Bolehkah sebagian daging hewan kurban kita makan ??

Bagaimana hukum berkurban? Bolehkah sebagian daging hewan kurban kita makan, dan kepalanya kita berikan kepada tukang potong sebagai upah, serta kulitnya kita jadikan sebagai rebana?

Berkurban atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menyambelih hewan tertentu pada Hari Raya Idu Adha dan dua atau tiga sesudahnya adalah salah satu ajaran agama yang ditegaskan dalam al-Qur’an (QS. Al-Kautsar [108]: 2 dan QS. al-Hajj [22]: 36). Imam Abu Hanifah menilainya wajib bagi setiap orang yang mampu, berdasaarkan sabda Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah: “Barang siapa memiliki kemampuan dan tidak mau berkurban, maka hendaknya dia tidak mendekati tempat shalat kami.”

Menurut penganut paham Abu Hanifah, ancaman ini menunjukkan wajibnya berkurban, sementara madzhab lain menilainya sebagai anjuran yanga amat ditekankan (sunnah mu’akkadah) berdasarkan sekian banyak hadist. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, “Aku diperintahkan berkurban, sedang itu sunnah untuk kalian.

Ibnu Abbas berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Tiga hal menjadi kewajiban atas diriku, dan ketiganya merupakan anjuran bagi kalian, yakni (shalat) witir, menyembelih kurban, dan shalat dhuha.”

Menurut madzhab Syafi’i, anjuran ini cukup dilaksanakan sekali seumur hidup. Di sisi lain, dianjurkan pula agar setiap kepala keluarga atau salah seorang keluarga hendaknya berkurban untuk dirinya (kalau belum) atau atas nama salah seorang keluarganya. Para ulama juga sepakat bahwa hewan yang boleh dikurbankan haruslah unta atau sapi atau kerbau (maksimal seekor untuk seorang) yang sehat dan sempurna, baik jantan maupun betina.

Ihwal memakan daging kurban yang di sembelih,mayoritas ulama membolehkannya. Jika kurban itu dilakukan untuk memenui nazar,maka Abu Hanifah dan Syafi’i melarang orang bersangkutan dan keluarganya memakan dagingnya. Dalam madzhab Maliki, Hanafi, dan Hanbali, disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk menggabungkan antara membagikan dan memakannya. Bahkan, seandainya dia memakan semuanya atau menyimpannya selama tiga hari kemudian, maka yang demikian itu diperbolehkan menurut madzhab Hanafi dan Maliki, walaupun hukumnya tidak dianjurkan (makruh).

Dalam madzhab Hanafi dan Hanbali, dianjurkan untuk membagikan daging kurban sepertiga untuk dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk teman-teman, meskipun kaya, dan sepertiga lainnya untuk fakir miskin. Menurut mereka, hal ini berdasarkan firman Allah: … Kemudian jika (hewan yang dikurbankan itu) telah roboh (mati), maka makanlah sebagian darinya, dan berilah makan orang yang rela dengan apa yang ada padanya(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta, … (QS. al-Hajj [22]: 36).

Imam Malik tidak menetapkan kadar tertentu. Penganut madzhab ini berpegang pada sekian banyak hadist yang menganjurkan agar memakan, memberi makan, dan menyisihkannya untuk disimpan. Hadist-hadist itu dapat dilihat, antara lain, dalam kitab Nayl al-Awthar, jilid kelima. Alasan lain tentang kebolehan menyisihkan adalah hadistyang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi SAW. bersabda, “Aku tadinya melarang kalian menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari karena adanya ‘Addafat’ (orang-orang yang datang dari pegunungan mengharapkan bekal akibat paceklik). Kini, telah datang kelapang dari Allah. Maka, simpanlah sekehendak kalian.” (HR. Muslim).

Menjual sesuatu yang berkaitan dengan hewan kurban tidak dibenarkan, baik kepala, daging, kulit, atau bulunya. “Barang siapa menjual daging hewan kurbannya, maka tidak ada (sah) kurbannya,” begitu sabda Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi. Tidak juga dibenarkan memberikannya sebagia upah kepada penyembeli. Tetapi memberikannya sebagai hadiah kepadanya atau orang yang wajar menerimanya, maka hal itu dibenarkan.

