Ijtima Wadzifah & Haelah Thariqah Tijaniyah Se-Jawa Barat akan Digelar di Cianjur

Cianjur – Tanah Dzikir, Di tengah hembusan angin lembut tanah Sunda, di jantung kota yang dikenal religius dan bersahaja, sejarah pun digores; untuk pertama kalinya, Ribuan pengamal Thariqah Tijaniyah dari berbagai wilayah di Jawa Barat berkumpul dalam satu harmoni, dalam satu niat, dalam satu semangat; Ijtima Wadzifah dan Haelalah Thariqah Tijaniyah Cianjur se-Jawa Barat dengan tema “Bersatu dalam Dzikir, Bergerak dalam Iman – Wujudkan Cianjur Jaya di Tanah Jawa Barat Istimewa.” yang akan dilaksanakan di 54JR+6FX, Jl. Suroso, Pamoyanan, Kec. Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat 43211 (Masjid Agung Cianjur), Hari Jum’at, Tanggal 27 Juni 2025, Pukul 13.00 WIB s/d Selesai.

Masjid Agung Cianjur akan menjadi saksi kebersamaan spiritual ribuan jamaah Thariqah Tijaniyah dalam acara Ijtima Wadzifah dan Haelah Thariqah Tijaniyah se-Jawa Barat.

Acara yang diselenggarakan pertama kali ini bertujuan untuk mempererat silaturahmi besar antar ikhwan Thariqah Tijaniyah (antar murid Thariqah dengan Mursyid, Muqoddam) dari berbagai daerah di Jawa Barat, dengan tujuan utama memperkuat ukhuwah, memperdalam spiritualitas, serta menjaga kelestarian amalan Thariqah sesuai tuntunan para masyayikh.

Rangkaian Agenda Penuh Hikmah

Kegiatan akan diisi dengan beberapa agenda utama, di antaranya:

NOWAKTUACARAPENGISIKET
1.13.00-13.30
(30 Menit)
Pembacaan Al-Barzanji/Dibai & SholawatGrup Hadroh Al-Musri’ 
 13.30-13.40
(10 Menit)
PembukaanUst. Dodi Sopyadi / Ust. Mukhsin 
  2.13.40-13.50
(10 Menit )
Pembacaan Ayat Suci Al- Qur’anUst. Yusril Jamil  
3.13.50-14.00
(10 Menit)
Laporan Ketua PanitiaP. Akang KH. Burhan Rosyidi, S.E. 
  4.14.00-15.00
(1 Jam)
Sambutan Shohibul BaitPengurus DKM Kaum Cianjur 
  5.Sambutan Sesepuh Thoriqoh At-TijaniHabib Umar Toyyib 
  6.Sambutan Gubernur Jawa Barat/Bupati CianjurSlamet Riyadi,S, STP,M, AP 
  7.15.00-16.00
(1 Jam)
Berjama’ah Sholat Ashar & IstirahatBersama 
  8.16.00-18.00
(2 Jam)
Tausyiah TijaniyahSyekh Ikhyan (Zawih Samarang) 
9.WadzifahSyekh Abuy Samarang (Garut) 
 HaelalahK.H. Maman Abdurrahman (Padalarang KBB) 
10.18.00 s/d SelesaiPenutupMc 

Rangkaian ini diharapkan menjadi media penyegaran ruhani serta penguat kecintaan kepada Rasulullah SAW melalui wasilah para mursyid dan muqoddam yang bersanad.

Dan acara ini akan dihadiri oleh sejumlah tokoh penting dalam jaringan Thariqah Tijaniyah, baik dari Jawa Barat maupun luar daerah, seperti para Muqoddam (Wakil Talqin), dan para Mursyid (guru yang membingbing murid-muridnya dalam jalan spiritual, khususnya dalam tarekat)

Sebagaian Panitia dari Santri Al-Musri’ Pusat: Semangat Khidmah untuk Jamaah

Menariknya, pelaksanaan acara ini turut melibatkan 200 santri dari Pesantren Al-Musri’ Pusat sebagai panitia utama. Selain itu, sebagian santri dari pesantren cabang Al-Musri’ juga ditugaskan untuk membantu menyukseskan kegiatan besar ini.

Para santri yang tergabung dalam panitia menjalankan berbagai peran, mulai dari pengamanan, konsumsi, penyambutan tamu, hingga dokumentasi. Semangat khidmah dan keikhlasan menjadi nilai utama yang ditanamkan dalam keterlibatan mereka.

“Ini adalah ladang amal dan pembelajaran langsung bagi para santri tentang pelayanan umat dan pengabdian dalam Thariqah,” ujar [Pangersa Eteh Hj. Siti Maryam selaku Wakil Pimpinan Ponpes Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat].

Panitia Besar: 1000 Personil Siap Khidmah

Sebagai bentuk kesiapan luar biasa, sebanyak 1000 personil panitia telah dipersiapkan. Mereka bergerak dengan struktur yang tertib, profesional, dan penuh semangat khidmah.

