘illat-nya sehingga sebagai kader intelektual peranan Banom NU di YPP Miftahulhuda Al-Musri’ tidak bisa dirubah terutama soal ideolgi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah.

“Kontektualisasi Aswaja tentu tidak lepas dari sumbernya yakni al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber primer, misalnya soal ekonomi, politik, budaya, sosial. Dengan demikian kita harus tetap terus aktif dalam khidmat di Nahdlatul Ulama dengan mengisi shaf-shaf yang kosong” terang Kyai Burhan Rosyidi.

 

Pewarta : Dimas Pamungkas

Keutamaan, tata cara puasa syawal dan hukum membatalkan puasa sunnah.

Keutamaan, tata cara puasa syawal dan hukum membatalkan puasa sunnah

Salah puasa sunnah yang dianjurkan dalam Islam adalah puasa enam hari pada bulan Syawwal, lebih tepatnya bisa diamalkan sejak tanggal 2 Syawwal atau setelah Idul Fitri. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam haditsnya bahwa orang yang berpuasa Ramadhan kemudian disambung dengan puasa enam hari Syawwal, maka akan memperoleh pahala senilai puasa satu tahun.

Rasulullah saw bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتَّاً مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Artinya, “Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun.” (HR Muslim)

Penjelasan Puasa 6 Hari Syawal dan Pahala Setara Puasa Setahun   Perhitungan pahala puasa satu tahun itu berdasarkan firman Allah swt berikut,

مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشۡرُ أَمۡثَالِهَاۖ

Artinya, “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al-An’am [6]: 160)

Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap satu amal kebaikan akan mendapat balasan sepuluh kali lipat. Mengacu pada penjelasan tersebut, jika dikalkulasikan maka satu bulan puasa Ramadhan dikali 10 sama dengan 10 bulan, kemudian 6 hari puasa Syawwal dikali 10 sama dengan 2 bulan. Jadi 10 bulan ditambah 2 bulan sama dengan 12 bulan atau satu tahun.

Tata cara puasa sunnah Syawwal sama seperti puasa pada umumnya, yaitu dengan menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Berikut adalah lafal niatnya yang dibaca pada malam hari,

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Artinya, “Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah ta’ala.”, maka jika lupa niat pada malam hari boleh niat pada siang harinya.

Berikut adalah niat puasa Syawwal jika dibaca di siang hari,

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Artinya, “Aku berniat puasa sunnah Syawal hari ini karena Allah ta’ala.”

Dalam kondisi seperti ini, menarik sekali pilihan sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunnah di tengah jamuan makanan

ia bersabda:

يَتَكَلَّفُ لَكَ أَخُوكَ الْمُسْلِمُ وَتَقُولُ إنِّي صَائِمٌ، أَفْطِرْ ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ

Artinya, “Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha’lah pada hari lain sebagai gantinya,” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

Kemudian dari sinilah para ulama merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi SAW dalam hadits tersebut.

Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa. (Lihat Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 36).

Dalam konteks ini Ibnu ‘Abbas RA mengatakan:

مِنْ أَفْضَلِ الْحَسَنَاتِ إِكْرَامُ الْجُلَسَاءِ بِالْإِفْطَارِ

Artinya, “Di antara kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman semajelis dengan membatalkan puasa (sunnah),” (Lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 14). Dengan demikian kita ketahui, untuk menjalankan puasa sunnah bulan Syawal saat silaturahmi lebaran hendaknya diketahui, apakah tuan rumah berkeberatan atau tidak dengan puasa kita. Kalau ia tidak berkeberatan maka kita tetap berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya.

penulis: Rifky Aulia

Ziarah, Dewan Kyai/Nyai dan Dewan Ampuh Al-Musri’ : Ma‘unah, Istidrâj, Karamah, Mukjizat

Cianjur, Al-musri’ Media

Dewan Kyai Miftahulhuda Al-Musri’ memimpin Ziarah dan para santri Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ ke makam Syeh Ja’far Sidiq, Syaih Haji Abdul Muhyi Pamijahan hingga Syeh Prabu Hariang Kencana yang diadakan rutin satu tahun sekali oleh para Dewan Kyai / Nyai dan para Ampuh (amanat sepuh) Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat.

Saat berada di bus, perjalanan menuju Syeh Prabu Hariang Kencana, Pangersa HJ, Siti Maryam menyampaikan Mauidzhoh Hasanah tentang Ma’unah, Istidraj, Karamah dan Mukjizat.

“Beliau Menyampaikan bahwa Ma‘unah (pertolongan) Ma‘unah atau pertolongan muncul pada manusia umumnya sebagai bentuk pertolongan Allah kepada mereka, dan terjadi pada perkara umum pula seperti sembuhnya orang yang sudah putus asa bahwa ia tak akan sembuh sama sekali. Derajat ma‘unah ini tidak mencapai irhash maupun mukjizat meski ia dikategorikan sebagai perkara di luar kebiasaan.

