Run to Alloh

Apabila seseorang berlari karena di kejar singa, pasti dia akan fokus kepada upaya penyelamatan dirinya. Dia tidak akan peduli jika misalnya ada duri atau paku yang menusuk kakinya. Dia juga tidak akan peduli jika misalnya seseorang memintanya untuk berhenti dan akan di beri setumpuk harta. Dia tetap berlari sekencang kencangnya.

FIRAR. Dalam bahasa arab, kata ini berarti “berlari”. Biasanya di gunakan untuk mengungkapkan lari dari sesuatu semisal dikejar singa, anjing, orang gila, atau musuh. Untuk lari mengejar sesuatu, mengunakan kata yang berbeda.

Dalam syariat islam, seorang muslim di haruskan untuk berlari menuju rahmat Alloh. Berlari dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Dari syirik menuju tauhid. Dari maksiat menuju taat. Dari salah menuju saleh.

Alloh berfirman:

فَفِرُّوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ اِنِّيْ لَكُمْ مِّنْهُ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌۚ

fa firrû ilallâh, innî lakum min-hu nadzîrum mubîn

“Maka, (katakanlah kepada mereka, wahai Nabi Muhammad,) “Bersegeralah kembali (taat) kepada Allah. Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang jelas dari-Nya untukmu”.

(Q.S Adz Dzariyat (51):50)

Dalam firman-Nya ini, Alloh memerintahkan kita semua supaya berlari menuju Alloh. Berlari menuju kepada-Nya seperti kita berlari di kejar singa, berlari kencang tanpa mempedulikan rasa sakit yang mungkin di rasa raga atau bujuk rayu dunia.

Ayat ini menyimpan pesan yang begitu dalam untuk kita renungkan. Seakan Alloh mengajak kita untuk cepat-cepat berpindah dari suatu tempat ke tempat yang baru. Dari suatu lingkungan ke lingkungan yang baru. Dari satu keadaan ke keadaan yang baru.

Sebenarnya ada apa di tempat kita sekarang sehingga kita diajak untuk bergegas pindah? apa yang telah disiapkan di tempat baru itu, hingga kita di perintah untuk berusaha dan bergegas meraihnya?

Kita diajak berlari dari apa yang Alloh benci menuju yang dia senangi, dari kebodohan menuju ilmu, dari hawa nafsu menuju takwa, dan dari keraguan menuju yakin. Barang siapa benar arah berlarinya menuju Alloh, maka dia akan menemukan tempat yang tepat di sisis-Nya.

Dari kejahilan menuju ilmu

Orang yang jahil menurut islam tidak hanya orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang sesuatu. Orang yang pengertahuan dan cakrawala berfikirnya luas pun bisa menjadi orang yang jahil. menurut islam, ilmu meliputi pengetahuan tentang kebenaran dan mengamalkan kebenaran yang telah ia ketahui.

Dari kemalasan menuju semangat

Ibnu Qoyyim menyatakan bahwa sifat malas, menunda nunda amal, berandai andai, dan yang sejenis dengannya sangat berbahaya bagi manusia. Kemalasan laksana pohon yang hanya membuahkan kerugian dan penyesalan.

Ada beberapa ayat Al Quran yang mengisyaratkan agar kita menerima semua perintah Alloh dengan segenap kesungguhan dan penuh semangat, Alloh berfirman:

وَاِذۡ اَخَذۡنَا مِيۡثَاقَكُمۡ وَرَفَعۡنَا فَوۡقَكُمُ الطُّوۡرَؕ خُذُوۡا مَآ اٰتَيۡنٰكُمۡ بِقُوَّةٍ وَّ اذۡكُرُوۡا مَا فِيۡهِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَ

Wa iz akhaznaa miisaaqakum wa rafa’naa fawqakumut Tuura khuzuu maaa aatainaakum biquwwatinw wazkuruu maa fiihi la’allakum tattaquun

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji kamu dan Kami angkat gunung (Sinai) di atasmu (seraya berfirman), “Pegang teguhlah apa yang telah Kami berikan kepadamu dan ingatlah apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa.”(Q.S Al-baqoroh (2) :63)

وَكَتَبْنَا لَهٗ فِى الْاَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَّوْعِظَةً وَّتَفْصِيْلًا لِّكُلِّ شَيْءٍۚ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَّأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوْا بِاَحْسَنِهَاۗ سَاُورِيْكُمْ دَارَ الْفٰسِقِيْنَ

wa katabnâ lahû fil-alwâḫi ming kulli syai’im mau‘idhataw wa tafshîlal likulli syaî’, fa khudz-hâ biquwwatiw wa’mur qaumaka ya’khudzû bi’aḫsanihâ, sa’urîkum dâral-fâsiqîn

“Kami telah menuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan untuk segala hal. Lalu (Kami berfirman kepadanya,) “Berpegang teguhlah padanya dengan sungguh-sungguh dan suruhlah kaummu berpegang padanya dengan sebaik-baiknya. Aku akan memperlihatkan kepadamu (kehancuran) negeri orang-orang fasik.”(Q.S AL-A`araaf (7) :145)

Setiap muslim mesti berlari meninggalkan rasa malas nya menuju keteguhan dan semangat yang senantiasa berapi api dalam segala kebaikan.

Dari dada sesak menuju dada lapang

Berikutnya, hendaknya setiap muslim meninggalkan dadanya yang sesak sesegera mungkin menuju dada yang lapang. sesaknya dada seseorang biasa datang saat ia hawatir dan gundah mengenai kemaslahatan dirinya, hartanya, atau keluarganya. Dia murung apabila ada ancaman terhadap diri, harta atau keluarganya.

Ancaman yang hakiki adalah ancaman yang datang dari Alloh. Ancaman yang datang hanya jika seseorang melanggar aturan aturannya. Ancama yang datang dari selain Alloh tidak lah seberapa jika di bandingkan dengan ancamannya .

Dalam sebah hadis qudsi Alloh berfirman:

“Aku sesuai dengan perasangka hambaku terhadapku, aku akan bersamannya jika dia berdoa kepadaku.”

Yakinlah, Alloh itu maha pemaaf. Dia akan berlari menuju dirimu saat kamu berjalan mendatangi-Nya. jadi, bukalah hatimu, dan mulailah mendatangi-Nya sekalipun dengan merangkak, karna dia pasti sangat senang dan akan membukakan pintu maaf-Nya atas semua kesalahanmu.

Teruslah melngkah menuju-Nya dan jangan pernah berputus asa dari rahmatnya. tetaplah melangkah walau jalan itu sepi. Tetaplah lah berlari walau jalan itu sempit. Tetaplah istikomah dan hamasah dalam hijrahmu, soleh dan solehah mari kita berlomba berlari menuju Alloh Swt.

Pewarta: Alima sri sutami mukti

Kisah Pohon Kurma Menangis di Hadapan Nabi Muhammad

Di bawah teriknya matahari Madinah, dalam suasana Masjid Nabawi yang ramai dengan aktivitas umat Islam, berdiri sebuah pohon kurma yang menjulang tinggi. Pohon kurma ini bukan sembarang pohon kurma, ia memiliki kisah istimewa yang terjalin dengan Nabi Muhammad saw, sang pembawa risalah Islam. Pada suatu hari Jumat, ketika Nabi Muhammad saw sedang menyampaikan khutbah di Masjid Nabawi, tiba-tiba terdengar suara tangisan dari arah belakang masjid. Suara tangisan itu begitu menyedihkan, membuat jamaah yang hadir menoleh ke sumber suara. Ternyata, suara tangisan itu berasal dari pohon kurma yang berdiri di dekat mimbar tempat Nabi Muhammad saw biasa berkhutbah. Melihat pohon kurma yang menangis, Nabi Muhammad segera mengakhiri khutbahnya dan menghampiri pohon tersebut. Beliau meletakkan tangannya di batang pohon kurma sambil berkata, “Ada apa denganmu, wahai pohon kurma? Mengapa kamu menangis?”

Pohon kurma tersebut, seperti dikaruniai Allah swt kemampuan untuk berbicara, menjawab dengan suara yang lemah dan sedih, “Ya Rasulullah, aku menangis karena aku akan berpisah denganmu. Aku akan rindu mendengar suara merdu dan nasehat bijakmu yang selalu menenangkan jiwaku.” 

Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sebagaimana termaktub dalam Fathul Bari Jilid 4, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, halaman 374; 

أنَّ امْرَأَةً مِنَ الأنْصَارِ قالَتْ لِرَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا رَسولَ اللَّهِ، ألَا أجْعَلُ لكَ شيئًا تَقْعُدُ عليه؟ فإنَّ لي غُلَامًا نَجَّارًا قالَ: إنْ شِئْتِ، قالَ: فَعَمِلَتْ له المِنْبَرَ، فَلَمَّا كانَ يَوْمُ الجُمُعَةِ قَعَدَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ علَى المِنْبَرِ الَّذي صُنِعَ، فَصَاحَتِ النَّخْلَةُ الَّتي كانَ يَخْطُبُ عِنْدَهَا، حتَّى كَادَتْ تَنْشَقُّ، فَنَزَلَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ حتَّى أخَذَهَا، فَضَمَّهَا إلَيْهِ، فَجَعَلَتْ تَئِنُّ أنِينَ الصَّبِيِّ الَّذي يُسَكَّتُ حتَّى اسْتَقَرَّتْ، قالَ: بَكَتْ علَى ما كَانَتْ تَسْمَعُ مِنَ الذِّكْرِ.

Artinya: Bahwa seorang wanita Anshar berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, tidakkah aku buatkan untukmu sesuatu untuk engkau duduki? Karena aku memiliki seorang anak laki-laki yang tukang kayu.” Beliau bersabda, “Jika engkau mau.” Maka wanita tersebut membuatkan mimbar untuk Nabi Muhammad. Maka ketika hari Jum’at, Nabi SAW duduk di mimbar yang telah dibuat, lalu pohon kurma yang di depannya saat beliau berkhutbah berteriak hingga hampir pecah. Maka Rasulullah turun hingga mengambilnya, lalu memeluknya. Maka pohon tersebut mulai meratap seperti rengekan bayi yang sedang didiamkan hingga tenang. Beliau bersabda, “Pohon tersebut menangis karena dzikir yang dulu biasa ia dengar.”. Menurut Ibnu Hajar, hadits tersebut menjelaskan pohon kurma tersebut menangis karena kehilangan nasihat dan zikir yang senantiasa Rasulullah ucapkan didekatnya. Selama ini, si pohon telah menjadi tempat Rasulullah bersandar saat memberikan khutbah Jumat. Pun di pohon kurma itu, ia mendengar langsung nasihat-nasihat bijak dari Nabi yang penuh hikmah dan kebijaksanaan. 


Saban Jumat, pohon kurma tersebut telah merasakan langsung kasih sayang dan cinta Rasulullah. Pohon itu telah merasakan bagaimana Rasulullah bersandar di batangnya saat memberikan khutbah Jumat. Interaksi itu sangat berbekas di hatinya. 

Namun, ketika Rasulullah tidak lagi menggunakan pohon itu sebagai tempat bersandar, maka ia merasa kehilangan. Merasa kesepian dan sedih. Kendati tidak punya hati laiknya manusia, tetapi pohon kurma itu bisa merasa sedih karena telah ditinggalkan oleh sosok yang sangat dicintainya. Hal itu karena seorang perempuan tua dari kalangan Anshar dan anaknya yang juga merupakan tukang kayu menemui Nabi. Ia ingin membuatkan Rasulullah sebuah mimbar untuk dipergunakan khutbah di hari Jumat. Nabi Muhammad tidak keberatan dengan ide itu. “Silakan jika kalian ingin melakukannya,” ujar Rasulullah atas ide itu. Itulah yang membuat kurma tersebut menangis. Ia merasa akan kehilangan pujaan hatinya, yang saban Jumat ia bersamai. Tidak ada yang lebih menyedihkan dibanding kehilangan sosok yang dicintai. begitu derita pohon kurma.   Rasulullah pun menyadari kesedihan pohon tersebut. Beliau turun dari mimbar dan memeluk batang kurma itu. Pelukan cinta dari Rasulullah tersebut dapat mengobati rasa sedih si pohon. Kisah pohon kurma yang menangis kepada Nabi Muhammad ini mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk makhluk hidup dan tumbuhan, memiliki rasa dan perasaan.  Para pohon itu mampu merasakan kasih sayang, kehilangan, dan kebahagiaan. Oleh karena itu, kita harus selalu bersikap baik kepada semua makhluk ciptaan Allah, termasuk hewan dan tumbuhan. Selain itu, kisah ini juga mengajarkan kepada kita tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup. Pohon kurma, dengan buahnya yang lebat dan manis, merupakan salah satu anugerah Allah yang sangat bermanfaat bagi manusia. Kita harus selalu bersyukur atas anugerah ini dan berusaha untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup agar pohon kurma dan makhluk hidup lainnya dapat terus hidup dan berkembang.

