Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat: Termasuk Pesantren?

Di sebuah desa yang tak tampak di peta wisata, berdiri bangunan bersahaja. Tak bertembok semen, hanya kayu tua yang menguap aroma tanah. Lantainya bukan ubin berkilau, melainkan bumi yang selalu jujur menampung telapak kaki. Atapnya seng berkarat yang bersuara saat hujan tiba. Tapi dari ruangan sederhana itulah—ilmu mengalir, adab ditanam, dan peradaban ditumbuhkan dalam diam.

Anak-anak duduk bersila, berselimut angin pagi yang mengigau. Di pangkuan mereka, kitab-kitab yang lebih berat dari tubuh mungil mereka. Di hadapan mereka, seorang guru berbaju lusuh tapi berhati luas, mengajarkan huruf demi huruf dengan suara yang lembut, meski mungkin perutnya belum sempat diisi sejak subuh.

Tempat sederhana itu dikenal orang sebagai madrasah—sebuah pesantren kecil yang menjadi pelita dalam sunyi, tempat ilmu dan adab disemai di antara dinding kayu dan lantai tanah, jauh dari gemerlap, namun dekat dengan langit.

Saya menulis ini bukan karena saya ahli dalam merumuskan keadilan, tapi karena saya resah. Resah yang lama bersembunyi di balik halaman-halaman laporan negara, tapi selalu terbangun

setiap kali mendengar kisah tentang guru madrasah yang digaji tak lebih dari harga satu kali makan siang di restoran ibu kota.

Resah karena negeri ini belum adil pada mereka yang diam-diam menjaga nyala moral bangsa.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, dalam rapat Komisi VIII DPR RI, pernah berkata dengan nada getir yang tenang:

“Lebih dari 90% sekolah di bawah Kementerian Agama adalah swasta. Negara tidak membeli tanahnya, tidak menggaji penuh gurunya. Bahkan banyak guru madrasah hanya menerima Rp100.000 per bulan.”

Saya membaca pernyataan itu perlahan. Bukan karena saya sulit memahami, tapi karena dada saya sesak menahannya. Saya bayangkan, apa jadinya bangsa ini jika para penjaga akhlaknya hanya dibayar sekadar sedekah?

Di sekolah negeri, guru berdiri di ruang berpendingin, berpapan tulis digital, dan digaji dengan nominal yang masuk akal. Tapi di madrasah? Mereka mengajar dengan suara yang dikalahkan hujan, dengan spidol yang telah kering separuh, dan penghasilan yang tak cukup untuk membeli tinta printer. Mereka tidak berteriak, tapi mereka tetap hadir. Setiap hari.

Apakah negara tidak melihat?

Apakah negara benar-benar buta, atau hanya rabun terhadap cahaya yang berasal dari ruang-ruang sunyi?

Anak-anak terbaik bangsa—yang menjadi sarjana teladan di kampus negeri ternama, yang hafal 30 juz Al-Qur’an sambil memegang gelar doktor—banyak lahir dari gubuk ilmu bernama madrasah. Bukan dari sekolah internasional, bukan dari gedung bertingkat, tapi dari bangku kayu dan tikar yang telah bertahun- tahun menyerap ilmu dan doa.

Saya merasa marah. Tapi ini bukan amarah yang membakar, melainkan cinta yang terlalu lama dipendam dalam ketimpangan. Karena saya tahu, madrasah tidak pernah meminta disanjung. Mereka hanya ingin diperlakukan adil.

Jauh sebelum Indonesia punya kementerian, pondok pesantren telah mengajarkan etika. Saat bangsa ini masih mengeja makna merdeka, pesantren telah selesai mengajarkan makna kemanusiaan. Kini, ketika negeri ini sudah mampu membangun gedung-gedung pencakar langit, mereka masih berdiri di pinggir, mengajarkan langit akhlak dari tanah yang tak pernah dilirik.

Jika negara ini jujur, maka ia akan mencium tangan guru madrasah seperti seorang santri mencium tangan kiainya. Tapi sayang, kenyataan tak seindah pidato. Negara lebih sibuk menyusun dokumen perencanaan, ketimbang menengok ruangan tanpa kipas di pelosok desa.

Guru madrasah bukan tidak tahu cara mogok. Mereka hanya terlalu cinta pada ilmu. Mereka tahu hukum, tapi lebih mengenal

adab. Mereka tahu jalan ke istana, tapi lebih memilih jalan menuju surga.

Lantas, mengapa kita diam?

Saya menulis ini bukan karena saya punya kuasa. Saya hanya seorang penulis yang amat sangat amatir, yang tak punya mikrofon, tapi percaya bahwa kata-kata bisa lebih lantang dari pengeras suara parlemen.

Wahai pemimpin, dengarlah.

Madrasah tidak butuh belas kasihanmu. Madrasah butuh pengakuan. Butuh keadilan.

Jangan nilai mereka dari megahnya bangunan. Lihat dari dalamnya pengabdian. Jangan ukur mereka dari jumlah honor, ukur dari keberanian mereka mengajar dalam keterbatasan. Jangan tanya di mana suara mereka, karena mereka tak teriak— mereka bekerja dalam diam.

Kita sering menyuarakan bahwa pendidikan karakter adalah penyelamat bangsa. Tapi karakter macam apa yang kita harapkan jika tempat paling karakteristik dalam mendidik justru ditelantarkan?

Di sana, di madrasah dan pesantren, anak-anak diajarkan berdoa sebelum membaca. Diajar minta maaf sebelum tidur. Diajak menangis dalam doa malam. Mereka tidak sekadar belajar— mereka ditempa.

Negara bangga punya universitas besar dengan anggaran besar. Tapi siapa yang berani menyebut bahwa moral anak negeri akan lahir dari anggaran semata?

Honor guru madrasah hanya sekitar Rp100.000 per bulan. Jauh dari layak. Tapi mereka tak pernah menjadikan angka sebagai alasan untuk absen. Mereka mengajar dengan tekad, bukan dengan tagihan.

Di antara debu, peluh, dan tikar yang sudah tua, mereka berdiri. Karena bagi mereka, mendidik bukan pekerjaan—melainkan jalan hidup. Jalan sunyi yang tak diberitakan, tapi ditulis malaikat. Apakah itu belum cukup jadi alasan bagi negara untuk berpihak? Saya menulis ini sebagai permohonan dan peringatan.

Permohonan:

Berikan madrasah dan pesantren anggaran yang layak. Berikan mereka perlakuan setara.

Berikan mereka kesempatan tumbuh, bukan dengan belas kasihan, tapi dengan keadilan yang jujur.

Peringatan:

Jangan biarkan mereka terus berdiri sendiri. Sebab jika madrasah tumbang,

bangsa ini kehilangan akarnya. Dan bangsa yang kehilangan akar adalah bangsa yang mudah roboh oleh angin.

Penutup

Saya menulis dengan penuh kesadaran bahwa mungkin tulisan ini hanya dibaca sedikit orang. Tapi saya percaya, satu hati yang tergugah lebih berarti daripada seribu yang diam.

Madrasah telah lama memberi tanpa syarat. Maka sudah saatnya negara memberi tanpa pamrih.

Karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat—juga berarti untuk pesantren.

Sebagai bagian dari keluarga besar Pondok Pesantren ini, kami bangga mempersembahkan tulisan dari salah satu alumni terbaik kami. Melalui pengalamannya yang berharga selama menuntut ilmu di pondok, ia kini berbagi pemikiran, pengetahuan, dan refleksi dalam bentuk artikel jurnal ini. Semoga apa yang disampaikannya menjadi inspirasi, menambah wawasan, serta menguatkan semangat kita semua untuk terus menebar manfaat, menuntut ilmu, dan meneladani nilai-nilai luhur pesantren. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Penulis: Munawar Hakimi Ahmad Q

Editor: M Wildan Musyaffa

Saat Langit Cianjur Penuh Dzikir: Sebuah Catatan dari Hari Bersejarah

Cianjur, Masjid Agung Cianjur, 27 Juni 2025 M | 01 Muharram 1447 H
Pagi itu, langit tampak tenang. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Di tengah pusat kota Cianjur, tepatnya di Masjid Agung Cianjur, Alun-Alun, yang biasanya riuh oleh lalu lalang masyarakat, hari itu berubah menjadi sesuatu yang lain—lebih syahdu, lebih khidmat, lebih hidup.

Ribuan orang mulai berdatangan sejak pagi buta. Mereka datang dari berbagai penjuru Jawa Barat. Dari pesantren, dari kota, dari desa-desa pelosok. Tidak ada batas antara tua dan muda, antara santri dan petani, semua larut dalam satu semangat yang sama: berdzikir bersama dalam cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.


Detik-Detik Awal: Sholat Jum’at dan Ayat Langit

Acara dimulai setelah pelaksanaan sholat jum’at berjamaah. Ribuan jamaah menunaikan sembahyang dengan tertib, langit tetap cerah, angin berhembus lembut, dan bumi Cianjur menjadi sajadah raksasa yang menyatukan hati-hati yang ingin pulang kepada Allah.

Usai sholat, pembacaan Al-Barzanji dan Sholawat Nabi mengisi ruang udara yang panas pelan-pelan menjadi sejuk. Lantunan pujian kepada Rasul ﷺ menggetarkan hati. Lalu mikrofon berpindah ke seorang qari muda yang dengan tartil membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Orang-orang menunduk. Beberapa menangis. Entah karena rindu, entah karena merasa pulang ke hati yang lama mereka tinggalkan.


Satu Panggung, Banyak Amanah

Tak hanya itu, bahkan masyaikh Ponpes Miftahulhuda Al-Musri’ pusat, para muqimin sepuh, dan dewan ampuh berdatangan menghadiri acara Ijtima ini. Hadir pula muqoddam-muqoddam dari berbagai daerah yang membawa semangat dan barokah untuk kebersamaan dzikir ini, di antaranya yaitu: 1. K.H. Ikhyan Sibaweh Badruzzaman (Garut), 2. K.H. Abuy Jamhur Badruzzaman(Garut), 3. K.H. Maman Abdurrahman Bz (Padalarang), 4. K.H. Ade Hidayat (Garut), 5. K.H. Asep Saefudin (Garut), 6. K.H. Maman Bin Dadang Bz (Garut), 7. K.H. Salim Hidayat (Garut), 8. K.H. Khoer Hasanul Akhlaq (Garut), 9. Kyai. Asep Sofwan (Garut), 10. K.H. Mahmud Munawwar (Cianjur) Setelah pembukaan resmi, Ketua Panitia, P. Akang K.H. Burhan Rosyidi, S.E., naik ke panggung. Dengan suara yang tenang namun penuh tekad, beliau menyampaikan laporan pelaksanaan. Disusul sambutan dari shohibul bait, perwakilan pemerintah daerah, yang menyambut dengan hangat dan penuh hormat.

Kemudian naiklah para sesepuh Thariqah Tijaniyah. Suasana berubah hening. Setiap kalimat yang mereka ucapkan bukan hanya didengar, tapi dirasakan. Sambutan sesepuh Thariqah Tijaniyah disampaikan oleh Habib Umar Toyyib. “Kita berkumpul bukan untuk dunia, tapi untuk menghidupkan warisan ruhani,” ucap salah satu mursyid. Tepuk tangan tak terdengar. Tapi getaran kalbu itu nyata.

Sambutan terakhir datang dari Bupati Cianjur, Slamet Riyadi, S.STP, M.AP, yang mewakili aspirasi pemerintah dan masyarakat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan harapan agar Cianjur tak hanya maju dalam pembangunan fisik, tapi juga menjadi pusat kemajuan ruhani. yang mewakili aspirasi pemerintah dan masyarakat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan harapan agar Cianjur tak hanya maju dalam pembangunan fisik, tapi juga menjadi pusat kemajuan ruhani.


Ketika Jamaah Bersujud Bersama

Waktu dzuhur berlalu (Waktu Sholat Jum’at), lalu tibalah sholat Ashar berjamaah. Ribuan orang berbaris rapih. Langit tetap cerah. Angin masih lembut. Dan bumi Cianjur menjadi sajadah raksasa yang menyatukan hati-hati yang ingin pulang kepada Allah.


Puncak Dzikir: Wadzifah dan Haelalah

Setelah istirahat singkat, acara dilanjutkan dengan tausiyah ruhani dari para mursyid Tijaniyah, yang kali ini dibawakan oleh Syekh Ikhyan (Syekh Zawih Samarang). Tak hanya berisi nasihat, tapi juga kisah, sanad, dan ajakan untuk terus berada di jalan dzikir, cinta, dan adab. dari para mursyid Tijaniyah. Tak hanya berisi nasihat, tapi juga kisah, sanad, dan ajakan untuk terus berada di jalan dzikir, cinta, dan adab. Menjelang maghrib, para jamaah duduk rapat. Suara dzikir mulai bergema. Wadzifah—dzikir khas Thariqah Tijaniyah—dilantunkan serentak dipimpin oleh K.H. Maman Abdurrahman. Hati-hati pun tunduk. Beberapa menangis, banyak yang terdiam. Inilah saat yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setelah itu, Haelalah dipimpin oleh K.H. Maman Abdurrahman (Padalarang KBB) mengguncang langit Cianjur. Kalimat “La ilaha illallah” membahana, menggema dari bibir ribuan manusia menuju langit yang luas. Tak ada suara lain. Tak ada dering ponsel. Hanya kalimat tauhid yang menjadi napas bersama. dipimpin oleh Drs.Syekh.Ikhyan Shibaweh mengguncang langit Cianjur. Kalimat “La ilaha illallah” membahana, menggema dari bibir ribuan manusia menuju langit yang luas.


Di Balik Layar: Mereka yang Diam Tapi Bergerak

Acara sebesar ini tak mungkin berjalan tanpa para pahlawan tanpa nama. Sebanyak 1000 panitia dikerahkan. Mereka bekerja dalam senyap tapi sungguh-sungguh.

  • Ada 100 orang penerima tamu yang berdiri sejak pagi.
  • 110 tim keamanan menjaga jalannya acara dengan tenang.
  • 170 petugas kebersihan memastikan setiap sudut bersih dan nyaman.
  • 25 personil logistik, 9 petugas transportasi, dan 15 tim kesehatan bekerja tanpa henti.
  • Tim publikasi & dokumentasi, konsumsi, acara, hingga humas semua bergerak dalam semangat khidmah.

Mereka berasal dari santri Al-Musri’ pusat, dibantu dari cabang, serta aparat dari Polres, Dishub, dan Satpol PP. Sebuah kolaborasi indah antara pesantren dan negara, antara spiritualitas dan ketertiban.


Saat Langit Mulai Gelap, Dzikir Masih Menyala

Acara pun ditutup menjelang malam. Tidak dengan pesta, tidak dengan sorak-sorai. Tapi dengan doa, dan dzikir pelan yang masih mengalun. Orang-orang mulai kembali ke asal mereka—tapi tidak dengan hati yang sama.

Hari ini, Cianjur menjadi rumah bagi ruh-ruh yang kembali menyala. Dan dari Ijtima ini, semoga lahir generasi yang tak hanya paham dunia, tapi juga paham jalan pulang.

“Bersatu dalam dzikir, bergerak dalam iman –
Wujudkan Cianjur Jaya di Tanah Jawa Barat Istimewa.”

Dokumentasi

Berikut beberapa dokumentasi dari acara ini: potret ribuan jamaah memadati Masjid Agung Cianjur, barisan sholat berjamaah yang rapih, para masyaikh duduk di panggung kehormatan, tangis haru saat dzikir, dan senyum bahagia para panitia yang bekerja sepenuh hati. Semoga setiap momen ini menjadi saksi berkah dan cahaya bagi perjalanan ruhani kita bersama.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami haturkan, dengan untaian kata yang tak akan pernah cukup menampung syukur dan bangga. Kepada semua yang hadir, semua yang setia mendukung, semua yang menata langkah dan menebar doa. Ijtima Wadzifah dan Haelalah ini tak akan menjadi cahaya di bumi Cianjur tanpa kalian. Semoga berkah melimpah, semoga dzikir terus bersemi, dan semoga cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi pelita sepanjang hayat. Teriring salam takzim, untuk kebersamaan, persaudaraan, dan kesuksesan yang kita rajut di bumi Jawa Barat tercinta.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Ijtima Wadzifah & Haelah Thariqah Tijaniyah Se-Jawa Barat akan Digelar di Cianjur

Cianjur – Tanah Dzikir, Di tengah hembusan angin lembut tanah Sunda, di jantung kota yang dikenal religius dan bersahaja, sejarah pun digores; untuk pertama kalinya, Ribuan pengamal Thariqah Tijaniyah dari berbagai wilayah di Jawa Barat berkumpul dalam satu harmoni, dalam satu niat, dalam satu semangat; Ijtima Wadzifah dan Haelalah Thariqah Tijaniyah Cianjur se-Jawa Barat dengan tema “Bersatu dalam Dzikir, Bergerak dalam Iman – Wujudkan Cianjur Jaya di Tanah Jawa Barat Istimewa.” yang akan dilaksanakan di 54JR+6FX, Jl. Suroso, Pamoyanan, Kec. Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat 43211 (Masjid Agung Cianjur), Hari Jum’at, Tanggal 27 Juni 2025, Pukul 13.00 WIB s/d Selesai.

Masjid Agung Cianjur akan menjadi saksi kebersamaan spiritual ribuan jamaah Thariqah Tijaniyah dalam acara Ijtima Wadzifah dan Haelah Thariqah Tijaniyah se-Jawa Barat.

Acara yang diselenggarakan pertama kali ini bertujuan untuk mempererat silaturahmi besar antar ikhwan Thariqah Tijaniyah (antar murid Thariqah dengan Mursyid, Muqoddam) dari berbagai daerah di Jawa Barat, dengan tujuan utama memperkuat ukhuwah, memperdalam spiritualitas, serta menjaga kelestarian amalan Thariqah sesuai tuntunan para masyayikh.

Rangkaian Agenda Penuh Hikmah

Kegiatan akan diisi dengan beberapa agenda utama, di antaranya:

NOWAKTUACARAPENGISIKET
1.13.00-13.30
(30 Menit)
Pembacaan Al-Barzanji/Dibai & SholawatGrup Hadroh Al-Musri’ 
 13.30-13.40
(10 Menit)
PembukaanUst. Dodi Sopyadi / Ust. Mukhsin 
  2.13.40-13.50
(10 Menit )
Pembacaan Ayat Suci Al- Qur’anUst. Yusril Jamil  
3.13.50-14.00
(10 Menit)
Laporan Ketua PanitiaP. Akang KH. Burhan Rosyidi, S.E. 
  4.14.00-15.00
(1 Jam)
Sambutan Shohibul BaitPengurus DKM Kaum Cianjur 
  5.Sambutan Sesepuh Thoriqoh At-TijaniHabib Umar Toyyib 
  6.Sambutan Gubernur Jawa Barat/Bupati CianjurSlamet Riyadi,S, STP,M, AP 
  7.15.00-16.00
(1 Jam)
Berjama’ah Sholat Ashar & IstirahatBersama 
  8.16.00-18.00
(2 Jam)
Tausyiah TijaniyahSyekh Ikhyan (Zawih Samarang) 
9.WadzifahSyekh Abuy Samarang (Garut) 
 HaelalahK.H. Maman Abdurrahman (Padalarang KBB) 
10.18.00 s/d SelesaiPenutupMc 

Rangkaian ini diharapkan menjadi media penyegaran ruhani serta penguat kecintaan kepada Rasulullah SAW melalui wasilah para mursyid dan muqoddam yang bersanad.

Dan acara ini akan dihadiri oleh sejumlah tokoh penting dalam jaringan Thariqah Tijaniyah, baik dari Jawa Barat maupun luar daerah, seperti para Muqoddam (Wakil Talqin), dan para Mursyid (guru yang membingbing murid-muridnya dalam jalan spiritual, khususnya dalam tarekat)

Sebagaian Panitia dari Santri Al-Musri’ Pusat: Semangat Khidmah untuk Jamaah

Menariknya, pelaksanaan acara ini turut melibatkan 200 santri dari Pesantren Al-Musri’ Pusat sebagai panitia utama. Selain itu, sebagian santri dari pesantren cabang Al-Musri’ juga ditugaskan untuk membantu menyukseskan kegiatan besar ini.

Para santri yang tergabung dalam panitia menjalankan berbagai peran, mulai dari pengamanan, konsumsi, penyambutan tamu, hingga dokumentasi. Semangat khidmah dan keikhlasan menjadi nilai utama yang ditanamkan dalam keterlibatan mereka.

“Ini adalah ladang amal dan pembelajaran langsung bagi para santri tentang pelayanan umat dan pengabdian dalam Thariqah,” ujar [Pangersa Eteh Hj. Siti Maryam selaku Wakil Pimpinan Ponpes Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat].

Panitia Besar: 1000 Personil Siap Khidmah

Sebagai bentuk kesiapan luar biasa, sebanyak 1000 personil panitia telah dipersiapkan. Mereka bergerak dengan struktur yang tertib, profesional, dan penuh semangat khidmah.

Bidang TugasJumlah Personil
Penerima Tamu100 orang
Keamanan110 orang
Kebersihan170 orang
Logistik & Akomodasi25 orang
Transportasi9 orang
Kesehatan15 orang
Acara5 orang
Tim Gelar Sorban40 orang
Publikasi & Dokumentasi15 orang
Konsumsi100 orang
Humas5 orang
Total1000 personil

Ditambah lagi dengan dukungan dari instansi terkait, seperti:

  1. Polres Cianjur
  2. Dinas Perhubungan (Dishub)
  3. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Makna dan Tujuan Utama

Menurut panitia pelaksana, kegiatan ini bukan hanya sekadar berkumpul, tetapi merupakan media untuk memperkuat sanad keilmuan, menjaga kesucian amalan thariqah, serta sebagai bentuk ketaatan kepada para mursyid.

“Ijtima ini adalah momentum penting untuk menyegarkan ruhaniyah, memperdalam rasa cinta kepada Rasulullah SAW melalui amalan-amalan yang telah diwariskan oleh para guru Thariqah. Di tengah kehidupan modern, kita membutuhkan oase ruhani seperti ini,” ujar [K. Aceng Syarif (Pimpinan Ponpes Asy-Syihabudiniah Al-Musri’ 1].

Dengan digelarnya acara ini di jantung kota Cianjur, yakni Alun-Alun Cianjur tepatnya Masjid Agung Cianjur, diharapkan gema dzikir dan syiar Islam dapat menjangkau masyarakat lebih luas. Selain sebagai ajang silaturahmi ruhani, kegiatan ini juga menjadi bentuk nyata dakwah yang lembut dan menyejukkan hati.

Panitia juga menghimbau seluruh jamaah untuk menjaga ketertiban, adab, dan kebersihan selama acara berlangsung, serta membawa perlengkapan pribadi seperti sajadah, kitab wadzifah, dan perlengkapan ibadah.


📍 Lokasi: Masjid Agung Cianjur
📅 Tanggal: 27 Juni 2025 M | 01 Muharram 1447 H
⏰ Waktu: 13.00 s/d Selesai
📞 Kontak Informasi: +62 838-1134-3000


Liputan Khusus oleh Tim Media Al-Musri’

Tim media Pesantren Al-Musri’ akan menghadirkan dokumentasi lengkap dalam bentuk foto, video, dan laporan live dari lokasi. Pantau terus informasi dan update melalui website ini serta akun resmi media sosial Al-Musri’.


Semoga kegiatan ini menjadi momen penyatuan hati, penguatan sanad ruhani, dan peneguhan langkah dalam perjalanan Thariqah Tijaniyah menuju ridha Allah SWT. Aamiin.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Apa Makna Zuhud?

Apa yang dinamakan zuhud? Zuhud adalah meninggalkan kecondongan terhadap kecintaan pada dunia. Zuhud adalah melepaskan hati dari pengaruh dunia. Maksudnya tidak kikir terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh kegiatan-kegiatan duniawi sehingga lupa pada Allah SWT. Namun zuhud juga bukan berarti harus mengosongkan tangan dari memiliki harta.

Selama ini banyak orang yang salah paham atau salah mengartikan sifat zuhud. Zuhud bukan berarti tidak boleh kaya. Zuhud juga bukan harus hidup miskin dan meninggalkan segala gemerlap kehidupan dunia. Karena bagaimanapun tidak ada larangan bagi umat Islam untuk meraih kekayaan setinggi-tingginya. Asal cara memperoleh dan penggunaannya sesuai dengan ajaran Islam.

Sederhananya, zuhud adalah melenyapkan keterkaitan hati dengan harta. Sehingga zuhud bukan berarti tidak kaya. Juga tidak identik dengan miskin. Orang kaya belum tentu tidak zuhud. Orang miskin juga belum pasti memiliki sikap zuhud. Karena zuhud adalah pekerjaan hati, bukan pekerjaan lahiriyah.  Sehingga yang mengetahui apakah dia zuhud atau tidak adalah dirinya sendiri, dan tentu saja Allah swt. 

“Allah dan Rasul-Nya tidak pernah melarang umatnya melakukan usaha untuk mendapatkan bagian di dunia. Tidak pernah seorangpun dilarang untuk melakukan hal tersebut.”

Allah berfirman :

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ ۝٢٠

     Barang siapa yang menghendaki keuntungan akhirat kami tambah keuntungan itu untuknya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia maka kubereikan sebagiannya dan tiadalah baginya suatu bagian pun di akhirat.  (Asy Syura: 20).

Ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata : “Tunjukkanlah aku tentang perbuatan, bila aku melakukannya maka aku disenangi oleh Allah dan disegani oleh manusia.” Lalu Nabi menjawab : “berzuhudlah dari keduniaan kamu akan dicintai oleh Allah, dan janganlah kamu tamak terhadap hak milik manusia kamu akan dicintai oleh mereka.” (HR.Ibnu Majah).


“Jangan kalian mengatakan bahwa seseorang mempunyai sifat zuhud. Karena keberadaan zuhud adalah di hati,” kata Abu Sulaiman ad-Darani. Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman AS tidak pernah mengangkat kepalanya ke langit, lantaran khusu’ dan merendahkan diri kepada Allah sekalipun diberi Kerajaan yang begitu mengagumkan. Dia senantiasa memberikan makanan yang enak-enak kepada orang banyak, tapi untuk dirinya beliau hanya memakan roti gandum. Ada seorang bertanya :”Mengapa kamu senang hidup lapar, sedang engkau telah diberi gudang kekayaan dibumi?” Lalu dijawab “:Aku khawatir bila aku kenyang, lantas aku lupa terhadap orang yang lapar.”

Sekali lagi zuhud bukan berarti anti-harta benda. Juga bukan harus hidup miskin atau identik dengan kemiskinan. Namun melepaskan keterkaitan hati dengan harta. Contohnya, banyak sahabat Nabi Muhammad saw. yang kaya namun tetap zuhud seperti Abduraahman bin Auf, Zubair binAwwam, Zaid bin Tsabit, dan lainnya. Mereka memiliki harta yang melimpah, namun hartanya tidak membutakan mata dan hati mereka sehingga melupakan akhirat. (A Muchlishon Rochmat)

Editor : Nawal A.N

Paradigma Humanisme Islam

AlMusriPusat.ID –  Antara humanisme, dan inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana berketuhanan yang benar dan selanjutnya menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan yang benar.

Pendidikan di pesantren sangat memperhatikan aspek potensial manusia sebagai makhluk religius, dimana individu-individu mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Di dalam pesantren ini proses pembelajaran antara guru dan santri terjadi dengan pola interaksi yang intens yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan agama, sehingga Pendidikan di Pondok Pesantren dapat dikatakan sebagai pendidikan yang humanis dan religius. Hal ini bisa dilihat pada nilai-nilai kemanusiaan yang terbangun dengan baik. Saling menghormati, kesabaran, ketekunan, disiplin dan nilai-nilai toleransi yang dikembangkan menjadi indikator utama adanya pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai humanisme religius.

