Pembentukan Masyarakat Muslim NUsantara

M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2009) memastikan bahwa Islam sudah ada di negara bahari Asia Tenggara sejak awal zaman Islam. Semenjak masa khalifah ketiga, Utsman bin Affan (644-656 M), utusan-utusan muslim dari tanah Arab mulai tiba di istana Cina. Setidaknya, pada abad ke-9 sudah ada ribuan pedagang muslim di Canton. Kontak-kontak antara Cina dan dunia Islam itu terpelihara terutama lewat jalur laut melalui perairan Indonesia. Antara tahun 904 M dan pertengahan abad ke-12, utusan-utusan dari Sriwijaya ke istana Cina memiliki nama Arab.

Pada tahun 1282, Raja Samudera di Sumatera bagian utara mengirim dua utusan bernama Arab ke Cina. Namun, berita-berita itu tidak langsung menunjukkan bukti bahwa kerajaan-kerajaan Islam lokal telah berdiri dan tidak juga menunjukkan bahwa telah terjadi perpindahan agama dari penduduk lokal dalam tingkat yang cukup besar. Yang pasti, menurut catatan Ma Huan yang ikut dalam muhibah ketujuh Cheng Ho ke Jawa yang berlangsung antara tahun 1431-1433 Masehi, diketahui bahwa penduduk pribumi masih belum memeluk Islam.

Historiografi lokal memang mencatat keberadaan tokoh-tokoh beragama Islam pra-Wali Songo secara sepintas dalam kisah-kisah bersifat legenda. Namun, belum terdapat sumber-sumber yang menjelaskan adanya sebuah gerakan dakwah Islam yang bersifat masif dan tersistematisasi. Baru, setelah kisah tokoh Sunan Ampel dan Raja Pandhita dituturkan datang ke Majapahit, jaringan kekerabatan tokoh penyebar dakwah Islam di Surabaya dan Gresik itu dapat diketahui sebagai jaringan pusat-pusat kekuatan (centre power) dari dakwah Islam di suatu tempat tertentu. Bahkan, melalui jaringan gerakan dakwah Islam yang kemudian muncul sebagai suatu lembaga yang disebut Wali Songo, muncul kekuatan politik kekuasaan dalam bentuk Kerajaan Demak, Cirebon, Banten, disusul Banjarmasin, Pontianak, Gowa, Tallo, Ternate, Tidore, Tual, Sumbawa, yang mendorong tumbuhnya kota-kota bercorak Islam di pesisir.

Menurut Marwati Djoned Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III (1990), pertumbuhan kota-kota bercorak Islam di pesisir utara dan timur Sumatera di Selat Malaka sampai ke Ternate melalui pesisir utara Jawa, ada hubungannya dengan faktor ekonomi di bidang pelayaran dan perdagangan. Selain itu, tumbuhnya pusat-pusat kota kerajaan di Jawa Barat membentuk pula jalinan perhubungan pelayaran, perekonomian, dan politik dengan Demak, sebagai pusat kerajaan Islam yang besar pada abad ke-16. Dan menurut historiografi lokal, keberadaan kerajaan Demak digambarkan sebagai kekuatan politik Islam pertama di Jawa yang kelahirannya dibidani oleh Wali Songo. Bahkan, menurut Babad Tanah Jawi, tumbuhnya kota Demak adalah atas petunjuk Sunan Ampel, tokoh sesepuh Wali Songo.

Secara sosiologis, keberadaan Wali Songo hampir selalu dihubungkan dengan pusat-pusat kekuatan masyarakat yang dicirikan oleh dakwah Islam. Dan ditinjau dari aspek kronologi kesejarahan, keberadaan Wali Songo dikaitkan dengan tumbuhnya masyarakat muslim yang memiliki ciri-ciri tidak sama dengan masyarakat yang hidup di era Majapahit. Menurut Nor Huda dalam Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (2007), proses Islamisasi di Indonesia terjadi dengan proses yang sangat pelik dan panjang. Diterimanya Islam oleh penduduk pribumi yang secara bertahap membuat Islam terintegrasi dengan tradisi, norma, dan cara hidup keseharian penduduk lokal.