Di sisi lain, yang berkurban atau yang lainnya dapat memanfaatkan kulit hewan kurbannya untuk rebana atau apa saja. Wallahualam Bisshawab

 

Hukum Lupa Melaksanakan Shalat

Bagaimana pandangan hukum islam tentang seseorang yang tertidur sehingga dia tidak melaksanakann shalat? Apa yang hadur dilakukan bila dia terjaga dari tidurnya?

Dalam kitab hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang diantara kamu tertidur sehingga tidak melaksanakan shalat atau lupa melaksanakannya, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika dia ingat. Allah berfirmman, ‘Laksanakanlah shalat untuk mengingatu-Ku.’

Dalam hadits lain yang diriwayatkan keenam kitab hadits standar disebutkan “barang siapa lupa melaksanakan shalat, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika dia ingat. Tidak ada kafarat atasnya, kecuali melaksanakan shalt itu sendiri.”

Tidur sama halnya dengan mati. Ruh manusia ketika itu berada di dalam genggaman Allah sehinga seseorang tidak dituntut bertanggung jawab ihwal apa yang dilakukan atau tidak dilakukan ketika itu.Nabi SAW dan sahabat-sahabat beliau pun pernah ketidutan sehingga tidak shalat pada waktunya.Namun,begitu mereka terjaga,mereka melaksanakan sholat,walaupun waktu sholat telah berlalu.

Sahabat Nabi SAW,Abu Qutadah, menginformasika  bahwa mereka berpergian bersama Rasulullah SAW. Sebagian mengusulkan agar rombongan beristirahat sejenak, tetapi Rasulullah SAW, bersabda, “Aku khawatir kalian akan ketiduran sehingga kalian tidak mengerjakan shalat.”

Bilal menyanggupi untuk membangunkan mereka,tetapi dia sendiri pun ketiduran. Nabi SAW, terbangun ketika matahari telah terbit dan berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, mana yang engkau ucapkan atau janjimu itu?” Bilal menjawab, “Belum pernah sama sekali aku merasakan tidur seperti ini.” Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menggenggam atau menahan ruh kalian pada saat Dia kehendaki dan mengembalikannya pada saat Dia kehendaki. ‘Wahai Bilal, bangkit dan kumandangkanlah adzan untuk sholat.’”

Rasulullah SAW kemudian berwudhu dn ketika matahari telah terbit dan memutih (cahayanya sangat jelas). Beliau mengerjakan sholat berjamaah bersama rombongan. Shalat yang dilaksanakan setelah berlalu waktunya ini disebut shalat qadha’.

Bagi orang yang terjaga sebelum waktu sholat habis, dia harus segera melaksanakan shalat, dan bila tidak juga mengerjakannya sampai waktunya habis, dia dinilai berdosa.

 

Penetapan Haji Di masa Nabi

Rasulullah SAW., belum ada penanggalan islam dan juga bulan-bulan dengan nama Muharram, Shafar, Rabi’ul-Awwal, dan seterusnya hingga Dzulhijjah. Pertanyaan saya, bagaimana ditentukan waktu ibadah haji dalam bulan Dzulhijjah di masa Nabi Muhammad SAW. dan Abu Bakar?

Memang benar bahwa penetapan tahun hijrah Nabi SAW. sebagai awal tahun kalender islami (Hijriah) dilakukan oleh dan dimasa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Khattab. Tetapi, ini tidak berarti bahwa waktu itu mereka belum mengenal nama-nama bulan sebagaimana kita kenal dewasa ini.

Sejak zaman Jahiliyah, telah dikenal dua belas bulan sebagaimana sekarang ini, dan dikenal pula empat bulan haram (arba’ah hurum), yakni Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Hal ini diakui dan ditetapkan dalam ayat al-Qur’an, Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan yang haram….(QS. at-Taubah [9]: 36).

Dalam empat bulan itu, mereka sepakat untuk tidak berperang. Akan tetapi, jika harus berperang dalam salah satu dari empat bulan itu, sebagian mereka menunda bulan haram ke bulan berikutnya atau menambah bilangan bulan dalam setahun. Al-Qur’an menyebut tindakan menambah bulan seperti itu sebagai menambah kekafiran (ziyadah fil kufr) (QS. at-Taubah [9]: 37).

