Tantangan Internal Umat: Wahabi & Rafidi

            Sejarah pergerakan Islam pernah mencatat paham yang secara politik memosisikan diri sebagai oposisi secara ekstrem yang ditujukan pemerintahan (khalifah) Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mereka disebut Khawarij, karena memang sejatinya sudah keluar (Kharaja), memilih mufaraqah (menyempal dan lalu jadi firqah) Khalifah Ali dan mayoritas umat Islam yang Bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

            Mereka telah menafsirkan teks (ayat-ayat Al-Qur’an) dan hadis-hadis Nabi Muhammad sesuai Hasrat ideologi dan afiliasi politiknya. Sulit sekali untuk diajak kompromi, karena tujuannya memang secara ‘radikal’ untuk meruntuhkan pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah tersebut.

            Dalam periode yang sama muncul reaksi atas kemunculan Khawarij, Yakni Syiah, yang kemudian ‘membela’ Sayyidina Ali secara berlebihan (ghuluw), hingga Sayyidina Ali sendiri segera bersikap tatkala menghadapi fenomena perpecahan ini dengan kata-katanya, “Halaka fiyya isnan: muhibbun gal wa mubgidun qal” (celakalah dua kubu yang merespons diriku: mereka yang mencintaiku secara berlebihan dan yang membenci secara keterlaluan!). Yang membenci Ali secara keterlaluan adalah kaum Khawarij, hingga membunuhnya dengan alasan Ali tidak mengikuti salaf (sahabat terdahulu) dan malah dihukumi sebagai tagut hingga dihalalkan darahnya, dan memang akhirnya benar-benar dibunuh secara sadis orang seorang Khariji bernama Abdurrahman bin Muljam. Sementara Syiah Rafidah (fa’il-nya disebut Rafidi), kemudian berkembang tidak saja mengultuskan Ali, bahkan cenderung menolak Salaf (Syaikhain, yakni Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar, serta Sayyidina Utsman).

            Begitulah paham yang mengklaim sebagai Gerakan “Puritanisme Islam” (Salafi dan atau Rafidi). Lantas belakangan muncul dalam bentuk yang hamper sama, bahkan beberapa hal lebih ekstrem dari genre aslinya, ditandai dengan dua persoalan pokok, yaitu Tahrif dan Takfir. Mula-mula memang karena factor problem tafsir, tetapi berikutnya berkembang menjadi tradisi Tahrif (distorsi teks) dan Takfir atau pengafiran terhadap mereka yang tidak sepaham dengan ideologi versi mereka itu.

            Fenomena “Salafi” (Baca: Wahabi, yang selalu mengklaim sebagai Ahlusunnah Wal Jama’ah dalam mazhab empat) dan “Rafidi” (Baca: Syiah Isna ‘Asyariah), yang mengklaim sebagai mazhab Ahlul Bait) terasa marak semenjak digulirkannya reformasi tahun 1998. Mereka diuntungkan dengan isu kebebasan dan HAM (hak asasi manusia) yang telah menjadi semacam ikon reformasi mulai saat itu.

            Oleh karena itu, semenjak itulah melalui kaderisasi, pembukaan Yayasan, pembentukan opini via media online, cetak, radio, TV, dan penyebaran kader di pemerintahan dan parpol, mereka meluaskan pengaruh pada Masyarakat. Sementara resistensi umat mayoritas terhadap agresivitas mereka ini belum cukup memadai. Sejumlahb uku yang disebarkan Cuma-Cuma telah sempat meracuni akidah dan melukai keyakinan mayoritas umat, yang selama itu hidup secara kondusif dalam mengamalkan ajaran agama.

            Meman gada beberapa bantahan buku dan counter ceramah dari Aswaja, tetapi respons ini tidak sebanding dengan “serangan” dahsyat yang mereka lakukan melalui jaringan yang cukup luas, bahkan yang memprihatinkan adalah beberapa masjid NU sudah dikuasai, sehingga hilanglah karakteristik ke-NU-an yang selama ini dipertahankan.

            Dalam kondisi objektif seperti ini rasanya sulit sekali bila kita mau berupaya untuk merajut ukhuwah dengan mereka, karena dalam kenyataannya pengaruh ‘radikal’ mereka kini sudah sangat sistemik di Tengah Masyarakat, hingga timbul kekhawatiran: hal itu tidak saja telah merusak solidaritas persaudaraan di Tengah umat yang sudah terajut selama ini, malah dapat mengancam keamanan nasional dan keutuhan NKRI.