Istidrâj Istidrâj diperlihatkan Allah melalui orang-orang kafir dan fasik sebagai fitnah, tipuan, dan bencana bagi orang-orang di sekitar mereka. Contoh, orang kafir semakin sejahtera. Orang durhaka menjalani hidup lancar tanpa cobaan berarti.

Karamah atau keramat sama seperti mukjizat. Namun karamah Allah perlihatkan melalui orang-orang saleh dan para auliya. Seperti karamah Syekh Syeh Haji Abdul Muhyi .

Mukjizat adalah perkara di luar kebiasaan yang diperlihatkan oleh Allah melalui rasul dan nabi-Nya untuk membenarkan kenabiannya. Contohnya, Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh api karena Allah menjadikannya dingin, air keluar dari sela jari Nabi Muhammad SAW, Nabi Isa dapat menghidupkan orang mati dan banyak contoh mukjizat lainnya.”

Dalam kesempatan yang sama, ia juga menuturkan, kegiatan ini harus kita ambil pelajaran dari apa-apa yang diajarkan Nabi kepada Salafunas Sholih tiada lain dengan mencintai Aulia Allah maka rahmat dan ridho-Nya akan sampai juga kepada kita.

“Berziarah kepada Aulia Allah, merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW kepada umatnya, minimal kita tidak lupa sejarah mereka Orang-orang yang dicintai Allah Ta’ala, (المرء مع من احب) ‘seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintai nya’ semoga kita dikumpulkan bersama mereka.”

“Wisata Ziarah Ini menjadi wasilah bagi para santri Miftahulhuda Al-Musri’ untuk mendapatkan pengertahuan terkait para pendakwah Islam di Nusantara, dan ngalab keberkahan sebagai pengikut ajaran para Wali yang bermanhaj Ahlusunnah wal Jamaah.”

Penulis: Dimas Pamungkas

REZEKI ADA EMPAT KATEGORI

Bismillahirrohmanirrohim

Hadirin sekalian yang di Rahmati Allah, ketika saya balagan dalam pengajian Al-Hikam umum, tepatnya hari Jum’at 11 Febuari, pukul 21.00 WIB, beliau “Akang Acep Sanusi” mengatakan bahwa rezeki itu terbagi menjadi empat bagian.

Yang pertama ada Namanya rezeki Madhum. Rezeki madhum itu seperti makanan (rezeki) yang menjadi penyebab kekuatan tegaknya tubuh, tanpa sebab-sebab yang lain. Jaminan Allah adalah untuk rezeki semacam ini. Orang wajib bertawakkal menghadapi rezeki madhmun ini, berdasarkan dalil akal dan dalil syara’. Sebab, Allah SWT membebani kita supaya berkhidmat dan taat beribadah kepada-Nya, dengan menggunakan badan kita. Jadi, Allah SWT pasti menjamin apa yang bisa mencegah kerusakan badan, agar kita dapat melakukan apa yang dibebankan kepada kita.

Yang kedua Rezeki yang dibagikan Allah SWT dan ditetapkannya di Lauhil Mahfuzh (Maqsum), yaitu apa yang dimakan, diminum, dipakai oleh hamba, masing-masing telah ditentukan oleh Allah SWT dengan ketetapan tertentu dan dalam batas waktu tertentu pula, tidak lebih dan tidak kurang, tidak maju dan tidak pula mundur dari ketentuan yang telah ditetapkan, persis seperti aslinya. 

Rasulullah SAW bersabda: “Rezeki itu telah rampung pembagiannya (tidak lagi diubah). Ketakwaan orang yang takwa tidak bisa menambah rezekinya dan kedurhakaan orang yang durhaka tidak pula dapat mengurangi rezekinya.”

Dan juga mengutip dari kitab Al-Hikam :

اجتهادك فيما ضمن لك وتقصيرك فيما طلب منك دليل على انطماس البصيرة منك 

Artinya, “Kesungguhanmu dalam mengejar apa yang telah dijamin untukmu, dan kelalaianmu menunaikan kewajiban yang telah dituntut darimu adalah bukti rabunnya mata batinmu,” (Lihat Ibnu Athaillah, Al-Hikam: Rampai Hikmah Ibn ‘Athaillah,

Yang ketiga Rezeki yang dimiliki (Mamluk), yaitu rezeki yang dimiliki oleh setiap hamba, yaitu harta di dunia yang dimiliki menurut apa yang ditentukan Allah SWT dan dibagikan Allah SWT untuk dimiliki oleh hamba. Ini adalah merupakan sebagian dari rezeki-Nya. Firman-Nya:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ ۗ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُون

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah 254).

Yang keempat Rezeki yang dijanjikan (Mau’ud), maksudnya adalah rezeki yang telah dijanjikan Allah SWT kepada para hamba-Nya yang bertakwa dengan syarat takwa, berupa rezeki yang halal, yang diterimakan dengan tanpa bersusah payah mencarinya.

Allah SWT berfirman: 

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS Ath-Thalaq 2-3). Wallahu A’lam Bisshawab

 

penulis : Dimas Pamungkas