Hal yang perlu diperhatikan masyarakat adalah cara pengajaran berkaitan dengan Ubudiyah atau syariat, akidah atau tauhid dalam pengenalan yang disembah sampai membuat santri masuk kepada ihsan dalam mencitrakan sisi kemanusiaan.

Nurcholis Majid dalam bukunya “Islam Agama Kemanusiaan” menyatakan Ihsan merupakan tingkat tertinggi yang meliputi Iman (Tauhid) dan Islam (Syariat). Manusia tidak dapat mencapai konsep Ihsan apabila tidak melalui konsep Iman dan Islam. Alangkah elok dan sepantasnya seseorang melalui hal ini secara bertahap. 

Sebuah jurnal menyatakan bahwa dalam Ihsan terdapat unsur yang disebut dengan humanisme. Seseorang manusia akan menemukan kecintaan dan kebaikan kepada sesama manusia apabila berada pada maqom Ihsan. 

Istilah humanisme di atas bukan merujuk kepada humanisme modern yang mempunyai result kejatuhan agama. 

Humanisme yang dimaksud pada tulisan ini ialah perspektif seorang Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Konsep ini lahir dari prinsip ketuhanan atas kemanusiaan. Karena pandangan humanisme Gus Dur, kita menikmati terma-terma keadilan, kesejahteraan rakyat, demokrasi hingga toleransi beragama. 

Nilai humanisme Gus Dur dituangkan dalam konsep memanusiakan manusia. Dewasa ini ada sekelompok manusia memandang rendah hingga masuk pengertian kafir kepada manusia lain yang berbeda agama, pilihan politik atau amaliyah peribadatan dengan kelompoknya. 

Kita sebagai manusia tidak sepantasnya memandang manusia hanya kepada perbedaan di atas. Dan tidak sepantasnya manusia dibedakan oleh manusia lainnya. Seharusnya bukan perbedaan yang dicari melainkan kesamaan satu substansi dengan sebutan manusia.

Pesantren mempunyai tugas dalam membangun akhlak santri agar dapat memanusiakan manusia. Berkumpulnya para santri yang mempunyai latar belakang berbeda diiringi pendidikan moderat akan membuat santri dapat memahami kemajemukan setidaknya dalam hal yang berkenaan perbedaan suku atau daerah. Kalimat magis Gus Dur adalah Aku, Kamu, Kita adalah manusia bukan hal berbeda. 

Perlunya Pemahaman Islam Humanis
Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah SWT. Di hadapan Allah, yang membedakan di antara manusia hanyalah prestasi dan kualitas takwanya, dan bicara soal takwa, hanya Allah yang semata memiliki hak
prerogatif untuk melakukan penilaian, bukan manusia.

Islam juga memandang manusia secara optimis dan positif, yakni sebagai makhluk paling mulia dan bermartabat (Q.S, al-Baqarah, 2:30 dan al-Isra, 17:70). Konsep ini sangat penting, terutama dalam kaitan dengan pemahaman terhadap teksteks suci keagamaan. Bahwa manusia dengan seluruh pengalamannya merupakan dasar yang amat penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Bahwa kemaslahatan dan kebahagiaan manusia harus menjadi pertimbangan utama dalam menafsirkan teks-teks suci tersebut.

Selain itu, Islam diyakini pemeluknya sebagai agama yang menjanjikan harapan hidup yang lebih baik: menjanjikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Karena itu, manusia memiliki tempat yang sangat sentral dalam ajaran Islam, sebagai khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30). Sebagai khalifah tugas manusia: perempuan dan laki-laki adalah sama, yakni menjadi agen moral untuk melakukan upaya-upaya transformasi, baik untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat luas sehingga terwujud kondisi masyarakat ideal yang diistilahkan dalam Qur’an dengan baldatun thayyibah wa rabbun ghafur (masyarakat yang damai dan bahagia, penuh dilimpahi rahmat Tuhan).

Jadi, berbeda dengan makhluk lainnya, manusia memiliki posisi yang sangat spesifik, yaitu menjadi khalifah Tuhan yang tugas utamanya adalah melakukan perbaikan moral. Tugas manusia adalah menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta. Karena itu, keunikan manusia adalah bahwa ia mewakili Tuhan di atas bumi ini. Suatu posisi yang teramat tinggi, bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya, termasuk malaikat sekali pun. Pertanyaannya, mengapa harus manusia? Di mana letak keunggulannya?

