Kisah Imam Ghazali Berguru kepada Tukang Sol Sepatu

Imam Al-Ghazali (450 – 505 H) merupakan seorang ulama terkemuka yang bergelar Hujjatul Islam, dengan pemikiran yang hingga kini masih terus dikaji dan diikuti oleh umat Islam.   Siapa sangka, di balik kapasitas keilmuannya yang luar biasa, Imam Ghazali tetap bersedia belajar dari seorang tukang sol sepatu. Belakangan diketahui bahwa tukang sol sepatu tersebut adalah seorang ahli ma’rifat yang menyembunyikan keilmuannya di balik profesinya. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Maraqil Ubudiyah syarah Bidayatul Hidayah (Jakarta, Darul Kutubil Islamiyah, 2010: 161-162) mengisahkan bahwa perjumpaan Imam Ghazali dengan tukang sol sepatu ini berawal dari saudaranya yang bernama Ahmad. Imam Ghazali sering menjadi imam shalat berjamaah di sebuah masjid dekat rumahnya. Namun, saudaranya yang bernama Ahmad tidak pernah terlihat menjadi makmum di masjid tersebut. Suatu hari, Imam Ghazali mengadukan hal ini kepada ibunya. “Ibu, tolong suruh saudaraku, Ahmad, untuk shalat berjamaah bersamaku supaya orang-orang tidak menuduh macam-macam,” ujar Al-Ghazali pada ibunya. Setelah mendapat perintah sang ibu, Ahmad pun menurutinya dan menjadi makmum saat Al-Ghazali menjadi imam shalat di masjid. Beberapa saat kemudian, Ahmad melakukan mufaraqah (berpisah dengan imam) karena melihat darah dalam diri Al-Ghazali. Usai shalat, Al- Ghazali pun mengetahui Ahmad melakukan mufaraqah dan menanyakan alasannya. “Aku melihat kamu dipenuhi dengan darah,” jawab Ahmad Imam Ghazali pun mengakui bahwa saat shalat, ia tidak bisa khusyuk karena pikirannya terganggu dengan masalah darah haid, tepatnya pada persoalan mutahayyirah, yaitu wanita yang sudah pernah mengalami haid dan suci darinya, kemudian mengalami pendarahan kembali. “Dari mana kamu belajar ilmu ini?” tanya Al-Ghazali penasaran. “Aku mempelajarinya dari syekh yang berprofesi sebagai tukang sol sepatu,” jawab Ahmad. Tidak menunggu lama, setelah mengetahui sosok dan alamatnya, Imam Ghazali pun segera berangkat untuk menemui dan belajar kepada syekh yang dimaksud. “Wahai tuanku, aku ingin belajar ilmu kepadamu,” ucap Al-Ghazali usai bertemu dan menyampaikan salam.  “Sepertinya kamu tidak akan sanggup untuk taat pada perintahku,” jawab syekh meragukan keseriusan Imam Ghazali. “Insyaallah aku sanggup,” jawab Imam Ghazali meyakinkan syekh. “Kalau begitu, sekarang coba kamu sapu lantai ini,” ujar syekh pada Al-Ghazali. Ketika Al-Ghazali hendak mengambil sapu, syekh kemudian menyuruh agar lantai itu tidak dibersihkan dengan sapu melainkan dengan tangan. Al-Ghazali pun melakukannya, menyapu lantai tersebut dengan tangannya. Setelah lulus dari ujian pertama, syekh kemudian menguji kembali Al-Ghazali, yaitu memerintahkannya untuk membersihkan kotoran yang ada di sekitarnya. “Sapulah kotoran itu,” perintah syekh. Ketika Al-Ghazali hendak melepas pakaiannya, syekh kemudian memerintahkan agar kotoran itu dibersihkan dengan pakaian itu. “Bersihkan lantai itu dengan baju yang kamu pakai,” perintah syekh. Saat Al-Ghazali hendak membersihkan kotoran tersebut dengan pakaiannya, syekh kemudian mencegahnya karena telah melihat keikhlasan dalam diri muridnya itu.  Selanjutnya, syekh tersebut memerintahkan Al-Ghazali untuk pulang. Setelah kembali dan tiba di madrasahnya, Imam Ghazali merasakan hatinya terbuka dan mendapatkan ilmu yang luar biasa dari Allah melalui wasilah pertemuan tersebut. Perjalanan hidup Imam Ghazali ini mengajarkan pentingnya seorang muslim untuk tidak pernah berhenti belajar. Meski telah bergelar syekh, semangat Imam Ghazali dalam mencari ilmu tidak pernah padam. Selanjutnya, seorang muslim juga perlu memiliki guru spiritual yang dapat membimbing, mengarahkan, serta memperbaiki hati. Dalam dunia tasawuf, hati memiliki peran penting dalam kehidupan manusia karena menjadi pusat dan penentu kualitas spiritual seseorang. Selain itu, kisah ini juga memberikan gambaran sekaligus tantangan bagi para guru agar bisa meningkatkan dimensi batin. Ketika hal tersebut tercapai, murid-murid berkualitas akan lahir dari hasil didikannya yang baik.   Di sisi lain, marak terjadi hubungan tidak wajar antara guru dan murid yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk memenuhi syahwatnya dengan dalih mencari ridha guru. Hal ini mungkin terjadi karena adanya kekosongan spiritual dalam diri guru tersebut, sehingga syahwatnya menjadi tidak terkendali. Wallahu a‘lam

Adab Lebih Penting Daripada Ilmu

Kesungguhan hati dalam menuntut ilmu merupakan suatu pedoman dan prinsip yang selalu di tanamkan pada setiap orang. Menuntut ilmu sendiri merupakan suatu kewajiban dan termasuk hal penting yang tidak bisa dilewatkan bagi setiap orang. Sebab dengan adanya ilmu kita dapat menjadi seseorang yang mulya. Untuk mencapai semua itu tentunya tidak dilakukan dengan semudah membalikkan tangan. Akan tetapi harus dicapai dengan kesungguhan hati yang kuat.

Dalam Islam, mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap orang.

Untuk mengaplikasikan kewajiban tersebut dapat dicapai dengan kegigihan yang kuat. Hal ini sesuai dengan dawuh Baginda Nabi Muhammad SAW:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan”.

اطلبواالعلم ولو بالصين
“Tuntutlah ilmu, walau sampai ke negeri China.”

Sekarang ini banyak sekali orang pintar dan memiliki keilmuan yang luas. Tetapi ternyata dengan keilmuanya yang luas tersebut kurang tepat dalam pengaplikasianya justru merasa paling bangga seolah-olah dialah yang paling benar dan merasa paling pintar dibanding yang lain. Maka dari itu, adab dan etika perlu diterapkan sebagai penyeimbang ilmu dan kepintaran yang kita miliki. Sebab, kepintaran seseorang tidak akan ada harganya apabila tidak mempunyai adab (etika). Ilmu akan menjadi berbahaya bagi dirinya dan orang lain apabila tidak dihiasi dan dibarengi dengan akhlak.

Dalam hal ini K.H. Muhammad Syafi’i Baidlowi, Pengasuh Ponpes Ma’hadut Tholabah, Babakan, Lebaksiu, Tegal setiap kali mengajar santri-santrinya selalu berpesan tentang pentingnya menjaga adab dan etika, baik di dalam pondok atau saat di rumah. Pepatah arab mengatakan “Al adabu Fauqol ’ilmi” yang artinya adab itu lebih tinggi dari pada ilmu. Kalau hanya mengandalkan ilmu tanpa di barengi adab, iblis lebih bisa. Sebab iblis diberikan keistimewaan oleh Allah lebih pintar dari pada manusia.

Imam Malik pun pernah berkata kepada salah seorang pemuda Quraisy tentang pentingnya mendahulukan adab sebelum mempelajari ilmu.

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Mempelajari adab dan etika membutuhkan proses waktu yang lama. Faktor terpenting yang mempengaruhi baik burukya perilaku yaitu lingkungan, baik keluarga ataupun masyarakat. Banyak ulama dalam memepelajari adab itu lebih lama ketimbang mempelajari ilmu. Memiliki sedikit adab justru lebih penting dari pada mempunyai banyak illmu. Mengapa demikian, sebab orang yang berilmu tinngi belum tentu beradab. Tetapi orang yang beradab sudah pasti berilmu, karena mampu menempatkan ilmu tersebut sesuai dengan semestinya.

Marikah kita mulai menanamkan dan menumbuhkan adab dan etika: seperti ketika berjumpa ucapkanlah salam, menghormati yang lebih tua, bila lewat di depan orang banyak hendaklah permisi. Semakin baik perilaku kita, maka orang lain akan menilai jauh lebih baik. Salah satu ulama besar Al Habib Lutfi pernah mengatakan, bahwa beliau ketika hendak makan saja selalu berpakaian rapi, wangi, dan bersih. Menurut beliau itu salah satu adab terhadap makanan, kepada Allah yang memberikan rezeki. Betapa pentingnya adab sebagai penghias ilmu yang kita miliki.

Orang bijak mengatakan “jika engkau ingin dihormati dalam dalam hidupnya, maka belajarlah untuk menghormati orang lain.”

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah salah satu bentuk ibadah. Begitu penting ilmu dalam Islam hingga Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Walaupun begitu, ada hal yang perlu dipelajari terlebih dahulu sebelum ilmu yakni adab.

Adab berasal dari bahasa Arab yang artinya kesopanan, kehalusan, dan kebaikan budi pekerti, akhlak. Sedangkan adab menurut Rasulullah SAW adalah pendidikan tentang kebaikan yang merupakan bagian dari keimanan.

Menukil buku Adab dan Doa Sehari-Hari untuk Muslim Sejati karya Thoriq Aziz Jayana, kedudukan adab dalam Islam lebih tinggi dari ilmu. Sejumlah ulama pun menyampaikan pendapat serupa.

Pertama, ulama Imam Malik mengatakan bahwa, “Pelajarilah adab terlebih dahulu sebelum mempelajari suatu ilmu.” Sebagaimana yang dilakukan Imam Ibnu Mubarak, ia mempelajari adab selama 30 tahun, setelah itu baru mempelajari ilmu selama 20 tahun.

Adab dalam Kehidupan Sehari-hari

Merangkum dari buku Pendidikan Agama Islam Akidah dan Akhlak kelas X karya Thoyib Sah Saputra dan Wahyudin, berikut adab pergaulan sehari-hari sesuai ajaran Islam.