Bidang TugasJumlah Personil
Penerima Tamu100 orang
Keamanan110 orang
Kebersihan170 orang
Logistik & Akomodasi25 orang
Transportasi9 orang
Kesehatan15 orang
Acara5 orang
Tim Gelar Sorban40 orang
Publikasi & Dokumentasi15 orang
Konsumsi100 orang
Humas5 orang
Total1000 personil

Ditambah lagi dengan dukungan dari instansi terkait, seperti:

  1. Polres Cianjur
  2. Dinas Perhubungan (Dishub)
  3. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Makna dan Tujuan Utama

Menurut panitia pelaksana, kegiatan ini bukan hanya sekadar berkumpul, tetapi merupakan media untuk memperkuat sanad keilmuan, menjaga kesucian amalan thariqah, serta sebagai bentuk ketaatan kepada para mursyid.

“Ijtima ini adalah momentum penting untuk menyegarkan ruhaniyah, memperdalam rasa cinta kepada Rasulullah SAW melalui amalan-amalan yang telah diwariskan oleh para guru Thariqah. Di tengah kehidupan modern, kita membutuhkan oase ruhani seperti ini,” ujar [K. Aceng Syarif (Pimpinan Ponpes Asy-Syihabudiniah Al-Musri’ 1].

Dengan digelarnya acara ini di jantung kota Cianjur, yakni Alun-Alun Cianjur tepatnya Masjid Agung Cianjur, diharapkan gema dzikir dan syiar Islam dapat menjangkau masyarakat lebih luas. Selain sebagai ajang silaturahmi ruhani, kegiatan ini juga menjadi bentuk nyata dakwah yang lembut dan menyejukkan hati.

Panitia juga menghimbau seluruh jamaah untuk menjaga ketertiban, adab, dan kebersihan selama acara berlangsung, serta membawa perlengkapan pribadi seperti sajadah, kitab wadzifah, dan perlengkapan ibadah.


📍 Lokasi: Masjid Agung Cianjur
📅 Tanggal: 27 Juni 2025 M | 01 Muharram 1447 H
⏰ Waktu: 13.00 s/d Selesai
📞 Kontak Informasi: +62 838-1134-3000


Liputan Khusus oleh Tim Media Al-Musri’

Tim media Pesantren Al-Musri’ akan menghadirkan dokumentasi lengkap dalam bentuk foto, video, dan laporan live dari lokasi. Pantau terus informasi dan update melalui website ini serta akun resmi media sosial Al-Musri’.


Semoga kegiatan ini menjadi momen penyatuan hati, penguatan sanad ruhani, dan peneguhan langkah dalam perjalanan Thariqah Tijaniyah menuju ridha Allah SWT. Aamiin.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Paradigma Humanisme Islam

AlMusriPusat.ID –  Antara humanisme, dan inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana berketuhanan yang benar dan selanjutnya menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan yang benar.

Pendidikan di pesantren sangat memperhatikan aspek potensial manusia sebagai makhluk religius, dimana individu-individu mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Di dalam pesantren ini proses pembelajaran antara guru dan santri terjadi dengan pola interaksi yang intens yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan agama, sehingga Pendidikan di Pondok Pesantren dapat dikatakan sebagai pendidikan yang humanis dan religius. Hal ini bisa dilihat pada nilai-nilai kemanusiaan yang terbangun dengan baik. Saling menghormati, kesabaran, ketekunan, disiplin dan nilai-nilai toleransi yang dikembangkan menjadi indikator utama adanya pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai humanisme religius.

Hal yang perlu diperhatikan masyarakat adalah cara pengajaran berkaitan dengan Ubudiyah atau syariat, akidah atau tauhid dalam pengenalan yang disembah sampai membuat santri masuk kepada ihsan dalam mencitrakan sisi kemanusiaan.

Nurcholis Majid dalam bukunya “Islam Agama Kemanusiaan” menyatakan Ihsan merupakan tingkat tertinggi yang meliputi Iman (Tauhid) dan Islam (Syariat). Manusia tidak dapat mencapai konsep Ihsan apabila tidak melalui konsep Iman dan Islam. Alangkah elok dan sepantasnya seseorang melalui hal ini secara bertahap. 

Sebuah jurnal menyatakan bahwa dalam Ihsan terdapat unsur yang disebut dengan humanisme. Seseorang manusia akan menemukan kecintaan dan kebaikan kepada sesama manusia apabila berada pada maqom Ihsan. 

Istilah humanisme di atas bukan merujuk kepada humanisme modern yang mempunyai result kejatuhan agama. 

Humanisme yang dimaksud pada tulisan ini ialah perspektif seorang Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Konsep ini lahir dari prinsip ketuhanan atas kemanusiaan. Karena pandangan humanisme Gus Dur, kita menikmati terma-terma keadilan, kesejahteraan rakyat, demokrasi hingga toleransi beragama. 

Nilai humanisme Gus Dur dituangkan dalam konsep memanusiakan manusia. Dewasa ini ada sekelompok manusia memandang rendah hingga masuk pengertian kafir kepada manusia lain yang berbeda agama, pilihan politik atau amaliyah peribadatan dengan kelompoknya. 

Kita sebagai manusia tidak sepantasnya memandang manusia hanya kepada perbedaan di atas. Dan tidak sepantasnya manusia dibedakan oleh manusia lainnya. Seharusnya bukan perbedaan yang dicari melainkan kesamaan satu substansi dengan sebutan manusia.

Pesantren mempunyai tugas dalam membangun akhlak santri agar dapat memanusiakan manusia. Berkumpulnya para santri yang mempunyai latar belakang berbeda diiringi pendidikan moderat akan membuat santri dapat memahami kemajemukan setidaknya dalam hal yang berkenaan perbedaan suku atau daerah. Kalimat magis Gus Dur adalah Aku, Kamu, Kita adalah manusia bukan hal berbeda. 

Perlunya Pemahaman Islam Humanis
Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah SWT. Di hadapan Allah, yang membedakan di antara manusia hanyalah prestasi dan kualitas takwanya, dan bicara soal takwa, hanya Allah yang semata memiliki hak
prerogatif untuk melakukan penilaian, bukan manusia.

Islam juga memandang manusia secara optimis dan positif, yakni sebagai makhluk paling mulia dan bermartabat (Q.S, al-Baqarah, 2:30 dan al-Isra, 17:70). Konsep ini sangat penting, terutama dalam kaitan dengan pemahaman terhadap teksteks suci keagamaan. Bahwa manusia dengan seluruh pengalamannya merupakan dasar yang amat penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Bahwa kemaslahatan dan kebahagiaan manusia harus menjadi pertimbangan utama dalam menafsirkan teks-teks suci tersebut.

Selain itu, Islam diyakini pemeluknya sebagai agama yang menjanjikan harapan hidup yang lebih baik: menjanjikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Karena itu, manusia memiliki tempat yang sangat sentral dalam ajaran Islam, sebagai khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30). Sebagai khalifah tugas manusia: perempuan dan laki-laki adalah sama, yakni menjadi agen moral untuk melakukan upaya-upaya transformasi, baik untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat luas sehingga terwujud kondisi masyarakat ideal yang diistilahkan dalam Qur’an dengan baldatun thayyibah wa rabbun ghafur (masyarakat yang damai dan bahagia, penuh dilimpahi rahmat Tuhan).

Jadi, berbeda dengan makhluk lainnya, manusia memiliki posisi yang sangat spesifik, yaitu menjadi khalifah Tuhan yang tugas utamanya adalah melakukan perbaikan moral. Tugas manusia adalah menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta. Karena itu, keunikan manusia adalah bahwa ia mewakili Tuhan di atas bumi ini. Suatu posisi yang teramat tinggi, bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya, termasuk malaikat sekali pun. Pertanyaannya, mengapa harus manusia? Di mana letak keunggulannya?

Ali Syariati dalam bukunya, Islam dan Manusia, menjelaskan keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarkan padanya tentang nama-nama yang faktanya mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian yang dianggap sebagai prototype dari ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan kepada para malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Dari sini kemudian Ali Syariati menyimpulkan bahwa kemuliaan seorang manusia bukan terletak pada superioritas rasialnya, melainkan pada pengetahuan dan kecerdasannya, dan itulah yang mengantarkan manusia mampu berijtihad.

Umat Islam hampir sepakat mengenai pentingnya ijtihad, yaitu penggunaan akal pikiran secara optimal dalam memahami hukum-hukum Allah. Ijtihad merupakan suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika beliau masih hidup. Sebab, menurut Wahhab Khallaf, pakar hukum Islam ternama, meskipun AlQur’an mengandung ketentuan hukum yang cukup rinci, namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum.

Keterbatasan hukum yang dikandung Al-Quran dan Sunnah dinyatakan secara jelas dalam hadis Rasul yang ditujukan kepada Muaz ibn Jabal: “…jika di suatu tempat Anda menemukan persoalan maka selesaikanlah dengan merujuk kepada AlQur`an dan Sunnah, namun jika tidak ditemukan petunjuk dalam keduanya maka gunakanlah nalarmu.” Hadis ini mengindikasikan kebutuhan ijtihad dengan sangat jelas. Hadis lain yang sering dijadikan acuan mengenai pentingnya ijtihad adalah hadis tentang perlunya upaya pembaruan dalam kehidupan masyarakat. Hadis dimaksud adalah: “innallaha yabatsu ala kulli ratsi miati tsanah man yujaddidu laha dinaha” (Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap seratus tahun seorang pembaru yang akan memperbarui agamanya). Pembaruan dalam ajaran Islam tersebut diperlukan untuk merespon berbagai persoalan sosial kontemporer yang muncul, yang belum ditemukan aturan hukumnya secara jelas dan rinci dalam AlQur`an dan Sunnah, misalnya soal kloning, trafficking, bayi tabung, salat dua bahasa dan sebagainya.

Akan tetapi, masalah paling mendasar dalam pemahaman keagamaan mayoritas umat Islam adalah mereka terlanjur meyakini suatu interpretasi sebagai hal yang mutlak dan abadi, sehingga mengabaikan kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkret. Mereka terpaku pada makna-makna teks secara literalis tanpa menghiraukan konteks ajaran dan bahkan mengabaikan tujuan dasar dari ajaran Islam itu sendiri, yakni kemaslahatan umat manusia.


Mayoritas umat Islam meyakini bahwa semakin ketat memegangi makna literalis teks dipandang sebagai semakin dekat dengan Islam, sebaliknya semakin jauh seseorang meninggalkan makna tekstual tersebut dipandang semakin jauh dari Islam. Dengan demikian, kata Abu Zaid, peradaban Islam yang terbangun kini tidak lain adalah peradaban teks.

Padahal, agama diturunkan untuk memenuhi kebutuhan hakiki manusia berupa kebahagiaan dan ketenteraman. Agama Islam diturunkan bukan untuk kepentingan Tuhan sebab Dia Maha Kuasa tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, agama ini lebih banyak diamalkan untuk “menyenangkan Tuhan” sehingga hampir-hampir tidak menyisakan manfaat bagi kemanusiaan. Karena itu diperlukan ijtihad yang menggunakan analisis sosial untuk merekonstruksi ajaran Islam sehingga betul-betul kompatible (sesuai) dengan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.

Tujuan hakiki syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia melalui perlindungan terhadap lima hak dasar manusia (al-kulliyat alkhamsah): hak hidup (hifz al-nafs), hak kebebasan beragama (hifz al-din), hak beropini dan berekspresi (hifz al-aql), hak kesehatan reproduksi (hifz al-nasl), dan hak properti (hifz al-mal). Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam.

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum.

Kesimpulan
Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya’. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karena memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri.

Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pesantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil).

Pesantren Sekarang ini, semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa ekslusifisme komunal dan mengembangkan nilai-nilai humanism dalam pendidikan. Nilai-nilai kemanusiaan (humanism) yang terdapat dalam pendidikan di pondok pesantren, diantaranya; Penghormatan Kepada Ilmu; Penghormatan Terhadap Kyai; Cinta Terhadap sesama (Santri); Sikap kekeluargaan dan kebersamaan, Cinta Terhadap Lingkungan; Pola Pendidikan yang Integratif dan Pendidikan holistik.

Referensi: Islam dan Manusia; penulis Ali Syariati, Humanisme dalam Islam; penulis Prof. Dr. Marcel A. Beisard, Islam Agama Kemanusiaan; penulis Nurcholis Majid.

Pewarta: Raisya Audyra

Simfoni Kebersamaan Santri Miftahulhuda Al-Musri di Kala Sore Hari

Jum’at, 6 Juni 2025 | 10 Dzulhijjah 1446 H, Senja Idul Adha di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ adalah kanvas yang dilukis dengan aroma haru dan tawa yang memecah kesunyian. Udara dipenuhi bisikan wangi sate dan gulai kambing, sebuah melodi purba yang mengundang rindu, berpadu dengan riuh rendah gelak tawa para santri yang bergegas menuju depan asrama pusaka utama. Ini bukan sekadar petang biasa; ini adalah (Yaumul Faroh) Pesta Rasa Kebahagiaan Santri, sebuah riwayat yang selalu dinanti, terukir abadi usai gema takbir salat Idul Adha dan tetes darah kurban yang tulus.

Setelah seharian berpeluh, merajut asa dalam tiap helaan napas penyembelihan dan persiapan hidangan, wajah-wajah letih itu bak lentera yang kembali menyala. Mereka menghamparkan daun kelapa dan duduk bersila , seolah daun kelapa yang siap menyerap kebahagiaan. Tanpa perlu aba-aba, jemari-jemari lincah itu menari, membagi piring-piring, menyambut sendok-sendok, membantu para ustadz dan ustadzah menyajikan hidangan yang mengepulkan asap, membawa serta aroma surga.

Hidangan petang ini adalah sebentuk kesederhanaan yang sarat makna: nasi putih yang hangat, sate kambing juga sate sapi berlumur bumbu kacang yang memanjakan lidah, gulai kambing yang kaya rempah, dan renyahnya kerupuk sebagai penambah cita. Namun, sejatinya, kebersamaanlah yang menjadi rempah paling utama, menjadikan santapan sore ini terasa lebih agung dari jamuan paling megah sekalipun.