Menurut H.J. De Graaf (1998), pada abad ke-15 dan ke-16, para pedagang dari wilayah Cina selatan dan pesisir Vietnam, sekarang Champa semakin aktif di Jawa dan tempat-tempat lain di Nusantara. Itu berarti, para penyebar Islam asal Champa di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi tersebut membawa pengaruh adat kebiasaan dan tradisi keagamaan kepada masyarakat di Jawa dan tempat-tempat lain di Nusantara. Wallahu A’lam Bishawab

Islam Periode Nabi, Sahabat, Tabi’in & Madzhab Empat

Periode Rasulullah SAW yakni masa hidup beliau, pasti Islam dilaksanakan dengan baik dan benar, tepat sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak menyimpang sedikitpun, khususnya oleh pribadi beliau sebagai teladan yang terbimbing langsung oleh bimbingan Ilahi. Juga para Sahabat yang terbimbing dan terkontrol langsung olehnya.

Amaliah Rasulullah SAW, mustahil menyimpang dari petunjuk al-Qur’an, karena amaliahnya inilah yang diteladani oleh para Sahabat dan umat berikutnya. Mustahil pula jika Rasul teledor dalam membimbing dan mengontrol amaliah para sahabatnya.

Amalliah lahir batin Rasulullah SAW yang diteladankan kepada para sahabat secara langsung serta kepada para pengikutnya sepanjang zaman secara tidak langsung, inilah yang disebut-sebut sebagai as-Sunnah. Amaliahnya yang diteladani secara langsung oleh para Sahabat, yang kemudian menjadi jalan hidup mereka itulah yang kemudian disebut sebagai thariqah Sahabat SAW, khususnya yang secara langsung melazimi Sunnah Rasul sehari-harinya, terlebih lagi sahabat empat yang pada gilirannya disebut al-Khulafa’ ar-Rasyidun praktis sesuai benar dengan petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah substansi makna as-Sunnah dalam term Ahlussunnah wal Jama’ah.

Islam Periode Sahabat

Perbedaan pendapat pertama yang kemudian menjadi problematika umat Islam mulai muncul sejak Rasulullah SAW wafat. Lalu semenjak terbunuhnya khalifah ketiga, Ustman bin ‘Affan problematika politik semakin menjadi, berlanjut pada masa Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Pada masa ini, perbedaan pendapat yang pada awalnya beerorientasi pada politik, berujung pada persoalan akidah.

Nabi Muhammad SAW wafat pada 02 Rabi’ul Awwal 11 H/ 08 Juni 632 M. Pada hari wafatnya, sekelompok kaum Anshar di bawah pimpinan Sa’ad bin Ubadah dari suku Khazraj berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih Khalifah, pemimpin pengganti Nabi SAW. Mendengar hal ini kaum Muhajirin datang ke Saqifah di bawah pimpinan Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khatthab.

Setelah melewati peerdebatan cukup sengit, di mana kaum Anshar mengajukan Sa’ad bin Ubadah sebagai calon dan kaum Muhajirin mengajukan Abu Bakar as-Shiddiq atau Umar bin Khatthab, akhirnya semua sepakat mengangkat sahabat yang paling utama, yaitu Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Nabi SAW.

Sampai masa kekhalifahan sahabat Umar bin Khatthab perpecahan belum begitu tampak. Tetapi sejak kekhalifan Ustman bin ‘Affan, fenomenanya mulai jelas. Lalu pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib perpecahan menjadi nyata. Dampaknya menjadi sumber perbedaan paham di tengah umat Islam dalam memedomani ajaran agamanya.

Sejak Abu Bakar di baiat menjadi Khalifah, muncul gerakan pembangkang zakat yang menjadi sendi (rukun) Islam. Di ruang lain muncul pula gerakan anti-Islam di bawah komando nabi-nabi palsu seperti Musailamah al-Kadzdzab, Aswad al-Ansi, dan Thulaihah bin Khuwailid.