1. Contoh Adab terhadap Kedua Orang Tua

  • Menghormati orang tua
  • Tidak durhaka kepada kedua orang tua
  • Patuh kepada kedua orang tua dan selalu mendoakannya
  • Bersyukur sudah diberi keluarga yang utuh
  • Mengucapkan kata-kata yang mulia
  • Tidak mengucap kata kasar seperti berdecak “ah”
  • Meneruskan berbuat baik kepada kedua orang tua walaupun keduanya sudah meninggal

2. Contoh Adab terhadap Guru

  • Menghormati guru
  • Mengamalkan ilmu yang telah diajarkan
  • Menjaga perilaku ketika di sekolah
  • Tidak berkata kasar kepada guru
  • Tidak membentak guru

3. Contoh Adab dalam Bermasyarakat

  • Mengucapkan salam ketika bertemu
  • Memenuhi undangan, jika diundang dalam sebuah acara
  • Memberikan nasihat ketika diminta
  • Menjenguk tetangga ketika sakit
  • Mengantarkan jenazah tetangga sampai ke kubur
  • Berperilaku jujur
  • Lemah lembut dan kasih sayang
  • Tidak ikut campur terhadap urusan orang lain

4. Contoh Adab Pergaulan Sesama Teman

  • Mencintai teman karena Allah
  • Saling menyapa atau menegur ketika bertemu
  • Mengajak teman ke arah kebaikan
  • Berperilaku ramah
  • Memberi senyuman ketika bertemu
  • Menolong teman yang kesusahan
  • Bersama-sama berjuang bersama mencari ilmu

Lebih Utama Menjadi Orang Kaya Bersyukur atau Miskin Bersabar?

Umat Islam tampaknya terbagi kepada dua bagian dalam memandang sosok Nabi Muhammad saw dari segi kondisi finansialnya. Ada yang memandang Nabi saw merupakan orang yang miskin, hingga tak ayal apabila beliau berdoa, “Ya Allah hidupkan aku dalam keadaan miskin, wafatkan aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama-sama orang-orang miskin.” Secara literal, doa Nabi saw di atas memang seolah meminta kemiskinan di dunia dan di akhirat, akan tetapi apabila kita melihat penjelasan para ulama, makna miskin tersebut adalah tawadhu atau rendah hati, bukan miskin harta.   Kemudian di sisi lain, sebagian umat Islam memandang Nabi saw bukan sebagai orang miskin, sebab beberapa sabdanya mendorong kaum muslimin untuk bekerja dan menghindari kefakiran. Kefakiran dianggap sebagai jalan menuju pegadaian iman dikarenakan kondisi yang memaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Mayoritas teks-teks hadits secara sekilas memang secara literal lebih dominan menganjurkan orang menjadi menjadi fakir. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:   يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ 

  Artinya, “Orang-orang beriman yang fakir kelak akan masuk surga terlebih dahulu setengah hari yang setara 500 tahun lamanya daripada orang kaya.” (HR Ibnu Majah).   Setelah membaca hadits di atas, barangkali sebagian di antara kita merasa aneh mengapa Islam menganjurkan umatnya menjadi miskin sekaligus menakut-nakuti untuk menjadi kaya. Tentunya kita harus membaca penjelasan para ulama mengapa Rasulullah saw mengatakan demikian.  An-Nawawi menyebut alasannya karena orang-orang miskin bahkan tidak mampu untuk melakukan kemaksiatan sebesar dan separah orang-orang kaya. Orang kaya apabila ingin bermaksiat maka dengan mudah mendapatkan fasilitas untuk kemaksiatan yang akan dilakukan. (An-Nawawi, Fatawal Imam An-Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018 M], halaman 63).   Namun apabila melihat penjelasan an-Nawawi di atas, apakah benar fakta di tengah masyarakat kita saat ini bahwa orang-orang miskin lebih terjaga dari perbuatan maksiat dibanding orang-orang kaya? Tentunya perlu penelitian lapangan yang akurat terkait pertanyaan ini.   Narasi antara anjuran menjadi kaya atau menjadi miskin dalam hadits perlu penjelasan yang proporsional. Jangan sampai ajaran agama membawa kepada kemiskinan dan memperburuk kondisi finansial karena mendapat legitimasi untuk tidak memperbaiki kualitas ekonomi. Nabi saw secara proporsional pernah bersabda:   عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يدعو بهذه الكلمات: اللهم إني أعوذ بك من فتنة النار، وعذاب النار، ومن شر الغنى والفقر. (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه

  Artinya, “Dari Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw pernah berdoa dengan ungkapan ini, ‘Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka juga dari fitnah kekayaan dan kefakiran’.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).   Dalam hadits di atas secara jelas Rasulullah saw memohon perlindungan dari keburukan yang ada pada kedua kondisi finansial, baik kaya maupun miskin. Artinya, kedua kondisi finansial tersebut sama-sama memiliki sisi baik dan sisi buruk. Persoalannya terletak pada karakter individu yang mengalami kondisi tersebut.   Menurut Al-Munawi, maksud berlindung dari ‘fitnah’ kekayaan adalah kesombongan, kelalaian, pamer, dan menggunakan harta dalam kemaksiatan. Adapun berlindung dari ‘fitnah’ kemiskinan adalah iri kepada orang kaya, tamak terhadap harta mereka, dan merendahkan diri di hadapan orang-orang kaya dengan cara mengotori kehormatan serta menyerahkan keimanan. Perilaku seperti ini juga menjadi penyebab ketidakpuasan atas takdir yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya, sehingga hidup isinya hanya keluhan-keluhan saja, sebagaimana disebut oleh Al-Baidhawi. Kemudian ath-Thibi menegaskan juga sebagaimana dikutip al-Munawi, bahwa fitnah dalam doa Nabi saw di atas artinya adalah ujian. Kondisi kaya maupun miskin menjadi ujian, apakah orang kaya dapat bersyukur dengan hartanya, dan si miskin dapat bersabar dengan kefakirannya. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415], jilid II, hal. 161).  Dengan demikian, baik kekayaan maupun kemiskinan, keduanya memiliki sisi baik dan sisi buruk. Semuanya kembali kepada masing-masing individu. Apabila seseorang menjadi pribadi yang baik dan bertakwa, maka baik kaya maupun miskin tidak menjadi masalah yang cukup serius selama tidak merugikan dan membebani orang lain.   Kaya bersyukur atau miskin bersabar? Sub judul ini bersumber dari judul sub-bab kitab al-Fatawal Haditsiyyah karya Ibnu Hajar al-Haitami. Dalam karyanya, secara spesifik terdapat seseorang yang bertanya, mana yang lebih baik antara orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar? Ibnu Hajar al-Haitami menjawab:   وقد استدل ابن عبد السلام على تفضيل الغني الشاكر على الفقير الصابر بأن الله تعالى لا يختار لنبيه إلا الأفضل، وأفضل أحواله صلى الله عليه وسلم الحالة التي توفاه الله عليها وكانت تلك الحالة على غاية من غناه صلى الله عليه وسلم 

  Artinya, “Ibnu Abdus Salam berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih utama daripada orang miskin yang bersabar dengan landasan bahwa Allah Ta’ala tidak memilihkan kondisi bagi nabi-Nya kecuali yang terbaik. Kondisi terbaik bagi Nabi saw adalah kondisi di masa-masa akhir yang ditetapkan oleh Allah, yaitu puncak kekayaan.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, [Libanon: Darul Ma’rifah, t.t.], hal. 91).   Puncak kekayaan Nabi saw pada hadits tersebut memang tidak sebagaimana kehidupan glamour bak raja yang memiliki singgasana megah dengan limpahan berlian dan permata di dalamnya. Kaya bagi Nabi saw dapat dimaknai dengan kecukupan harta yang membuat seseorang terhindar dari meminta-minta dan membebani orang lain.   Harta yang cukup akhirnya dapat disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya seperti anak dan istri. Dengan harta tersebut ia juga dapat menyalurkan hartanya kepada ibadah-ibadah sosial seperti bersedekah dan mendermakan hartanya kepada orang yang membutuhkan.   Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawal Haditsiyyah juga mengutip nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya, secara substansial nasihat tersebut berkaitan dengan motivasi untuk bekerja mencari nafkah yang halal untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Luqman berkata:

  استغن بالكسب الحلال عن الفقر فإن ما افتقر أحد قط إلا أصابه ثلاث خصال: رقة في دينه وذهاب في عقله وذهاب مروءته، وأعظم من هذه الثلاث: استخفاف الناس به  

Artinya, “Cukupkan dirimu dengan usaha yang halal untuk menghindar dari kemiskinan, karena tidak ada seorangpun yang menjadi miskin kecuali ia akan mengalami tiga hal: kelemahan dalam agamanya, hilangnya akal, dan hilangnya harga dirinya. Dan yang lebih besar dari ketiga hal tersebut adalah direndahkan oleh orang-orang.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, hal. 91).   Konon, beberapa tabi’in pernah ditanya mana yang lebih baik, pengusaha yang jujur atau orang yang hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah?   Para tabi’in menjawab, “Pengusaha yang jujur lebih disukai karena secara tidak langsung mereka sebenarnya sedang jihad. Setan yang datang kepadanya menyerang melalui godaan untuk mencurangi timbangan dan takaran, dan si pengusaha melawannya dengan tidak menuruti godaan yang mengajak pada sesuatu yang haram.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, hal. 91).   Selanjutnya, pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik dari orang miskin yang penyabar tidak didasarkan pada asumsi belaka. Faktanya, ada hadits yang dinilai oleh para ulama memiliki nilai-nilai motivasi agar menjadi orang kaya supaya dapat bersyukur dan menyalurkan hartanya kepada kebaikan. Hadits tersebut tercatat dalam Shahih al-Bukhari, yaitu:

  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنْ الْأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَا وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا وَيَعْتَمِرُونَ وَيُجَاهِدُونَ وَيَتَصَدَّقُونَ ..

  Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Pernah datang para fuqara kepada Nabi saw seraya berkata, ‘Orang-orang kaya, dengan harta benda mereka itu, mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi, juga kenikmatan yang abadi. Karena mereka melaksanakan shalat seperti juga kami melaksanakan shalat. Mereka puasa sebagaimana kami juga berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan disebabkan harta mereka, sehingga mereka dapat menunaikan ibadah haji dengan harta tersebut, juga dapat melaksanakan umrah bahkan dapat berjihad dan bersedekah…’.” (HR Al-Bukhari)   Berdasarkan hadits ini, Ibnu Daqiq al-‘Id berpendapat bahwa orang kaya tentu lebih utama karena selain dapat melaksanakan ibadah-ibadah individual, mereka juga dapat menambah pahala dan berupaya mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ibadah sosial. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid XI, hal. 275).   Lebih lanjut lagi, Ibnu Daqiq memberikan paparan yang spesifik bahwa baik-buruknya kepemilikan harta tergantung bagaimana pemakaiannya. Boleh jadi si pemilik menggunakannya untuk taat kepada Allah, atau mungkin juga dalam kemaksiatan. Ia berkata:  

فكم من غني لم يشغله غناه عن الله، وكم من فقير شغله فقره عن الله.

  Artinya, “Berapa banyak orang kaya, yang kekayaannya tidak menghalangi mereka dari Allah, dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya justru menghalangi mereka dari Allah.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, jilid XI, hal. 275).   Alhasil, orang kaya atau miskin tergantung kepada diri pribadi masing-masing. Namun demikian, menjadi orang kaya yang bersyukur dan mendayagunakan hartanya untuk beribadah kepada Allah dinilai lebih utama dari orang miskin yang dengan kemiskinannya malah menghalangi ibadah kepada-Nya.   Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi umat Islam untuk lebih giat mencari kekayaan yang halal. Semakin besar harta yang dimiliki, semakin tinggi kemampuan untuk melaksanakan ibadah sosial yang manfaatnya tidak terbatas kepada diri sendiri saja. Wallahu a’lam.