Di antara mereka, santri belia dari Kelas Tsanawiyah, melahap sate pertamanya dengan mata berbinar, pipinya belepotan bumbu, namun pancaran kebahagiaan murni terpahat jelas. Disisi lain ada sang santriwati dengan perangai selembut sutra, sesekali tersenyum geli melihat polah teman-temannya. Tawa pecah, renyah bagai kerupuk yang pecah di mulut, kala Hasan, sang jagoan usil, mencoba mencuri sepotong sate, memantik kejar-kejaran singkat yang mengundang gelak tawa, bak simfoni riang di bawah langit senja.

Makan bersama ini bukan sekadar pengisi perut yang lapar, melainkan sebuah jembatan yang kokoh, merajut kembali benang-benang persaudaraan yang kian erat. Di antara suapan demi suapan, mereka berbagi kisah, melontarkan gurauan, dan sesekali bersenandung, mengalunkan kidung-kidung Islami yang menenteramkan jiwa. Para ustadz dan ustadzah pun turut berbaur, melebur dalam suasana kekeluargaan yang menghangatkan, bagai mentari yang memeluk bumi di penghujung hari.

Suasana penuh canda dan tawa mengisi udara sore. Angin bertiup pelan, membawa aroma sambal dan semur daging juga sate kambing. Para santri saling menyuapi, berbagi sambal, dan menikmati setiap suapan seolah itu adalah sajian istimewa dari surga. Kebersamaan terasa begitu hangat — seolah tiada jarak antara senior dan junior, antara teman sekelas atau beda angkatan.

Tak ada gengsi. Tak ada gawai. Hanya tangan yang menyatu dengan makanan, dan hati yang menyatu dengan sesama.

Setelah perut kenyang dan hati senang, semua kembali bergotong royong membersihkan tempat makan, melipat daun kelapa, dan membuang sisa makanan ke tempat kompos. Bahkan dalam membersihkan, canda tak berhenti mengalir.

Agenda ini adalah pelajaran berharga: tentang arti sebuah kebersamaan, syukur yang tiada tara atas nikmat karunia Ilahi, dan pentingnya saling berbagi dalam harmoni. Daging kurban yang mereka santap bukan hanya sekadar santapan, melainkan simbol pengorbanan dan keikhlasan, yang kemudian dinikmati bersama sebagai manifestasi persatuan, mengukir janji suci di hati mereka.

Ketika senja benar-benar pamit, menyisakan kerlip bintang yang satu per satu muncul, lapangan pondok yang tadinya riuh perlahan mereda. Namun, jejak-jejak kebahagiaan dan kehangatan masih mengawang, menari-nari di udara. Pesta Rasa Kebahagiaan (Yaumul Faroh) Santri di sore Idul Adha ini akan menjadi setangkai kenangan manis yang tak lekang dimakan waktu, pengingat abadi bahwa kebahagiaan sejati kerap kali ditemukan dalam kesederhanaan, dalam dekapan kebersamaan, dan dalam setiap helaan napas syukur.

“Kami haturkan jazakumullahu khairan katsîran kepada seluruh orang tua/wali santri serta para donatur hewan qurban.
Berkat kebaikan dan keikhlasan Bapak/Ibu semua, kami para santri bisa merasakan nikmatnya kebersamaan dan kelezatan daging qurban—nyate bareng, penuh suka cita dan syukur.

Semoga setiap tetes keringat dan rupiah yang dikorbankan menjadi amal jariyah yang terus mengalir, dan semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.” – P. Eteh Hj. Siti Maryam (Wakil Ketua YPP. Miftahulhuda Al-Musri’)
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Akhirul kalam, Wassalam

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Takbir di Pagi Hari, Qurban di Siang Hari: Sehari Penuh Berkah di Pesantren

📍 Yayasan Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat, 🗓️ 6 Juni 2025, 10 Dzulhijjah 1446 H Idul Adha, Hari ini, mentari pagi menyapu halaman pesantren dengan cahaya hangat. Suara takbir menggema dari mushala, menyatu dengan langkah-langkah kecil para santri yang bersiap menyambut hari istimewa: Yaitu Hari Raya Idul Adha. Di sudut halaman, seekor sapi qurban berdiri tenang, dan juga kambing yang tak melawan, tak gelisah, seakan tahu bahwa kehadirannya bukan sekadar simbol, tetapi bagian dari ibadah yang penuh cinta dan pengorbanan.

Hari Raya Idul Adha adalah salah satu momen paling sakral dalam kalender Islam. Ia bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan perwujudan ketaatan, keikhlasan, dan kepedulian sosial. Di pesantren, pelaksanaan Sholat Idul Adha menjadi momentum pendidikan spiritual yang nyata. Santri tidak hanya diajak untuk memahami makna ibadah secara teoritis, tetapi juga untuk merasakannya secara langsung dalam suasana yang khusyuk dan penuh keberkahan.

Kegiatan Sholat Idul Adha di Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat menjadi bagian penting dari pembentukan karakter santri. Sholat dilaksanakan secara berjamaah dengan bimbingan para asatidz, diikuti dengan khutbah yang menggugah hati dan memperdalam pemahaman makna pengorbanan.

Pelaksanaan Sholat Idul adha di Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ bukan hanya menjadi kewajiban ibadah, tetapi juga bagian dari proses pendidikan yang bermakna. Melalui sholat berjamaah dan refleksi spiritual, santri diajak memahami bahwa hidup bukan sekadar tentang diri sendiri, tetapi juga tentang memberi, berkorban, dan patuh kepada perintah Allah SWT. Semoga kegiatan ini menjadi amal jariyah dan inspirasi bagi pelaksanaan ibadah di tahun-tahun berikutnya.

Intisari Hari Raya Idul Adha bukan sekadar perayaan, ia adalah panggilan untuk meneladani kesabaran Nabi Ibrahim dan ketaatan Nabi Ismail. Dan di pelataran pesantren, gema kisah agung itu kembali hidup, bukan hanya dalam ceramah, tapi dalam tindakan nyata.

Di pesantren, qurban menjadi ladang amal sekaligus ladang ilmu. Di sinilah para santri belajar bukan hanya tentang fiqih penyembelihan, tapi juga tentang manajemen kepercayaan, pengabdian kepada umat, dan kepedulian sosial. Setiap hewan yang dikurbankan bukan hanya menyisakan daging, tetapi meninggalkan pelajaran tentang ketulusan dan kebersamaan.

Jurnal ini merupakan saksi atas proses itu. Ia bukan hanya laporan kegiatan, melainkan kisah kolektif tentang bagaimana pesantren menjadikan qurban sebagai media pendidikan spiritual, sosial, dan organisatoris. Karena bagi kami, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi menyuburkan jiwa.

Laporan ini hadir untuk merekam jejak kebaikan itu. Sebuah catatan sederhana tentang bagaimana qurban menjadi bagian dari kehidupan pesantren yang penuh makna—bukan hanya untuk mereka yang menerima, tetapi juga bagi mereka yang belajar memberi.

Idul Adha adalah momentum penting dalam Islam yang mengajarkan nilai keikhlasan, kepedulian sosial, dan semangat berkorban. Sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah serta pembelajaran keagamaan, Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ secara rutin melaksanakan kegiatan penyembelihan hewan qurban setiap tahunnya.

Tahun ini, kegiatan qurban dilaksanakan dengan semangat kolaborasi antara Dewan Sepuh, Dewan Ampuh, Masyarakat Santri, Pengurus.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan, Sesudah Sholat Idul Adha, Halaman pinggir Masjid Al-Jamal, Komplek Pesantren. Adapun jenis dan jumlah hewan qurban akan disebutkan di bawah ini:

  1. Sapi: 7 Ekor | Kambing: 5 Ekor | Para Masyaikh Sepuh Wa Ampuh & Donatur Muhibbin Pesantren & Wali santri

Total hewan qurban keseluruhan mencapai: 12 Ekor

Data Donatur Hewan Qurban di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat 1446 H

  1. H Abdul Halim Rohmatulloh Bin Abah H. Ma’mun Watma
  2. Siti Quraesin Binti H. Abdul Halim Rohmatulloh
  3. Akang Haji Acep sanusi Bin K.H. Tajudin
  4. Elsa Derita Wati Bin H. Jenal
  5. Hafidz Abdul Mujib Bin Dian Heri Permana
  6. Hanif Abdul Muhyi Bin Dian Heri Permana
  7. Hilya Raudhatul Hailalah Binti Dian Heri Permana
  8. Afika Najla Safana Binti Pepen
  9. Salwa Binti H. Asep Hilman
  10. ⁠Alparel Addikro Silitonga Bin Rahmat Hidayat Silitonga
  11. ⁠Ade Raina Aulia Binti H. Asep Saepulloh
  12. ⁠Ibu Karmilah Binti Bapak Kamad
  13. Rina Anggraeni Binti Wasep

Dan untuk penyembelihan dilakukan dengan melibatkan Dewan sepuh juga Dewan ampuh, dan untuk pengemasan dan pemotongan dilakukan oleh santri bagian panitia qurban, pendistribusian daging dibagikan kepada santri, warga sekitar pesantren, dan mustahik yang sudah terdata.

Sekapur sirih, kami segenap keluarga besar Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat mengucapkan Jazakumullahu Khairan Katsiran kepada seluruh donatur yang telah dengan ikhlas menyalurkan hewan qurban melalui lembaga kami.

Semoga amal qurban yang Bapak/Ibu/Saudara sekalian tunaikan diterima oleh Allah ﷻ sebagai bentuk ketakwaan dan keikhlasan, serta menjadi wasilah turunnya keberkahan, rezeki yang melimpah, dan keselamatan dunia akhirat.