Meluasnya wilayah pemerintahan Islam di masa kepemimpinan Umar pun tak urung menimbulkan dendam terpendam dari penguasa ditaklukkan. Timbul gerakan bawah tanah untuk menyusupkan ajaran agama mereka ke dalam ajaran Islam dengan target menghancurkan Islam dari dalam. Indikasinya sangat jelas, yakni terungkapnya kisah-kisah israiliyyat di dalam beberapa disiplin keilmuan. Lebih nyata lagi pada kasus pembunuhan Umar sendiri. Sejarah mencatat, pembunuhnya adalah Abu Lu’luah, Hurmuzan (keduanya asal Persia/Yahudi) dan Jufainah (Nasrani). Inilah indikasi nyata dendam kesumat dari negeri-negeri taklukan sahabat Umar.

Di masa pemerintahan Ustman (23-35 H) wilayah kekuasaan Islam meluas, namun juga muncul banyak perpecahan. Abdullah bin Saba’ mulai berhasil mempengaruhi dan meracuni elit politik. Perasaan tidak puas pada kepemimpinan Ustman semakin menjadi. Kontra politik sengaja dibesar-besarkan, dan pemberontakan demi pemberontakan terjadi di Kufah, Basrah, Mesir, dan tempat lain yang bertujuan menjatuhkan kepemimpinannya. Pada masa kepemimpinan Ali, umat Islam mulai lebih jelas terpetakan dalam madzhab politik dan akidah.

Madzhab Politik

Pasca Rasulullah SAW wafat, umat Islam dalam ranah siyasah (politik) terbagi menjadi tiga golongan.

Pertama Jumhur Muslimin, yaitu mayoritas umat Islam. Mereka menyepakati Abu Bakar menjadi Khalifah Nabi SAW dalam melaksanakan tugas-tugas dakwah Islam dan kenegaraan.

Kedua Syiah, yang muncul pada 30 H dipelopori Abdullah bin Saba’ pendeta Yahudi Yaman yang masuk Islam dan beroposisi terhadap Khalifah Ustman bin ‘Affan. Saat datang ke Madinah ia tidak terlalu mendapat penghargaan dari Khalifah dan umat Islam lain, sehingga menyimpan kemarahan.

Syiah adalah sebagian kecil umat Islam yang mengdeklarasikan Ali bin abi Thalib menjadi Khalifah Nabi SAW. Syiah mempunyai doktrin Nabi SAW telah berwasiat secara terang-terangan bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan Khalifah penerus kepemimpinannya. Sehingga diserukan kepada khalayak bahwa hanya Ali yang berhak menjabat sebagai Khalifah, sedangkan Abu Bakar, Umar, dan Ustman tidak sah dan telah merampas hak Ali. Padahal sebenarnya beliau justru melarang siapa pun yang mengagung-agungkannya melebihi mereka.

Syiah secara umum (selain Zaidiyah) dalam hal imamah (kepemimpinan) meyakini:

  1. Imamah (kepemimpinan) hanya milik keturunan Rasulullah SAW sedangkan bagi selain keturunannya adalah kezaliman.
  2. Imamah bukan merupakan urusan terkait kemaslahatan yang didasarkan pada proses pemilihan dan pengankatan umat Islam secara umum, tapi merupakan dasar agama Islam yang Rasulullah SAW dan para Rasul lainnya tidak mungkin menyianyiakannya dengan menyerahkan kepada umatnya.
  3. Para Imam bersifat ma’shum (terjaga dari dosa besar dan kecil) sebagaimana Rasulullah SAW dan para Rasul lainnya.

Penyimpangan yang dilakukan Syiah dengan berbagai golongan itu, antara lain (1) berani memasukkan kepercayaan Yahudi dan Nasrani serta Hindu Samani dan Majusi tentang paham inkarnasi (al-hulul) dan paham reinkarnasi (al-tanasukh) ke dalam ajaran Islam, (2) mengkultuskan sahabat Ali, serta mengafirkan tiga Khalifah sebelumnya, (3) menolak pendapat Ijma’ dan Qiyas, serta membolehkan kawin kontrak (mut’ah).

Ketiga Khawarij. Pasca perang Siffin, perang saudara sesama Islam antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan tentara Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Gubernur Syria) pada 37 H muncul pula Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari Sayyidina Ali dan Mu’awiyah.

Khawarij merupakan sekelompok minoritas yang:

  1. Keluar dari Jama’ah (persatuan umat Islam) di bawah pimpinan Ustman bin ‘Affan, dan menobatkan diri sebagai oposisi.
  2. Menolak kebijakan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim (perjanjian damai) dengan Mu’awiyah. Mereka menyatakan keluar dari Jama’ah di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib, dan menjadi oposisi.