Editor: Nawal amiroh n

Cerminan Pemimpin: Bukan Dendam Kekuasaan

Dalam kaitannya dengan kekuasaan dan kekayaan duniawi, seorang ulama bijak memberi nasihat bahwa ada fase-fase godaan ketika manusia melakukan amal perbuatan. Pertama, godaan hendak memimpin ketika dirinya benar-benar didukung rakyat dan seluruh komponen masyarakat. Artinya, apakah sang pemimpin sudah meluruskan niatnya dalam beramal. Bahwa ia akan memimpin dengan cara-cara yang fair dan jujur, ingin menolong dan memberdayakan umat, sebagai tugas pemimpin selaku khalifah di muka bumi? Kedua, kesanggupan untuk istiqomah dalam posisi dan tugas memimpin. Apakah ia akan lanjut secara konsisten, di tengah badai prahara dan kecamuk problem permasalahan umat. Terutama ketika ia menghadapi cobaan dicaci-maki karena kinerja yang dianggap kurang adil oleh sebagian komponen masyarakat, sementara tiap-tiap negara dan bangsa pasti akan menghadapi cobaan-cobaan yang disodorkan Tuhan kepada mereka, dalam ruang dan waktu permasalahan yang berbeda pula. Ketiga, ketika dia lengser atau turun jabatan, apakah disertai dengan keikhlasan, sehingga Allah ridho kepadanya. Ataukah, sang pemimpin masih berambisi untuk mendendam kepada pihak tertentu, bahkan terus terobsesi untuk menunjukkan dirinya orang baik dan kredibel di hadapan umat? Seorang calon presiden yang menyadari kekhilafannya akan senantiasa mengakui bahwa penguasa di era modern hingga post-modern ini tak lebih dari pejabat-pejabat publik yang “mencalonkan diri” selaku pemimpin umat. Sementara tidak ada konsep “mencalonkan” dalam tradisi kepemimpinan Islam. “Sekarang saya mengerti kata-kata hikmah, bahwa ketika saya gagal, berarti Allah sedang melindungi dan menyelamatkan saya. Tetapi, jika saya sukses, hal itu semata-mata Allah sedang mengizinkan saya.” Begitulah kira-kira perkataan cerminan untuk individu pemimpin. Itu artinya, kemenangan dalam politik kekuasaan, hanyalah fase awal dari suatu perjalanan panjang, yang nantinya beban itu akan terasa berat dipikulkan di pundaknya, lantaran ia telah meminta dan menuntut dirinya, seakan telah “memaksa” Tuhan agar mengabulkan permintaannya. Sama halnya dengan bocah yang masih duduk di bangku SD, meminta dengan segala cara agar orang tuanya membelikan sepeda motor, bahkan jikapun orang tuanya tak memberinya, ia akan terus mendesak sampai berani mencuri uang orang tuanya agar terpenuhi kehendak dan keinginannya (meskipun bukan kebutuhan primernya). Mari kita bahas kata-kata hikmah di atas secara lebih mendalam, bahwa hakikatnya kekuasaan duniawi yang hanya terhitung dalam tempo lima atau sepuluh tahun, tidak berarti apa-apa dalam manajemen perhitungan Tuhan. Bahkan, jikapun seorang penguasa berbohong selama puluhan tahun. Misalnya, seseorang naik ke tahta kekuasaan dengan trik-trik dan berbagai siasat, ia merasa dirinya berhak membohongi masyarakat, karena ia merasa khawatir dibohongi lebih dulu di zaman yang (menurutnya) serba edan ini. Hal itu mengindikasikan, sejak ia mengawali kekuasaannya, memang sudah berangkat dengan konsep pemikiran yang salah yang menyimpang. Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang cerdas dan mulia, bahwa ia tetap tegar menghadapi bertubi-tubi cobaan dan permasalahan. Ia terlahir sebagai anak yatim di tengah prahara budaya dan tradisi Jahiliyah yang penuh pertikaian suku dan kabilah. Ia pernah dicaci-maki bahkan dilempari anak-anak muda karena dianggap gagal dalam mendidik umat (di daerah Thaif). Berkali-kali ia ditinggal mati orang-orang yang dicintai dan mencintainya, dari ibunya sendiri, kakek dan paman yang mengasuhnya, istri dan anak-anak yang sangat dicintainya. Barangkali dalam logika absurditas, nasib hidup yang nelangsa semacam itu, setidaknya ia bisa menjadi anak jalanan, atau gelandangan yang terseok-seok diperdagangkan di pasar-pasar budak. Ketika para kepala suku dan kabilah sibuk menunjukkan taring kekuasaannya, hingga saling memperebutkan posisinya, bahwa kelompok merekalah yang paling berhak memindahkan Hajar Aswad setelah pemugaran Ka’bah, justru Nabi Muhammad muda tak terpengaruh dengan kesibukan mereka yang saling menonjolkan diri di depan publik. Saat itu, Nabi Muhammad hanya membentangkan sorban, dan silakan saja para kepala kabilah memegang ujung-ujung sorban, lalu meletakkan batu hitam yang dianggap sakti dan keramat itu. Dari kacamata rohani dan spiritualitas Nabi Muhammad, pengaruh dan kekuasaan duniawi tak layak diperebutkan, meskipun tidak sedikit orang-orang di zamannya, betapa mereka saling sikut kiri dan kanan, hanya semata memperebutkan posisi jabatan dan kedudukan, yang kewenangan dan hak sepenuhnya berada di tangan Allah semata. Sesungguhnya, pemberian Tuhan yang bersifat istidraj, hanyalah mementingkan kegembiraan dan kesenangan sesaat yang bersifat nisbi dan semu belaka. Sedangkan, yang layak diperjuangkan adalah kebahagiaan sejati yang berpangkal dari anugerah yang bukan semata mendapat izin Allah melainkan juga ridho dari-Nya. Itu hanya mungkin diraih oleh orang-orang yang ikhlas dalam beramal, karena telah mengawali perbuatannya dengan niat-niat baik dan jujur, lalu ia terus istiqomah dalam menjalankan tugasnya, sampai kemudian berakhir dengan husnul khatimah. Pemberian kekuasaan yang berupa istidraj, boleh saja dipegang para penguasa negeri selama beberapa dinasti, bahkan hingga 309 tahun sekalipun. Tapi bagi orang-orang yang kualitas kesalehannya teruji, waktu sepanjang itu tak lebih dari sekali tidur dan terlelap di dalam gua, seperti yang pernah dialami para pemuda kekasih Allah (ashabul kahfi). Jadi, para politisi dan penguasa bisa saja bersiasat secanggih apapun, serta melakukan makar dengan segala dusta dan kefasikan, namun ketika mata-hatinya telah ditutup oleh Allah, maka tertutuplah ia dari jalan hidayah yang memungkinkan ia dapat terlindungi dan terselamatkan. Lalu, siapa lagi yang akan dia harapkan, jika Allah sudah berpaling darinya? Apakah ia akan meminta pertolongan dari orang-orang kaya dan berpengaruh, padahal mereka yang dimintai pertolongan itu pun sedang kewalahan mencari jalan untuk mendapat perlindungan dan keselamatan dari Allah? Mungkinkah orang-orang sakit yang kesibukannya hanya mementingkan kegembiraan dan kesenangan sekejap mata itu, dapat memberi pertolongan? Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah tak akan memberi petunjuk dan hidayah bagi orang-orang yang fasik dan zalim. Di sini tak berlaku lagi garis dikotomi antara pemimpin berlabel agamis, sosialis, humanis ataukah nasionalis. Walaupun pemimpin itu mengawali kekuasaannya dengan mendendam pada kemiskinannya di masa lalu, atau pernah menjadi pesakitan yang terkorbankan oleh penguasa-penguasa sebelumnya, tetap jalan “mendendam” karena penderitaan masa lalu, tak bisa dibenarkan dalam logika ketuhanan. Bahkan, jikapun dendam itu berdasarkan kepentingan agama tertentu, atau berdasarkan mazhab tertentu. Sebab, di dalam iman yang dewasa akan saling terhubung meskipun manusia berbeda agama. Tetapi, dalam iman kepada thagut (syirik), orang-orang akan sulit saling terkoneksi, meskipun dalam satu agama. Jadi, pemimpin bijak dan adil itu sudah selesai dengan masa lalunya, juga selesai dengan ego-ego pribadinya. Apakah dulunya ia anak seorang raja yang makmur secara ekonomi, ataukah anak seorang sudra (kuli), hal tersebut tak boleh menjadi acuan yang membuatnya harus membalas-dendam atas masa lalunya. Seorang pahlawan pembela tanah air, yang berjiwa ksatria, serta berhasil mengadakan perlawanan atas pendudukan kaum penjajah, pada akhirnya juga mesti bersikap rendah hati, bahwa hakikat kemerdekaan terwujud berkat rahmat dan kasih sayang Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Allah berhak melanggengkan kemerdekaan itu bagi suatu bangsa, juga berhak mencabut anugerah kemerdekaan itu kembali, terlepas apakah para penjajahnya adalah dari ras dan suku yang sama. “Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang punya kemauan untuk mengubah dirinya sendiri. Jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, tak ada yang bisa menolaknya, serta tak ada yang menjadi pelindung kecuali hanya Allah semata,” demikian termaktub jelas dalam surat ar-Ra’d, ayat 11. Alkisah, di masa kepemimpinan Umar bin Khattab, seorang sahabat Nabi, Said bin Amir, sebenarnya tak pernah bercita-cita menjadi seorang pejabat tinggi di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Tiba-tiba, Umar selaku sahabat lamanya, menunjuk Said bin Amir agar menjabat Gubernur di wilayah Damsyik (Damaskus). “Tolong jangan bebani saya dengan tugas seberat ini, wahai Umar,” demikian Said bin Amir menyatakan penolakannya kepada Khalifah Umar. “Sahabatku, Said bin Amir,” balas Umar, “sekarang saya sudah dilantik sebagai Khalifah, karena pilihan kalian. Lalu, kenapa Anda menolak ketika saya punya kewenangan untuk menunjuk orang yang saya pilih?” Baca Juga Kriteria Pemimpin yang Baik Menurut Nabi Said bin Amir memang kurang dikenal di kalangan para sahabat Nabi. Ia seorang yang introvert dan kurang percaya-diri. Namun, Umar mengenal kapasitasnya selaku sahabat dan pengikut jejak perjuangan Nabi, meski karakteristiknya cenderung pasif dan tak suka menonjolkan diri. Umar menilai Said bin Amir sebagai sahabat yang zuhud, tetapi ia memiliki jiwa leadership yang tangguh. Damaskus kala itu termasuk salah satu wilayah yang tergolong makmur dengan pesatnya kemajuan di bidang perdagangan dan jasa. Tetapi, Said bin Amir menolak tunjangan dan fasilitas mewah yang disediakan negara, pada saat ia menjabar Gubernur. Ia juga menolak tunjangan khusus bagi keluarga Gubernur maupun saudara kerabatnya. Ia ingin mendidik istri dan anak-anaknya agar bersikap santun kepada para fakir-miskin, serta mengajarkan orang-orang terdekatnya agar hidup bersahaja. Bagi Said bin Amir, kenikmatan dan kemegahan dunia ini hanyalah sekejap mata, dan merupakan kesenangan yang menipu. Tak ada kenikmatan dalam kefanaan, tetapi kebahagiaan dan kenikmatan abadi justru di negeri akhirat kelak. Sungguh, alangkah bodoh dan dungu, jika seorang penguasa memilih jalan dendam, kemudian tidak ada keberanian untuk berusaha menolak menipu rakyatnya.

Sumber: https://www.nu.or.id

Editor: Alima sri sutami mukti

Misteri Hidayah Alloh

Terbukti betapa banyak ulama, khususnya dari Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijebloskan ke pengapnya penjara tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Seperti yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali.

Saat itu, Mu’tazilah memaksakan doktrinnya yang menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah makhluk karena itu bersifat baru (hadith), sementara Imam Hanbali berpendapat sebaliknya, bahwa al-Qur’an bersifat qadim (dahulu tanpa diawali ketiadaan) karena Ia merupakan kalamullah (firman Allah).

Syekh Abdullah al-Harari (1910 M.) yang masyhur dengan julukan “al-Habshi”, menulis dalam salah satu karyanya al-Gharat al-Imaniyyah fi Radd Mafasid al-Tahririyyah yang membantah pendapat Imam Taqiyyuddin al-Nabhani (L. 1327 H./1909 M.), pendiri Hizbut Tahrir dalam karyanya al-Shahsiyyah al-Islamiyyah yang menyatakan bahwa semua perbuatan manusia (af’al al-insan) tidak ditentukan kepastian Tuhan (qadla’) dan kepastian Tuhan tidak dapat menjangkau perbuatan manusia karena dengan kemampuan manusia itulah semua perbuatannya bisa dilakukan dengan kehendaknya dan pilihan rasionalnya.

Lebih lanjut al-Nabhani mengkaitkan ”pahala” (al-mathubah) dan ”siksaan” (al-’uqubah) berdasar petunjuk (al-hidayah) dan penyesatan (al-dlalal) Tuhan  mengindikasikan bahwa suatu perbuatan manusia itu dari murni manusia itu sendiri, bukan dari Tuhan. Inilah yang dibantah oleh Syekh Abdullah al-Harari dan seluruh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahwa pandangan al-Nabhani di atas bertentangan (mukhalif) dengan nash al-Qur’an dan Hadis yang sarih (jelas teks dan maknanya).

Di antara firman Allah dalam QS al-Furqan (25): 2, tepatnya di bagian akhir ayat ini, dinyatakan bahwa ”Allah swt menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat”. Demikian pula dalam QS al-Saffat (37): 96, yang maknanya ”Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. Juga kejelasan makna firman Allah yang langsung bisa didapatkan dari redaksi teks (’ibarat al-nass) QS. al-Qamar (54): 49, yaitu ”Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”.