Doa kami, semoga Allah ﷻ membalas kebaikan para donatur dengan balasan terbaik, menjadikan setiap tetesan darah qurban sebagai penghapus dosa dan penyelamat di hari hisab kelak.

Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Tanggapan dan Harapan

”Qurban untuk Umat, dari Pesantren yang Bermartabat, ini bukan sekadar seremonial, tapi juga pelajaran hidup bagi santri. Kami harap semangat ini terus tumbuh setiap tahun.”

Penutup

Kegiatan qurban tahun ini di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat berjalan dengan lancar dan penuh khidmat. Semoga Allah SWT menerima ibadah qurban seluruh pihak yang berkontribusi dan menjadikannya amal jariyah. Terima kasih kepada para donatur, panitia, dan seluruh elemen yang terlibat.

Wallahu Muwafiq Ilaa Aqwamitthoriq

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pewarta: M Wildan Musyaffa

Di Balik Tuduhan Feodalisme dalam Tubuh Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisonalis dengan sederet prestasinya telah berperan dalam harmoni kehidupan umat, pesantren dengan jebolannya telah banyak meraih prestasi dalam kehidupan sosial, keagamaan, dan juga politik. Sebut saja presiden keempat Republik Indonesia, yakni KH Abdurrahman Wahid adalah sosok jebolan pesantren yang meraih ketiga prestasi di atas sekaligus.

Namun akhir-akhir ini pesantren mendapatkan klaim yang dapat menyinggung sekelompok kaum sarungan, lontaran kata ‘feodalisme’ dari beberapa pihak yang disandarkan terhadap kehidupan pesantren nampaknya telah memberikan konotasi buruk kepada figur pesantren yang meliputi kiai dan santri. Klaim demikian sangatlah memberikan kesan terhadap khalayak banyak, bahwa sistem pesantren sama halnya dengan sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan atas prestasi kerja.

Seklumit Tentang Feodalisme

Terminologi feodalisme berasal dari era Romawi. Yang Menurut Dictionary, istilah feodalisme menyebar di Eropa pada abad ke delapan, yang mana bawahan dilindungi oleh para tuan yang harus mereka layani dalam perang (Alexanderandi, dan Alifian, 2024).

Pada hari ini feodalisme dihubungkan dengan maknanya yang berkaitan dengan apa pun yang memiliki hubungan vertikal, yang mana bawahan diharamkan diberikan hak memimpin bukan berdasarkan kelemahan prestasi atau etos kerja yang ia miliki, akan tetapi hak kepemimpinan hanya diberikan kepada seseorang atas dasar kekayaan, senioritas dan sebagainya (baca: meritrokasi).

Mirisnya, pesantren menjadi objek istilah ‘feodalisme’ oleh mereka, entah dengan tujuan apa yang diinginkannya. Dengan sosok kiai sebagai pimpinan mutlak pesasntren, mereka dengan entengnya menyematkan istilah feodalisme di dalam tubuh pesantren.

Tradisi Pesantren

Kiai dengan otoritas keagamaannya memiliki kedudukan besar yang telah melahirkan hierarki kekuasaan yang secara eksplisit diamini di dalam lingkungan pesantren. Tetapi, kekuasaan kiai berdiri di atas moralitas dan keunggulan pengetahuan ketuhanan (agama) serta kepribadiannya yang bersahaja dan terbuka. Karena umumnya praktik kehidupan kiai sangatlah sederhana, egaliter, dan mandiri (Muhammad, 2020).

Cita-cita pendidikan pesantren, umumnya adalah dapat berdiri sendiri dan tidak menggantungkan dirinya terhadap pihak lain kecuali kepada Allah. Para kyai selalu memberikan perhatian dan mengembangkan watak pendidikan individual kepada para santrinya, para santri diperhatikan tingkah laku moralnya secara teliti. Mereka diperlakukan secara hormat layaknya titipan Tuhan yang harus disanjung (Dhofier, 2011).

Pengagungan dan penghormatan terhadap kiai bukanlah hal yang tidak berdasar, melainkan dengan kharisma paripurna yang dimiliki kiai, sebagi figur pemimpin di pesantren dengan segala keilmuannya lah yang menjadi alasan dasar penghormatan tersebut. Santri melihat kiai sebagai sosok yang memahami kehendak Tuhan dengan pemahamannya yang luas atas teks-teks keagamaan, di sisi lain kiai memiliki hubungan dekat dengan Tuhan.

Dengan begitu, kepatuhan mutlak santri kepada kiai bukanlah sebagai manifestasi dari penyerahan total kepada kiai yang memiliki otoritas, tetapi karena keyakinan santri terhadap kiai sebagai penyalur kemurahan Tuhan kepada murid-muridnya. Oleh sebab itu peranan kiai sangatlah penting bagi kehidupan santri meliputi banyak aspek.

Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (2011), menyampaikan bahwa “kedudukan guru sangatlah penting dalam kehidupan muridnya, sehingga perlu adanya pertimbangan dalam memilih guru. Dalam Ta’lim Al-Muta’allim dijelaskan agar menimbang-nimbang guru yang akan dipilihnya, paling tidak dua bulan sehingga ia yakin bahwa gurunya adalah benar-benar orang yang ‘alim, arif, dan selalu menahan diri dari perbuatan yang dilarang, dimakruhkan, atau yang belum memiliki ketentuan dalam Agama (wira’i).”

Oleh karenanya, tidak semua perintah dan kata-katanya harus diindahkan tanpa adanya pertimbangan syar’i dan rasio. Sebagai contoh, Gus Baha’ (KH. Baha’uddin Nursalim) pernah menjelaskan bahwa “pertanyaan Nabi Musa terhadap gurunya, Nabiyullah Khidir ketika membunuh anak kecil yang tak berdosa, adalah sebagai peneguhan Nabi Musa terhadap syari’atnya”.

Di samping itu, perlunya menimbang guru yang hendak dipilih mengartikan tujuan kepatuhan murid terhadap gurunya agar tidak terjebak dalam lubang kesesatan dan kemaksiatan. Tentu saja dalam kemaksiatan atau dalam tingkah laku yang tidak selaras dengan ajaran Islam kepatuhan haruslah ditidak hadirkan.

Kiranya dapat dipahami bahwa, sistem hierarki di pesantren bukan semata-mata pengkultusan figur secara buta, melainkan menimbang dari etos kerja dan intelektualitas para kiai. Lebih lanjut Dhofier (2011) membeberkan sistem kompleks yang tercipta dalam lingkungan pesantren, dari kiai sebagai pemimpin pesantren, kiai muda, asatid, santri senior, dan santri junior, itu semua atas dasar kematangan pengetahuan dalam bidang Agama Islam.

Pesantren Menghalalkan Meritrokasi

Fakta lain bisa disaksikan dengan tradisi adu argumen dalam Bahstu Al-Masa’il di beberapa banyak pesantren, tidak sedikit santri yang membantah argumen kiai atau seniornya. Pasalnya santri tidak sepenuhnya menerima apa yang dikatakan kiai atau seniornya dengan kaku yang dapat menghambat kebebasan berpendapat dan inovasi. Karena ini adalah tradisi kritis keilmuan yang mesti dilestarikan untuk melatih berfikir kritis dalam memahami cita-cita teks keagamaan, sekaligus bukti bahwa tradisi intelektual pesantren tidak dimonopoli oleh para atasannya.

Tak hanya itu, tidak sedikit dari pesantren yang mengangkat santrinya untuk meneruskan hak kepemimpinannya. Biasanya santri yang berintelektual tinggi akan dijadikan menantu dari sang kiainya, ini menandakan bahwa sistem pesantren tidak mengharamkan meritrokasi yang dapat memberikan hak memimpin dengan alasan prestasi yang baik dan etos kerja yang mutu, yang bukan berdasar pada kekayaan, senioritas, atau warisan belaka.

Sebagai contoh adalah pondok pesantren Lirboyo yang terkenal dengan sosok tiga tokoh besarnya, yakni KH Abdul Karim sebagai pendirinya, KH Marzuqi Dahlan sebagai menantunya, dan KH Mahrus Ali juga sebagai menantunya.

Penutup

Istilah Feodalisme yang memiliki konotasinya yang relatif buruk, adalah problematika dalam hubungan vertikal semua manusia, seperti tuan dan buruh, bos dan koleganya, bahkan guru dengan muridnya. Oleh karenanya, ia menjadi problematika yang relatif sesuai dengan siapa yang melakukannya.

Sementara, problematika yang sangat fundamental dalam istilah feodalisme adalah kebebasanya dalam berfikir. Seperti yang dikatakan Rocky Gerung sang pengamat politik ternama di Indonesia, Rocky mengatakan “dalam sejarahnya bahwa para father founding Indonesia dahulu sangat mengagumkan pemikiran dan kebebasan berpendapat. Namun kenapa semua itu saat ini terkesan hilang?” (Alexanderandi, dan Alifian, 2024).

Sedangkan dalam tradisi intelektual pesantren masih mengagunmkan pemikiran dan kebebasan berpendapat yang dibuktikan dalam forum diskusinya, yaitu Bahastul Masa’il.

Pada akhirnya, tuduhan feodalisme terhadap pesantren sering kali tidak memahami konteks dan nilai-nilai yang mendasari hierarki dan tradisi pesantren. Hierarki dalam pesantren lebih bersifat fungsional dan didasarkan pada keilmuan dan moralitas, bukan pada kekuasaan yang sewenang-wenang.

Baca juga : Sikap Tawadhu’ Dan Bantahan Tuduhan Feodalisme Di Pesantren

Pewarta : M Wildan Musyaffa