Tiga madzhab dalam bidang siyasah (politik) tidak secara langsung mempengaruhi terbentuknya madzhab-madzhab dalam bidang fikih seperti madzhab-madzhab dalam bidang akidah.

Madzhab Akidah

Sejak Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin masih dalam satu manhaj dalam bidang ushuluddin, namun kemudian muncul bid’ah akidah. Tiga madzhab siyasah di atas menjadi titik awal terbentuknya madzhab-madzhab dalam bidang akidah. Madzhab di bidang akidah berlanjut menjadi semakin banyak. Hal ini terjadi pada masa akhir sahabat.

 

Islam Periode Tabi’in

Maksud periode Tabi’in ialah pasca kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Thalib yang ditandai dengan munculnya sekte-sekte Islam yang banyak mendapat sorotan ulama dan ahli sejarah, seperti: Qadariyah, Murji’ah, dan Jabbariyah.

Qadariyah dengan pendirinya Ma’bad al-Juhani dan Ghilan ad-Dimasyqi antara lain berpendapat, manusia memiliki qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan perbuatannya tanpa intervensi Tuhan sama sekali. Sedangkan pendapat yang paling menonjol dari sekte Murji’ah yang dipelopori oleh Hasan bin Bilal al-Muzni, Abu Salah as-Saman, Sauban dan Dirar bin Umar, ialah menangguhkan hukuman duniawi hingga akhir kiamat. Hal ini lebih dilatar belakangi oleh sikap apatis mereka terhadap pertikaian politik sejak masa kekhalifahan Ustman bin ‘Affan. Mereka enggan menyatakan bagaimana hukum kelompok Syiah, Khawarij, Mu’awiyah, atau kelompok Ali sendiri? Hukum masing-masing diserahkan kepada Tuhan kelak pada hari kiamat. Tapi kemudian pendapatnya meluas termasuk meniadakan hukum qishas, diyat atau hukuman bagi pezina. Semua hukuman ditunda sampai hari kiamat.

Sementara itu sekte Jabariyah dengan pendirinya Jahm bin Shafwan, yang sering disebut sekte Jahmiyah, menyatakan bahwa manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan manusia diciptakan secara mutlak oleh qadar Tuhan. Baik-buruknya perbuatan manusia, semata-mata merupakan perwujudan dari baik-buruknya Tuhan. Pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat sekte Qadariyah.

Tempat keempat sekte ini, sebagian ulama berpendapat sebenarnya kembali kepada dua sekte. Qadariyah adalah nama lain dari Mu’ta’ilah, dan Murji’ah nama lain dari Jabariyah atau Jahmiyah. Namun yang pengaruhnya sangat kuat karena hingga kini terus mewarnai perbedaan kalam (teologis) umat Islam ialah sekte Mu’tazilah.

Nama Mu’tazilah merupakan nisbat ucapan Syaikh Hasan Basri tatkala mengeluarkan muridnya yang radikal, Wasil bin Atha al-Ghazali (80-131 H). I’tazil ‘anna! (keluarlah dari perguruanku!). Wasil inilah yang dikenal sebagai pendiri sekte Mu’tazilah.

Wasil sendiri menamakan sektenya sendiri dengan sebutan Ahl al-Adl wa at-Tauhid (golongan yang berpaham adil dan meng-Esakan Tuhan) yang sekaligus mengindikasikan pendapat utamanya. Adil menurutnya ialah Tuhan membalas amal perbuatan manusia yang diciptakan sendiri tanpa intervensi qadar-Nya. Sedankan tauhid menurutnya ialah Tuhan Esa tanpa diembel-embeli berbagai sifat dan tidak memiliki sifat-sifat.

Keradikalan Mu’tazilah, meskipun akhirnya terpecah menjadi 22 sekte; semuanya terlalu berlebihan dalam memuja kemampuan akal, dan nyaris mengabaikan petunjuk naqli al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahkan menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk (ciptaan Tuhan) dan bersifat hadist (baru). Pernyataan terakhir inilah yang kemudian disebut oleh banyak kalangan sebagai al-Mihnah (ujian bagi ulama mayoritas yang tetap beerpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalimat Tuhan, dan bersifat qadim).

