Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat: Termasuk Pesantren?
Di sebuah desa yang tak tampak di peta wisata, berdiri bangunan bersahaja. Tak bertembok semen, hanya kayu tua yang menguap aroma tanah. Lantainya bukan ubin berkilau, melainkan bumi yang selalu jujur menampung telapak kaki. Atapnya seng berkarat yang bersuara saat hujan tiba. Tapi dari ruangan sederhana itulah—ilmu mengalir, adab ditanam, dan peradaban ditumbuhkan dalam diam.
Anak-anak duduk bersila, berselimut angin pagi yang mengigau. Di pangkuan mereka, kitab-kitab yang lebih berat dari tubuh mungil mereka. Di hadapan mereka, seorang guru berbaju lusuh tapi berhati luas, mengajarkan huruf demi huruf dengan suara yang lembut, meski mungkin perutnya belum sempat diisi sejak subuh.
Tempat sederhana itu dikenal orang sebagai madrasah—sebuah pesantren kecil yang menjadi pelita dalam sunyi, tempat ilmu dan adab disemai di antara dinding kayu dan lantai tanah, jauh dari gemerlap, namun dekat dengan langit.
Saya menulis ini bukan karena saya ahli dalam merumuskan keadilan, tapi karena saya resah. Resah yang lama bersembunyi di balik halaman-halaman laporan negara, tapi selalu terbangun
setiap kali mendengar kisah tentang guru madrasah yang digaji tak lebih dari harga satu kali makan siang di restoran ibu kota.
Resah karena negeri ini belum adil pada mereka yang diam-diam menjaga nyala moral bangsa.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, dalam rapat Komisi VIII DPR RI, pernah berkata dengan nada getir yang tenang:
“Lebih dari 90% sekolah di bawah Kementerian Agama adalah swasta. Negara tidak membeli tanahnya, tidak menggaji penuh gurunya. Bahkan banyak guru madrasah hanya menerima Rp100.000 per bulan.”
Saya membaca pernyataan itu perlahan. Bukan karena saya sulit memahami, tapi karena dada saya sesak menahannya. Saya bayangkan, apa jadinya bangsa ini jika para penjaga akhlaknya hanya dibayar sekadar sedekah?
Di sekolah negeri, guru berdiri di ruang berpendingin, berpapan tulis digital, dan digaji dengan nominal yang masuk akal. Tapi di madrasah? Mereka mengajar dengan suara yang dikalahkan hujan, dengan spidol yang telah kering separuh, dan penghasilan yang tak cukup untuk membeli tinta printer. Mereka tidak berteriak, tapi mereka tetap hadir. Setiap hari.
Apakah negara tidak melihat?
Apakah negara benar-benar buta, atau hanya rabun terhadap cahaya yang berasal dari ruang-ruang sunyi?
Anak-anak terbaik bangsa—yang menjadi sarjana teladan di kampus negeri ternama, yang hafal 30 juz Al-Qur’an sambil memegang gelar doktor—banyak lahir dari gubuk ilmu bernama madrasah. Bukan dari sekolah internasional, bukan dari gedung bertingkat, tapi dari bangku kayu dan tikar yang telah bertahun- tahun menyerap ilmu dan doa.
Saya merasa marah. Tapi ini bukan amarah yang membakar, melainkan cinta yang terlalu lama dipendam dalam ketimpangan. Karena saya tahu, madrasah tidak pernah meminta disanjung. Mereka hanya ingin diperlakukan adil.
Jauh sebelum Indonesia punya kementerian, pondok pesantren telah mengajarkan etika. Saat bangsa ini masih mengeja makna merdeka, pesantren telah selesai mengajarkan makna kemanusiaan. Kini, ketika negeri ini sudah mampu membangun gedung-gedung pencakar langit, mereka masih berdiri di pinggir, mengajarkan langit akhlak dari tanah yang tak pernah dilirik.