Berkenaan dengan penambahan atau penukaran nama satu bulan menjadi bulan lain, misalnya menjadikan Muharram, Shafar, atau Ramadhan menjadi Rajab dan seterusnya, pada haji Wada’ Nabi berkhutbah demikian, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya masa (bulan-bulan) telah kembali ke siklusnya seperti ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Sesungguhnya, bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram (arba’ah hurum). Tiga bulan berturut-turut adalah Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab yang berlaku bagi ‘Mudhar’, yakni antara Jumada (ats-Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Melaksanakan Amalan-Amalan Haji Ketika Berumrah?

Bisakah melaksanakan  amalan-amalan ibadah haji ketika berumrah? Ini dilakukan mengingat bahwa dewasa ini semakin banyak orang berminat menunaikan ibadah haji,tetapi terhalang oleh keterbatasan kuota. Samakah ganjaran ibadah haji dan umrah?

 

   Haji adalah ibadah tersendiri yang berbeda dengan ibadah umrah. Haji mempunyai waktu dan amalan tertentu yang tidak sama dengan ibadah umrah, seperti wuquf di ‘Arafah, bermalam di Muzdalifah, melontar jumrah, dan sebagainya.

Di sisi lain, para ulama sepakat tentang wajibnya haji sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu. Sementara itu, ibadah umrah tidak wajib hukumnya dan hanya sangat dianjurkan (sunnah mu’akkadah) menurut pandangan ulama bermadzhab Abu Hanifah dan Maliki. Ada juga ulama bermadzhab Syafi’i yang berpendapat demikian dan menyatakan bahwa hukum ibadah umrah sama dengan hukum melaksanakan ibadah haji, yakni wajib sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu.

Teks-teks keagamaan banyak berbicara tentang ganjaran kedua ibadah itu. Bahkan, ada hadist yang “menyeimbangkan” ibadah umrah di bulan Ramadhan dengan ibadah haji bersama Rasulullah SAW. Akan tetapi, banyak ulama yang enggan mempersamakan ganjaran ibadah haji dan umrah, baik umrah dinilai sebagai wajib atau hanya sekedar sunnah saja. Sebab, ganjaran ibadah sunnah tidak sama dengan ganjaran ibadah wajib. Begitu juga, sanksi akibat meninggalkannya pun berbeda. Bahkan, tidak ada sanksi bagi yang meninggal ibadah sunnah. Selain itu, amalan-amalan yang dituntut oleh ibadah haji lebih banyak jumlahnya dan lebih meletihkan dibandingkan dengan amalan-amalan umrah. Karena itu, ganjarannya pun sewajarnya tidak sama.

Melaksanakan umrah berkali-kali tidak menggugurkan kewajiban ibadah haji bagi mereka yang mampu. Demikian juga, menambah amalan-amalan yang dituntut oleh ibadah haji, ketika melaksankan umrah, tidak dapat menjadikan ibadah umrah sebagai pengganti ibadah haji. Sebab, wajib adalah ibadah tersendiri dengan waktu tertentu. Bahkan, seseorang yang menambah amalan amalan haji pada ibadah umrahnya pada hakikatnya telah melakukan pelanggaran agama dan menjadikan ibadahnya tidak sah, karena yang demikian itu merupakan penambahan dari apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW. bersabda, “Barang siapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) dengan tidak berdasarkan apa yang telah kami tetapkan, maka amalan itu pun ditolak.” Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Wallahu A’lam Bisshawab

Persoalan Shalat Empat Puluh Kali (Arba’in) Di Masjid Nawawi Madinah

Bagaimana sebenarnya persoalan shalat empat puluh kali (arba’in) di masjid Nawawi Madinah?

Tidak dapat disangkal bahwa amat banyak hadist Nabi SAW yang menguraikan keutamaan Masjid Nawawi serta ganjaran shalat di Masjid itu. Tetapi hadits yang berbicara tentang ganjaran shalat  empat puluh kali di Masjid itu tidak ditemukan dalam al-Kutub as-Sittah atau al-Shihah as-Sittah (enam Kitab Hadis Shahi atau Standar).

Memang, hadits tentang ganjaran empat puluh kali (arba’in) di Masjid Nawawi ditemukan dalam beberapa kitab hadits, tetapi semua merujuk kepada dua sumber, yakni kitab hadits Musnad Ahmad (jil. III, hlm. 155) karya Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Mu’jam al-Awsath (jil. II,, hlm. 32) karya ath-Thabrani.kedua sumber ini menyajikannya dengan satu jalur yang sama, yakni dari seorang bernama al-Hakam bin Musa, yang katanya meriwayatkan dari ‘Abd ar-Rahman bin Abu ar-Rijal, dari Nubayth bin ‘Umar (‘Amr), dari Anas bun Malik, dari Rasulullah SAW yang bersabda “Barang siapa mengerjakan empat puluh shalat dimasjidku dan tidak ketinggalan satupun, maka tercatat baginya (dia memperoleh hak) pembebasan dari neraka, keselamat dari siksa, dan terbebas dari kemunafikan.”