            Oleh karena itu, melalui catatan sederhana ini, saya menyampaikan beberapa hal yang perlu diprioritaskan dalam rangka menghentikan radikalisme aliran-aliran ekstrem yang mengancam ukhuwah umat Indonesia, khususnya bagi kalangan Nahdliyyin:

            Pertama, harus ada respons terhadap buku-buku dan ceramah yang diterbitkan mereka untuk meluruskan segala Upaya Tahrif, baik oleh Rafidi yang menyatakan bahwa Al-Qur’an mushaf Utsman itu berkurang/diselewengkan seperti keyakinan mereka, juga termasuk Takfir terhadap para pembesar sahabat dan istri Nabi Muhammad, maupun atas Tahrif yang dilakukan oleh Salafi/Wahabi terhadap kitab-kitab Ahlusunnah Wal Jamaah yang secara sengaja mereka pelintir dan ditulis ulang dengan dusta untuk kepentingan ideologi merekan dan Takfir atas ulama Sunni (NU) yang tidak sealiran dengan mereka. Jaringan para penerbit Aswaja harus lebih solid dalam melakukan radd (bantahan) terhadap manuver mereka ini, karena konspirasi ideologi yang memiliki akses luas dan sumber-sumber finansial yang besar itu sudah sangat mengancam eksistensi Aswaja.

            Kedua, membangun jaringan (networking) yang lebih luas untuk mengembangkan pengaruh Aswaja dalam rangka revivalisme Ahlusunnah Wal Jamaah di Tengah generasi muda yang kini Sebagian mulai merasa goyah dengan aksi aliran-aliran sesat-menyesatkan itu.

            Ketiga, mewaspadai adanya konspirasi anti Pancasila dan NKRI yang berbungkus agama, sehingga memengaruhi Sebagian umat, terutama remaja dan mahasiswa yang dapat ditunggangi untuk kepentingan politik praktis mereka. Kepentingan asing juga ikut berpengaruh dalam aktivisme ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari proses ‘radikalisme’ yang ekstrem mereka lakukan terhadap remaja dan mahasiswanya.

            Keempat, melalui RMI semua pondok pesantren se-Indonesia merapkan kurikulum Aswaja, yang harus diajarkan sejak dini kepada para santri. Pemahaman Aswaja tidak dibatasi pada kajian furu’ (perkara-perkara incidental) dalam syariat, tetapi juga hendaknya dimulai dari tekaah usul (pokok-pokok yang principal) dalam akidah.

            Kelima, NU harus mengusulkan agar manhaj Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang sudah berakar diamalkan oleh umat NU, Muhammadiyyah, Tarbiyyah Islamiyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Rabithah ‘Alawiyah, dan Al-Irsyad ini dikukuhkan pemerintah sebagai manhaj atau paham resmi negara yang sudah dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia sejak ratusan tahun.

            Keenam, ukhuwwah yang sejati dan sungguh-sungguh harus dimulai secara internal antarkalangan Nahdliyyin dan intra antara ormas Islam yang ada dalam koridor Aswaja secara umum.

            Demikian catatan kecil sepercik pendapat ini semoga ada mamfaatnya. Wallahu A’lam Bissawab. Wallahul-Muwaffiq Ilaaqwamit-tariq.

(*) Catatan ini disusun untuk Halaqah Nasional Kiai Ponpes Ahlusunnah Wal Jamaah dalam rangka Mubahasah Tentang Paham Radikalisme yang merupakan ancaman serius bagi keberadaan NKRI (Makalah Seminar Nasional di Ponpes Al-Falah, Bandung, 2012)

Referensi Buku: Problema Ke-Umatan & Ke-Bangsaan | Pandangan Sosiolog Agama | Prof. Dr. H. Mohammad Baharun, S.H., M.A. | Cetakan Pertama: November 2022 | hlm. 189 s/d 195 |

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Penderitaan Memperdalam Pengertian Kita Tentang Makna Hidup

اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلاَ تُباَلِ مَعَهاَ اِنْ قَلَّ

عَمَلُكَ فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ إِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مَوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَالْلأَعْمَا لَ أَنْتَ مُعْدِيْهَا إِلَيْهِ؟

وَأَيْنَ مَا تُعْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مَوْرِدُهُ عَلَيْكَ؟

Idza fataha laka wijhatan min al-ta’arrufi fala tubali

Maaha in qalla ‘amaluka. Fa innaha ma fatahaha laka

Illa wa huwa yuridu an yataarrafa ilaika. Alam ta’lam

Ann al-ta’arrufa huwa muriduhu ‘alaika, wal a’mala anta

Muhdiha ilaihi? Wa aina ma tuhdihi ilaihi mimma

Huwa muriduhu ‘alaika?

“Jika Dia (Tuhan Yang Maha Benar) ingin membuka diri (melalui penderitaan yang menimpamu) untuk engkau kenal, maka (bergembiralah, bersuka citalah; dan) jangan bersedih hanya gara-gara amal dan pekerjaanmu yang berkurang (karena penderitaan itu). Sebab, Dia tak akan membuka diri seperti itu kecuali memang agar engkau bisa mengenal-Nya lebih dekat. Apakah engkau tidak tahu bahwa perkenalan itu adalah sesuatu yang Dia anugerahkan pada dirimu, sementara amal-amalanmu adalah sesuatu yang yang engkau persembahkan kepada-Nya? Bagaimana engkau akan membandingkan persembahanmu dengan anugerah-Nya?”

            Kebijaksanaan Syekh Ibnu ‘Atha’illah kali ini akan berbicara mengenai pengalaman penderitaan, sesuatu yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia.