      Sampai periode tabi’in istilah Ahlussunnah wal Jama’ah masih belum muncul sebagai gerakan bersama. Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah memang telah muncul, misalnya dalam tafsir Ibnu Abbas. Namun golongan yang secara substansial ada di dalamnya, yakni tetap berpegang teguh kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah; tetap merupakan mayoritas. Golongan mayoritas ini sering disebut-sebut sebagai golongan as-Salaf as-Shalih.

Islam Periode Imam Madzhab Empat

Periode Imam Madzhab Empat pada dasarnya merupakan periode kemunculan madzhab fikih yang sangat banyak. Namun kemudian tinggal empat madzhab saja yang hingga kini diterima dan diakui mayoritas umat Islam, yaitu:

  1. Pendirinya Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah (80-150 H).
  2. Pendirinya Malik bin Anas (93-170 H).
  3. Syafi’i. Pendirinya Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H).
  4. Pendirinya Ahmad bin Hanbal (164-241 H).

Keempat Imam Madzhab tersebut adalah penegak substansi paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang sangat handal. Selain di bidang fikih, mereka pun banyak menyinggung lingkup kalam (akidah) dan akhlak dengan merujuk pada Sunnah Rasul dan thariqah Sahabat Empat, dan senantiasa berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallahu A’lam Bishawab

Berpulang Ke Rahmatullah Mama Syaikhuna Kh. Ahmad Faqih

Tanah di atas pusara itu masih merah membasah sekalipun terik matahari di waktu dzuhur menjemur rata di atasnya, hari itu adalah hari yang kedua sejak jenazah yang mulia itu dimakamkan. Beliau itu orang yang sangat mulia, yang taat kepada Allah Subhanahu Wata’la.

Masih banyak peziarah yang berta’ziyah di sekitar makam, ada yang berdoa, bertabaruk, baca qur’an dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mereka adalah yang datang dari jauh atau luar daerah untuk menghadiri langsung pemakaman yang mulia Mama KH. Ahmad Faqih. Kecintaan atau mahabbah kepada pribadi beliau selaku orang tua, guru, sekaligus panutan, mengalahkan segalanya termasuk jarak yang jauh sekalipun untuk menghadiri ke makam beliau.

Sehari sebelumnya, tepatnya hari kamis 5 Sya’ban 1422 H yang bertepatan pada tanggal 4 November 2000 M, KH. Ahmad Faqih kembali ke pangkuan illahi, wafat dengan husnul khotimah, diiringi tangis prihatin dari keluarga besar Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-musri’. Bahkan tidak hanya dari pihak keluarga besar yang sangat kehilangan tapi siapapun yang mengenal beliau siapapun yang dalam tubuh nya mengalir darah perjuangan dan solidaritas islam pastilah ikut merasa kehilangan. Bagaimana tidak, beliau merupakan seorang bapak, orang tua, guru dan panutan bagi keluarga, murid-murid dan siapa saja yang dekat serta mengenal beliau. Yang patah akan tumbuh, yang hilang akan berganti, akan tetapi sosok beliau KH. Ahmad Faqih tidak akan tergantikan.

Langit yang mendung sejak ashar diiringi guyuran hujan seakan ikut menjadi pertanda berlalunya seseorang yang sholeh, alunan ayat-ayat suci al-Qur’an tersendat-sendat dengan nada haru dan penuh harap terdengar dari para santri yang dengan khusu’ membacakannya di mesjid Ponpes Miftahulhuda Al-musri, sementara itu di belakang mesjid tepatnya di kediaman Mama KH. Ahmad Faqih, beliau di kelilingi putra putri tercinta, terbaring dalam saat-saat terakhir memenuhi panggilan illahi. Dan tatkala tersiar berita bahwa saat-saat itu semakin dekat, ayat-ayat suci al-Qur’an pun semakin menggema di seputaran mesjid dan irama duka cita, tersayat-sayatlah tiap hati diliputi suasana cemas dan kesedihan. Masing-masing kami berusaha menahan emosi, masing-masing berusaha menekan perasaan dengan ikhlas melepas kepergian beliau. Siap menerima musibah atau takdir dari Allah Subhanahu Wata’ala dengan penuh kesabaran dan ketawakalan.

Namun saat kami semua mengetahui bahwa setelah yang kami ciantai telah berpulang kepangkuan-Nya, tidak seorangpun dari kami yang sanggup menahan air mata yang kian menggenang yang akhirnya pecah berderai di pipi masing-masing orang saat itu.Sementara duka cita meliputi Ponpes Miftahulhuda Al-musri’ kabarpun tersiar cepat kemana-mana, tak berselang lama banjir manusia dimakam beliau untuk berta’ziah, walaupun hujan terus mengguyur bumi Al-musri’.

Ponpes Miftahulhuda Al-musri’ dimana rumah kediaman beliau terletak didalamnya, seketika itu hampir tidak bisa lagi menampung banjir manusia yang mengalir datang untuk berta’ziah, malam yang masih sedikit diguyur hujan tidak membuat surut langkah mereka untuk mencapai Al-musri’, dengan kendaraan apa saja yang bisa diperoleh disertai harapan bisa sampai saat pemakaman. Bisa dimengerti ketika setiap orang hendak mensholatkan jenazah, berebutan orang memasuki masjid Al-musri’ tatkala jenazah mulia itu di gotong dari tangan ketangan orang yang berseret dikediaman beliau sampai kedalam masjid. Tak kurang dari tujuh kali gelombang jama’ah berganti untuk mensholatkan jenazah dengan sikap duka yang mendalam diiringi dengan suara dzikir yang menyayat hati, bertindak sebagai imam pada gelombang pertama adalah putra tertua beliau yakni K. Zaenal Musthofa yang selanjutnya disusul oleh putra-putra beliau pada gelombang selanjut nya.

Jenazahpun segera di berangkatkan ke lokasi pemakaman, sekalipun   masing banyak yang hendak mensholatkan, lagi pula Mama sering  berpesan  apayang di sabdakan oleh Rosullah Sallallohu A’laihi Wasallam tentang keharusan  menyegerakan pemakaman terhadap orang yang meninggal, terlebih saat sakaratul   maut datang menjemputnya KH. Ahmad Faqih tampak senyum cerah nan ikhlas  seakan rindu ingin segera memenuhi panggilan sang kholiq.

Ketika aba-aba di umumkan bahwa jenazah akan segera di makamkan, sepanjang jarak kurang lebih 150 Meter dari mesjid ke makam, pemandanganpun  berubah menjadi gelombang tangan-tangan yang terulurkan, berebut hendak memeluk dan mengotong jenazah, 2 orang yang paling di cintai semasa beliau  masih hidup adalah KH. Romli (adik kandung beliau) dari Tasikmalaya dan KH. Izudin Tamlikho (Ketua Jam’iyatul Mukimin Miftahulhuda Al-musri’) dari Saguling Bandung Barat, dengan suara tersendat-sendat, terputus-putus seakan tak dapat menyelesaikan tugasnya membaca talkin dan do’a. Semua hati dipenuhi rasa iba,    haru nan syahdu. Kesyahduan itu ketika musibah yang besar harus dihadapi dengan kesabaran dan ketawakalan, bagaimanapun juga hati ini harus membisikan suara  ikhlas atas segala qodlo dan qodar yang dihendaki oleh Allah a’zza wajalla.

Perjalanan sejarah Al-musri’ masih sangatlah panjang dan perjuangan ini tak akan  ada hentinya. Kita masih amat memerlukan pimpinan dan asuhan KH. Ahmad Faqih. Kita masih mengharapkan beliau berusia lebih panjang lagi agar kita bisa memperoleh nasihat-nasihat serta bimbingan beliau. Tetapi Allah lah yang menetapkan segala sesuatu atas hendak-Nya. Semoga apa yang diperjuangkan  semasa hidup beliau tercatat amal sholeh, diampuni segala dosanya dan memperoleh husnul khotimah sehingga ditempatkan Allah Subhanahu Wata’ala di Surga Jannatun Na’im dan semoga yang ditinggalkan tetap tabah dalam sabar dan tawakal, Amin yaa robbal ‘alamin.