Ali Syariati dalam bukunya, Islam dan Manusia, menjelaskan keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarkan padanya tentang nama-nama yang faktanya mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian yang dianggap sebagai prototype dari ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan kepada para malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Dari sini kemudian Ali Syariati menyimpulkan bahwa kemuliaan seorang manusia bukan terletak pada superioritas rasialnya, melainkan pada pengetahuan dan kecerdasannya, dan itulah yang mengantarkan manusia mampu berijtihad.

Umat Islam hampir sepakat mengenai pentingnya ijtihad, yaitu penggunaan akal pikiran secara optimal dalam memahami hukum-hukum Allah. Ijtihad merupakan suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika beliau masih hidup. Sebab, menurut Wahhab Khallaf, pakar hukum Islam ternama, meskipun AlQur’an mengandung ketentuan hukum yang cukup rinci, namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum.

Keterbatasan hukum yang dikandung Al-Quran dan Sunnah dinyatakan secara jelas dalam hadis Rasul yang ditujukan kepada Muaz ibn Jabal: “…jika di suatu tempat Anda menemukan persoalan maka selesaikanlah dengan merujuk kepada AlQur`an dan Sunnah, namun jika tidak ditemukan petunjuk dalam keduanya maka gunakanlah nalarmu.” Hadis ini mengindikasikan kebutuhan ijtihad dengan sangat jelas. Hadis lain yang sering dijadikan acuan mengenai pentingnya ijtihad adalah hadis tentang perlunya upaya pembaruan dalam kehidupan masyarakat. Hadis dimaksud adalah: “innallaha yabatsu ala kulli ratsi miati tsanah man yujaddidu laha dinaha” (Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap seratus tahun seorang pembaru yang akan memperbarui agamanya). Pembaruan dalam ajaran Islam tersebut diperlukan untuk merespon berbagai persoalan sosial kontemporer yang muncul, yang belum ditemukan aturan hukumnya secara jelas dan rinci dalam AlQur`an dan Sunnah, misalnya soal kloning, trafficking, bayi tabung, salat dua bahasa dan sebagainya.

Akan tetapi, masalah paling mendasar dalam pemahaman keagamaan mayoritas umat Islam adalah mereka terlanjur meyakini suatu interpretasi sebagai hal yang mutlak dan abadi, sehingga mengabaikan kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkret. Mereka terpaku pada makna-makna teks secara literalis tanpa menghiraukan konteks ajaran dan bahkan mengabaikan tujuan dasar dari ajaran Islam itu sendiri, yakni kemaslahatan umat manusia.


Mayoritas umat Islam meyakini bahwa semakin ketat memegangi makna literalis teks dipandang sebagai semakin dekat dengan Islam, sebaliknya semakin jauh seseorang meninggalkan makna tekstual tersebut dipandang semakin jauh dari Islam. Dengan demikian, kata Abu Zaid, peradaban Islam yang terbangun kini tidak lain adalah peradaban teks.

Padahal, agama diturunkan untuk memenuhi kebutuhan hakiki manusia berupa kebahagiaan dan ketenteraman. Agama Islam diturunkan bukan untuk kepentingan Tuhan sebab Dia Maha Kuasa tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, agama ini lebih banyak diamalkan untuk “menyenangkan Tuhan” sehingga hampir-hampir tidak menyisakan manfaat bagi kemanusiaan. Karena itu diperlukan ijtihad yang menggunakan analisis sosial untuk merekonstruksi ajaran Islam sehingga betul-betul kompatible (sesuai) dengan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.

Tujuan hakiki syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia melalui perlindungan terhadap lima hak dasar manusia (al-kulliyat alkhamsah): hak hidup (hifz al-nafs), hak kebebasan beragama (hifz al-din), hak beropini dan berekspresi (hifz al-aql), hak kesehatan reproduksi (hifz al-nasl), dan hak properti (hifz al-mal). Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam.

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum.

Kesimpulan
Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya’. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karena memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri.

Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pesantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil).

Pesantren Sekarang ini, semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa ekslusifisme komunal dan mengembangkan nilai-nilai humanism dalam pendidikan. Nilai-nilai kemanusiaan (humanism) yang terdapat dalam pendidikan di pondok pesantren, diantaranya; Penghormatan Kepada Ilmu; Penghormatan Terhadap Kyai; Cinta Terhadap sesama (Santri); Sikap kekeluargaan dan kebersamaan, Cinta Terhadap Lingkungan; Pola Pendidikan yang Integratif dan Pendidikan holistik.

Referensi: Islam dan Manusia; penulis Ali Syariati, Humanisme dalam Islam; penulis Prof. Dr. Marcel A. Beisard, Islam Agama Kemanusiaan; penulis Nurcholis Majid.

Pewarta: Raisya Audyra