Pengertian Umum

Hal yang tak terhindarkan dalam hidup manusia adalah penderitaan fisik, baik berupa penyakit, kemiskinan, maupun penderitaan-penderitaan lain yang membuat kita tidak nyaman. Pengalaman ini kerap membuat seseorang merasa putus harapan, atau bahkan menyalahkan dan mengutuk Tuhan. Apalagi jika penderitaan itu mencapai level yang ekstrem.

            Dalam bagian yang lalu, kita diajarkan untuk bersikap positif manakala doa dan permintaan kita tak segera dikabulkan Tuhan. Menghadapi situasi semacam itu, kita diharuskan berbaik sangka. Barangkali Tuhan punya rencana lain.

            Bagian ini masih merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya. Jika bagian sebelumnya berbicara mengenai permintaan dan do’a, bab ini berbicara mengenai cobaan yang kadang kita derita dalam hidup.

Sebagai orang beriman, kita diajak oleh Ibnu ‘Atha’illah agar bersikap sama menghadapi cobaan ini, yaitu berbuat baik sangka. Menurut Ibnu ‘Atha’illah, cobaan dan penderitaan dalam hidup adalah cara Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya kepada kita. Penderitaan adalah sarana Tuhan mau menjadika diri-Nya lebih dekat kepada kita.

            Sakit, kemiskinan, penderitaan adalah wijhah min al-ta’aruf, cara Tuhan menyingkap diri agar kita kenali secara lebih dekat lagi. Bagaimana ini bisa dijelaskan?

            Jika kehidupan kita berjalan mulus saja seperti berkendara di jalan tol yang bebas hambatan, tak ada gangguan, taka da soal, tak ada tantangan maka kehidupan seperti itu memang tampak menyenangkan. Akan tetapi, benarkah kehidupan yang tanpa gelombang dan ombak layak kita Jalani? Bukankah kehidupan seperti itu malah membosankan karena tak mengenal petualangan?

            Kita bisa menikmati hidup justru karena ada gelombang cobaan yang berhasil kita atasi. Saat kita berhasil mengatasi sebuah masalah, kita merasa plong, lega. Kita merasa diri kita secara kejiwaan makin matang, makin dewasa, makin bijaksana. Jadi, penderitaan, jika disikapi secara positif, membuat pengertian dan pemahaman kita tentang makna hidup lebih dalam.

            Jika engkau tahu makna hidupmu maka artinya engkau makin dekat dengan Tuhanmu. Para sufi mengatakan, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbah. Barang siapa tahu siapa jati dirinya, siapa “The real self” -nya, maka dia telah mengenali Tuhan. Dan itu artinya, siapa yang tahu jati dirinya, tak memahami tujuan hidupnya, ia sama saja tak kenal Tuhan.

            Penderitaan kerap membuat kita makin matang secara kejiwaan; membuat kita makin dekat dengan Tuhan. Jadi, penderitaan adalah uluran tangan dari Tuhan untuk berkenalan dengan Dia. Sambutlah uluran tangan itu dengan penuh suka-cita. Jangan mengeluh dan sedih saat menderita. Itulah jalan menuju kematangan jiwamu. Itulah jalan engkau mengenali sumber hidupmu.

Pengertian Khusus

Penderitaan memang tampak di permukaan seperti cerminan dari sifat keperkasaan Tuhan. Tuhan dengan sifat Jalal atau keagungan dan keperkasaan-Nya, menampakkan diri dalam bentuk kesakitan dan cobaan yang diderita oleh manusia.

Akan tetapi, jika kita hayati lebih dalam, cobaan bukan saja mencerminkan sifat  Jalal Tuhan, tetapi juga sifat Jamal atau keindahan-Nya. Kata Syekh Ibnu ‘Ajibah, cobaan manusia (disebut al-ta’arrufat al-qahriyyah), “Zhahiruha jalal wa bathinuka jamal”. Cobaan kelihatanya menakutkan kita, tetapi sejatinya ia cerminan dari keindahan Tuhan.

Para sufi melihat penderitaan sebagai pengalaman tentang keindahan Tuhan. Saat kita sakit, kita mengalami keindah Tuhan. Saat kita sakit, kita mengalami keindahan Tuhan karena dengan sakit itu kita bisa makin intens dan mendalam hubungan kita dengan Tuhan. Saat kita sakit, hubungan cinta kita dengan Tuhan makin diperkuat.

Karena itu, jangan mengeluh karena sakit, misalnya, telah membuatmu kehilangan kesempatan untuk melaksanakan ibadah fisik. Misalnya, saat sakit kita tak mampu melaksanakan sembahyang atau puasa seperti sedia kala. Jika Anda sakit, jangan merasa ngenes, nelangsa atau sedih karena kehilangan salat dan puasa sebab nilai sakit yang dicobakan Tuhan kepadamu lebih tinggi daripada ibadah fisik.

Bagaimana bisa demikian? Ibnu ‘Atha’illah memberikan penjelasan yang sangat menarik. Saat engkau sakit, Tuhanlah yang Pro-aktif mendekatimu, mengenalmu. Saat engkau beribadah (seperti salat dan puasa), engkaulah yang pro-aktif pe-de-ka-te (istilah anak muda sekarang) terhadap Tuhan.

Mana yang lebih baik? Tuhan yang pro-aktif mendekati kamu, ataukah kamu yang pro-aktif mendekati Tuhan? Tentu yang pertama yang jauh lebih berkualitas. Karena itu, sambutlah penderitaan dengan sikap optimism, kegembiraan, sebab Tuhan sedang mendekatimu, sedang ingin mengenalmu.

Apa Pelajaran yang bis akita ambil dari ajaran Syekh Ibnu ‘Atha’illah ini? Saya terus terang kagum dengan tafsir penderitaan semacam ini. Inilah salah satu keindahan dunia sufi. Dunia sufi mampu memberikan tafsiran yang sangat optimistic terhadap momen-momen yang menyakitkan dalam kehidupan manusia seperti sakit dan kemiskinan. Penderitaan tak harus dikutuk dan disesali. Penderitaan dihayati dan dimaknai sebagai sarana yang mendekatkan kepada Tuhan.

Oleh karena itu, terserah kepada Anda. Anda mau menghayati sakit dengan sikap negative, mengeluh, memprotes, tetapi toh tak mengubah keadaan juga? Ataukah anda mau bersikap yang justru secara radikal berbeda; sakit adalah pengalaman indah yang membuat kita lebih memaknai makna dan tujuan hidup?

Apa yang dapat kita petik?

  1. Mutiara Hikam yang kedelapan ini bis akita sebut sebagai “filosofi penderitaan”. Bagaimana jika kita mendapatkan cobaan berupa penderitaan dalam hidup ini? Semua orang, dalam hidupnya masing-masing tentu pernah mengalami penderitaan, besar atau kecil, ringan atau akut, sebentar atau lama. Tergantung.

Karena penderitaan merupakan fakta hidup yang tak terhindarkan, maka ajaran tentang penderitaan sangat penting. Ajaran tentang penderitaan mengajari kita agar kita menyikapinya dengan tepat dan benar, agar kita tak menderita dua kali. Sekurang-kurangnya, jika kita menyikapi penderitaan secara tepat, kita hanya menderita sekali saja.

2. Apa makna penderitaan? Ibnu ‘Atha’illah mengajarkan; Penderitaan adalah cara Tuhan mau mengenalkan diri (ta’aruf) lebih dekat kepada kita. Penderitaan adalah sarana menuju pendewasaan mental dan spiritual. Sama dengan ujian yang membuat kita naik kelas.

Kehidupan yang mulus-mulus saja, nir-penderitaan (kalau memang ada) Sudah pasti kehidupan yang membosankan dan kosong makna. Karena itu, sambutlah penderitaan dengan perasaan gembira dan sikap yang positif.

            Akan tetapi ini jangan dimaknai bahwa kita lebih baik menderita terus, tanpa berusaha untuk mencari Solusi dan jalan keluar dari sana. Bukan itu yang dimaksudkan. Kita tetap diwajibkan mencari jalan keluar dari penderitaan kita. Jalan keluar itu justru dimudahkan jika kita bersikap positif terhadap sakit yang sedang kita derita.

            Mari kita berdo’a agar kita semua yang sedang dan menderita diringankan, dilekaskan kesembuhannya, dimudahkan jalan ikhtiarnya untuk mencari jalan keluar dari sana, dan diberikan kemampuan menghayati penderitaan sebagai jalan pendewasaan, jalan mengenal Tuhan secara lebih dekat.

Aforisme

“Penderitaan kerap membuat kita makin matang secara kejiwaan: membuat kita makin dekat dengan Tuhan. Jadi, penderitaan adalah uluran tangan dari Tuhan untuk berkenalan dengan Dia”

Referensi Buku: Menjadi Manusia Rohani | Ulil Abshar Abdalla | Meditasi-meditasi Syekh Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab Al-Hikam | Hikmah ke-delapan | Cetakan Pertama: Januari 2019 | hlm. 49 s/d 56 |

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Bagaimana Menjadi Sufi di Era Digital?

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ اَظْهاَرَ مِنْ كُلِّ شَيءٍ ؟

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يُحْجَبَهُ شَيءٌ وَهُوَ الَّذِي لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٍ ؟

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ اَقْرَبُ اِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ؟

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَلَوْلَاهُ لَمَا ظَهَرَ وُجُوْدُ كُلِّ شَيْءٍ ؟

Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa huwa azhhara min kulli syai? Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa huwa alladzi laisa ma’ahu syai’? Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa huwa aqrabu ilaika min kulli syai’? Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa laulahu’ lama’zhahara wujudu kulli syai’?