Al-Harari selanjutnya mengajukan argumen, yakni ”sesuatu” di sini mencakup segala sesuatu yang ada (al-wujud) mencakup hal-hal yang bersifat fisik (al-ajsam), gerak-gerik manusia (harakat al-’ibad), dan diamnya (sukun). Pun demikian dengan perbuatan manusia sehari-hari (ikhtiyari) seperti makan, minum, dan kegiatan lainnya, juga perbuatan yang tidak dapat dihindari (idltirari), seperti sakit, terkena musibah, dan mati.

Perbuatan ikhtiyari manusia dari segi kuantitas tentu jauh lebih banyak daripada yang non-ikhtiyari (idltirari). Oleh karena itu, mengatakan bahwa eksistensi ciptaan manusia dalam wujud perbuatan manusia sehari-hari itu lebih banyak kuantitasnya daripada ciptaan Allah merupakan pernyataan yang keliru dan menyesatkan.

Demikian pula pandangan al-Nabhani di atas bertentangan dengan sejumlah Hadis sarih dan sahih yang dikutip al-Harari, di antaranya hadis riwayat Imam Muslim dan Imam Baihaqi yang artinya bahwa segala sesuatu telah ditentukan takdirnya sampai sifat malas (al-’ajz) dan potensi cerdas (al-kays).

Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Hudzaifah menyebutkan suatu Hadis, yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah swt adalah Dzat Yang Maha Mencipta sesuatu yang mengkreasi dan hasil kreasinya.” Imam Turmudzi juga meriwayatkan Hadis sahih dalam kitab Sunan-nya yang menyatakan ”ada 6 (enam) orang di mana Allah swt dan aku (Nabi Muhammad saw), juga setiap Nabi yang mesti diterima (mujab) doanya melaknat orang yang menambah-nambahkan (merubah) al-Qur’an, orang yang mendustakan takdir Allah.”

Dari sini menjadi jelas bahwa pada dasarnya perbuatan manusia (sengaja hanya dibahas global) dan urusan hidayah adalah murni ciptaan Allah sebagaimana yang ditegaskan dalam QS al-Qasas (28): 56 yang menyatakan, ”Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.

Untuk mendukung uraian di atas, Imam Ahmad Shihab al-Din bin Salamah al-Qalyubi dalam karyanya ”al-Nawadir” (halaman 17) pada hikayah ke-25 menceritakan betapa sekelompok pencuri (al-lusus) yang sudah merajai sejumlah wilayah pada akhirnya bertobat. Hati mereka terketuk dan menjadi sadar akan masa lalu mereka yang kelam setelah kedapatan menyaksikan langsung di hadapan mata kepala mereka sendiri, bahwa anak dari keluarga yang mereka singgahi untuk bermalam, saat itu dalam kondisi lumpuh.

Namun di kesempatan lain, sekelompok penyamun itu menyaksikan sang anak sembuh total dari penyakit lumpuhnya. Mereka penasaran untuk bertanya perihal kesembuhan sang anak. Akhirnya mereka mendapat jawaban, sang anak sembuh karena mendapatkan suatu keberkahan setelah meminum air sisa mereka saat bertamu. Di akhir cerita, Imam al-Qalyubi menulis kelanjutan para pencuri itu setelah bertobat, mereka berbalik 180 derajat, menjadi sekelompok pejuang agama (jumlat al-ghuzat wa al-mujahidin) sampai meninggalnya.

Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Hudzaifah menyebutkan suatu Hadis, yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah swt adalah Dzat Yang Maha Mencipta sesuatu yang mengkreasi dan hasil kreasinya.” Imam Turmudzi juga meriwayatkan Hadis sahih dalam kitab Sunan-nya yang menyatakan ”ada 6 (enam) orang di mana Allah swt dan aku (Nabi Muhammad saw), juga setiap Nabi yang mesti diterima (mujab) doanya melaknat orang yang menambah-nambahkan (merubah) al-Qur’an, orang yang mendustakan takdir Allah.”

Dari sini menjadi jelas bahwa pada dasarnya perbuatan manusia (sengaja hanya dibahas global) dan urusan hidayah adalah murni ciptaan Allah sebagaimana yang ditegaskan dalam QS al-Qasas (28): 56 yang menyatakan, ”Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.

Untuk mendukung uraian di atas, Imam Ahmad Shihab al-Din bin Salamah al-Qalyubi dalam karyanya ”al-Nawadir” (halaman 17) pada hikayah ke-25 menceritakan betapa sekelompok pencuri (al-lusus) yang sudah merajai sejumlah wilayah pada akhirnya bertobat. Hati mereka terketuk dan menjadi sadar akan masa lalu mereka yang kelam setelah kedapatan menyaksikan langsung di hadapan mata kepala mereka sendiri, bahwa anak dari keluarga yang mereka singgahi untuk bermalam, saat itu dalam kondisi lumpuh.

Namun di kesempatan lain, sekelompok penyamun itu menyaksikan sang anak sembuh total dari penyakit lumpuhnya. Mereka penasaran untuk bertanya perihal kesembuhan sang anak. Akhirnya mereka mendapat jawaban, sang anak sembuh karena mendapatkan suatu keberkahan setelah meminum air sisa mereka saat bertamu. Di akhir cerita, Imam al-Qalyubi menulis kelanjutan para pencuri itu setelah bertobat, mereka berbalik 180 derajat, menjadi sekelompok pejuang agama (jumlat al-ghuzat wa al-mujahidin) sampai meninggalnya.

Editor : Alima sri sutami mukti