Penulis: Alima Sri Sutami Mukti

Editor: Nida Millatissaniyah

Kajian Hadits: Rasulullah sebagai Teladan Anti-Kekerasan

Kekerasan atas nama agama terjadi melalui beragam faktor, di antaranya adalah kekeliruan dalam memahami teks-teks keagamaan karena ada poin yang hilang dari pembacaannya. Kekerasan sendiri dapat merusak citra Islam, seolah kekerasan dilegalkan dalam agama. Apabila kita menelisik lebih dalam lagi, sebenarnya faktor terjadinya kekerasan dapat dilatarbelakangi dengan beragam sebab dan karakter. Misalnya kekerasan muncul sebab adanya naluri dominasi terhadap korban, sehingga agama dijadikan landasan yang melegalkan tindakan kekerasan. Selain itu, kekerasan atas nama agama bagi pelaku juga kerap ditafsirkan sebagai ekspresi ketaatan dalam beragama. Pelaku meyakini dengan melakukan sebuah tindakan kekerasan, maka ia telah berada di jalan yang dikehendaki Tuhan untuk membenahi ketidaksesuaian yang terjadi.

Di sinilah pentingnya kita membaca beragam literatur yang boleh jadi memberikan pandangan yang komprehensif dan kompleks, sehingga kita memahami bahwa Islam merupakan agama yang anti terhadap kekerasan. Dalam hadits sendiri, kita menemukan penjelasan Rasulullah saw bahwa tindakan kasar atau kekerasan tidak akan membawa kebaikan sama sekali. Justru berlaku baik, sikap ramah dan lemah lembutlah yang membawa banyak kebaikan. Beliau bersabda dalam sebuah hadits:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

Artinya:

“Diriwayatkan dari ‘Aisyah, istri Nabi saw, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyantun yang menyukai sikap lembut. Dia memberikan kepada pada sikap lembut, sesuatu yang tidak diberikan pada sikap kasar dan juga sikap-sikap lainnya.” (HR Muslim)

Ahmad bin ‘Umar al-Qurthubi dalam al-Mufhim menjelaskan, konteks berlaku ramah dan lemah lembut bisa ditujukan ke siapapun, bahkan kepada hewan sekalipun. Dengan karakter lemah lembut dan penyayang terhadap siapapun, maka otomatis dirinya telah meneladani sifat Allah yang Maha Penyantun terhadap para hamba-Nya (Ahmad bin ‘Umar al-Qurthubi, Al-Mufhim lima Asykala min Talkhish Kitab Muslim, [Beirut: Dar Ibn Katsir, 1996], jilid VI, hal. 577).   ‘Abdul Haq ad-Dahlawi menambahkan keterangan terkait hadits di atas, bahwa untuk mencapai suatu tujuan setiap orang bisa menggunakan dua sikap, pertama bertindak dengan ramah dan penuh sopan santun, dan yang kedua melakukannya dengan kekerasan.

Mesikpun cara setiap orang beragam, di antara mereka ada yang menggunakan kekerasan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu. Namun, sebagian lainnya bersikap penuh etika serta ramah, maka dalam pandangan hadits ini, tindakan ramah dan sopan santun lebih memudahkan seseorang mencapai tujuannya, serta menjaga martabat dan wibawanya (‘Abdul Haq ad-Dahlawi, Lam’atut Tanqih fi Syarh Misykatil Mashabih, [Suriah, Darun Nawadir, 2014], jilid VIII, hal. 322).  

Kemudian dalam hadits yang memiliki pesan serupa, diriwayatkan oleh Abud Darda, Rasulullah saw bersabda:

  مَن أُعطِىَ حَظَّه منَ الرِّفقِ فقَد أُعطِىَ حَظَّه مِنَ الخَيرِ، ومَن حُرِمَ حَظَّه مِنَ الرِّفقِ فقَد حُرِمَ حَظَّه مِنَ الخَيرِ

Artinya:

“Siapapun yang dianugerahi keberuntungan baginya dari lemah lembut, sungguh dia telah diberikan kebaikan. Siapapun yang tidak mendapat anugerah berupa sifat lemah lembut, maka dia sungguh telah dihalangi dari kebaikan.” (HR Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra).

Selain itu, dalam hadits yang serupa, Rasulullah saw bersabda:  

اِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لَيُعْطِى عَلَى الرّفْقِ مَا لاَ يُعْطَى عَلَى اْلخُرْقِ. وَ اِذَا اَحَبَّ اللهُ عَبْدًا اَعْطَاهُ الرّفْقَ. مَا مِنْ اَهْلِ بَيْتٍ يُحَرَّمُوْنَ الرّفْقَ اِلاَّ حُرِمُوْا. الطبرانى و ابو داود

Artinya:

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menganugerahi orang yang penyantun, sesuatu yang tidak diberikan kepada orang yang bodoh. Apabila Allah mencintai seorang hamba, ia memberinya kasih sayang. Tidaklah suatu keluarga terhalang dari kasih sayang melainkan mereka terhalang pula dari kebaikan.” (HR Abu Dawud).   Dengan landasan hadits di atas, tentu tindakan kekerasan tidak sama sekali membawa kebaikan. Anak yang dididik dengan kekerasan hanya akan membekalinya dengan rasa dendam dan tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri. Pelajar yang dididik dengan kekerasan hanya akan membenci materi yang disampaikan. Sementara kekerasan dalam rumah tangga hanya akan berujung pada kriminalitas dan perceraian. Selanjutnya, Rasulullah sebagai sosok teladan bagi kita pernah mencontohkan bagaimana tindakan beliau yang anti-kekerasan namun solutif ketika beliau dan para sahabatnya sedang berada di masjid, tiba-tiba saja ada Arab Badui yang datang dan buang air kecil di tembok masjid. Seketika para sahabat murka dan bereaksi dengan keras terhadap tindakan Arab Badui tersebut. Namun, Nabi menegur mereka dengan lemah lembut dan sopan santun, bukannya dengan marah atau kekerasan. Sikap beliau yang penuh kasih sayang, penuh maaf dan anti-kekerasan tercermin dalam tindakannya yang efektif untuk menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan rasa malu atau kemarahan pada orang yang melakukan kesalahan tersebut. Alih-alih menghukum atau mengecam si pelaku, Rasulullah memilih untuk dibawakan air agar bekas kencingnya disiram dengan air. Riwayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah adalah sosok yang mengutamakan penegakan nilai-nilai moral dan etika, dibanding emosional disertai kekerasan. Lenny Herlina dalam bukunya menyatakan, di antara 9 nilai moderasi yang dicontohkan Rasulullah adalah sikap anti-kekerasan. Sikap anti-kekerasan ditampakkan oleh Rasulullah saat berpidato di Fathu Mekkah, di mana pesan beliau tegas bahwa perang hanya boleh dideklarasikan atas Allah. Pada momen tersebut, bahkan beliau melarang segala bentuk tindak kekerasan di kota Mekkah, mulai dari kekerasan terhadap hewan, tumbuhan hingga saling berperang dan membunuh satu sama lainnya (Lenny Herlina, Pendidikan Agama Islam Interdisipliner Bermuatan Beragama Untuk Disiplin Ilmu Dokter Dan Kesehatan, [Jakarta: Prenada Media, 2022], hal. 34). Dari semua paparan di atas, jelaslah bahwa hadits-hadits yang memuat pesan anti-kekerasan sangatlah relevan dan penting untuk dipahami dalam konteks agama dan kehidupan sosial di masa sekarang

Penulis: Alima Sri Sutami Mukti

Editor: Nida Millatissaniyah


Ketika Rasulullah Membatalkan Kepemilikan Lahan Pribadi untuk Kepentingan Umat

Kepemilikan tanah di masa Rasulullah saw tidak sekompleks masa kini. Misalnya di Indonesia, sudah dilengkapi dengan sistem sertifikasi kepemilikan tanah yang dikelola oleh pemerintah melalui lembaga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Meskipun begitu, langkah-langkah menuju keadilan agraria sudah ada pada masa Nabi, khususnya ketika beliau menjabat sebagai kepala negara di Madinah. Mengutip buku Islam dan Agraria karya Gita Anggraini, ada beberapa catatan sejarah di mana Nabi mengapling tanah kepada beberapa orang sahabat. Misalnya Rasulullah pernah mengaplingkan tanah untuk seseorang dari kalangan Anshar yaitu, Sulaith. Selain Sulaith, ada juga Zubair bin ‘Awwam yang ditetapkan baginya tanah di Khaibar

Menariknya, pada masa Rasulullah sudah ada sistem surat tanda kapling tanah. Surat kapling tanah ini beliau berikan kepada Abu Tsa’labah al-Khusyani, salah seorang sahabat Nabi yang terkenal rajin beribadah dan berilmu.

Dikisahkan suatu hari Rasulullah saw didatangi oleh Abyadh bin Hammal, salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari wilayah di pedalaman Yaman yang disebut dengan Ma`rib. Pada pertemuan tersebut, ia meminta untuk dipatenkan baginya hak milik tanah di wilayah Ma`rib tersebut. Konon lahan di wilayah tersebut terkenal dengan tambang garamnya, hingga Rasulullah saw mengira bahwa penetapan tanah untuk Abyadh adalah dalam rangka ihya al-mawat atau menghidupkan serta memakmurkan kembali lahan yang telah mati atau lama tidak ada aktivitas manusia di dalamnya. Tanpa banyak pertimbangan, Rasulullah pun menetapkan tanah itu untuk Abyadh. Selang beberapa waktu kemudian, ada seseorang mendatangi Rasulullah, ternyata ia adalah Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi, sosok sahabat yang terhormat dari kalangan Bani Tamim. “Wahai Rasul, tahukah tanah jenis apa yang telah engkau tetapkan untuk Abyadh? Aku pernah melewati tambang garam pada masa jahiliyah dulu. Tambang tersebut terdapat di suatu daerah yang tidak berair. Siapa pun yang mendatanginya, ia bebas untuk mengambilnya, ia layaknya air yang mengalir tak terbatas. Sungguh engkau menetapkan tanah yang memiliki air yang diam” ungkap Al-Aqra’ kepada Nabi saw.

Mengetahui kabar tersebut, Rasulullah saw menganulir kepemilikan tanah yang telah ia tetapkan atas Abyadh bin Hammal. Pasalnya, tanah yang memiliki sumber alam yang untuk memperolehnya tidak perlu fasilitas dan tenaga, dihukumi oleh Nabi sebagai tanah lindung dan harus dialokasikan untuk kepentingan publik, bukan milik pribadi.

Riwayat tersebut tercatat dalam Sunan at-Tirmidzi dan juga Sunan Ibnu Majah, yaitu:

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ 

Artinya: “Dari Abyadh bin Hammal, ia datang kepada Rasulullah saw meminta untuk menetapkan kepemilikan sebidang tambang garam untuknya, lalu Rasul pun menetapkan untuknya. Ketika hendak beranjak pergi, seseorang yang berada di majelis berkata; Tahukah engkau apa yang engkau tetapkan untuknya? Sesungguhnya engkau menetapkan tanah yang memiliki air yang diam. Nabi pun membatalkannya.” (HR at-Tirmidzi).

Hadits yang serupa dengan hadits riwayat at-Tirmidzi, yaitu riwayat Ibnu Majah:

عَنْ أَبِيهِ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ اسْتَقْطَعَ الْمِلْحَ الَّذِي يُقَالُ لَهُ مِلْحُ سُدِّ مَأْرِبٍ فَأَقْطَعَهُ لَهُ ثُمَّ إِنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ التَّمِيمِيَّ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ وَرَدْتُ الْمِلْحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ بِهَا مَاءٌ وَمَنْ وَرَدَهُ أَخَذَهُ وَهُوَ مِثْلُ الْمَاءِ الْعِدِّ فَاسْتَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْيَضَ بْنَ حَمَّالٍ فِي قَطِيعَتِهِ فِي الْمِلْحِ فَقَالَ قَدْ أَقَلْتُكَ مِنْهُ عَلَى أَنْ تَجْعَلَهُ مِنِّي صَدَقَةً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ مِنْكَ صَدَقَةٌ وَهُوَ مِثْلُ الْمَاءِ الْعِدِّ مَنْ وَرَدَهُ أَخَذَهُ

Artinya: “Dari Abyadh bin Hammal, ia pernah mengumpulkan garam yang disebut dengan garam bendungan Ma’rib, ia mengumpulkan untuk dirinya sendiri. Kemudian Al Aqra’ bin Habis At-Tamimi mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku pernah melewati (kumpulan) garam di masa jahiliyah, ia terdapat di suatu daerah yang tidak berair. Siapa saja yang mendatanginya ia bebas untuk mengambilnya, ia seperti air yang mengalir.” Maka Rasulullah meminta pembatalan Abyadh dari [kepemilikan tambang] garam yang dikumpulkan, Abyadh pun berkata, “Aku telah merelakan pembatalan itu dengan syarat engkau jadikan [tambang itu yang dimanfaatkan banyak orang] sebagai (pahala) sedekah dariku.” Rasulullah menjawab: “[Tambang itu] adalah sedekah darimu, ia seperti air yang mengalir. Siapa pun yang mendatangi tambang tersebut, maka ia bebas mengambilnya.” (HR Ibnu Majah).