Bagaimana mungkin Dia terhijab dan terhalang oleh sesuatu, sementara Dia lebih terang-benderang dari segala barang? Bagaimana Dia terhijab oleh sesuatu, sementara taka da sesuatu yang lain Bersama Dia? Bagaimana Dia Bisa terhijab oleh sesuatu, sementara Dia lebih dekat kepadamu dari segala wujud yang ada? Bagaimana Dia bisa terhijab, sementara Dia adalah Dia Yang tanpa-Nya, segala sesuatu gelap, tak Nampak?

Renungan Syekh Ibnu ‘Atha’illah ini masih berkaitan dengan renungan-renungan sebelumnya. Ia masih berbicara tentang Kebenaran (dengan K besar) yang tak mungkin dihijab dan dihalang-halangi oleh segala sesuatu jika Dia menghendaki diri-Nya untuk menampakkan diri kepada kita. Kita bisa memahami kebijaksanaan Syekh Ibnu ‘Athai’illah ini dengan dua pengertian: Pengertian umum dan khusus.

Pengertian Umum

Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya, Kebenaran adalah Bagai Cahaya yang begitu terang yang tak mungkin ditutup oleh apapun. Pada momen Ketika kemunculan Cahaya kebenaran, “Moment of truth” sudah tiba, tak ada siapapun yang bisa menghalanginya.

Banyak skandar besar dalam Sejarah yang semula terpendam dan terkubur, tetapi pelan-pelan kemudian muncul ke permukaan. Alam bekerja dengan cara yang misterius. Manusia kerap mencoba untuk menyembunyikan kebenaran, tetapi makar dan usahanya itu kerap kali “muspra” (sia-sia). Sebab, cepat atau lambat, kebenaran akan muncul ke permukaan.

Ini mengingatkan kita pada kisah Yusuf dan isteri Potifar, seorang pegawai pada Kerajaan Firaun, Sebagaimana kita baca dalam surah Yusuf di Al-Qur’an, isteri Potifar (konon Namanya Zulekha) pernah menggoda Yusuf untuk melakukan Tindakan percabulan. Yusuf menolak dan hendak lari dari hadapannya.

Zulekha menarik baju Yusuf dari arah belakang dan robek. Lalu Potifar atau Zulekha masuk rumah dan mendapati situasi yang mencurigakan itu. Zulekha mengadu kepada suaminya bahwa Yusuf hendak menggodanya. Yusuf kemudian dipenjara dengan tuduhan hendak mencabuli isteri seorang Kerajaan.

Tentu saja, Zulekha menyampaikan versi yang bohong tentang peristiwa skandal itu. Semula banyak mempercayai versinya. Namun, pelan-pelan, kebenaran terungkap, dan akhirnya Zulekha mengaku bersalah. Dia membuat pengakuan: Dia memang jatuh cinta kepada Yusuf dan yang terakhir ini menolak.

Pengakuan Zulekha inilah yang disebut Moment of truth. Kebenaran, jika sudah matang, akan mlethek. (pecah dengan sendirinya) seperti sebuah bisul. Dia tak bisa dihalang-halanginya.

Pengertian Khusus

Seseorang, jika masih dalam keadaan terhijab, terhalang, sehingga tak bisa melihat dan menjumpai Tuhan, dia mempunyai sangkaan dan asumsi bahwa wujud dirinya sebagai makhluk/manusia adalah wujud yang “dharuri”, wujud yang niscaya, wujud yang riil dan nyata. Dia menganggap bahwa dirinya adalah “the real being”. Pada saat yang sama dia juga beranggapan bahwa wujud Tuhan adalah wujud yang semu, wujud yang “nazhariy”, teoretis, konseptual.

Akan tetapi jika seorang hamba pelan-pelan dan secara konsisten melakukan perjalanan dan meningkatkan maqamnya lebih tinggi, yaitu maqam memahami Kebenaran ketuhanan, dan lebur di dalamnya, dia akan mengalami situasi spiritual dan eksistensial yang sama sekali berbeda, Dia akan menganggap bahwa yang konseptual dan teoretis adalah wujudnya sendiri. Sementara yang ada secara “dharuri”, secara sungguh-sungguh, adalah Tuhan.

Orang yang mencapai tahap ma’rifat akan memahami bahwa Tuhan adalah wujud yang lebih terang dari wujud apapun, bahwa Tuhan adalah wujud satu-satunya. Sementara itu, yang lain adalah wujud yang semu; bahwa Tuhan adalah wujud yang jauh lebih dekat kepada manusia ketimbang wujud apa pun; bahwa Tuhan adalah “kekuatan” yang membuat segala sesuatu bisa tampak ada ke permukaan.

Apa yang bisa kita pelajari dari kebijaksanaan Syekh Ibnu ‘Atha’illah ini?

Bagi Sebagian orang, mungkin renungan Ibnu ‘Atha’illah ini adalah renungan “elitis” yang hanya relevan bagi orang-orang “khawwash”, orang-orang sufi yang telah mencapai tahap spiritual yang tertinggi. Pandangan semacam ini, menurut saya, keliru.

Kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah ini relevan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita telah mengetahui kebenaran, mengerti duduk soal segala masalah, memahami versi yang sebenarnya dari sebuah informasi, kita tak akan terombang-ambing oleh rumor, sas-sus, berita-berita yang simpang siur.

