Paradigma Humanisme Islam

AlMusriPusat.ID –  Antara humanisme, dan inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana berketuhanan yang benar dan selanjutnya menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan yang benar.

Pendidikan di pesantren sangat memperhatikan aspek potensial manusia sebagai makhluk religius, dimana individu-individu mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Di dalam pesantren ini proses pembelajaran antara guru dan santri terjadi dengan pola interaksi yang intens yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan agama, sehingga Pendidikan di Pondok Pesantren dapat dikatakan sebagai pendidikan yang humanis dan religius. Hal ini bisa dilihat pada nilai-nilai kemanusiaan yang terbangun dengan baik. Saling menghormati, kesabaran, ketekunan, disiplin dan nilai-nilai toleransi yang dikembangkan menjadi indikator utama adanya pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai humanisme religius.

Hal yang perlu diperhatikan masyarakat adalah cara pengajaran berkaitan dengan Ubudiyah atau syariat, akidah atau tauhid dalam pengenalan yang disembah sampai membuat santri masuk kepada ihsan dalam mencitrakan sisi kemanusiaan.

Nurcholis Majid dalam bukunya “Islam Agama Kemanusiaan” menyatakan Ihsan merupakan tingkat tertinggi yang meliputi Iman (Tauhid) dan Islam (Syariat). Manusia tidak dapat mencapai konsep Ihsan apabila tidak melalui konsep Iman dan Islam. Alangkah elok dan sepantasnya seseorang melalui hal ini secara bertahap. 

Sebuah jurnal menyatakan bahwa dalam Ihsan terdapat unsur yang disebut dengan humanisme. Seseorang manusia akan menemukan kecintaan dan kebaikan kepada sesama manusia apabila berada pada maqom Ihsan. 

Istilah humanisme di atas bukan merujuk kepada humanisme modern yang mempunyai result kejatuhan agama. 

Humanisme yang dimaksud pada tulisan ini ialah perspektif seorang Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Konsep ini lahir dari prinsip ketuhanan atas kemanusiaan. Karena pandangan humanisme Gus Dur, kita menikmati terma-terma keadilan, kesejahteraan rakyat, demokrasi hingga toleransi beragama. 

Nilai humanisme Gus Dur dituangkan dalam konsep memanusiakan manusia. Dewasa ini ada sekelompok manusia memandang rendah hingga masuk pengertian kafir kepada manusia lain yang berbeda agama, pilihan politik atau amaliyah peribadatan dengan kelompoknya. 

Kita sebagai manusia tidak sepantasnya memandang manusia hanya kepada perbedaan di atas. Dan tidak sepantasnya manusia dibedakan oleh manusia lainnya. Seharusnya bukan perbedaan yang dicari melainkan kesamaan satu substansi dengan sebutan manusia.

Pesantren mempunyai tugas dalam membangun akhlak santri agar dapat memanusiakan manusia. Berkumpulnya para santri yang mempunyai latar belakang berbeda diiringi pendidikan moderat akan membuat santri dapat memahami kemajemukan setidaknya dalam hal yang berkenaan perbedaan suku atau daerah. Kalimat magis Gus Dur adalah Aku, Kamu, Kita adalah manusia bukan hal berbeda. 

Perlunya Pemahaman Islam Humanis
Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah SWT. Di hadapan Allah, yang membedakan di antara manusia hanyalah prestasi dan kualitas takwanya, dan bicara soal takwa, hanya Allah yang semata memiliki hak
prerogatif untuk melakukan penilaian, bukan manusia.

Islam juga memandang manusia secara optimis dan positif, yakni sebagai makhluk paling mulia dan bermartabat (Q.S, al-Baqarah, 2:30 dan al-Isra, 17:70). Konsep ini sangat penting, terutama dalam kaitan dengan pemahaman terhadap teksteks suci keagamaan. Bahwa manusia dengan seluruh pengalamannya merupakan dasar yang amat penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Bahwa kemaslahatan dan kebahagiaan manusia harus menjadi pertimbangan utama dalam menafsirkan teks-teks suci tersebut.

Selain itu, Islam diyakini pemeluknya sebagai agama yang menjanjikan harapan hidup yang lebih baik: menjanjikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Karena itu, manusia memiliki tempat yang sangat sentral dalam ajaran Islam, sebagai khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30). Sebagai khalifah tugas manusia: perempuan dan laki-laki adalah sama, yakni menjadi agen moral untuk melakukan upaya-upaya transformasi, baik untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat luas sehingga terwujud kondisi masyarakat ideal yang diistilahkan dalam Qur’an dengan baldatun thayyibah wa rabbun ghafur (masyarakat yang damai dan bahagia, penuh dilimpahi rahmat Tuhan).

Jadi, berbeda dengan makhluk lainnya, manusia memiliki posisi yang sangat spesifik, yaitu menjadi khalifah Tuhan yang tugas utamanya adalah melakukan perbaikan moral. Tugas manusia adalah menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta. Karena itu, keunikan manusia adalah bahwa ia mewakili Tuhan di atas bumi ini. Suatu posisi yang teramat tinggi, bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya, termasuk malaikat sekali pun. Pertanyaannya, mengapa harus manusia? Di mana letak keunggulannya?