At-Tirmidzi mengomentari hadits tersebut adalah hadits gharib dan menjadi pedoman dalam praktik penetapan tanah. Berdasarkan hadits ini, at-Tirmidzi menyimpulkan kebolehan pemimpin negara untuk menetapkan bagian tanah seseorang asal bukan tanah lindung. (Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, jilid VIII, hal. 161). Berdasarkan hadits ini, Mula al-Qari memandang bahwa wilayah tambang sumber daya alam yang dapat diperoleh dengan mudah tanpa perlu fasilitas alat apapun untuk mengambil, seperti air, rumput, dan lain-lain semacamnya maka tidak boleh dimiliki atas nama pribadi. Alasannya ia merupakan sumber alam yang menjadi kebutuhan umum manusia. Selain itu, sumber alam di wilayah tersebut juga tidak terbatas, bahkan bisa diambil manfaatnya secara terus menerus. Apabila dimiliki secara individual, maka akan merepotkan banyak orang dan menjadi keuntungan pribadi semata. (Al-Azhim Abadi, ‘Awnul Ma’bud, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995], jilid XIII, hal. 250). Imam an-Nawawi juga sempat mengomentari hadits ini dalam al-Majmu’ jilid VII halaman 69, bahwa pelarangan Rasul atas kepemilikan individual pada lahan tersebut disebabkan ia merupakan lahan tambang sumber alam yang diperoleh secara mudah tanpa adanya proses penggalian tambang yang membutuhkan fasilitas dan biaya yang besar. Demikianlah riwayat mengenai anulir Nabi terhadap hak paten tanah secara individual disebabkan lahan tersebut harusnya dapat diakses oleh publik secara gratis karena mengandung sumber daya alam yang dapat diperoleh dengan mudah. Dalam konteks Indonesia, proses penetapan tanah melalui redistribusi lahan dapat mengikuti langkah Rasulullah sebagai inspirasi awal dalam menentukan kebijakan.

Penulis: Alima Sri Sutami Mukti

Editor: Nida Millatissaniyah

Walimatul Ursy Teh Annisa Syubatul Fikriyah & Ang Muhammad Sirozul Wahid

Dari pengertiannya menurut KBBI, nikah adalah perjanjian perkawinan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.

Secara istilah, pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya.

Dari akad itu juga, muncul hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi masing-masing pasangan.

Pada hari kamis tanggal 02 Mei 2024 telah dilaksanakannya akad nikah yang bertempat di mesjid Al-Jamal YPP. Miftahulhuda Al-Musri’ , pada waktu itu sang mempelai pria & wanita yang bernama P. Teh Annisa Syubatul Fikriyah & Ang Sirozul Wahid telah melaksanakan akan kewajiban seorang muslim yaitu menikah, dengan demikian acara akad nikah dan resepsi tersebut dihadiri oleh tamu undangan sekitar lima ribu tamu kurang lebihnya, dan termasuk tamu VIP,

Dan setelah dilaksanakannya acara Akad nikah di mesjid Al-jamal lalu di adakan acara resepsi di lapang antara gedung agri bisnis dan asrama Darul Aitam, Acara tersebut di pandu langsung oleh tim salsabila weding organizer dan juga tim Al-Musri’ Media yang juga ikut serta menjadi bagian fotografer pada acara tersebut dan tim seni hadroh Alfaqihil Musthofa untuk tim hiburan atau pemandu musik yang bernuansa islami.

Teh Annisa Syubatul Fikriyah adalah (Putri ke 5 dari KH. Mukhtar Gozali & Umi Hj. Cucu Nurjannah) & Ang Muhammad Sirozul Wahid (Putri ke 1 dari KH. Muhammad Abdul Rohman Asyafi’i, SH.
& Ibu Hj. Evi Sofiah Adawiyah S.Pd)

pada acara tersebut semua pihak pengurus osma ( Organisasi Santri Miftahulhuda Al-Musri’) juga ikut serta pada acara tersebut salahsatunya biro akomodasi yang selalu menjadi bagian untuk semua acara-acara tentang ke Al-Musri’an.

penulis : Ridwan Fauzi