Betapa relevannya kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah di era digital sekarang, di era dimana ribuan informasi yang kerap simpang siur memborbardir kita setiap detik. Kita sering dibuat bingung, sebab informasi datang dengan semacam “framing” atau kerangka tertentu yang berbeda-beda. Kesimpang-siuran ini adalah symbol dari dunia maya yang memiliki wajah yang bermacam-macam. Mirip dengan Rahwana yang multi-wajah. Kita dibuat bingung olehnya.

Tugas kita sebagai manusia yang berfikir dan beriman adalah menapis informasi itu sehingga kita bisa mengetahui duduk masalah yang sebenar-benarnya, tidak diombang-ambingkan ikeh rumor dan opini yang saling tabrakan.

Mencari kejelasan di Tengah-tengah kebingungan ini adalah sama dengan seorang sufi yang mencari kebenaran di Tengah-tengah realitas maya, yang sering berubah-ubah seperti partikel neutrino yang kemarin sempat menjadi pembicaraan luas karna hadiah Nobel Fisika 2015 yang diberikan kepada dua ilmuwan yang meneliti partikel super-mini ini.

Anda harus menjadi ”sufi” di Tengah-tengah ledakan informasi yang kerap menipu ini. Kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah ini adalah semacam kiat bagaimana menjadi “sufi” ditengah-tengah era digital.

Aforisme

“Seseorang jika masih dalam keadaan terhijab, terhalang, sehingga tak bisa melihat menjumpai Tuhan. Dia mempunyai sangkaan dan asumsi bahwa wujud dirinya sebagai makhluk/manusia adalah wujud yang “dharuri”, Wujud yang niscaya, wujud yang riil dan nyata. Dia menganggap bahwa dirinya adalah  the real being.”

Referensi Buku: Menjadi Manusia Rohani | Ulil Abshar Abdalla | Cetakan pertama: Januari 2019 | meditasi-meditasi Ibnu ‘Atha’illah dalam Kitab Al-Hikam | Hikmah dua puluh satu | Halaman (131 s/d 136).

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Sedekah Menumbuhkan Kebaikan dan Menyuburkan Harta

Sedekah berasal dari bahasa Arab “shadaqah” yang berarti kebenaran atau keikhlasan. Dalam Islam, sedekah adalah pemberian sukarela yang tidak bersifat wajib, melainkan sunnah atau perbuatan baik.  Sedekah adalah perbuatan memberi harta atau non-harta secara sukarela kepada orang yang membutuhkan, di luar kewajiban zakat, dengan tujuan untuk kebaikan umum dan mengharap ridha Allah SWT.

Sedekah adalah salah satu amalan utama dalam Islam yang memiliki ganjaran pahala luar biasa. Anjuran bersedekah diturunkan langsung oleh Allah dalam firman-Nya di dalam Alquran, kemudian dipertegas oleh Rasulullah dalam berbagai hadis. Bersedekah dengan penuh keikhlasan merupakan salah satu upaya manusia untuk menjadi bermanfaat di lingkungan sosialnya dan untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah.

Sedekah yang dilakukan secara diam-diam akan lebih murni niatnya dan lebih besar pahalanya di sisi Allah SWT. Ketiga jenis sedekah di atas—sedekah dalam keadaan sehat dan kikir, kepada keluarga terdekat, dan secara sembunyi-sembunyi—menunjukkan betapa luasnya kesempatan kita untuk meraih pahala besar melalui sedekah.

Prinsip Keadilan Sosial dalam Sedekah

Sedekah tidak hanya memberikan manfaat materi bagi penerima, tetapi juga memainkan peran penting dalam menciptakan keseimbangan sosial. Dalam Islam, sedekah adalah manifestasi dari prinsip keadilan sosial, di mana yang kaya membantu yang miskin, sehingga tercipta keseimbangan dalam masyarakat.

Dalil tentang Sedekah dalam Alquran

1.Bersedekah di Jalan Allah

Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 261:


مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٢٦١

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”

Ayat ini menekankan bahwa infak di jalan Allah memiliki pahala yang sangat besar dan berlipat ganda. Dengan menggunakan perumpamaan biji yang menumbuhkan banyak tangkai, Allah menggambarkan betapa besar pahala yang akan diterima oleh orang-orang yang bersedekah dengan ikhlas.

2.Anjuran Berinfak dengan Ikhlas

Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 267:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ ٢٦٧

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.”

Ayat ini mengajarkan umat Muslim untuk bersedekah dengan harta yang baik dan halal. Sedekah yang diberikan dengan ikhlas dari hasil usaha yang baik akan mendatangkan keberkahan dan keridhaan Allah.

 3. Sedeqah  dan Kematian

Allah berfirman dalam Surah Al-Munafiqun ayat 10:*

وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

Artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?'”

Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya bersedekah sebelum ajal menjemput. Pada saat kematian mendekat, kita akan menyadari betapa pentingnya sedekah, tetapi pada saat itu mungkin sudah terlambat. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk segera bersedekah selagi masih ada kesempatan dan kemampuan.