penulis : H. Agus

Editor : Dimas Pamungkas               

Biografi Mama Syaikhuna Kh. Ahmad Faqih

Kelahiran Mama KH.Ahmad Faqih berawal dari cerita yang sangat unik, dimana sewaktu ayah Beliau H. Kurdi bin H. Musa menuntut ilmu di Pesantren Gudang (salahsatu pesantren terbesar di daerah Tasikmalaya) sekitar tahun 1907 M. Tak berselang lama H. Kurdi mondok disana. Pada suatu hari H. Kurdi bin H. Musa dipanggil oleh gurunya ( KH Muhammad Soedja’i ), dan disuruh pulang, padahal pada masa itu Beliau belumbisa apa-apa.

Tak berselang lama ketika Beliau berada di kampungnya, Beliaupun menikah dengan salah seorang gadis pilihannya, dan dari pernikahan inilah Beliau dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Rukmini. Karena Beliau teringat perkataan gurunya, bahwasanya Beliau akan dikaruniai anak laki-laki yang sholeh, maka Beliaupun menceraikan istrinya. Dan H. Kurdi pun menikah lagi dengan seorang janda beranak dua yang bernama Hj. Halimah, anak dari Hj. Halimah yaitu Hj. Juariyah dan Bapak Enjum.

Setelah sekian lama H. Kurdi menanti disertai dengan do’a yang terus menerus, maka terkabullah permohonan Beliau dan Beliau dikarunia anak laki-laki yaitu Syaikhuna Almukarom Mama KH. Ahmad Faqih yang lahir pada bulan Januari 1914 M. / bulan Shafar 1332 H. di Kp. Cilenga Des. Leuwisari Kec. Leuwisari Kab. Tasikmalaya. Kemudian lahir pula dua anak laki-laki bernama Kyai Jamaludin dan Kyai Ahmad Romli, mereka bertiga beda selang usia satu tahun. Mama H. Kurdi wafat setelah Indonesia merdeka sekitar tahun 1949, makamnya berada di Kp. Kubangsari Des. Arjasari Kec. Leuwisari Kab. Tasikmalaya (2 km sebelum Cilenga dari arah singaparna).

Nama masa kecil Beliau adalah Ahidin. Beliau merupakan putra pertama dari tiga putra laki-laki H. Kurdi. Dari ketiga anaknya tersebut, Mama mendapat perlakuan istimewa dari sang Ayah dibanding dengan kedua adik-adiknya. Seperti halnya kalau kebetulan bepergian dengan membawa ketiga putranya tersebut, H. Kurdi selalu menggendong Mama (anak tertua), sedangkan kedua adiknya dibiarkan berjalan sendiri. Betul-betul suatu keanehan yang akan mengundang keheranan dan ocehan orang-orang. Tapi Beliau tidak memperdulikan pandangan orang-orang tersebut. Hal ini mungkin berdasarkan keyakinan beliau bahwa yang digendong ini seorang Ulama.

Mama sayikhuna KH. Ahmad Faqih bin H. Kurdi bin H. Musa pertama kali menuntut ilmu ditanah kelahirannya kepada KH. Moch. Syabani, Mama belajar mengaji pada KH. Syabani hanya mencapai ilmu shorof (itu juga belum tahqiq).

Kemudian setelah lulus SR ( Sekolah Rakyat ) sekitar usia 12 tahun Beliau berangkat menuntut ilmu ke Sukamanah Tasikmalaya kepada KH. Zaenal Mustofa ( Pahlawan Nasional dan salahsatu alumni Pesantren KH. MOch. Syabani ). Beliau menuntut ilmu di Sukamanah kurang lebih sekitar 12 tahun dari tahun 1925 – 1937 M. dan Adapun guru-guru shorogan Mama pada waktu di Sukamanah diantaranya : KH. Rukhyat Cipasung, KH. Faqih Damini al-Mubarok , Cibalanarik. Dan beliaupun mempunyai kakak kelas sekaligus teman seperjuangan ( yang diketahui narasumber ) yaitu KH. Mahmud Zuhdi Sumedang.