Ath-Thabrani menegaskan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan dari Anas oleh Nubayth bin ‘Amr. Kemudian juga pada tingkat Abu ar-Rijal. Yang memprihatinkan adalahbahwa Nubayth bin ‘Amr tidak tikenal sebagaisorang perawi hadits. Dia hanya meriwayatkan satu hadits saja. Karena itu, dia dinilai oleh ulama hadits sebagai seorang yang tidak dikenal (majhul), dan penilaian semacam ini menjadikan hadits yang diriwayatkannya lemah (dha’if). Penilaian atas kelemahan hadits ini dikemukakan oleh banyak ulama. Salah seorang di antaranya adalah Nashir ad-Din al-Albani dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah al-Mawdhu’ah (jil. I, jlm. 634).

Memang al-Mundziri dalam at-Traghib wa at-Tarhib (jil. II, hlm. 215) mengemukakan bahwa perawi-perawi yang digunakan Imam Ahmad dalm hadits ini adalah para perawi kitab-kitab shahih. Namun, seperti dikemukakan diatas, hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ath-Thabrani, dan Nubayth bin ‘Amr haynya meriwayatkan satu hadits ini saja. Jadi, bagaimana mungkin dia menjadi perawi kitab-kitab shahih? Dalam Majma’ az-Zawa’id, al-Haytsami juga menyatakan bahwa perawi-perawi hadits ini dapat diterima periwayatannya (tsiqah), tetapi pandangan ini juag perlu diluruskan.

Al-Haytsami biasanya mengambil penilaian yang bersumber dari Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqah, sedangkan ulama ini dikenal mempunyai kaidah penilaian tersendiri, yakni mencantumkan dalam kitabnya itu orang-orang yang tidak dikenal identitas atau keahlian dalam bidang hadits. Seakan-akan hal itu (al-jahalah) belum cukup untuk menetapkan tertolaknya riwayat seseorang. Kaidah semacam ini jelas bertentangan dengan kaidah umum para ulama hadits. Tetapi, memang demikian itulah cara Ibnu Hibban, sehingga wajar saja jika dia memasukan nama Nubayth dalam kitabnya yang menghimpun orang-orang yang dapat diterima riwayatnya.

Sebenarnya, ada satu riwayat lain yang bernilai hasan (hampir mencapai tingkat sahih)yang bersumber dari Imam at- Tirmidzi (jil. II,hlm. 7) yang boleh jadi meluruskan kandungan hadits populer di atas. Riwayat itu berbunyi: “barang siapa mengerjakan shalat jamaah selama empat puluh hari karna Allah dan mendapati takbir pembukaan (takbirah al-ihram), maka dicatat baginya dua kebebasan: kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan”.

Dari sini jelas sudah bahwa hadits yang menjadi pegangan untuk melakukan shalat arba’in adalah hadits yang lemah (dha’if). Tidak sedikit jamaah haji, dan bahkan ulama, yang melaksanakan kandungan hadits shalat arba’in yang populer tetapi lemah ini. Ini disebabkan ada saja sebgain ulama yang membolehkan mengamalkan hadits dha’if tertentu seperti diatas. Sebab, bukankah terdapat banyak anjuran untuk melaksanakan shalat jamaah, apadali dimasjid Nabawi? Kalau demikian, dahih tidaknya hadits itu tidak banyak berpengaruh bagi mereka. Memang, boleh jadi, pelaksanaannya menyulitkan. Dalam konteks ini, perlu dipelajari kandungan hadits diatas sehingga siapa saja yang ingin mengamalkannya tidak mengalami kesulitan.

Seperti terbaca diatas, pelaksanaannya tidak dikaitkan dengan imam tertentu, bahkan dengan tidak mendapatkan takbirah al-ihram. Ini memberi puluang untuk melaksanakannya tanpa harus mengikuti imam tetap (ratib) Masjid Nabawi selama melaksanakan berjamaah, walaupun pada akhir waktunya dan dengan siapa saja di Masjid Nabawi. Wallahu A’lam Bishawab