4. Bersedekah Saat Lapang dan Sempit

Anjuran untuk selalu bersedekah dalam keadaan lapang maupun sempit:

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Ayat ini mengajarkan kita untuk konsisten dalam bersedekah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Selain itu, ayat ini juga menekankan pentingnya menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain sebagai bagian dari perbuatan baik yang dicintai oleh Allah SWT.

5. Sedekah Mensucikan Harta

Keutamaan bersedekah yang dapat mensucikan harta:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) mensucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ayat ini menegaskan bahwa sedekah berfungsi untuk mensucikan dan membersihkan harta kita. Selain itu, doa dari orang yang menerima sedekah juga menjadi ketenteraman bagi pemberi. Dengan demikian, sedekah tidak hanya memberikan manfaat materi tetapi juga spiritual bagi pemberi dan penerima.

* Dalil tentang Sedekah dalam Hadis*

.Pahala Berlipat Ganda

Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Seseorang masuk surga, lalu dia melihat tulisan di atas pintu surga ‘Satu sedekah dibalas sepuluh kali lipat, dan pinjaman dibalas 18 kali lipat.'” (Hadis shahih, termuat dalam As-Silsilah Ash-Shahihah)

نَبِيُّ مُحَمَّدٍ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “يَدْخُلُ شَخْصٌ ٱلْجَنَّةَ، ثُمَّ يَرَى كِتَابَةً عَلَىٰ بَابِ ٱلْجَنَّةِ، ‘تُجْزَىٰ صَدَقَةٌ وَاحِدَةٌ بِعَشْرَةِ أَضْعَافٍ، وَيُجْزَىٰ ٱلْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ أَضْعَافٍ.'”

2. Kewajiban Bersedekah

Abu Dzar RA. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُولُ ٱللّٰهِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَصْبِحُ عَلَىٰ كُلِّ سُلَامَىٰ مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ ٱلشَّمْسُ: تَعْدِلُ بَيْنَ ٱثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِينُ ٱلرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ، وَٱلْكَلِمَةُ ٱلطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِّ خَطْوَةٍ تَمْشِيهَا إِلَىٰ ٱلصَّلَاةِ صَدَقَةٌ، وَتُمِيطُ ٱلْأَذَىٰ عَنِ ٱلطَّرِيقِ صَدَقَةٌ.”

3. Sedekah Menghapus Dosa

Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ ٱللّٰهِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ ٱلصَّدَقَةَ تُطْفِئُ ٱلْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ ٱلْمَاءُ ٱلنَّارَ.” (رواه الترمذي

4. Sedekah Membuka Pintu Rezeki

Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ عَبْدِ ٱللّٰهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ ٱللّٰهِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “تَصَدَّقُوا تُرْزَقُوا.” (رواه البيهقي)

5. Waktu Terbaik Bersedekah

Seseorang datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?” Beliau bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ، قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ ٱللّٰهِ، أَيُّ ٱلصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: “أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى ٱلْفَقْرَ وَتَأْمُلُ ٱلْغِنَىٰ، وَلَا تُمْهِلَ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَتِ ٱلْحُلْقُومَ قُلْتَ: لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ.” (رواه أبو هريرة)

Sedekah dalam Islam memiliki makna yang sangat mendalam dan komprehensif. Secara filosofis, sedekah adalah manifestasi dari kepedulian sosial dan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan. Sedekah juga mencerminkan prinsip keadilan sosial dalam Islam, di mana yang kaya membantu yang miskin, sehingga tercipta keseimbangan dalam masyarakat.

Dalam perspektif holistik, sedekah tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga bagi pemberi. Bagi penerima, sedekah dapat membantu memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan taraf hidup. Bagi pemberi, sedekah membersihkan harta, menghapus dosa, dan mendatangkan berkah serta rezeki yang lebih banyak.

Sedekah meskipun dianjurkan dalam Islam, sebenarnya merupakan konsep universal yang relevan dengan semua agama dan kepercayaan. Semua agama mengajarkan pentingnya berbagi dan membantu sesama. Oleh karena itu, nilai-nilai sedekah dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas, melampaui batasan agama dan budaya.

Berdasarkan dalil-dalil dari Alquran dan hadis, sedekah adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam dengan ganjaran pahala yang besar. Sedekah dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari memberikan harta, menolong sesama, hingga melakukan kebaikan kecil sehari-hari. Dengan memahami dan mengamalkan konsep sedekah, kita dapat menjadi individu yang lebih baik dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Editor: Siti Lidiana

Simfoni Kebersamaan Santri Miftahulhuda Al-Musri di Kala Sore Hari

Jum’at, 6 Juni 2025 | 10 Dzulhijjah 1446 H, Senja Idul Adha di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ adalah kanvas yang dilukis dengan aroma haru dan tawa yang memecah kesunyian. Udara dipenuhi bisikan wangi sate dan gulai kambing, sebuah melodi purba yang mengundang rindu, berpadu dengan riuh rendah gelak tawa para santri yang bergegas menuju depan asrama pusaka utama. Ini bukan sekadar petang biasa; ini adalah (Yaumul Faroh) Pesta Rasa Kebahagiaan Santri, sebuah riwayat yang selalu dinanti, terukir abadi usai gema takbir salat Idul Adha dan tetes darah kurban yang tulus.

Setelah seharian berpeluh, merajut asa dalam tiap helaan napas penyembelihan dan persiapan hidangan, wajah-wajah letih itu bak lentera yang kembali menyala. Mereka menghamparkan daun kelapa dan duduk bersila , seolah daun kelapa yang siap menyerap kebahagiaan. Tanpa perlu aba-aba, jemari-jemari lincah itu menari, membagi piring-piring, menyambut sendok-sendok, membantu para ustadz dan ustadzah menyajikan hidangan yang mengepulkan asap, membawa serta aroma surga.

Hidangan petang ini adalah sebentuk kesederhanaan yang sarat makna: nasi putih yang hangat, sate kambing juga sate sapi berlumur bumbu kacang yang memanjakan lidah, gulai kambing yang kaya rempah, dan renyahnya kerupuk sebagai penambah cita. Namun, sejatinya, kebersamaanlah yang menjadi rempah paling utama, menjadikan santapan sore ini terasa lebih agung dari jamuan paling megah sekalipun.

Di antara mereka, santri belia dari Kelas Tsanawiyah, melahap sate pertamanya dengan mata berbinar, pipinya belepotan bumbu, namun pancaran kebahagiaan murni terpahat jelas. Disisi lain ada sang santriwati dengan perangai selembut sutra, sesekali tersenyum geli melihat polah teman-temannya. Tawa pecah, renyah bagai kerupuk yang pecah di mulut, kala Hasan, sang jagoan usil, mencoba mencuri sepotong sate, memantik kejar-kejaran singkat yang mengundang gelak tawa, bak simfoni riang di bawah langit senja.

Makan bersama ini bukan sekadar pengisi perut yang lapar, melainkan sebuah jembatan yang kokoh, merajut kembali benang-benang persaudaraan yang kian erat. Di antara suapan demi suapan, mereka berbagi kisah, melontarkan gurauan, dan sesekali bersenandung, mengalunkan kidung-kidung Islami yang menenteramkan jiwa. Para ustadz dan ustadzah pun turut berbaur, melebur dalam suasana kekeluargaan yang menghangatkan, bagai mentari yang memeluk bumi di penghujung hari.

Suasana penuh canda dan tawa mengisi udara sore. Angin bertiup pelan, membawa aroma sambal dan semur daging juga sate kambing. Para santri saling menyuapi, berbagi sambal, dan menikmati setiap suapan seolah itu adalah sajian istimewa dari surga. Kebersamaan terasa begitu hangat — seolah tiada jarak antara senior dan junior, antara teman sekelas atau beda angkatan.

Tak ada gengsi. Tak ada gawai. Hanya tangan yang menyatu dengan makanan, dan hati yang menyatu dengan sesama.

Setelah perut kenyang dan hati senang, semua kembali bergotong royong membersihkan tempat makan, melipat daun kelapa, dan membuang sisa makanan ke tempat kompos. Bahkan dalam membersihkan, canda tak berhenti mengalir.

Agenda ini adalah pelajaran berharga: tentang arti sebuah kebersamaan, syukur yang tiada tara atas nikmat karunia Ilahi, dan pentingnya saling berbagi dalam harmoni. Daging kurban yang mereka santap bukan hanya sekadar santapan, melainkan simbol pengorbanan dan keikhlasan, yang kemudian dinikmati bersama sebagai manifestasi persatuan, mengukir janji suci di hati mereka.

Ketika senja benar-benar pamit, menyisakan kerlip bintang yang satu per satu muncul, lapangan pondok yang tadinya riuh perlahan mereda. Namun, jejak-jejak kebahagiaan dan kehangatan masih mengawang, menari-nari di udara. Pesta Rasa Kebahagiaan (Yaumul Faroh) Santri di sore Idul Adha ini akan menjadi setangkai kenangan manis yang tak lekang dimakan waktu, pengingat abadi bahwa kebahagiaan sejati kerap kali ditemukan dalam kesederhanaan, dalam dekapan kebersamaan, dan dalam setiap helaan napas syukur.

“Kami haturkan jazakumullahu khairan katsîran kepada seluruh orang tua/wali santri serta para donatur hewan qurban.
Berkat kebaikan dan keikhlasan Bapak/Ibu semua, kami para santri bisa merasakan nikmatnya kebersamaan dan kelezatan daging qurban—nyate bareng, penuh suka cita dan syukur.

Semoga setiap tetes keringat dan rupiah yang dikorbankan menjadi amal jariyah yang terus mengalir, dan semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.” – P. Eteh Hj. Siti Maryam (Wakil Ketua YPP. Miftahulhuda Al-Musri’)
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Akhirul kalam, Wassalam

Pewarta: M Wildan Musyaffa