Ali Syariati dalam bukunya, Islam dan Manusia, menjelaskan keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarkan padanya tentang nama-nama yang faktanya mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian yang dianggap sebagai prototype dari ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan kepada para malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Dari sini kemudian Ali Syariati menyimpulkan bahwa kemuliaan seorang manusia bukan terletak pada superioritas rasialnya, melainkan pada pengetahuan dan kecerdasannya, dan itulah yang mengantarkan manusia mampu berijtihad.

Umat Islam hampir sepakat mengenai pentingnya ijtihad, yaitu penggunaan akal pikiran secara optimal dalam memahami hukum-hukum Allah. Ijtihad merupakan suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika beliau masih hidup. Sebab, menurut Wahhab Khallaf, pakar hukum Islam ternama, meskipun AlQur’an mengandung ketentuan hukum yang cukup rinci, namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum.

Keterbatasan hukum yang dikandung Al-Quran dan Sunnah dinyatakan secara jelas dalam hadis Rasul yang ditujukan kepada Muaz ibn Jabal: “…jika di suatu tempat Anda menemukan persoalan maka selesaikanlah dengan merujuk kepada AlQur`an dan Sunnah, namun jika tidak ditemukan petunjuk dalam keduanya maka gunakanlah nalarmu.” Hadis ini mengindikasikan kebutuhan ijtihad dengan sangat jelas. Hadis lain yang sering dijadikan acuan mengenai pentingnya ijtihad adalah hadis tentang perlunya upaya pembaruan dalam kehidupan masyarakat. Hadis dimaksud adalah: “innallaha yabatsu ala kulli ratsi miati tsanah man yujaddidu laha dinaha” (Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap seratus tahun seorang pembaru yang akan memperbarui agamanya). Pembaruan dalam ajaran Islam tersebut diperlukan untuk merespon berbagai persoalan sosial kontemporer yang muncul, yang belum ditemukan aturan hukumnya secara jelas dan rinci dalam AlQur`an dan Sunnah, misalnya soal kloning, trafficking, bayi tabung, salat dua bahasa dan sebagainya.

Akan tetapi, masalah paling mendasar dalam pemahaman keagamaan mayoritas umat Islam adalah mereka terlanjur meyakini suatu interpretasi sebagai hal yang mutlak dan abadi, sehingga mengabaikan kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkret. Mereka terpaku pada makna-makna teks secara literalis tanpa menghiraukan konteks ajaran dan bahkan mengabaikan tujuan dasar dari ajaran Islam itu sendiri, yakni kemaslahatan umat manusia.


Mayoritas umat Islam meyakini bahwa semakin ketat memegangi makna literalis teks dipandang sebagai semakin dekat dengan Islam, sebaliknya semakin jauh seseorang meninggalkan makna tekstual tersebut dipandang semakin jauh dari Islam. Dengan demikian, kata Abu Zaid, peradaban Islam yang terbangun kini tidak lain adalah peradaban teks.

Padahal, agama diturunkan untuk memenuhi kebutuhan hakiki manusia berupa kebahagiaan dan ketenteraman. Agama Islam diturunkan bukan untuk kepentingan Tuhan sebab Dia Maha Kuasa tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, agama ini lebih banyak diamalkan untuk “menyenangkan Tuhan” sehingga hampir-hampir tidak menyisakan manfaat bagi kemanusiaan. Karena itu diperlukan ijtihad yang menggunakan analisis sosial untuk merekonstruksi ajaran Islam sehingga betul-betul kompatible (sesuai) dengan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.

Tujuan hakiki syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia melalui perlindungan terhadap lima hak dasar manusia (al-kulliyat alkhamsah): hak hidup (hifz al-nafs), hak kebebasan beragama (hifz al-din), hak beropini dan berekspresi (hifz al-aql), hak kesehatan reproduksi (hifz al-nasl), dan hak properti (hifz al-mal). Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam.

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum.

Kesimpulan
Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya’. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karena memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri.

Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pesantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil).

Pesantren Sekarang ini, semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa ekslusifisme komunal dan mengembangkan nilai-nilai humanism dalam pendidikan. Nilai-nilai kemanusiaan (humanism) yang terdapat dalam pendidikan di pondok pesantren, diantaranya; Penghormatan Kepada Ilmu; Penghormatan Terhadap Kyai; Cinta Terhadap sesama (Santri); Sikap kekeluargaan dan kebersamaan, Cinta Terhadap Lingkungan; Pola Pendidikan yang Integratif dan Pendidikan holistik.

Referensi: Islam dan Manusia; penulis Ali Syariati, Humanisme dalam Islam; penulis Prof. Dr. Marcel A. Beisard, Islam Agama Kemanusiaan; penulis Nurcholis Majid.

Pewarta: Raisya Audyra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *