Bagaimana Menjadi Sufi di Era Digital?

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ اَظْهاَرَ مِنْ كُلِّ شَيءٍ ؟

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يُحْجَبَهُ شَيءٌ وَهُوَ الَّذِي لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٍ ؟

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ اَقْرَبُ اِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ؟

كَيْفَ يُتَصَوَّرُ اَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَلَوْلَاهُ لَمَا ظَهَرَ وُجُوْدُ كُلِّ شَيْءٍ ؟

Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa huwa azhhara min kulli syai? Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa huwa alladzi laisa ma’ahu syai’? Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa huwa aqrabu ilaika min kulli syai’? Kaifa yatashawwar an yahhjubahu syai’ wa laulahu’ lama’zhahara wujudu kulli syai’?

Bagaimana mungkin Dia terhijab dan terhalang oleh sesuatu, sementara Dia lebih terang-benderang dari segala barang? Bagaimana Dia terhijab oleh sesuatu, sementara taka da sesuatu yang lain Bersama Dia? Bagaimana Dia Bisa terhijab oleh sesuatu, sementara Dia lebih dekat kepadamu dari segala wujud yang ada? Bagaimana Dia bisa terhijab, sementara Dia adalah Dia Yang tanpa-Nya, segala sesuatu gelap, tak Nampak?

Renungan Syekh Ibnu ‘Atha’illah ini masih berkaitan dengan renungan-renungan sebelumnya. Ia masih berbicara tentang Kebenaran (dengan K besar) yang tak mungkin dihijab dan dihalang-halangi oleh segala sesuatu jika Dia menghendaki diri-Nya untuk menampakkan diri kepada kita. Kita bisa memahami kebijaksanaan Syekh Ibnu ‘Athai’illah ini dengan dua pengertian: Pengertian umum dan khusus.

Pengertian Umum

Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya, Kebenaran adalah Bagai Cahaya yang begitu terang yang tak mungkin ditutup oleh apapun. Pada momen Ketika kemunculan Cahaya kebenaran, “Moment of truth” sudah tiba, tak ada siapapun yang bisa menghalanginya.

Banyak skandar besar dalam Sejarah yang semula terpendam dan terkubur, tetapi pelan-pelan kemudian muncul ke permukaan. Alam bekerja dengan cara yang misterius. Manusia kerap mencoba untuk menyembunyikan kebenaran, tetapi makar dan usahanya itu kerap kali “muspra” (sia-sia). Sebab, cepat atau lambat, kebenaran akan muncul ke permukaan.

Ini mengingatkan kita pada kisah Yusuf dan isteri Potifar, seorang pegawai pada Kerajaan Firaun, Sebagaimana kita baca dalam surah Yusuf di Al-Qur’an, isteri Potifar (konon Namanya Zulekha) pernah menggoda Yusuf untuk melakukan Tindakan percabulan. Yusuf menolak dan hendak lari dari hadapannya.

Zulekha menarik baju Yusuf dari arah belakang dan robek. Lalu Potifar atau Zulekha masuk rumah dan mendapati situasi yang mencurigakan itu. Zulekha mengadu kepada suaminya bahwa Yusuf hendak menggodanya. Yusuf kemudian dipenjara dengan tuduhan hendak mencabuli isteri seorang Kerajaan.

Tentu saja, Zulekha menyampaikan versi yang bohong tentang peristiwa skandal itu. Semula banyak mempercayai versinya. Namun, pelan-pelan, kebenaran terungkap, dan akhirnya Zulekha mengaku bersalah. Dia membuat pengakuan: Dia memang jatuh cinta kepada Yusuf dan yang terakhir ini menolak.

Pengakuan Zulekha inilah yang disebut Moment of truth. Kebenaran, jika sudah matang, akan mlethek. (pecah dengan sendirinya) seperti sebuah bisul. Dia tak bisa dihalang-halanginya.