Setelah menuntut ilmu di Sukamanah tahun1937 M. Beliaupun memperdalam ilmu falak kepada KH. Fakhrurrozi selama kurang lebih satu bulan pada saat bulan Ramadhan di daerah Sukalaya, Gunung Sabelah TasikMalaya. Setelah itu beliau tidak pernah bermukim dimana-mana lagi, beliau langsung mukim di Kp. Kebon kalapa Des. Sumelap Kec. Cibereum Kab. Tasikmalaya.

Mama KH. Ahmad Faqih bin H. Kurdi bin H. Musa adalah Angkatan ketiga lulusan pesantren Sukamanah, Adapun urutan Angkatan pesantren Sukamanah diantaranya :

a.    Angkatan pertama satu orang yaitu Ajeungan Hambali ( bermuqim di Ciamis )

b.    Angkatan kedua yaitu : Ajeungan A. Shobir, KH. Mahmud zuhdi dan Ajeungan Syamsudin ( Parakanlisung )

c.    Angkatan ketiga yaitu : Mama KH. Ahmad Faqih, Ajeungan Burhan ( Sukahurip ), Ajeungan Ma’rif dan Ajeungan Emor ( Rancapaku ).

Mengenai Ua KH. Khoer Afandi ( Pendiri Ponpes Miftahulhuda Manonjaya Tasikmalaya ), ketika Beliau menuntut ilmu di Pesantren Legokringgit ( di Pesantren alumni Sukamanah ). Beliau selalu mengikuti tarkiban (study banding) ke Pesantren Sukamanah babadan (Angkatan) ke-5.

 

Penulis: Yasin Alawy

Editor: Dimas Pamungkas

Sejarah Singkat Berdirinya Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’

KH. Ahmad Faqih (pendiri pertama) adalah seorang alumnus pondok pesantren Sukamanan Tasik Malaya, yang pada waktu itu dipimpin langsung oleh KH. Zaenal mustafa yang di kenal sebagai pahlawan nasional, dalam beberapa tahun beliau mempelajari ilmu agama di pesantren tersebut, setelah beliau cukup untuk bermukim dan mengembangkan ilmu yang diperolehnya, beliau diberi tugas membuka pondok pesantren di kampung halamannya yang tepatnya di Kebon Kalapa, Tasik Malaya, peristiwa ini terjadi pada tahun 1936 M.

Amanat Guru beliau yaitu harus tetap didalam jalur Ahli Sunnah Waljama’ah dan harus ada dalam naungan organisasi NU (Nahdlatul Ulama) dikerjakan dengan sangat tekun dan istiqomah, sehingga para santri berdatangan dari daerah Cibeureum dan sekitarnya, dan pada awal tahun 1946 M santrinya berjumlah 200 orang.

Kemudian beliau pindah ke Cianjur terdorong oleh situasi negara Republik Indonesia diawal-awal tahun kemerdekaannya yang belum sepenuhnya aman, tepatnya ke desa Gunung Halu (kini dimekarkan menjadi empat desa, yaitu : Desa Sindangsari, Desa Sindangjaya, Desa Kertajaya dan Desa Gunung Sari). Di Desa Kertajayalah dirintis kembali Pondok Pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ yang mana lokasi Pondok Pesantren tersebut berdekatan dengan basis Kristenisasi di Jawa Barat. Adapun Pondok Pesantren yang dahulu didirikan di Tasikmalaya sekarang diteruskan oleh keluarga beliau yang menetap di sana.

Tantangan dan hambatan ini lebih berat dirasakan karena kesadaran Umat Islam relatif rendah dan bersifat apatis, ditambah lagi adanya tantangan dari Umat Kristen dari kampung sekitar, bahkan sampai saat ini sembilan Gereja lebih telah mereka miliki dan Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’lah satu-satunya benteng pertahanan agar upaya kristenisasi dapat ditahan.

Disamping sembilan Gereja yang semakin bertambah, mereka juga memiliki fasilitas pendidikan seperti : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dua Gedung Aula dan Koperasi. Walaupun tantangan dan hambatan yang dihadapi cukup berat, tetapi berkat ketabahan dan kesabaran serta bertawakal kepada Alloh SWT sedikit demi sedikit masyarakat yang berada disekitar Pondok Pesantren mengerti akan kifrah Pesantren sebagai Lembaga Akhlaq.