Jika negara ini jujur, maka ia akan mencium tangan guru madrasah seperti seorang santri mencium tangan kiainya. Tapi sayang, kenyataan tak seindah pidato. Negara lebih sibuk menyusun dokumen perencanaan, ketimbang menengok ruangan tanpa kipas di pelosok desa.
Guru madrasah bukan tidak tahu cara mogok. Mereka hanya terlalu cinta pada ilmu. Mereka tahu hukum, tapi lebih mengenal
adab. Mereka tahu jalan ke istana, tapi lebih memilih jalan menuju surga.
Lantas, mengapa kita diam?
Saya menulis ini bukan karena saya punya kuasa. Saya hanya seorang penulis yang amat sangat amatir, yang tak punya mikrofon, tapi percaya bahwa kata-kata bisa lebih lantang dari pengeras suara parlemen.
Wahai pemimpin, dengarlah.
Madrasah tidak butuh belas kasihanmu. Madrasah butuh pengakuan. Butuh keadilan.
Jangan nilai mereka dari megahnya bangunan. Lihat dari dalamnya pengabdian. Jangan ukur mereka dari jumlah honor, ukur dari keberanian mereka mengajar dalam keterbatasan. Jangan tanya di mana suara mereka, karena mereka tak teriak— mereka bekerja dalam diam.
Kita sering menyuarakan bahwa pendidikan karakter adalah penyelamat bangsa. Tapi karakter macam apa yang kita harapkan jika tempat paling karakteristik dalam mendidik justru ditelantarkan?
Di sana, di madrasah dan pesantren, anak-anak diajarkan berdoa sebelum membaca. Diajar minta maaf sebelum tidur. Diajak menangis dalam doa malam. Mereka tidak sekadar belajar— mereka ditempa.
Negara bangga punya universitas besar dengan anggaran besar. Tapi siapa yang berani menyebut bahwa moral anak negeri akan lahir dari anggaran semata?
Honor guru madrasah hanya sekitar Rp100.000 per bulan. Jauh dari layak. Tapi mereka tak pernah menjadikan angka sebagai alasan untuk absen. Mereka mengajar dengan tekad, bukan dengan tagihan.
Di antara debu, peluh, dan tikar yang sudah tua, mereka berdiri. Karena bagi mereka, mendidik bukan pekerjaan—melainkan jalan hidup. Jalan sunyi yang tak diberitakan, tapi ditulis malaikat. Apakah itu belum cukup jadi alasan bagi negara untuk berpihak? Saya menulis ini sebagai permohonan dan peringatan.
Permohonan:
Berikan madrasah dan pesantren anggaran yang layak. Berikan mereka perlakuan setara.
Berikan mereka kesempatan tumbuh, bukan dengan belas kasihan, tapi dengan keadilan yang jujur.
Peringatan:
Jangan biarkan mereka terus berdiri sendiri. Sebab jika madrasah tumbang,
bangsa ini kehilangan akarnya. Dan bangsa yang kehilangan akar adalah bangsa yang mudah roboh oleh angin.
Penutup
Saya menulis dengan penuh kesadaran bahwa mungkin tulisan ini hanya dibaca sedikit orang. Tapi saya percaya, satu hati yang tergugah lebih berarti daripada seribu yang diam.
Madrasah telah lama memberi tanpa syarat. Maka sudah saatnya negara memberi tanpa pamrih.
Karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat—juga berarti untuk pesantren.
Sebagai bagian dari keluarga besar Pondok Pesantren ini, kami bangga mempersembahkan tulisan dari salah satu alumni terbaik kami. Melalui pengalamannya yang berharga selama menuntut ilmu di pondok, ia kini berbagi pemikiran, pengetahuan, dan refleksi dalam bentuk artikel jurnal ini. Semoga apa yang disampaikannya menjadi inspirasi, menambah wawasan, serta menguatkan semangat kita semua untuk terus menebar manfaat, menuntut ilmu, dan meneladani nilai-nilai luhur pesantren. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!
Penulis: Munawar Hakimi Ahmad Q
Editor: M Wildan Musyaffa