Pengertian Khusus

Seseorang, jika masih dalam keadaan terhijab, terhalang, sehingga tak bisa melihat dan menjumpai Tuhan, dia mempunyai sangkaan dan asumsi bahwa wujud dirinya sebagai makhluk/manusia adalah wujud yang “dharuri”, wujud yang niscaya, wujud yang riil dan nyata. Dia menganggap bahwa dirinya adalah “the real being”. Pada saat yang sama dia juga beranggapan bahwa wujud Tuhan adalah wujud yang semu, wujud yang “nazhariy”, teoretis, konseptual.

Akan tetapi jika seorang hamba pelan-pelan dan secara konsisten melakukan perjalanan dan meningkatkan maqamnya lebih tinggi, yaitu maqam memahami Kebenaran ketuhanan, dan lebur di dalamnya, dia akan mengalami situasi spiritual dan eksistensial yang sama sekali berbeda, Dia akan menganggap bahwa yang konseptual dan teoretis adalah wujudnya sendiri. Sementara yang ada secara “dharuri”, secara sungguh-sungguh, adalah Tuhan.

Orang yang mencapai tahap ma’rifat akan memahami bahwa Tuhan adalah wujud yang lebih terang dari wujud apapun, bahwa Tuhan adalah wujud satu-satunya. Sementara itu, yang lain adalah wujud yang semu; bahwa Tuhan adalah wujud yang jauh lebih dekat kepada manusia ketimbang wujud apa pun; bahwa Tuhan adalah “kekuatan” yang membuat segala sesuatu bisa tampak ada ke permukaan.

Apa yang bisa kita pelajari dari kebijaksanaan Syekh Ibnu ‘Atha’illah ini?

Bagi Sebagian orang, mungkin renungan Ibnu ‘Atha’illah ini adalah renungan “elitis” yang hanya relevan bagi orang-orang “khawwash”, orang-orang sufi yang telah mencapai tahap spiritual yang tertinggi. Pandangan semacam ini, menurut saya, keliru.

Kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah ini relevan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita telah mengetahui kebenaran, mengerti duduk soal segala masalah, memahami versi yang sebenarnya dari sebuah informasi, kita tak akan terombang-ambing oleh rumor, sas-sus, berita-berita yang simpang siur.

Betapa relevannya kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah di era digital sekarang, di era dimana ribuan informasi yang kerap simpang siur memborbardir kita setiap detik. Kita sering dibuat bingung, sebab informasi datang dengan semacam “framing” atau kerangka tertentu yang berbeda-beda. Kesimpang-siuran ini adalah symbol dari dunia maya yang memiliki wajah yang bermacam-macam. Mirip dengan Rahwana yang multi-wajah. Kita dibuat bingung olehnya.

Tugas kita sebagai manusia yang berfikir dan beriman adalah menapis informasi itu sehingga kita bisa mengetahui duduk masalah yang sebenar-benarnya, tidak diombang-ambingkan ikeh rumor dan opini yang saling tabrakan.

Mencari kejelasan di Tengah-tengah kebingungan ini adalah sama dengan seorang sufi yang mencari kebenaran di Tengah-tengah realitas maya, yang sering berubah-ubah seperti partikel neutrino yang kemarin sempat menjadi pembicaraan luas karna hadiah Nobel Fisika 2015 yang diberikan kepada dua ilmuwan yang meneliti partikel super-mini ini.

Anda harus menjadi ”sufi” di Tengah-tengah ledakan informasi yang kerap menipu ini. Kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah ini adalah semacam kiat bagaimana menjadi “sufi” ditengah-tengah era digital.

Aforisme

“Seseorang jika masih dalam keadaan terhijab, terhalang, sehingga tak bisa melihat menjumpai Tuhan. Dia mempunyai sangkaan dan asumsi bahwa wujud dirinya sebagai makhluk/manusia adalah wujud yang “dharuri”, Wujud yang niscaya, wujud yang riil dan nyata. Dia menganggap bahwa dirinya adalah  the real being.”

Referensi Buku: Menjadi Manusia Rohani | Ulil Abshar Abdalla | Cetakan pertama: Januari 2019 | meditasi-meditasi Ibnu ‘Atha’illah dalam Kitab Al-Hikam | Hikmah dua puluh satu | Halaman (131 s/d 136).

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *